“Tidak mungkin!!” tolak Anne mentah-mentah. Menggelengkan kepala dengan keras dan menegakkan punggung. Bagaimana mungkin, satu-satunya cara yang tersisa yang ia gunakan untuk membalas dominasi Luciano di hidupnya pun direnggut dengan cara licik seperti ini.
Luciano benar-benar tak memberinya udara untuk bernapas. Semua kekuasaan pria itu merenggut segala hal yang dimilikinya. Kepercayaan kedua orang tuanya, tubuhnya, dan seluruh hidupnya sudah berada di tangan Luciano.“Aku tak sudi mengandung anakmu, Luciano.”“Kau sudah.” Luciano mengedikkan bahunya dengan penuh ketenangan yang sangat terkendali. Seringainya menikmati setiap kepucatan yang menggaris di wajah Anne dengan penuh kepuasan. “Sebaiknya kau mulai mengerti bahwa hidupmu, saat ini hanyalah milikku, Anne sayang.”“Tidak. Aku tak ingin mengerti dan aku tak akan mengerti. Aku sungguh membencimu, Luciano. Kau hanyalah pria gila yang terobsesi pada wanita tak berdaya sepertiku. Menggunakan kekuasaanmu untuk menginjak-injak wanita lemah sepertikut. Kau benar-benar pengecut.”Ekspresi di wajah Luciano seketika membeku, bibirnya menipis tajam dan rahangnya mengeras. “Apa kau bilang?” desisnya tajam.“Kau tak lebih dari pria berengsek yang pengecut. Hanya mampu menggunakan kekuasaanmu sebagai seorang pria. Tidak, seorang pria tidak akan melakukan hal semenjijikkan ini pada wanita. Seorang pria tidak akan memperlakukan wanita seperti ini. Kau bukan seorang pria, Luciano.”Wajah Luciano merah padam, belum pernah ada seorang pun yang cukup bodoh menantangnya seperti ini. Apalagi mencoba menginjak-injak harga dirinya. “Tutup mulutmu, Anne,” geram Luciano.“Tidak. Aku tidak akan tutup mulut.” Anne semakin menjadi. Amarahnya pun tak kalah meluapnya dibandingkan Luciano. Dan ia tak peduli. Segala cara akan ia lakukan demi membuat Luciano menyesal telah menjebak dirinya sebagai seorang istri. Ia akan memberikan sakit kepala yang sangat untuk pria itu. Dan yang pasti ia akan membuat Luciano muak pada dirinya sehingga pria itu tak memiliki pilihan selain membuangnya. “Kau bukan seorang pria, kau tak lebih dari berengsek yang …”Anne berhenti menyelesaikan kalimatnya. Tangan Luciano melayang dan menjambak rambutnya ke belakang. Membuat wajahnya terdongak dan wajah pria itu yang dipenuhi kemurkaan membayang di atasnya. Bahkan dengan posisi seperti itu, Anne masih sempat melanjutkan kalimatnya. “…pengecut. Itulah dirimu.”Luciano menggeram, kedua matanya memerah saking bergeloranya kemarahan yang menyelimuti tatapan tajam pria itu. Menusuk tepat di kedua mata Anne. Tubuh Anne merinding oleh rasa takut, seluruh tulang di tubuhnya serasa meleleh sakit tajam dan mengerikannya tatapan pria itu. Akan tetapi ia tak peduli. Ia sudah kehilangan kewarasannya.Dan Luciano pun sudah kehilangan kewarasannya untuk menghadapi penghinaan yang dilontarkan Anne. Wanita ini bukan hanya sengaja mengusik harga dirinya, tetapi sengaja memancing sisi gelapnya. Cengkeramannya menguat dan bahkan wanita itu tidak mengaduh meski Luciano tahu Anne kesakitan. Wanita itu sengaja ingin keduanya hancur. Dan Luciano tak akan memberikannya. “Karena itu anakku, maka kau ingin menggugurkannya, bukan?”Dada Anne sudah dipenuhi kebencian dan amarah yang menutupi segela nalurinya.“Baiklah jika itu yang kau inginkan, Anne. Aku akan memberikannya.” Luciano menyentakkan jambakkannya, membuat tubuh Anne terbanting di punggung sofa. Selanjutnya, satu-satunya suara yang terdengar menyelimuti mobil hanyalah isak tangis Anne.Anne benar-benar nyaris gila mempertimbangkan antara kebencian dan nalurinya sebagai seorang ibu. Dan hingga mobil berhenti di halaman rumah sakit, Anne belum bisa memutuskannya. Lengan Anne setengah di seret oleh Luciano. Keduanya langsung masuk ke dalam lift khusus setelah salah satu anak buah Luciano mengatakan dokter sudah menunggu di lantai 8. Dan semakin dekat ke lantai yang mereka tuju, kaki Anne semakin bergetar hebat. Hingga ia tak peduli lagi jika Luciano berdecak mencemooh ketakutannya tersebut.Sungguh, ia menbenci Luciano dengan darah yang mengaliri darahnya. Kebencian itu meresap hingga ke tulang sumsumnya. Dan ia tak sudi mengandung anak pria itu. Tetapi ketika Luciano mengabulkan kebenciannya tersebut, keterkejutan yang besar seketika meremas dadanya. Dan saat ia membayangkan hal tersebut, jantungnya benar-benar serasa dibetot. Seluruh tubuhnya serasa melayang, seolah setengah jiwanya direnggut.Lift berdenting, tubuh Anne hanya membeku ketika Luciano sudah berjalan keluar. “Cepat, Anne.”Anne mengerjap, menatap wajah keras Luciano dengan air mata yang menggenangi kedua matanya. Bahkan dengan pandangannya yang terhalang air mata, ia bisa merasakan keseriusan Luciano yang ingin melenyapkan anak dalam kandungannya. Melenyapkan darah daging pria itu dengan tanpa hati.Luciano mundur satu langkah dan menyambar tangan Anne, menyeret wanita itu keluar dari dalam lift hanya dalam satu gerakan yang ringan.“Lepaskan, Luciano,” jerit Anne meronta. Mencoba mempertahankan kakinya tetap di tempat dengan sia-sia. Kekuatan Luciano jelas lebih besar dari tubuhnya yang lemah. Ia sudah terlalu banyak menangis, meratapi nasibnya yang memilukan dan ketidak berdayaannya benar-benar melumpuhkan seluruh tubuhnya. Semua itu berjumbal jadi satu memenuhi dada dan kepalanya.Anne tak bisa menahan semua perasaan itu lebih lama lagi. Hingga kesadaran benar-benar direnggut paksa darinya. Tubuh Anne jatuh lunglai dan Luciano menangkapnya. Jantung Luciano benar-benar nyaris melompat saking kagetnya, dan jika ia terlambat setengah detik saja menangkap tubuh Anne, ia yakin kepala Anne akan jatuh membentur lantai.“Anne?” Luciano menggoyangkan tubuh Anne dan tangannya menepuk-nepuk lembut pipi Anne yang matanya terpejam dan bibirnya memucat.***Rasa pusing yang teramat sangat menusuk kepala Anne ketika kesadaran perlahan kembali membangukannya. Kelopak matanya bergerak dengan perlahan sebelum kemudian pandangan perlahan menjadi jelas dan semakin jernih.Anne menyadari ia terbangun dan berbaring di ruangan yang serba putih. Dengan bau antiseptic yang begitu pekat. Kepalanya bergerak ke kanan dan kiri, hanya ada kesunyian. Benaknya mengingat apa yang membuatnya berbaring di tempat ini. Pertengkarannya dengan Luciano dan tujuan mereka datang ke rumah sakit untuk …Tangan Anne bergerak ke perut, apakah Luciano sudah melenyapkan anaknya?Pintu bergerak terbuka dan Luciano melangkah masuk. Pandangan pria itu langsung menangkap Anne yang menoleh ke arahnya. “Kau sudah bangun?”Wajah terluka Anne seketika berubah dingin. Tangan wanita itu bergerak turun dari perut dan membuang wajahnya. Kebencian kembali menyeruak memenuhi dadanya.Luciano berdiri di samping ranjang, senyum tipis tersemat di antara bibirnya. Tangannya terulur, ujung jemarinya menyentuh pundak Anne. Kemudian bergerak menurun dengan elusan yang lembut dengan punggung jemari tersebut.Anne menyentakkan tangannya dan berbaring miring, memunggungi Luciano. Ia siap bertengkar kembali, tetapi kepalanya masih pusing dan tubuhnya masih lemah. Rasanya ingin menangis, tetapi tangisannya pun tak bisa memberinya kepuasan. Anne hanya memilih menahan kebencian dan kemarahannya terpendam dalam-dalam. Satu-satunya hal yang tersisa hanyalah bersabar, pun dengan kesabarannya yang tak pernah tersisa setiap berhadapan dengan Luciano.“Karena keadaanmu cukup lemah dan belum bisa melakukan perjalanan jauh, jadi kau akan mulai tinggal di rumahku setelah pulang dari rumah sakit.”Anne tetap bergeming, merasakan Luciano yang duduk di belakang punggungnya dan ia tak bisa menghindari sentuhan pria itu yang menyingkirkan helaian rambut dari sisi wajahnya dan menyelipkan ke belakang telinga. Kemudian mengelus rambutnya yang terurai, memain-mainkannya dengan gerakan yang lembut. Seolah sikap lembut tersebut sebagai bentuk rayuan ataupun permintaan maaf atas sikap kasar yang dilakukan pria itu di dalam mobil.Ya, Luciano memang bisa memperlakukannya sangat lembut dan di saat berikutnya mampu berbuat keji dalam sekejap mata.“Aku memiliki pekerjaan yang tak bisa kutinggalkan di Italia.”Kali ini kening Anne bereaksi. Menghubungkan kedua kbar tersebut dan mulai berpikir dengan seksama. Ia tidak bisa melakukan perjalanan jauh dan Luciano memiliki pekerjaan yang tak bisa ditinggalkan. Jadi …Luciano yang menyadari reaksi Anne pun mendengus tipis. “Kuharap kau tidak merindukanku, Anne sayang.”Untuk pertama kalinya, Anne patuh dengan sukarelan dan dengan hati yang sepenuhnya ikhlas.Luciano membungkuk dan mendaratkan kecupan di pelipis Anne. Anne tak menolak, karena terlalu gembira akan perpisahan tersebut.Setelah Anne merasa badannya kembali bersemangat dalam setengah jam, dokter datang dan memeriksa keadaan Anne meski wanita itu menolak pemeriksaan selanjutnya. Tidak, ia belum siap dengan kehamilan ini setelah mengetahui anak dalam kandungannya adalah milik Luciano dan pria itu mengalah.Luciano sering datang ke rumahnya, menjemput dan mengantarnya ke pesta dan menggandengnya ke tempat umum di mana pun pria itu inginkan. Akan tetapi, tidak sekali pun Anne tahu dan ingin tahu di mana rumah Luciano.Rumah Luciano berada di kawasan elit pusat kota, dengan gerbang tinggi berwarna hitam. Rumah bertingkat empat, dengan pilar di sisi kanan dan kiri. Menoleh ke kanan halaman rumah, Anne langsung menemukan jajaran mobil mewah koleksi Luciano yang sebagian kecil pernah Anne liat. Selebihnya Anne tak bisa melihat lebih karena halaman depan pria itu terlalu luas. Dengan penjagaan ketat dan di mana-mana Anne bisa melihat pria bertubuh besar yang brseragam serba hitam. Berdiri dengan sikap siaga. Anne belum pernah melihah penjaga sebanyak ini di rumah mana pun.Saat mobil berhenti di depan teras, pintu langsung dibukakan oleh pelayan dan Luciano turun lebih dulu kemudian mengulurkan tangan pada Anne. Anne jelas menolak dan turun dengan kedua tangan dan kedua kakinya sendiri.“Selamat datang Tuan dan Nyonya Enzio,” sapa salah satu pelayan yang paling tua, diikuti pelayan yang lain membungkuk dan memberi hormat pada keduanya. “Semua barang Nyonya sudah kami letakkan di kamar Anda, Tuan,” lapor salah satu pelayan.Luciano mengangguk singkat. “Mulai hari ini kau akan tinggal di rumah ini. Kuharap kau merasa nyaman.”“Di mana pun pasti lebih baik daripada di sini,” sinis Anne dalam gumaman yang lirih tanpa menoleh ke arah Luciano.“Ya, maka pilihan yang kumiliki hanya membuat semua tempat yang kau inginkan lebih buruk daripada di sini.”Anne tak sungguh-sungguh memahami kalimat Luciano. Yang ia tahu itu hanyalah sebuah ancaman bahwa Luciano akan menghancurkan apa pun yang diinginkan.Luciano melangkah sambil menangkap pinggang Anne dengan cekalan yang kuat, membawa wanita itu masuk ke dalam. “Hanya rumah ini satu-satunya pilihanmu. Maka buat dirimu nyaman dengan caramu sendiri,” bisiknya di telinga Anne.Tentu saja Anne akan melakukan hal itu, batinnya. Pandangannya langsung menemukan ruang tamu yang luas dengan tiga set sofa kulit. Di tengah ruangan, ia langsung di hadapkan pada tangga spiral di sisi kanan dan kiri, lengkap dengan pasangan penjaga di masing-masing kaki tangga dan di tengah-tengah tangga terdapat lampu hias yang besar. Semua tentang Luciano hanyalah tentang kemewahan. Bahkan dirinya yang terbiasa hidup berkecukupan dan bergaul dengan lingkungan kelas atas pun masih tak munafik untuk mengakui segala kemewahan yang dibangun dalam rumah ini.“Kau bisa menggunakan lift atau tangga. Kamar kita ada di lantai dua. Satu-satunya area pribadi yang tidak ada penjaganya. Nanti akan ada orang yang membantumu menggunakan lift karena hanya bisa diakses menggunakan sidik jari. Yang hanya dimiliki olehku dan ketua pengawalku.”Anne mendengarkan lebih banyak ketika Luciano menjelaskan banyak haltentang letak kolam renang, taman, halaman belakang, ruang olahraga atau apa pun. Satu-satunya hal yang ia rasakan hanyalah keengganan. Mereka sampai di lantai dua dan ia tahu kenapa lantai dua menjadi area pribadi. Lantai dua adalah satu ruangan yang luas. Seluruhnya menjadi area ruang tidur yang disekat hanya dengan kaca atau lemari hias. Tempat tidur berada di samping kiri mereka dengan pintu kaca yang langsung mengarah ke kolam renang panjang dan beratap langit. Kamar mandi di sisi lain, ruang ganti yang duakali leih luas dari luas kamarnya sendiri bedada di samping kanannya, dan deretan kopernya sudah berjajar di tengah-tengah ruangan. Yang semakin meyakinkan dirinya bahwa sekarang ia adalah seorang Nyonya Enzio.“Istirahatlah, aku harus ke ruanganku sebentar untuk mengecek sesuatu.” Luciano memutar tubuh Anne menghadapnya. Merangkum wajah wanita itu dan mendaratkan kecupan di bibir Anne. Sebelum kemudian berjalan ke arah pintu lift yang ada di sebelah kiri dari tempat mereka berdiri.Anne bergegas mengusap bibirnya begitu pintu lift tertutup dan melenyapkan sosok Luciano dari pandangannya. Setelah merasa cukup menghapus jejak bibir Luciano di bibirnya, Anne berjalan ke area kamar mandi. Satu-satunya hal yang diinginkannya hanyalah membersihkan diri.Dan baru saja Anne menanggalkan pakaiannya, ketika ia mendengar suara tembakan dari arah luar. Anne terlonjak pelan. Menajamkan telinganya dan meyakinkan dirinya bahwa apa yang baru saja didengarnya adalah suara tembakan. Lalu dugaannya semakin teryakinkan dengan suara tembakan yang menyusul tak lama kemudian.Doorrrr …Wajah Anne memucat. Menatap ke arah luar.Anne kembali mengenakan pakaiannya dengan terburu, berjalan ke arah tangga yang mengarah ke lantai tiga. Jelas suara tembakan itu berasal dari sana. "Maaf, Nyonya. Anda tidak boleh berada di sini," hadang penjaga yang berjaga di lantai tiga tepat di samping kanan dan kiri tangga. "Aku mendengar suara tembakan. Apa yang terjadi? Di mana Luciano?" "Tuan sedang mengurusnya. Anda tidak boleh berada di sini." Anne merasa begitu kesal. "Aku ingin tahu, apa yang sebenarnya terjadi di sini?" ucapnta lagi dengan keras kepala. "Ya, Nyonya. Sebaiknya Anda segera turun. Saya akan memberitahukan keberadaan Anda dan tuan akan menemui Anda." "Aku tidak butuh tuanmu. Aku hanya butuh tahu apa yang terjadi." "Maafkan kami, Nyonya. Anda…" "Ada apa ini?" Luciano muncul di belakang penjaga yang menghadang langkah Anne. Anne melihat Luciano yang tengah menyelipkan sebuah pistol ke dalam saku jas pria itu. Hanya sepersekian detik, tetapi Anne yakin apa yang dilihatnya. Wajah Anne membeku, dugaan y
Calon istri cadangan? Anne mengulang dalam hati. Sekali lagi menatap penampilan Reene, yang bisa dibilang sangat sempurna. Seperti Luciano. Rasanya mereka memang lebih cocok bersama. "Sebelumnya, kuharap kau memahami posisimu. Seseorang seperti Luciano, yang memegang kerajaan bisnis sangat besar di negeri inu. Tentu saja memerlukan pewaris. Yang bisa dipercaya. Yang berasal dari keluarga terdekat. Kami tak mungkin membiarkan pewaris berasal dari orang asing sepertimu." "Kau hanyalah salah satu obsesinya. Dan seorang Luciano selalu mendapatkan apa pun yang diinginkan. Tapi aku adalah sebuah kebutuhan. Kita memiliki peran masing-masing di hidup Luciano. Jadi…" Anehnya, Anne sama sekali tak merasa tersinggung. Jika ada Reene, bukankah itu artinya ia memiliki kesempatan akan dibuang oleh Luciano. Dan ia bisa terbebas. Senyum tersamar di ujung bibirnya setelah cukup menelaah penjelasan Reene yang sangat menguntungkan dirinya. "Kuharap kita bisa berhubungan baik," lanjut Reene. "Sejuju
Tubuh Anne kembali terduduk dengan lemas ketika dokter menjelaskan tentang bagaimana keadaan Ibra. Yang cukup parah. Mengalami patah di kaki kanan, benturan di kepala dan mendapatkan beberapa jahitan, juga luka lainnya yang tergolong ringan. Operasi berjalan selama tiga jam dan Ibra sekarang berada dalam ruang pemulihan. Sebelum kemudian akan dibawa ke ruang perawatan jika keadaannya mulai membaik. Wajahnya masih lembab, oleh air mata yang rasanya tak berhenti mengalir. Luciano benar-benar keterlaluan. Semudah itu Luciano bermain-main dengan nyawa seseorang. Dan betapa tololnya Anne masih mencoba bermain-main dengan pria itu. Ia benar-benar sudah putus asa. Dan hajar habis-habisan untuk menyerah pada Luciano. Dengan cara yang paling keji dan pengecut. "Anne?" Suara lembut memanggil dari arah samping Anne. "Apa yang kau lakukan di sini?" "Eshan?" Bibir Anne bergetar hebat. Menemukan pria tinggi dengan jas putih dan stetoskop yang masih mengalung di leher. Pria itu terheran, menatap
"Apa kau sudah tahu, Luciano?" sembur Reene begitu panggilannya tersambung. Ia tak berhenti mondar-mandir di tengah ruang tidur yang luas. Berada di salah satu ruangan di lantai satu. Kamar tidur pribadinya setiap kali bermalam di rumah ini. "Ada apa, Reene? Kau mengganggu waktuku untuk pertanyaan sialan itu?" "Anne hamil. Apa kau sudah tahu?" Luciano mendesah rendah. "Kau sudah tahu." "Apa maksudnya ini, Luciano?" Luciano terkekeh pelan. "Pertanyaan macam apa itu, Reene. Istriku hamil, tentu saja aku tahu." "Kalian baru menikah dua hari dan dia sudah hamil dua bulan. Bagaimana mungkin?" Luciano kemudian hanya menghela napasnya panjang. Terdengar jengah akan rentetan pertanyaan Reene yang membosankan. "Well, itu urusanku dan Anne, Reene. Kau tak suka tentang kabar ini?" "Lalu bagaimana denganku?" "Kau? Kenapa denganmu?" "Bagaimana dengan rencana pernikahan kita?" "Ah, itu. Kita akan membahasnya setelah aku pulang. Aku memiliki pekerjaan yang lebih serius." "Apa kau berpiki
Anak dalam kandungannya tak terselamatkan, dan bahkan Anne hampir kehilangan nyawa karena pendarahan yang hebat. Jika tidak segera dibawa ke rumah sakit, nyawa wanita itu pasti sudah melayang. Beruntung ada pelayan yang datang dan menemukan wanita itu dalam keadaan sekarat. Anne pingsan selama beberapa jam, dan saat terbangun hari sudah sore. Kepalanya masih pusing dan rasa tak nyaman bersarang di perutnya. Tidak ada siapa pun di ruang perawatannya. Tetapi ia yakin ada dua pengawal Luciano yang berjaga di samping kanan dan kiri pintu. Telapak tangan Anne yang dipasang jarum infus bergerak menyentuh perutnya. Ia tak sudi mengandung anak Luciano, tetapi rasa kehilangan yang teramat sangat tetap saja tak bisa ia tahan. Seakan jantungnya dibetot dan ditarik keluar. Air mata menggenang di ujung kelopak matanya ketika suara langkah kaki yang kuat dan tergesa semakin mendekat. Anne baru saja memikirkan Luciano, dan dalam sekejap pintu dibanting terbuka lalu wajah murka pria itu muncul dan
Anne sudah mengembalikan ketenangannya dari ketakutan dan emosinya yang campur aduk karena kegugurannya. Ia mencoba menekan rasa pusing yang masih tersisa saat bangun terduduk. Mengambil gelas air putih di nalas dan meneguknya hingga setengah. Pintu ruangannya bergeser terbuka ketika ia meletakkan gelas di nakas, dan melihat Reene melangkah masuk. Senyum wanita itu tak bisa disembunyikan di raut wajahnya. Atau memang wanita itu tak bersusah payah menutupi kebahagiaan atas kehilangannya. "Aku tahu kau yang melakukannya," desis Anne tajam begitu Reene berhenti tepat di samping ranjang pasiennya. Senyum Reene mengembang, kedua tangan bersilang dada dengan sikap angkuh yang begitu kental. "Aku hanya memberimu apa yang kau inginkan. Tidak sulit untuk mengucapkan terima kasih, Anne. Hanya perlu mengatakannya saja," ucapnya dengan ringan dan penuh ketenangan. Ya, memang ialah yang mengganti vitamin kehamilan Anne dengan obat penggugur kandungan. Kandungan Anne masih sangat muda dan renta
Dalam satu jam, mobil yang ditumpangi Anne berhenti di depan teras rumah Luciano. Pengawal yang duduk di depan bergegas turun lebih dulu untuk membukakan pintu wanita itu. "Tuan menunggu Anda di lantai dua," ucap pengawal itu dengan nadanya yang datar. Napas Anne tertahan, menatap pintu utama yang terbuka lebar dan ia bisa melihat kedua kaki tanga. Ia menelan ludahnya. Menelan ketakutannya sebelum mendesah singkat dan mulai mengangkat kakinya. Kedua kakinya terayun menyeberangi ruang tamu yang luas dan langkahnya kembali terhenti ketika sampai di depan anak tangga. Berusaha menetralisir ketakutan di dadanya ketika mengingat ancaman Luciano dan peringatan Reene. "Apa Anda baik-baik saja, Nyonya," ucap salah satu penjaga di samping tangga. Membuyarkan lamunan Anne Anne tersentak pelan. Menggeleng dengan cepat dan mulai menggerakkan kedua kakinya menaiki anak tangga. Dengan jantung yang berdebar-debar. Di sisi lain, Reene menyaksikan kegugupan Anne dengan senyum yang mengembang sang
Anne muntah di wastafel, dengan air mata yang mengalir di pipi. Mencuci mukanya dengan air dingin, berkali-kali dan berharap itu bisa membersihkannya dari rasa kotor yang memenuhi wajahnya. Tetapi tetap saja semua itu tak membuat rasa jijik di dada terhadap dirinya sendiri berhenti. Kepalanya menoleh keluar pintu kamar mandi. Melihat Luciano bangkit berdiri sambil menaikkan celana pria itu dengan seringai gelap yang tersungging untuknya. Sekaligus kepuasan yang begitu besar. Kemudian berbalik dan berjalan ke arah tangga. Tubuh Anne jatuh terduduk di lantai. Ia benar-benar tak tahan menghadapi situasinya. Seolah dihajar habis-habisan untuk menyerah dan pasrah di bawah kaki pria itu. Dan ia hampir menyerah. Tetapi kebenciannya terhadap Luciano mendorongnya untuk tetap bertahan. Anne menghapus air matanya. Menarik napasnya dalam-dalamnya dan menguatkan hati. Tidak ada siapa pun yang akan menolongnya jika bukan dirinya sendiri. Baiklah, Luciano bisa melakukan apa pun pada dirinya. Pria
"Jadi memang ya?" Anne mendorong dada Luciano menjauh. Kedongkolan tampak jelas memekati rautnya yang muram. Menyentakkan tangan Luciano yang masih melingkari pinggangnya."Aku tidak mengatakan tidak. Itu terdengar seperti sebuah kebohongan, Anne. Kau tak akan menyukainya.""Tidak. Kau salah besar, Luciano.""Lalu apa yang kau inginkan?" Suaranya mulai diselimuti kefrustrasian. "Aku lebih baik mendengar kebohongan. Aku akan mempercayaimu. Selama kau yang mengatakannya."Luciano membelalak. Mulutnya membuka nutup tak percaya. Belum pernah ia setercengang ini menghadapi kelabilan Anne. "Jadi kau lebih suka kebohonganku?""Sekarang, tidak keduanya. Kau memang tak pernah memahami wanita, Luciano. Tak pernah memahamiku sebagai seorang istri. Sebagai pasangan. Sebagai satu-satunya wanitamu. Kau yakin kau menganggapku sebagai istrimu? Bukan hanya sebagai wanita pemuas nafsumu seperti mereka?""Kau tahu itu tidak benar, Anne. Jangan mengada-ada sesuatu yang tak pernah benar."Anne mengibaska
Suasana pesta sudah ramai dan ballroom sudah dipenuhi kemeriahan serta canda tawa. Suara musik yang mengalun lembut sebagai latar belakang kemewahan pesta tersebut menyambut Anne dan Luciano yang bergandengan mesra memasuki ruangan yang luas dengan hiasan bunga dan kerlap-kerlip lampu di mana-mana.“Apakah Faraz dan Estelle akan datang?”“Mereka sudah putus, Anne. Kenapa mereka datang bersama?”“Siapa bilang mereka sudah putus. Tadi pagi aku menelpon Estelle dan yang menjawab Faraz. Mereka jelas masih sering tidur bersama. Faraz benar-benar memanfaatkan Estelle. Kenapa meniduri wanita jika tidak berniat menikahinya.”“Hmm, itu urusan mereka.”Anne mendadak terdiam dengan reaksi penuh ketenangan Luciano. Kedua alis wanita itu saling bertaut ketika menoleh ke samping dengan. “Apakah gaya berkencan kalian memang seperti itu?”“Siapa kalian?”“Kau dan Faraz.”“Hanya Faraz, Anne. Kenapa kau membawa-bawa namaku?”“Meski sekarang aku satu-satunya wanita yang tidur denganmu, kau pikir aku per
“Laki-laki lagi?” Luciano mengangkat salah satu alisnya. Suara rengekan baby Zha mulai tenang dalam gendongan Anne.“Ya. Kau tak suka?”Luciano menggeleng. “Laki-laki atau perempuan, aku tak pernah mempermasalahkannya, Anne. dia anakku.”“Mamaku bilang, saat kau melahirkan anak perempuan. Itu artinya kau menciptakan musuh bebuyutanmu.”Mata Luciano membulat tak percaya, lalu terbahak dengan keras hingga gigi geraham pria itu terlihat.“Kenapa kau tertawa? Kau pikir itu lucu?”Luciano menggeleng. Mencoba menghentikan tawanya karena baby Zha yang mulai bergerak tak nyaman. “Apa maksudmu dengan menciptakan musuh bebuyutan?” tanyanya, berusaha menahan tawanya kembali terlepas.“Dia bahkan bisa menjadi lebih licik dari wanita-wanita yang mencoba memisahkan kita, Luciano.”“Dia putrimu.”“Itulah sebabnya aku ingin seorang putra. Aku tak mau memusuhi putriku sendiri.”“Apakah kau memusuhi ibumu?”Anne terdiam, tampak mengingat-ingat lalu mengangguk. “Setiap kali mama dan papa saling berdekat
Anne terbangun karena dorongan dari dalam perut yang membuatnya gegas turun dari ranjang. Memuntahkan semua makan malamnya yang bahkan tak seberapa. Semakin hari gejala kehamilan datang semakin intens. Bahkan pusing yang semakin sering datang jika ia kurang tidur atau terlalu banyak tidur.Setelah beberapa saat, akhirnya napasnya kembali normal dan tenaganya memulih. Ia bangkit berdiri, menyeka wajahnya di wastafel. Menatap wajah pucatnya yang rasanya sedikit gemuk.Rasanya selera makannya menurun akhir-akhir ini. Meski tak pernah melewatkan jadwal makannya dan memaksa makanan masuk ke mulutnya. Setidaknya untuk memenuhi gizinya dan janin dalam kandungannya. Yang sepertinya lebih banyak dibantu oleh susu ibu hamil dan vitamin.Tubuhnya berputar, hendak keluar ketika tersentak dengan keras dan nyaris berteriak saking kagetnya dengan sosok yang bersandar di pinggiran pintu.“L-luciano?” Suara Anne tercekat. Berusaha meredakan jantungnya yang berdegup kencang. Matanya berkedip beberapa k
Anne tak tahu ke mana Luciano membawa baby Zha pergi. Ia hanya menunggu di rumah selama berhari-hari. Berharap pria itu akan datang untuk pulang. Tetapi hingga satu minggu berlalu, Anne masih sendirian. Tak berhenti merasa sendirian dan kesepian meski beberapa kali Ibra menghubunginya dan menanyakan keadaannya.Anne berusaha menghubungi Farz untuk mencari tahu di mana pria itu dan putranya. Tapi lagi-lagi jawaban Faraz tak pernah memuaskannya.“Aku tahu kau tahu di mana mereka berada, Faraz. Siapa pun tak ada yang tahu, kecuali kau.”Faraz mendesah pelan. Menurunkan kedua tangannya di meja. “Kalau begitu kuralat jawabanku. Aku tak bisa memberitahumu.”“Setidaknya minta Luciano bicara denganku. Apakah dengan pergi akan menyelesaikan masalah?”“Lalu apakah dengan meminta cerai juga akan menyelesaikan permasalahanmu?”Anne menutup mulutnya. Jatuh terduduk di kursinya. “Aku tak bermaksud mengatakannya,” sesalnya dalam gerutuan yang lirih. Wajahnya tertunduk lunglai.Faraz menatap Anne se
“Ibra?” Anne terkejut dengan kemunculan Ibra yang berjalan memasuki ruangan.“Hai.” Ibra melangkah masuk, lekas mendekati ranjang dan menyentuhkan telapak tangannya di kening baby Zha. “Panasnya sudah turun.”“Kau di sini?” Anne menatap jam di dinding yang baru saja melewati tengah malam.“Esther mengirimiku pesan. Luciano tiba-tiba membatalkan pertemuan untuk besok karena baby Zha masuk rumah sakit. Butuh beberapa jam untuk sampai, jadi aku datang.”“Kau tak perlu datang.”“Aku sudah datang, jadi jangan menyuruhku pulang.” Ibra kembali menatap baby Zha. “Apa kata dokter?”“Hanya demam. Tapi masih menunggu hasil tes untuk kepastiannya. Mungkin besok pagi. Kuharap semuanya baik-baik saja.”“Ya, mungkin hanya kelelahan karena seharian main bersama mama dan papaku.”“Ya, kuharap. Terima kasih sudah datang.”Ibra menarik kursi mendekat ke ranjang pasien. “Sepertinya kau belum tidur sama sekali.”“Tadi sempat tertidur, tetapi terbangun karena rengekannya dan langsung ke rumah sakit.”“Tidu
Melihat kedua orang tua Ibra, rasanya seperti meluapkan kerinduannya terhadap kedua orang tuanya. Anne memeluk dalam-dalam mama Ibra, berharap pelukan itu adalah pelukan mamanya sendiri. Begitu pun dengan papa Ibra yang mengusap ujung kepalanya dengan penuh kasih.“Sudah lama tak melihatmu, Anne. Dan putramu sudah semakin besar sejak terakhir kali om lihat.”Anne tertawa. Melihat papa Ibra yang menggendong baby Zha, dalam benaknya seolah adalah papanya sendiri yang menggendong putranya. Keinginan dan harapan terbesar papanya yang belum sempat ia tunjukkan pada sang papa.Ibra menyodorkan sapu tangannya ke arah Anne.“Terima kasih.” Anne mengusap ujung matanya yang basah. Kembali menatap kedua orang tua Ibra yang kini tertawa gemas dengan celotehan baby Zha.Ibra merangkul Anne, menjatuhkan kepala wanita itu ke pundaknya. Sedikit meredakan kerinduan Anne pada kedua orang tua wanita itu di tengah keluarganya. “Kau tahu kau tak pernah sendirian di dunia ini, Anne. Kami keluargamu.”Anne
Anne sengaja memejamkan matanya begitu mendengar suara langkah kaki dari arah belakang punggungnya. Berusaha memancing rasa kantuk yang sejak tadi sulit datang meski jam sudah melewati tengah malam karena Luciano belum pulang. Tak biasanya pria itu pulang larut dan tanpa kabar seperti ini.Marah, sedih, dan kecewa. Pada dirinya sendiri dan pada pria itu. Ialah yang memulai perang dingin ini lebih dulu. Tetapi kenapa balasan dari Luciano juga terasa begitu menusuk dadanya. Mengiris hatinya dengan cara yang paling buruk. Apakah keraguannya layak dibalas dengan pengkhianatan pria itu?Suara pintu kamar mandi yang ditutup membuat mata Anne kembali terbuka. Menatap pintu tersebut dengan genangan yang mulai membentuk di kedua mata.Selama seminggu lebih, Anne dan Luciano masih tak saling bicara. Anne selalu bangun kesiangan dan Luciano sudah berangkat ke kantor, malamnya Anne selalu tidur lebih dulu karena Luciano pulang larut malam. Keduanya nyaris tak saling berkomunikasi. Satu-satunya ya
“Mungkin ini terlambat dan sedikit sengaja. Tapi … bagaimana pun selamat untuk kalian berdua.” Luciano memecah keheningan yang cukup lama membentang di tengah meja. Terutama dengan sang istri yang lebih banyak menatap isi piring yang sejak tadi hanya berkurang dua potong.“Ya, kuharap kalian bisa datang di acara pernikahan kami.”“Ya. Kami akan datang. Benar, kan sayang?” Luciano menoleh pada Anne, yang duduk di sampingnya.Anne mengangkat wajah lalu mengangguk singkat. Pelayan datang untuk membawakan pesanan Ibra dan Esther. Pesanan yang sama. Pandangan wanita itu tak lepas dari Ibra yang memotong kecil-kecil daging panggang di depannya sebelum menukarkan dengan piring milik Esther.“Terima kasih, Ibra,” senyum Esther dengan tatapan yang mesra, yang ditanggapi Ibra dengan senyum yang tak kalah lebarnya.Anne mencoba mengalihkan pandangan, sibuk pada isi piringnya sendiri yang entah kenapa rasanya menjadi hambar. Mulutnya terasa pahit. Ya, ia akui ada kecemburuan yang tersemat di cela