Mata Dewi melebar dan tubuhnya mematung. Rasanya seperti tersengat listrik beberapa volt saat Fredy mengatakan itu. Otak Fredy juga sulit diajak kerja sama untuk saat ini. Dia tergoda dengan perempuan yang berada di depannya. Bibir ranum merah muda dengan polesan lipstick warna senada membuat naluri kelelakian Fredy ingin melahapnya. Setelah mengatakan itu, Fredy menegakkan kembali tubuhnya pada posisi kemudi. Lalu berdehem beberapa kali. Tanpa mereka ketahui, sebenarnya hati keduanya sama–sama berdebar tak karuan. "Maaf!" ujar Fredy setelah mobil melaju. Dewi diam dan masih menata degupan hati juga jantung. "Biar saya antar kamu pulang. Dimana alamat rumahmu?" "Komplek Escendol, nomor rumah 19, Tuan." Setelah itu, tidak ada perkataan lain yang meluncur dari bibir kedua manusia itu. Bahkan saat sampai di depan rumahnya, Dewi buru–buru turun tanpa mengucapkan terima kasih. "Astaga, Fredy! Apa yang sudah kamu lakukan?" Pria itu memukul stir cukup keras. Dia marah pada diriny
"Uhuk! Uhuk!" Bela yang tidur di kamar mes terbangun karena merasa ada banyak asap dan membuatnya terbatuk. Sedangkan Luna masih nyenyak karena dia tidur di kasur lantai. Dia memang gadis desa asli, yang tidak bisa tidur di kasur busa empuk."Asap apa ini?" Saat matanya terbuka, dia melihat asap hitam mengepul dan menerobos celah-celah. Tak lupa dia mengecek jam dinding, rupanya masih jam 02.00 pagi."Lun, bangun!" Bela bangun dan mengguncang tubuh Luna."Ada apa?" jawab Luna yang matanya masih merem."Lihat deh, asapnya banyak banget menerobos melalui celah itu. Ayo kita lihat!""Ck! Dasar! Siapa sih yang bakar–bakar tengah malam seperti ini? Ganggu orang tidur aja," gerutu Luna. Lalu matanya membelalak dan seketika dia duduk saat otaknya mencerna perkataan mulutnya. "Bela, ini jam berapa?" tanya Luna yang beralih menatap Bela. "Jam dua." "Hah?! Jangan-jangan… itu hantu, Bel?" "Hust! Jangan ngaco deh! Ayo kita lihat!" Karena Luna takut, dia berjalan di belakang Bela. Mereka ja
Pagi–pagi sekali, Sabrina sudah berada di depan. Semalam setelah api berhasil dipadamkan, matanya sangat sulit terpejam. Akhirnya, dia memutuskan untuk keluar ke halaman setelah adzan Subuh. Matanya menatap nanar tanaman yang sebagian hangus dan sebagian menjadi abu. Dari mulai aglonema, anggrek, begonia, anthurium, sukulen, gloxinia, episcia, dan peperomia. "Ya Tuhan, hamba yakin, kalau ini adalah teguranMu karena hamba lalai dalam berbagi pada orang yang lebih membutuhkan. Maafkan hamba!" Sabrina berjongkok dan tangannya menjulur untuk memegang daun tanaman aglaonema ungu. Namun daunnya yang itu gosong dan berkerut. Tak sengaja, dia melihat sebuah batu seperti batu akik di dekat pot yang penyok. Warnanya biru sapphire polos. Sepertinya itu adalah mata cincin yang terlepas. "Sepertinya tidak asing, tapi dimana ya?" **Matahari di ufuk timur malu-malu untuk keluar dari peraduannya. Menampilkan semburat jingga yang indah disana. Erlangga sudah bersiap. Hari ini, dia sangat baha
Alis Sabrina hampir menaut melihat karyawan toko yang tadi bersikap pongah kini berlutut di hadapannya. Dia merasa tak enak karena menjadi pusat perhatian pengunjung lain. Tangannya langsung menuntun gadia di depannya untuk berdiri. "Bangunlah! Kenapa Anda malah berlutut di depan saya?" "Nona, saya tidak ingin dipecat! Tolong maafkan saya!" Setelah mengatakan itu, muncul sosok pria yang berjalan dari pintu yang sama saat Nela datang. Setelan jas hitam, sepatu pantofel hitam mengkilap, serta jam tangan mewah yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Pria itu diikuti sosok pria lain berbadan agak tambun. Perutnya buncit dan kepalanya bagian atas botak. Pria tambun itu juga memakai setelan jas hitam. "Aldo?" guman Sabrina melihat pria itu. "Mas, bukankah itu Aldo yang satu tim basket denganmu?" tanyanya pada Erlangga memastikan. "Iya. Dia adalah Aldo temanku, sekaligus pemilik toko perhiasan ini." "Maafkan gue, Bro!" bisik Aldo pada Erlangga saat mereka sudah dekat. Kedua i
"Mama, hentikan!" Sabrina langsung menoleh ke Erlangga. "Kenapa? Kenapa Mama harus berhenti? Dia telah merebutmu dari Mama!" "Ck!" Erlangga menyisir rambutnya ke belakang dengan frustasi. Lalu dia menghampiri Ratna dan memegang kedua tangannya. "Ma, tidak ada yang merebutku dari Mama. Selamanya aku tetap anak Mama. Kenapa Mama berpikir seperti itu?" Ratna tidak menjawab. Dia menghentakkan tangannya agar cekalan Erlangga terlepas. Lalu dia masuk ke dalam. "Ratna!" panggil Fredy yang sedari tadi diam dan kini mengejarnya. Erlangga berbalik menghadap Sabrina. Matanya sekilas melirik Tari dan Bukan yang bersembunyi di belakang Sabrina. "Aku minta maaf atas perlakuan Mama, Bia!" "Tidak masalah, Mas! Aku tidak apa-apa!" Lalu mereka semua masuk. Tepat bersama dengan sebuah mobil mewah yang berhenti di depan. Zaskia dan ayahnya–Santoso yang datang. Di dalam gedung, Erlangga terus menggandeng Sabrina. Bahkan saat dia berbincang dengan para investor. Sedangkan Tari dan Bulan sedang
Brakkkk! "Pak, tolong jangan tangkap mereka. Kita selesaikan dengan cara baik–baik. Zaskia dan Erlangga memang akan meni–!" Kalimat Ratna menggantung. Matanya membelalak saat melihat Aldo yang tidur bersama Zaskia dan bukannya Erlangga. Dia datang bersama beberapa satpol PP. Di ikuti Fredy dan juga Santoso. "Bangun! Ikut kami ke kantor satpol PP jika tidak punya buku nikah!" teriak salah satu petugas itu hingga membuat Aldo dan Zaskia yang tidur saling berpelukan terkejut. Sebenarnya… Beberapa jam sebelum kejadian panas–panasan. "Tante punya rencana lain!" Ratna berbisik pada Zaskia, "Tante juga akan menjebak wanita kampungan itu. Tetapi dengan temannya Erlangga. Itu si Aldo. Sementara wanita itu dengan Aldo, kamu dengan Erlangga." Zaskia tersenyum licik mendengarnya. "Bagaimana? Bagus 'kan rencana Tante?" Zaskia hanya mengangguk tanpa menghilangkan senyum di wajahnya. "Sekali dayung, dua tiga pulau terlampaui." Setelah itu, Ratna mengambil segelas lagi dan memberikannya p
Siapa lagi kalau bukan Ratna. Dengan wajah yang masam, dia melewati Sumi dan Sabrina begitu saja setelah mengatakan itu. "Sabar, Neng. Semenjak Neng Sabrina pergi waktu itu, sikap Nyonya berubah menjadi dingin dan ketus." Sabrina hanya mengangguk meskipun muncul pertanyaan di benaknya. Setelah makanan sudah tinggal dihidangkan, Sabrina memanggil suami dan anaknya di kamar Bulan. Pintu tidak terkunci, Sabrina bisa melihat sedikit keadaan di dalam kamar. Sudut bibirnya terangkat ke atas saat melihat Erlangga dan kedua putrinya bercanda dan tertawa lepas. Baru saja kaki kanan Sabrina masuk ke dalam, tangannya di tarik oleh Ratna. "Tunggu!" Sabrina kembali mundur dua langkah. "Ada apa, Ma?" "Ma?! Haha, tidak masalah," cibir Ratna lalu tersenyum sinis. "Saya kemari hanya ingin memperingatkan kamu. Saya akan berusaha sekuat tenaga untuk memisahkan kalian. Walaupun harus menggunakan kejahatan. Dunia akhirat saya benar-benar tidak ridho anak saya menikah dengan anak dari penghianat
"Surprise!" teriak Bela, Luna dan Ilham. Luna dan Ilham membawa spanduk yang bertuliskan 'surpise' dan Bela menunjuk spanduk itu dengan kedua tangannya. Yang lebih mengejutkan lagi bagi Sabrina adalah, pemandangan di depannya. Pagar toko yang merupakan bagian tempat tunggu dan pembayaran sudah berubah dekorasinya. Letak perabotnya masih sama, tapi seluruh perabotannya sudah terganti dengan yang baru. Wallpaper dinding juga berubah. Yang semula berwarna biru, kini berwarna hijau segar gambar dedaunan. Meja kasir dan sofa juga baru dengan warna yang senada. Ruangan itu sekarang terlihat lebih elegant. "Bagaimana, Bia, kamu suka?" tanya Erlangga. Sabrina tak mampu berucap, jadi dia hanya mengangguk sembari menahan air matanya yang tergenang di pelupuk mata. Tangan kirinya terangkat dan mengusap air mata yang hendak jatuh. Lalu dia berbalik menatap Erlangga. "Terima kasih, Mas!" Mereka saling berbahagia dan Erlangga mengajak semua makan–makan. Sembari membahas kapan toko akan di