Anne kembali mengenakan pakaiannya dengan terburu, berjalan ke arah tangga yang mengarah ke lantai tiga. Jelas suara tembakan itu berasal dari sana.
"Maaf, Nyonya. Anda tidak boleh berada di sini," hadang penjaga yang berjaga di lantai tiga tepat di samping kanan dan kiri tangga."Aku mendengar suara tembakan. Apa yang terjadi? Di mana Luciano?""Tuan sedang mengurusnya. Anda tidak boleh berada di sini."Anne merasa begitu kesal. "Aku ingin tahu, apa yang sebenarnya terjadi di sini?" ucapnta lagi dengan keras kepala."Ya, Nyonya. Sebaiknya Anda segera turun. Saya akan memberitahukan keberadaan Anda dan tuan akan menemui Anda.""Aku tidak butuh tuanmu. Aku hanya butuh tahu apa yang terjadi.""Maafkan kami, Nyonya. Anda…""Ada apa ini?" Luciano muncul di belakang penjaga yang menghadang langkah Anne.Anne melihat Luciano yang tengah menyelipkan sebuah pistol ke dalam saku jas pria itu. Hanya sepersekian detik, tetapi Anne yakin apa yang dilihatnya.Wajah Anne membeku, dugaan yang tak sanggup ia tanggung memenuhi dadanya. Apakah Luciano yang melepaskan tembakan itu? Lalu apa yang ditembak Luciano? Atau… wajah Anne lebih memucat ketika memikirkan … siapa yang ditembak Luciano."Kenapa kau di sini, Anne sayang?" Suara Luciano terdengar begitu lembut ketika berjalan ke depan Anne. Kepala pria itu tertunduk dan telapak tangannya terulur merangkum wajah Anne yang memucat. "Bukankah kau sedang mandi?"Anne menatap wajah Luciano. Ia memang sedang mencari tahu siapakah sebenarnya Luciano Enzio yang ada di hadapannya ini. Tetapi Anne belum pernah merasa sepenasaran ini, tentang pria yang sudah menikahinya ini?Jawaban itu seolah mengambang, tetapi Anne tak bisa menggapainya. Dan dengan sudut matanya, ia.melihat gerakan di lantai 3, dua orang pengawal Luciano yang sedang menggotong sesuatu. Anne sudah menggerakkan kepalanya ke samping, ketika Luciano mengembalikan perhatiannya kepada pria itu."Kita kembali ke kamar." Luciano memutar tubuh Anne dan membawa wanita itu kembali ke lantai dua.Pikiran Anne masih melayang, sesuatu yang berlumuran darah membayang di benaknya. Apakah itu? Siapakah itu? Pertanyaan besar itu menggantung di atas kepalanya."Kau tak ingin mandi?" Suara Luciano memecah lamunan Anne yang masih berdiri di tengah ruangan.Anne mengedipkan matanya, menoleh ke arah Luciano yang berdiri di samping meja nakas. Melepaskan jam tangan, mengeluarkan sapu tangan dari dalam saku luar jas dan sebuah pistol yang kemudian diletakkan bersama jam tangan tersebut.Anne menelan ludahnya, jadi benar yang ia dengar adalah suara tembakan. "Apa yang kau lakukan dengan benda itu, Luciano?"Luciano hanya melirik ke arah Anne, melepaskan satu persatu kancing kemejanya. "Karena kau belum mandi, ide bagus jika kau menemaniku. Kemarilah."Anne tetap bergeming di tempatnya. Menatap pistol di nakas kemudian kembali menatap wajah Luciano. "Siapa yang kau bunuh baru saja?"Luciano tersenyum tipis. Menatap lurus kedua mata Anne sebelum memberi wanita itu jawaban yang diinginkan. "Kau tak mengenalnya."Anne terkesiap pelan. Rasa takut membuat bulu kuduknya meremang. Jadi benar pria itu telah membunuh seseorang. Beberapa menit yang lalu. Di rumah ini. Anne menggelengkan kepalanya, kemudian melangkah mundur dan berbalik. Berlari menuju tangga. Ia menuruni anak tangga dengan terburu. Tak hanya pria berengsek yang kejam. Luciano, pria yang menikahinya adalah seorang pembunuh.Anne tak bisa menerima ini. Penjaga yang berjaga di lantai satu hendak menghadangnya, tetapi kedua penjaga tersebut segera menghentikan niatnya saat menoleh ke ujung tangga. Tempat Luciano baru saja muncul yang memberikan satu isyarat kecil dengan ujung jemarinya.Anne berlari menyeberangi ruang tamu yang luas, kakinya sudah akan menyentuh teras ketika suara tembakan memecah telinganya dan menyusul suara benda pecah. Anne menjerit, langkahnya terhenti dan tubuhnya meringkuk di lantai. Memeluk kepalanya dengan tubuh yang bergetar hebat.Anne terisak, saat keheningan baru saja menyelimuti seluruh ruangan. Menyusul langkah kaki yang semakin mendekat."Siapa sebenarnya kau, Luciano?" Suara Anne serasa mencekik lehernya. Tubuhnya lemah dan Luciano menahan berat tubuhnya di pinggang.Luciano hanya tersenyum tipis, tangannya terulur membersihkan wajah Anne dari helaian rambut yang menempel di wajah karena air mata. "Kau belum siap mengetahuinya, istriku.""Kau pembunuh.""Mungkin salah satu pekerjaan yang tak bisa dihindari. Jangan seterkejut itu."Air mata Anne semakin mengalir. Tanpa suara. Rasa jijik, merasa dikhianati, ditipu mentah-mentah. Semua bercampur aduk jadi satu. Kepalanya menggeleng-geleng dengan pilu. Kedua kakinya sepenuhnya meleleh dan tiba-tiba kepalanya menjadi berat. Sepenuhnya jatuh ke dalam kegelapan.Luciano menangkap tubuh Anne dalam satu gerakan yang ringan. Kemudian membopong tubuh mungil Anne dan naik kembali ke lantai dua. Membaringkan tubuh Anne di tempat tidur.***Saat Anne terbangun, suasana kamar yang sunyi menyambut seluruh kesadarannya. Anne mengerang pelan dengan rasa sakit di kepala. Tangannya bergetar memijit di pelipis sambil berusaha bangun terduduk.Satu-satunya yang Anne ingat hanyalah suara tembakan dan pecahan benda yang berhamburan di lantai. Dan semua itu adalah perbuatan Luciano.Kau pembunuh?Mungkin salah satu pekerjaan yang tak bisa dihindari.Anne menggigit bibirnya, berusaha sangat untuk tidak menjerit dan kembali terkejut. Membunuh adalah pekerjaan yang dilakukan Luciano. Anne tak berani membayangkan apa pekerjaan pria itu yanh sesungguhnya.Di mata publik, Luciano Enzio adalah presiden direktur Enz Tech. Tak hanya itu, pria itu juga adalah pebisnis sukses sekaligus filantropis dengan kerajaan bisnis yang hampir memiliki seluruh kota. Bisnis Luciano pun tak hanya di dalam kota ini. Nyaris di seluruh kota besar di negara ini. Yang Anne yakini pun tak hanya ada di dalam negeri.Anne berhenti memperhitungkan seberapa besar dan luasnga jaringan bisnis Luciano. Kepalanya sudah terlalu dipenuhi kebencian dan pemberontakannya terhadap Luciano. Pria itu terlalu berkuasa di mana pun.Kedua kaki Anne bergerak turun, masih terduduk dan menunggu rasa pusing di kepalanya mereda. Dan setelah pusingnya menghilang, Anne menarik napasnya dalam-dalam dan mengembuskannya secara perlahan. Berusaha menenangkan dirinya dan ia harus tenang.Setelah menghela napas beberapa kali, Anne membuka matanya dengan perlahan. Emosinya sudah lebih tenang dan pikirannya perlahan mulai jernih.Jika membandingkan kekuatan dan kekuasaan yang dimiliki Luciano terhadap dirinya, seujung kuku pun ia tak akan bisa menandingi pria itu. Maka satu-satunya cara hanyalah mengikuti alur yang diinginkan oleh Luciano. Sambil menunggu kesempatan yang tepat untuk membalas pria itu. Atau setidaknya melarikan diri.Anne tak peduli siapa sebenarnya Luciano, hanya dengan mengetahui bayangan gelap hidup pria itu saja sudah membuat bulu kuduknya meremang oleh rasa takut. Ia yakin kehidupan Luciano yang sesungguhnya lebih gelap dari yang bisa ia bayangkan.Anne bangkit dan melanjutkan niatnya untuk berendam di bath up. Menjernihkan pikiran dan merilekskan tubuhnya. Setengah jam kemudian, saat ia keluar dari kamar mandi. Luciano duduk di sofa tunggal yang mengarah langsung ke pintu kamar mandi. Pria itu bersandar di punggung sofa dengan kedua kaki bersilang. Di antara sela-sela jemarinya terdapat sebatang rokok dan pandangan pria itu menatap lurus kemunculan Anne.Anne berhenti, membalas tatapan pria itu dengan ketenangan yang berusaha dikendalikannya. Tidak terlalu berhasil tetapi setidaknya kedua kakinya tidak lagi gemetar."Kemarilah." Luciano mengangkat kedua tangannya.Anne mempertimbangkan untuk menolak ajakan Luciano. Namun, tatapan pria itu yang tak membutuhkan bantahan membuat Anne mengangkat kedua kakinya ke arah pria itu.Luciano menangkap tangan Anne begitu wanita itu berada dalam jangkauan tangannya. Mendudukkan Anne di pangkuannya sedangkan satu tangannya yang lain meletakkan rokok di asbak.Anne menahan napasnya, asap rokok tak pernah bersahabat dengan hidungnya, yang membuatnya sedikit menjauh dari wajah Luciano."Ah, kau tak suka pria perokok. Aku baru ingat."Anne hanya diam. Ia tak pernah mengatakannya tetapi Luciano tahu. Dan ini pertama kalinya Anne melihat Luciano memegang batang rokok. Rasanya satu persatu ia telah membuka lapisan diri Luciano yang sesungguhnya. Yang Anne yakin semakin dalam ia membuka lapisan diri pria itu, rasanya akan semakin gelap."Aku hanya memiliki waktu sebentar. Dalam satu jam aku harus berada di bandara. Jadi ada beberapa hal yang ingin kuberitahu padamu."Anne nyaris tak mampu menahan hatinya yang ingin menjerit bahagia. Semakin cepat Luciano pergi, makan semakin baik.Seringai tersamar di ujung bibir Luciano. Tentu saja ia bisa membaca kesenangan yang tersirat di kedua mata Anne meski wajah wanita itu terlihat begitu datar. Dan dengan sedikit kesabarannya memaklumi wanita itu. Selalu ada pemakluman bagi Anne Lucas, ah tidak. Anne Enzio."Aku akan pergi selama dua hari. Dan selama kau pergi, kau bisa menyesuaikan dirimu di rumah ini.""Aku ingin berjalan-jalan." Anne memberanikan diri untuk menginginkan sesuatu.Luciano menatap kedua mata Anne, sedikit menyipitkan mata yang membuat tubuh Anne menegang di pangkuannya.Napas Anne tertahan. Telinganya sudah bersiap mendengar penolakan tegas Luciano, tetapi pria itu malah memberinya apa yang diinginkannya."Ya, aku sudah menyiapkan sopir dan beberapa pengawal yang akan menjagamu."Kening Anne berkerut. Pertama oleh kejuta Luciano yang tidak terduga, kedua mungkin sopir masih bisa ia terima tetapi pengawal. "Aku tak membutuhkan pengawal, Luciano.""Sekarang kau membutuhkannya.""Untuk?""Salah satunya jika kau mencoba melarikan diri. Meski aku tahu itu hanya kemungkinan kecil karena kau pasti akan mempertimbangkan tentang kedua orang tuamu. Tetapi aku tak pernah menoleransi kecerobohan sekecil apa pun."Anne menelan ludahnya. Apakah bahkan Luciano bisa membaca pikirannya.Luciano terkekeh kecil. Ia hanya menebak tetapi rupanya tebakannya tak meleset sedikit pun. Yang membuat pria itu semakin gemas akan kekerasan kepalaan Anne. Bahkan setelah sejauh ini, wanita itu masih tak menyerah."Dan satu lagi. Jauhi lantai tiga. Tapi kau bisa pergi ke lantai empat. Di sana ada perpustakaan, ruang olahraga, area bersantai atau hanya sekedar pemandangan. Kau bisa pergi ke mana pun selain lantai tiga."Dan entah kenapa, semakin Anne dilarang malah membuat rasa penasaran wanita itu meningkat. Dia hanya perlu mengangguk. Menjadi istri penurut demi menyenangkan Luciano sebelum dua hari kebebasannya.Luciano mengernyit akan kepatuhan Anne, tetapi memilih mengabaikan apa pun yang coba wanita itu pikirkan di balik anggukan singkat tersebut. Atau mungkin saja wanita itu cukup belajar akan apa yang terjadi di ruang tamu.Pria itu menarik pinggang Anne, membuat wajah mereka saling berdekatan dan ia tak akan melewatkan kesempatan untuk bersenang-senang dengan tubuh Anne.Ia melumat bibir Anne dengan menggebu dan penuh gairah. Telapak tangannya menyelinap di ke balik jubah, menyentuh kulit telanjang Anne yang memicu aliran darahnya mengalir dengan deras. Wanita tak pernah tidak memuaskan. Seperti yang sudah Luciano perkirakan ketika ia pertama kali bertemu dengan Anne. Kecantikan dan seluruh tentang Anne berhasil menarik perhatiannya. Katakan ia sudah terobsesi dengan wanita ini, ia tak akan membantah. Bukan ide yang buruk memiliki obsesi yang sedikit berlebihan pada Anne. Ditambah background keluarga Anne, yang akan semakin memperkuat reputasinya di hadapan masyarakat. Dan akan menutupi segala dunia gelap yang berada di tangannya.***Sudah dua jam yang lalu sejak kepergian Luciano. Sore itu Anne masih terduduk di dalam kamar. Ia sudah cukup mengamati area lantai dua ini, dan tak ada apa pun yang cukup menarik perhatiannya. Saat berdiri di balkon pun, ia hanya menemukan penjagaan ketat Luciano yang tak memiliki celah.Anne mengambil ponselnya, menghubungi Ibra untuk bertemu di suatu tempat. Setidaknya ia butuh teman untuk bicara atau ia akan semakin menggila berdiam diri di dalam kamar ini."Apa kau sedang sibuk?" tanya Anne begitu panggilan tersambung."Sedikit. Papamu membawaku untuk memeriksa proyek dan kami baru saja sampai di kantor. Aku perlu mengambil sesuatu di ruanganku. Ada apa?""Aku ingin makan sesuatu.""Tempat biasa?""Boleh. Setengah jam lagi. Bagaimana?""Oke.""Sampai jumpa di sana.""Bye."Anne menurunkan ponselnya dengan senyum kelegaan. Kemudian bergegas bangkit dan mengambil outernya yang masih ada di dalam koper lalu berjalan ke arah tangga.Anne baru sampai di tengah ruang tamu ketika mendengar suara mobil berhenti di depan teras. Anne terus melangkah, dan berhenti di depan pintu utama. Melihat sebuah mobil SUV putih, pintunya bergerak terbuka dan muncul seorang wanita. Wanita cantik.Kedua mata Anne mengamati penampilan wanita itu. Rambutnya pirang, lurus hingga punggung. Mengenakan mini dress berwarna merah dan stiletto yang senada.Wanita itu langsung menyadari keberadaan Anne dan tersenyum tipis. Suara langkah kakinya terdengar begitu anggun, menghampiri Anne yang masih berdiri membeku di ambang pintu.Anne mencoba mengingat, wajah wanita ini terlihat begitu familiar. Tetapi Anne tak bisa mengingat lebih banyak. Wanita itu berhenti tepat di depan Anne. Dengan kedua lengan yang disilangkan di depan dada dan dagu yang sedikit diangkat. Menampilkan keanggunan sekaligus keangkuhan."Kau pasti Anne, istri pertama Luciano," ucap wanita itu dengan suara yang diatur setenang dan sehalus mungkin.Kening Anne mengernyit tipis, akan kalimat terakhir yang diucapkan wanita itu. Istri pertama? Bukankan itu artinya…"Perkenalkan. Aku Reene. Sepupu sekaligus calon istri cadangan Luciano."Calon istri cadangan? Anne mengulang dalam hati. Sekali lagi menatap penampilan Reene, yang bisa dibilang sangat sempurna. Seperti Luciano. Rasanya mereka memang lebih cocok bersama. "Sebelumnya, kuharap kau memahami posisimu. Seseorang seperti Luciano, yang memegang kerajaan bisnis sangat besar di negeri inu. Tentu saja memerlukan pewaris. Yang bisa dipercaya. Yang berasal dari keluarga terdekat. Kami tak mungkin membiarkan pewaris berasal dari orang asing sepertimu." "Kau hanyalah salah satu obsesinya. Dan seorang Luciano selalu mendapatkan apa pun yang diinginkan. Tapi aku adalah sebuah kebutuhan. Kita memiliki peran masing-masing di hidup Luciano. Jadi…" Anehnya, Anne sama sekali tak merasa tersinggung. Jika ada Reene, bukankah itu artinya ia memiliki kesempatan akan dibuang oleh Luciano. Dan ia bisa terbebas. Senyum tersamar di ujung bibirnya setelah cukup menelaah penjelasan Reene yang sangat menguntungkan dirinya. "Kuharap kita bisa berhubungan baik," lanjut Reene. "Sejuju
Tubuh Anne kembali terduduk dengan lemas ketika dokter menjelaskan tentang bagaimana keadaan Ibra. Yang cukup parah. Mengalami patah di kaki kanan, benturan di kepala dan mendapatkan beberapa jahitan, juga luka lainnya yang tergolong ringan. Operasi berjalan selama tiga jam dan Ibra sekarang berada dalam ruang pemulihan. Sebelum kemudian akan dibawa ke ruang perawatan jika keadaannya mulai membaik. Wajahnya masih lembab, oleh air mata yang rasanya tak berhenti mengalir. Luciano benar-benar keterlaluan. Semudah itu Luciano bermain-main dengan nyawa seseorang. Dan betapa tololnya Anne masih mencoba bermain-main dengan pria itu. Ia benar-benar sudah putus asa. Dan hajar habis-habisan untuk menyerah pada Luciano. Dengan cara yang paling keji dan pengecut. "Anne?" Suara lembut memanggil dari arah samping Anne. "Apa yang kau lakukan di sini?" "Eshan?" Bibir Anne bergetar hebat. Menemukan pria tinggi dengan jas putih dan stetoskop yang masih mengalung di leher. Pria itu terheran, menatap
"Apa kau sudah tahu, Luciano?" sembur Reene begitu panggilannya tersambung. Ia tak berhenti mondar-mandir di tengah ruang tidur yang luas. Berada di salah satu ruangan di lantai satu. Kamar tidur pribadinya setiap kali bermalam di rumah ini. "Ada apa, Reene? Kau mengganggu waktuku untuk pertanyaan sialan itu?" "Anne hamil. Apa kau sudah tahu?" Luciano mendesah rendah. "Kau sudah tahu." "Apa maksudnya ini, Luciano?" Luciano terkekeh pelan. "Pertanyaan macam apa itu, Reene. Istriku hamil, tentu saja aku tahu." "Kalian baru menikah dua hari dan dia sudah hamil dua bulan. Bagaimana mungkin?" Luciano kemudian hanya menghela napasnya panjang. Terdengar jengah akan rentetan pertanyaan Reene yang membosankan. "Well, itu urusanku dan Anne, Reene. Kau tak suka tentang kabar ini?" "Lalu bagaimana denganku?" "Kau? Kenapa denganmu?" "Bagaimana dengan rencana pernikahan kita?" "Ah, itu. Kita akan membahasnya setelah aku pulang. Aku memiliki pekerjaan yang lebih serius." "Apa kau berpiki
Anak dalam kandungannya tak terselamatkan, dan bahkan Anne hampir kehilangan nyawa karena pendarahan yang hebat. Jika tidak segera dibawa ke rumah sakit, nyawa wanita itu pasti sudah melayang. Beruntung ada pelayan yang datang dan menemukan wanita itu dalam keadaan sekarat. Anne pingsan selama beberapa jam, dan saat terbangun hari sudah sore. Kepalanya masih pusing dan rasa tak nyaman bersarang di perutnya. Tidak ada siapa pun di ruang perawatannya. Tetapi ia yakin ada dua pengawal Luciano yang berjaga di samping kanan dan kiri pintu. Telapak tangan Anne yang dipasang jarum infus bergerak menyentuh perutnya. Ia tak sudi mengandung anak Luciano, tetapi rasa kehilangan yang teramat sangat tetap saja tak bisa ia tahan. Seakan jantungnya dibetot dan ditarik keluar. Air mata menggenang di ujung kelopak matanya ketika suara langkah kaki yang kuat dan tergesa semakin mendekat. Anne baru saja memikirkan Luciano, dan dalam sekejap pintu dibanting terbuka lalu wajah murka pria itu muncul dan
Anne sudah mengembalikan ketenangannya dari ketakutan dan emosinya yang campur aduk karena kegugurannya. Ia mencoba menekan rasa pusing yang masih tersisa saat bangun terduduk. Mengambil gelas air putih di nalas dan meneguknya hingga setengah. Pintu ruangannya bergeser terbuka ketika ia meletakkan gelas di nakas, dan melihat Reene melangkah masuk. Senyum wanita itu tak bisa disembunyikan di raut wajahnya. Atau memang wanita itu tak bersusah payah menutupi kebahagiaan atas kehilangannya. "Aku tahu kau yang melakukannya," desis Anne tajam begitu Reene berhenti tepat di samping ranjang pasiennya. Senyum Reene mengembang, kedua tangan bersilang dada dengan sikap angkuh yang begitu kental. "Aku hanya memberimu apa yang kau inginkan. Tidak sulit untuk mengucapkan terima kasih, Anne. Hanya perlu mengatakannya saja," ucapnya dengan ringan dan penuh ketenangan. Ya, memang ialah yang mengganti vitamin kehamilan Anne dengan obat penggugur kandungan. Kandungan Anne masih sangat muda dan renta
Dalam satu jam, mobil yang ditumpangi Anne berhenti di depan teras rumah Luciano. Pengawal yang duduk di depan bergegas turun lebih dulu untuk membukakan pintu wanita itu. "Tuan menunggu Anda di lantai dua," ucap pengawal itu dengan nadanya yang datar. Napas Anne tertahan, menatap pintu utama yang terbuka lebar dan ia bisa melihat kedua kaki tanga. Ia menelan ludahnya. Menelan ketakutannya sebelum mendesah singkat dan mulai mengangkat kakinya. Kedua kakinya terayun menyeberangi ruang tamu yang luas dan langkahnya kembali terhenti ketika sampai di depan anak tangga. Berusaha menetralisir ketakutan di dadanya ketika mengingat ancaman Luciano dan peringatan Reene. "Apa Anda baik-baik saja, Nyonya," ucap salah satu penjaga di samping tangga. Membuyarkan lamunan Anne Anne tersentak pelan. Menggeleng dengan cepat dan mulai menggerakkan kedua kakinya menaiki anak tangga. Dengan jantung yang berdebar-debar. Di sisi lain, Reene menyaksikan kegugupan Anne dengan senyum yang mengembang sang
Anne muntah di wastafel, dengan air mata yang mengalir di pipi. Mencuci mukanya dengan air dingin, berkali-kali dan berharap itu bisa membersihkannya dari rasa kotor yang memenuhi wajahnya. Tetapi tetap saja semua itu tak membuat rasa jijik di dada terhadap dirinya sendiri berhenti. Kepalanya menoleh keluar pintu kamar mandi. Melihat Luciano bangkit berdiri sambil menaikkan celana pria itu dengan seringai gelap yang tersungging untuknya. Sekaligus kepuasan yang begitu besar. Kemudian berbalik dan berjalan ke arah tangga. Tubuh Anne jatuh terduduk di lantai. Ia benar-benar tak tahan menghadapi situasinya. Seolah dihajar habis-habisan untuk menyerah dan pasrah di bawah kaki pria itu. Dan ia hampir menyerah. Tetapi kebenciannya terhadap Luciano mendorongnya untuk tetap bertahan. Anne menghapus air matanya. Menarik napasnya dalam-dalamnya dan menguatkan hati. Tidak ada siapa pun yang akan menolongnya jika bukan dirinya sendiri. Baiklah, Luciano bisa melakukan apa pun pada dirinya. Pria
Luciano menggedor meja di hadapannya dengan kedua kepala tangannya. Buju-buku jari pria itu memutih saking kuatnya cengkeraman tersebut. Menunjukkan kemarahannya terhadap Anne benar-benar tak bisa ditahannya. Wanita itu telah merampok segala emosi di dadanya. Kesabarannya benar-benar raib dan kepalanya terasa berdenyut memikirkan bagaimana lagi cara menaklukkan wanita yang satu itu. Faraz hanya terduduk di kursi yang ada di depan meja tempat Luciano berdiri. Matanya melirik barang-barang yang jatuh ke lantai. Hanya mengamati dengan keseriusan yang terlalu dalam karena rasa laparnya. Ia baru saja memasukkan dua suap nasi ke mulut ketika Luciano muncul membopong Anne dengan handuk di wajah wanita itu. Faraz pikir itu adalah sebuah kecelakaan, karena Luciano tampak begitu khawatir. Sebelumnya, Faraz tak pernah melihat Luciano sepanik itu. Luciano sangat pandai mengendalikan emosi pria itu. Terlihat begitu tenang dan datar. Setenang air danau dalam situasi genting apa pun. Saking datar
"Jadi memang ya?" Anne mendorong dada Luciano menjauh. Kedongkolan tampak jelas memekati rautnya yang muram. Menyentakkan tangan Luciano yang masih melingkari pinggangnya."Aku tidak mengatakan tidak. Itu terdengar seperti sebuah kebohongan, Anne. Kau tak akan menyukainya.""Tidak. Kau salah besar, Luciano.""Lalu apa yang kau inginkan?" Suaranya mulai diselimuti kefrustrasian. "Aku lebih baik mendengar kebohongan. Aku akan mempercayaimu. Selama kau yang mengatakannya."Luciano membelalak. Mulutnya membuka nutup tak percaya. Belum pernah ia setercengang ini menghadapi kelabilan Anne. "Jadi kau lebih suka kebohonganku?""Sekarang, tidak keduanya. Kau memang tak pernah memahami wanita, Luciano. Tak pernah memahamiku sebagai seorang istri. Sebagai pasangan. Sebagai satu-satunya wanitamu. Kau yakin kau menganggapku sebagai istrimu? Bukan hanya sebagai wanita pemuas nafsumu seperti mereka?""Kau tahu itu tidak benar, Anne. Jangan mengada-ada sesuatu yang tak pernah benar."Anne mengibaska
Suasana pesta sudah ramai dan ballroom sudah dipenuhi kemeriahan serta canda tawa. Suara musik yang mengalun lembut sebagai latar belakang kemewahan pesta tersebut menyambut Anne dan Luciano yang bergandengan mesra memasuki ruangan yang luas dengan hiasan bunga dan kerlap-kerlip lampu di mana-mana.“Apakah Faraz dan Estelle akan datang?”“Mereka sudah putus, Anne. Kenapa mereka datang bersama?”“Siapa bilang mereka sudah putus. Tadi pagi aku menelpon Estelle dan yang menjawab Faraz. Mereka jelas masih sering tidur bersama. Faraz benar-benar memanfaatkan Estelle. Kenapa meniduri wanita jika tidak berniat menikahinya.”“Hmm, itu urusan mereka.”Anne mendadak terdiam dengan reaksi penuh ketenangan Luciano. Kedua alis wanita itu saling bertaut ketika menoleh ke samping dengan. “Apakah gaya berkencan kalian memang seperti itu?”“Siapa kalian?”“Kau dan Faraz.”“Hanya Faraz, Anne. Kenapa kau membawa-bawa namaku?”“Meski sekarang aku satu-satunya wanita yang tidur denganmu, kau pikir aku per
“Laki-laki lagi?” Luciano mengangkat salah satu alisnya. Suara rengekan baby Zha mulai tenang dalam gendongan Anne.“Ya. Kau tak suka?”Luciano menggeleng. “Laki-laki atau perempuan, aku tak pernah mempermasalahkannya, Anne. dia anakku.”“Mamaku bilang, saat kau melahirkan anak perempuan. Itu artinya kau menciptakan musuh bebuyutanmu.”Mata Luciano membulat tak percaya, lalu terbahak dengan keras hingga gigi geraham pria itu terlihat.“Kenapa kau tertawa? Kau pikir itu lucu?”Luciano menggeleng. Mencoba menghentikan tawanya karena baby Zha yang mulai bergerak tak nyaman. “Apa maksudmu dengan menciptakan musuh bebuyutan?” tanyanya, berusaha menahan tawanya kembali terlepas.“Dia bahkan bisa menjadi lebih licik dari wanita-wanita yang mencoba memisahkan kita, Luciano.”“Dia putrimu.”“Itulah sebabnya aku ingin seorang putra. Aku tak mau memusuhi putriku sendiri.”“Apakah kau memusuhi ibumu?”Anne terdiam, tampak mengingat-ingat lalu mengangguk. “Setiap kali mama dan papa saling berdekat
Anne terbangun karena dorongan dari dalam perut yang membuatnya gegas turun dari ranjang. Memuntahkan semua makan malamnya yang bahkan tak seberapa. Semakin hari gejala kehamilan datang semakin intens. Bahkan pusing yang semakin sering datang jika ia kurang tidur atau terlalu banyak tidur.Setelah beberapa saat, akhirnya napasnya kembali normal dan tenaganya memulih. Ia bangkit berdiri, menyeka wajahnya di wastafel. Menatap wajah pucatnya yang rasanya sedikit gemuk.Rasanya selera makannya menurun akhir-akhir ini. Meski tak pernah melewatkan jadwal makannya dan memaksa makanan masuk ke mulutnya. Setidaknya untuk memenuhi gizinya dan janin dalam kandungannya. Yang sepertinya lebih banyak dibantu oleh susu ibu hamil dan vitamin.Tubuhnya berputar, hendak keluar ketika tersentak dengan keras dan nyaris berteriak saking kagetnya dengan sosok yang bersandar di pinggiran pintu.“L-luciano?” Suara Anne tercekat. Berusaha meredakan jantungnya yang berdegup kencang. Matanya berkedip beberapa k
Anne tak tahu ke mana Luciano membawa baby Zha pergi. Ia hanya menunggu di rumah selama berhari-hari. Berharap pria itu akan datang untuk pulang. Tetapi hingga satu minggu berlalu, Anne masih sendirian. Tak berhenti merasa sendirian dan kesepian meski beberapa kali Ibra menghubunginya dan menanyakan keadaannya.Anne berusaha menghubungi Farz untuk mencari tahu di mana pria itu dan putranya. Tapi lagi-lagi jawaban Faraz tak pernah memuaskannya.“Aku tahu kau tahu di mana mereka berada, Faraz. Siapa pun tak ada yang tahu, kecuali kau.”Faraz mendesah pelan. Menurunkan kedua tangannya di meja. “Kalau begitu kuralat jawabanku. Aku tak bisa memberitahumu.”“Setidaknya minta Luciano bicara denganku. Apakah dengan pergi akan menyelesaikan masalah?”“Lalu apakah dengan meminta cerai juga akan menyelesaikan permasalahanmu?”Anne menutup mulutnya. Jatuh terduduk di kursinya. “Aku tak bermaksud mengatakannya,” sesalnya dalam gerutuan yang lirih. Wajahnya tertunduk lunglai.Faraz menatap Anne se
“Ibra?” Anne terkejut dengan kemunculan Ibra yang berjalan memasuki ruangan.“Hai.” Ibra melangkah masuk, lekas mendekati ranjang dan menyentuhkan telapak tangannya di kening baby Zha. “Panasnya sudah turun.”“Kau di sini?” Anne menatap jam di dinding yang baru saja melewati tengah malam.“Esther mengirimiku pesan. Luciano tiba-tiba membatalkan pertemuan untuk besok karena baby Zha masuk rumah sakit. Butuh beberapa jam untuk sampai, jadi aku datang.”“Kau tak perlu datang.”“Aku sudah datang, jadi jangan menyuruhku pulang.” Ibra kembali menatap baby Zha. “Apa kata dokter?”“Hanya demam. Tapi masih menunggu hasil tes untuk kepastiannya. Mungkin besok pagi. Kuharap semuanya baik-baik saja.”“Ya, mungkin hanya kelelahan karena seharian main bersama mama dan papaku.”“Ya, kuharap. Terima kasih sudah datang.”Ibra menarik kursi mendekat ke ranjang pasien. “Sepertinya kau belum tidur sama sekali.”“Tadi sempat tertidur, tetapi terbangun karena rengekannya dan langsung ke rumah sakit.”“Tidu
Melihat kedua orang tua Ibra, rasanya seperti meluapkan kerinduannya terhadap kedua orang tuanya. Anne memeluk dalam-dalam mama Ibra, berharap pelukan itu adalah pelukan mamanya sendiri. Begitu pun dengan papa Ibra yang mengusap ujung kepalanya dengan penuh kasih.“Sudah lama tak melihatmu, Anne. Dan putramu sudah semakin besar sejak terakhir kali om lihat.”Anne tertawa. Melihat papa Ibra yang menggendong baby Zha, dalam benaknya seolah adalah papanya sendiri yang menggendong putranya. Keinginan dan harapan terbesar papanya yang belum sempat ia tunjukkan pada sang papa.Ibra menyodorkan sapu tangannya ke arah Anne.“Terima kasih.” Anne mengusap ujung matanya yang basah. Kembali menatap kedua orang tua Ibra yang kini tertawa gemas dengan celotehan baby Zha.Ibra merangkul Anne, menjatuhkan kepala wanita itu ke pundaknya. Sedikit meredakan kerinduan Anne pada kedua orang tua wanita itu di tengah keluarganya. “Kau tahu kau tak pernah sendirian di dunia ini, Anne. Kami keluargamu.”Anne
Anne sengaja memejamkan matanya begitu mendengar suara langkah kaki dari arah belakang punggungnya. Berusaha memancing rasa kantuk yang sejak tadi sulit datang meski jam sudah melewati tengah malam karena Luciano belum pulang. Tak biasanya pria itu pulang larut dan tanpa kabar seperti ini.Marah, sedih, dan kecewa. Pada dirinya sendiri dan pada pria itu. Ialah yang memulai perang dingin ini lebih dulu. Tetapi kenapa balasan dari Luciano juga terasa begitu menusuk dadanya. Mengiris hatinya dengan cara yang paling buruk. Apakah keraguannya layak dibalas dengan pengkhianatan pria itu?Suara pintu kamar mandi yang ditutup membuat mata Anne kembali terbuka. Menatap pintu tersebut dengan genangan yang mulai membentuk di kedua mata.Selama seminggu lebih, Anne dan Luciano masih tak saling bicara. Anne selalu bangun kesiangan dan Luciano sudah berangkat ke kantor, malamnya Anne selalu tidur lebih dulu karena Luciano pulang larut malam. Keduanya nyaris tak saling berkomunikasi. Satu-satunya ya
“Mungkin ini terlambat dan sedikit sengaja. Tapi … bagaimana pun selamat untuk kalian berdua.” Luciano memecah keheningan yang cukup lama membentang di tengah meja. Terutama dengan sang istri yang lebih banyak menatap isi piring yang sejak tadi hanya berkurang dua potong.“Ya, kuharap kalian bisa datang di acara pernikahan kami.”“Ya. Kami akan datang. Benar, kan sayang?” Luciano menoleh pada Anne, yang duduk di sampingnya.Anne mengangkat wajah lalu mengangguk singkat. Pelayan datang untuk membawakan pesanan Ibra dan Esther. Pesanan yang sama. Pandangan wanita itu tak lepas dari Ibra yang memotong kecil-kecil daging panggang di depannya sebelum menukarkan dengan piring milik Esther.“Terima kasih, Ibra,” senyum Esther dengan tatapan yang mesra, yang ditanggapi Ibra dengan senyum yang tak kalah lebarnya.Anne mencoba mengalihkan pandangan, sibuk pada isi piringnya sendiri yang entah kenapa rasanya menjadi hambar. Mulutnya terasa pahit. Ya, ia akui ada kecemburuan yang tersemat di cela