Malam semakin larut, dan kamar Elvis dipenuhi keheningan yang mencekam. Namun, di balik tidurnya, tubuhnya tampak gelisah. Keringat dingin membasahi pelipisnya, napasnya tersengal, dan bibirnya bergerak seolah menggumamkan sesuatu."Maaf…" suaranya lirih, hampir seperti bisikan tertahan.Dalam mimpi itu, bayangan samar mulai terbentuk. Elvis berdiri di tengah ruangan yang remang-remang dengan pistol di tangannya. Asap tipis mengepul dari ujung laras, menandakan bahwa senjata itu baru saja digunakan. Di depannya, seorang wanita terjatuh dengan darah mengalir dari dadanya. Tatapan matanya yang membelalak dipenuhi keterkejutan dan ketakutan, seolah tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi.Suara tembakan yang memekakkan telinga masih bergema di kepalanya. Suasana di sekitarnya begitu tegang dan penuh ketakutan. Di sisi lain suara tangisan lirih terdengar. Elvis menoleh dan melihat seorang anak kecil, mungkin berusia tiga tahun, duduk di lantai dengan tu
Beberapa saat setelah peresmian sebagai pasangan suami istri dilakukan, Daniel, Charlotte, dan Elvis keluar dari kantor tersebut. Langit cerah, namun hati Charlotte masih dipenuhi berbagai perasaan yang bercampur aduk. Pernikahan ini terjadi begitu cepat, dan meskipun ia tahu itu tak bisa dihindari, ia masih merasa belum sepenuhnya siap.Elvis menatap putrinya dengan penuh kasih sayang dan sedikit khawatir. Ia tahu betul sifat Charlotte yang keras kepala, dan ia tidak ingin putrinya mengalami kesulitan dalam rumah tangganya nanti. Dengan nada tegas namun penuh perhatian, ia berkata,"Lolipop, setelah menikah kamu harus bersikap dewasa. Jangan selalu melawan suamimu dan mertuamu!"Charlotte menoleh pada ayahnya, alisnya sedikit berkerut. Ia paham maksud sang ayah, tetapi bukan berarti ia akan tunduk begitu saja jika dirinya diperlakukan tidak adil. Dengan nada yakin, ia menjawab,"Pa, tergantung. Kalau mereka menindasku, tidak mungkin aku diam saja."
Charlotte yang memegang setumpuk pakaian langsung melemparkan baju-baju itu ke arah Sannia dan Lucia tanpa ragu. Pakaian-pakaian itu beterbangan di udara sebelum jatuh berserakan di lantai, membuat kedua wanita itu terkejut. Sannia dan Lucia spontan memundurkan langkah, nyaris kehilangan keseimbangan."Cuci sendiri!" seru Charlotte dengan nada penuh ketegasan. "Aku menikah untuk menjadi istri Daniel, bukan menjadi pembantu kalian. Kalau mau cuci, kalian yang lakukan sendiri. Jangan manja!" Tatapannya tajam, penuh amarah yang selama ini ia pendam.Sannia mengepalkan tangan, wajahnya memerah karena marah. "Kau... berani sekali melawan kami!" bentaknya, matanya berkilat dengan kebencian."Tidak berpendidikan," ejek Lucia dengan menghina.Charlotte tak gentar. Ia memandang keduanya dengan sorot mata tajam dan penuh perlawanan. "Kalian adalah orang kaya, tapi sifat kalian seperti tidak pernah sekolah saja," ucapnya dingin, sebelum melangkah masuk ke kama
Kristy melepaskan ciumannya dan menatap Daniel dengan tatapan penuh tekad. Mata tajamnya memancarkan keinginan yang begitu kuat, seolah tidak ada yang bisa menggoyahkan keputusannya."Bos, sebelum aku menemuinya, aku ingin menyerahkan harta paling berharga untukmu!" ucap Kristy dengan suara lembut, namun penuh ketegasan.Daniel menghela napas pelan. Tatapannya melembut saat tangannya terangkat untuk menyentuh wajah Kristy. Jari-jarinya mengusap lembut pipi wanita itu, seakan ingin menenangkannya."Jangan pernah melakukan itu!" ucapnya tegas. Nada suaranya rendah, tetapi penuh perintah.Kristy menatapnya tanpa gentar. "Kalau begitu, temani aku minum. Setelah aku mabuk, aku bisa melakukannya dengan baik. Dengan cara ini, sasaran kita baru akan percaya."Beberapa Saat KemudianDi dalam kamar Kristy yang remang-remang, suara gelas yang beradu pelan terdengar di antara keheningan. Kristy meneguk minumannya dengan cepat, seakan ingin segera menghilangkan kesadarannya. Wajahnya sudah mulai m
Charlotte melangkah keluar dari studionya, udara malam yang dingin menyapa kulitnya yang masih hangat setelah lama berada di dalam ruangan. Ia merapatkan jaketnya sebelum menuju ke mobil yang terparkir di tepi jalan. Mobil itu bukan pilihannya sendiri, melainkan hadiah dari suaminya—suami yang bahkan sulit ia pahami.Dengan mata yang masih mengantuk, Charlotte membuka pintu mobil dan duduk di kursi pengemudi. Ia menghela napas panjang, berusaha mengusir kantuk yang masih menyelimuti tubuhnya."Sudah tidur begitu lama, tapi masih mengantuk," gumamnya pelan, sambil menghidupkan mesin mobil.Jalanan malam begitu lengang, lampu-lampu kota berpendar samar, menemani perjalanan pulangnya. Namun, pikirannya tak sepenuhnya berada di sana. Ada sesuatu yang mengganjal dalam benaknya—sesuatu yang bahkan tak ingin ia akui pada dirinya sendiri.Di Tempat Lain…Di dalam mobilnya, Daniel melaju dengan kecepatan sedang, satu tangannya memegang ke
Di sebuah apartemen yang mewah namun kini kacau balau, pecahan vas bunga, gelas, dan barang-barang antik tersebar di lantai. Suasana di ruangan itu terasa tegang, seperti angin badai yang baru saja berlalu. Di tengah kekacauan itu, seorang wanita muda dengan rambut panjang terurai dan mengenakan pakaian kasual berdiri mematung, tatapannya penuh emosi. Di depannya, seorang pria tampan dengan postur tinggi tegap berdiri dengan wajah dingin, seperti dinding batu yang tak bisa ditembus."Tanpa alasan, kau mengakhiri ini semua? Kenapa?" suara wanita itu pecah, menggema di antara dinding apartemen. Matanya berkilat dengan campuran rasa sakit dan amarah.Pria itu menarik napas panjang, mencoba menghindari tatapan wanita itu. Suaranya terdengar tenang, namun dingin seperti es yang mencair perlahan. "Karena pernikahan kita adalah satu kesalahan besar. Aku sangat menyesalinya," jawabnya, setiap kata bagai belati yang menancap di hati wanita itu.Wanita itu mengepalkan kedua tangannya dengan gem
Calvin yang kesakitan menatap Charlotte dengan cemas, merasa dadanya sesak bukan hanya karena rasa sakit fisik tetapi juga ketakutan akan apa yang akan terjadi. Wanita yang berada di sebelahnya, seorang wanita berpenampilan modis dengan rambut tergerai panjang, menatap Charlotte dengan kebingungan sekaligus kemarahan."Ke-kenapa kamu ada di sini?" tanya Calvin dengan suara bergetar, berusaha bangkit dari rasa sakit yang menjalar di tubuhnya.Namun sebelum Calvin bisa menjelaskan lebih jauh, wanita itu, yang tampak tidak tahu malu, melipat tangan di dada dan menatap Charlotte dengan pandangan merendahkan. "Hei, apa kau adalah pacarnya yang ceroboh itu? Kenapa kau begitu kasar?" tanyanya dengan nada sinis.Charlotte tidak menjawab. Matanya hanya menatap wanita itu tajam, penuh amarah yang sudah tidak bisa dibendung. Dengan gerakan cepat, ia meraih cangkir berisi minuman di meja dan menyiramkan isinya ke wajah wanita itu tanpa peringatan. Cairan hangat itu mengalir di wajah wanita itu, m
"Tidak waras!" gumam Charlotte dengan kesal, berusaha melangkah pergi meninggalkan pria asing itu.Namun, sebelum ia sempat bergerak lebih jauh, Tuan Harris, yang tersenyum tipis penuh arti, tiba-tiba membungkuk dan mengangkat tubuhnya dengan mudah. Charlotte terkejut, matanya membesar, dan ia langsung meronta-ronta di dalam pelukan pria itu."Hei, hei! Lepaskan aku! Apa yang kau lakukan?!" teriak Charlotte sambil memukul-mukul bahunya, namun kekuatan pria itu jauh melampaui tenaganya.Tuan Harris tidak menghiraukan protesnya. Dengan langkah mantap, ia membawa gadis itu keluar dari tempat itu menuju mobilnya.Beberapa saat kemudian, Charlotte yang mulai kehilangan kesadarannya akibat alkohol, dibawa ke sebuah hotel mewah. Tuan Harris, yang sudah memesan kamar sebelumnya, langsung membawa gadis itu ke salah satu suite yang nyaman. Ia membuka pintu, menyalakan lampu, lalu menidurkan tubuh Charlotte yang lemah di atas ranjang empuk.Pria itu berdiri di tepi ranjang, menatap Charlotte yan
Charlotte melangkah keluar dari studionya, udara malam yang dingin menyapa kulitnya yang masih hangat setelah lama berada di dalam ruangan. Ia merapatkan jaketnya sebelum menuju ke mobil yang terparkir di tepi jalan. Mobil itu bukan pilihannya sendiri, melainkan hadiah dari suaminya—suami yang bahkan sulit ia pahami.Dengan mata yang masih mengantuk, Charlotte membuka pintu mobil dan duduk di kursi pengemudi. Ia menghela napas panjang, berusaha mengusir kantuk yang masih menyelimuti tubuhnya."Sudah tidur begitu lama, tapi masih mengantuk," gumamnya pelan, sambil menghidupkan mesin mobil.Jalanan malam begitu lengang, lampu-lampu kota berpendar samar, menemani perjalanan pulangnya. Namun, pikirannya tak sepenuhnya berada di sana. Ada sesuatu yang mengganjal dalam benaknya—sesuatu yang bahkan tak ingin ia akui pada dirinya sendiri.Di Tempat Lain…Di dalam mobilnya, Daniel melaju dengan kecepatan sedang, satu tangannya memegang ke
Kristy melepaskan ciumannya dan menatap Daniel dengan tatapan penuh tekad. Mata tajamnya memancarkan keinginan yang begitu kuat, seolah tidak ada yang bisa menggoyahkan keputusannya."Bos, sebelum aku menemuinya, aku ingin menyerahkan harta paling berharga untukmu!" ucap Kristy dengan suara lembut, namun penuh ketegasan.Daniel menghela napas pelan. Tatapannya melembut saat tangannya terangkat untuk menyentuh wajah Kristy. Jari-jarinya mengusap lembut pipi wanita itu, seakan ingin menenangkannya."Jangan pernah melakukan itu!" ucapnya tegas. Nada suaranya rendah, tetapi penuh perintah.Kristy menatapnya tanpa gentar. "Kalau begitu, temani aku minum. Setelah aku mabuk, aku bisa melakukannya dengan baik. Dengan cara ini, sasaran kita baru akan percaya."Beberapa Saat KemudianDi dalam kamar Kristy yang remang-remang, suara gelas yang beradu pelan terdengar di antara keheningan. Kristy meneguk minumannya dengan cepat, seakan ingin segera menghilangkan kesadarannya. Wajahnya sudah mulai m
Charlotte yang memegang setumpuk pakaian langsung melemparkan baju-baju itu ke arah Sannia dan Lucia tanpa ragu. Pakaian-pakaian itu beterbangan di udara sebelum jatuh berserakan di lantai, membuat kedua wanita itu terkejut. Sannia dan Lucia spontan memundurkan langkah, nyaris kehilangan keseimbangan."Cuci sendiri!" seru Charlotte dengan nada penuh ketegasan. "Aku menikah untuk menjadi istri Daniel, bukan menjadi pembantu kalian. Kalau mau cuci, kalian yang lakukan sendiri. Jangan manja!" Tatapannya tajam, penuh amarah yang selama ini ia pendam.Sannia mengepalkan tangan, wajahnya memerah karena marah. "Kau... berani sekali melawan kami!" bentaknya, matanya berkilat dengan kebencian."Tidak berpendidikan," ejek Lucia dengan menghina.Charlotte tak gentar. Ia memandang keduanya dengan sorot mata tajam dan penuh perlawanan. "Kalian adalah orang kaya, tapi sifat kalian seperti tidak pernah sekolah saja," ucapnya dingin, sebelum melangkah masuk ke kama
Beberapa saat setelah peresmian sebagai pasangan suami istri dilakukan, Daniel, Charlotte, dan Elvis keluar dari kantor tersebut. Langit cerah, namun hati Charlotte masih dipenuhi berbagai perasaan yang bercampur aduk. Pernikahan ini terjadi begitu cepat, dan meskipun ia tahu itu tak bisa dihindari, ia masih merasa belum sepenuhnya siap.Elvis menatap putrinya dengan penuh kasih sayang dan sedikit khawatir. Ia tahu betul sifat Charlotte yang keras kepala, dan ia tidak ingin putrinya mengalami kesulitan dalam rumah tangganya nanti. Dengan nada tegas namun penuh perhatian, ia berkata,"Lolipop, setelah menikah kamu harus bersikap dewasa. Jangan selalu melawan suamimu dan mertuamu!"Charlotte menoleh pada ayahnya, alisnya sedikit berkerut. Ia paham maksud sang ayah, tetapi bukan berarti ia akan tunduk begitu saja jika dirinya diperlakukan tidak adil. Dengan nada yakin, ia menjawab,"Pa, tergantung. Kalau mereka menindasku, tidak mungkin aku diam saja."
Malam semakin larut, dan kamar Elvis dipenuhi keheningan yang mencekam. Namun, di balik tidurnya, tubuhnya tampak gelisah. Keringat dingin membasahi pelipisnya, napasnya tersengal, dan bibirnya bergerak seolah menggumamkan sesuatu."Maaf…" suaranya lirih, hampir seperti bisikan tertahan.Dalam mimpi itu, bayangan samar mulai terbentuk. Elvis berdiri di tengah ruangan yang remang-remang dengan pistol di tangannya. Asap tipis mengepul dari ujung laras, menandakan bahwa senjata itu baru saja digunakan. Di depannya, seorang wanita terjatuh dengan darah mengalir dari dadanya. Tatapan matanya yang membelalak dipenuhi keterkejutan dan ketakutan, seolah tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi.Suara tembakan yang memekakkan telinga masih bergema di kepalanya. Suasana di sekitarnya begitu tegang dan penuh ketakutan. Di sisi lain suara tangisan lirih terdengar. Elvis menoleh dan melihat seorang anak kecil, mungkin berusia tiga tahun, duduk di lantai dengan tu
Daniel menyadari apa yang terjadi, tapi ia hanya tersenyum santai, seolah tak ingin ikut campur.Namun, Charlotte yang kesal justru semakin mempererat genggamannya. Lucia, yang awalnya mencoba mendominasi, mendadak meringis kesakitan. Ia akhirnya menarik tangannya dengan kasar, tapi akibatnya, ia kehilangan keseimbangan dan terjatuh ke belakang dengan suara "Bruk!" yang cukup keras.Sannia terkejut melihat Lucia terjatuh, tapi alih-alih membantu, ia justru menatap Charlotte dengan penuh ketidakpercayaan. "Daniel, Charlotte berasal dari keluarga mana?" tanyanya, nadanya dingin.Daniel, yang kini sudah duduk di sofa bersama Charlotte, menjawab dengan santai sambil menggenggam tangan wanita itu. "Dari kalangan biasa," katanya tanpa ragu.Lucia, yang baru saja berhasil berdiri kembali, menyibakkan rambutnya dengan kesal. Tatapan sinisnya kembali terarah pada Charlotte. "Kakak, kita berasal dari keluarga terpandang. Apakah tidak dipertimbangkan lagi?" sindirnya.Daniel menoleh sekilas ke a
Keesokan harinya.Charlotte yang sudah bangun kini duduk di sebuah ruangan bersama Daniel. Matanya masih sedikit sayu, namun pikirannya sudah cukup jernih untuk memahami situasi. Di hadapannya, Levis meletakkan sebuah dokumen di atas meja dengan ekspresi datar, seolah apa yang sedang terjadi hanyalah urusan bisnis biasa.Charlotte mengerutkan kening, menatap dokumen itu dengan penuh kebingungan. Ia mengulurkan tangan dan meraih kertas tersebut dengan ragu."Ini apa?" tanyanya, suaranya terdengar hati-hati.Daniel, yang duduk di seberangnya, menyandarkan tubuhnya ke kursi dengan santai. Senyuman tipis terukir di wajahnya, seolah ia sudah memperkirakan reaksi Charlotte."Silakan dibaca!" jawabnya, tenang dan penuh percaya diri.Charlotte membuka halaman pertama dan mulai membaca isi dokumen dengan teliti. Matanya bergerak cepat, namun semakin dalam ia membaca, semakin banyak pertanyaan yang muncul di benaknya."Pernikahan kontrak selama
"Daniel, gadis mana yang menjadi sasaranmu kali ini?" tanya Sannie dengan nada penuh rasa ingin tahu.Pria itu hanya tersenyum kecil, ia menjawab dengan santai, "Kalian akan segera mengetahuinya.""Apakah dia akan patuh seperti istri pertamamu atau... lembut seperti mantan pacarmu?" katanya dengan sengaja, mencoba memancing reaksi dari Daniel."Kalau ingin tahu, setelah berjumpa dengannya, kalian bisa mengujinya," jawab Daniel dengan nada misterius. Ia lalu beranjak dari sana---Di sisi lain, Charlotte membuka matanya perlahan. Pandangannya masih buram, dan kepalanya terasa sedikit berat. Ia mengerjapkan mata beberapa kali sebelum akhirnya menyadari sesuatu yang aneh.Ruangan ini... bukan kamarnya.Ia segera bangkit dengan panik, matanya melirik ke sekeliling. Dinding putih bersih, jendela besar dengan tirai tertutup, serta sebuah pintu di sudut ruangan. Semuanya asing."Aku di mana? Rumah siapa ini?" bisiknya pelan, jantungny
Di saat situasi memanas, tiba-tiba puluhan mobil melaju cepat dan berhenti di depan pusat perbelanjaan. Suara decitan ban yang menggesek aspal menarik perhatian para pengunjung yang berlalu-lalang. Beberapa orang mulai berbisik, bertanya-tanya tentang apa yang sedang terjadi.Dari mobil-mobil itu, puluhan pria berpakaian gelap turun dengan langkah mantap. Tatapan tajam mereka tertuju pada sekelompok orang yang tengah mengepung Daniel dan Charlotte. Kehadiran mereka seketika mengubah suasana, membuat lawan-lawan Daniel terkejut melihat jumlah yang jauh lebih unggul.Daniel, yang masih menggenggam tangan Charlotte, melangkah maju dengan tenang. Matanya menyapu orang-orang yang mencoba mengancamnya, lalu bibirnya melengkung membentuk senyuman dingin."Tidak ada pilihan untuk kalian selain menyerah," ucapnya dengan nada penuh keyakinan.Charlotte menatap Daniel dengan kecurigaan yang semakin kuat. "Pria ini... siapa sebenarnya? Kenapa dia memiliki begitu banyak orang yang tampak berbahaya