"Mama kenapa bisa masuk?" tanya Zelin dengan polosnya.
Sisil dapat melihat mata anak gadisnya itu terlihat masih merah dan basah. Artinya tangis Zelin baru saja berhenti atau bahkan belum sama sekali. Ada sesak dihatinya melihat keadaan putri semata wayangnya itu.
"Karena Mama adalah pemilik rumah ini!" jawab Sisil dengan lantang dan seolah terlihat angkuh. "Kalau, Mama tidak masuk dan membiarkan kalian lebih lama di sini bisa saja kalian berdua melakukan hal yang tidak-tidak," lanjutnya seolah menuduh padahal bukan itu maksud dari kedatangannya.
Sampai detik ini Sisil sangat percaya pada putra putrinya. Mereka tidak akan mungkin merusak kepercayaan orang tua apalagi sampai menorehkan aib yang akan membekas diingatan masyarakat luas.
Mendengar ucapan Sisil membuat Zelin dan Yhosan membulatkan matanya tak percaya. Selama tujuh tahun menjalin hubungan tak pernah mereka melakukan sebuah pelanggaran yang berakibat fatal nantinya.
"Kenapa kaget? Udah pernah?" tanya Sisil menyelidik. Menatap satu persatu manik mata sepasang kekasih itu.
"Mama!" pekik Zelin dan Yhosan bersamaan.
Sisil tersenyum simpul. "Ya, kalau udah pernah bilang aja biar Mama tahu bagaimana cara menghukum kalian? Atau jangan-jangan Yhosan ingin menikmati indahnya jeruji besi karena telah meraba-raba anak orang?" tanya Sisil menggoda anak dan calon menantunya.
Yhosan dengan cepat menggelengkan kepalanya kuat-kuat. Kenapa masalahnya bisa jadi serumit ini? Dari belum bisa menikah lalu tiba-tiba dikira sudah melakukan hal yang bukan-bukan. Hidup memang tidak bisa diterka.
"Ma, Yhosan berani bersumpah kalau titid ini masih digunakan untuk buang air kecil saja. Belum pernah melakukan yang bukan-bukan apalagi enak-enak."
Yhosan berkata seperti anak kecil yang tertangkap basah sedang makan permen oleh ibunya padahal sebelumnya sudah dilarang. Yhosan bahkan menutup bagian inti tubuhnya dengan kedua telapak tangannya.
"Yakin? Kalau cuma ngomong gak pernah, orang lain juga bisa," kata Sisil semakin menjadi-jadi. "Awas kalau kalian sampai macam-macam sebelum waktunya." Sisil memicingkan matanya, mengancam putrinya dan juga Yhosan.
Sisil hanya berpura-pura saja. Dia sengaja mencairkan suasana, sebab tak ingin putrinya dan juga Yhosan terlalu memikirkan hal tersebut.
"Sumpah, Ma. Yhosan tidak pernah macam-macam hanya sekedar memeluk, mencium, mengelus, merabah, menikmati––"
"Yhosan!" pekik Sisil dan Zelin bersamaan.
"Ups! Maaf ... keceplosan," kata Yhosan dengan polosnya.
Melihat ibu dan anak yang memandang Yhosan dengan tatapan seperti ingin memangsa. Membuat laki-laki dengan kemeja biru itu lari keluar dari kamar Zelin.
Meninggalkan kekasihnya seorang diri. Mata Sisil kini menatap Zelin tak berkedip. Ada rasa iba dan lucu di hati Sisil. Padahal niat Zelin dan Yhosan tulus. Dengan begitu pun mereka sebagai orang tua tidak perlu takut jika anaknya akan melakukan yang bukan-bukan.
Namun, keadaan Ziko–anak sulung Zoy dan Sisil yang sampai saat ini belum menikah terpaksa membuat mereka sebagai orang tua mengambil langkah.
"Jangan melakukan apa pun yang bisa membuatmu dipandang rendah. Selama ini, Mama percaya. Maka dari itu jangan hancurkan kepercayaan, Mama," kata Sisil memberi nasehat.
Zelin hanya mampu menganggukkan kepalanya. Melihat sang Mama yang tidak bisa melawan perkataan Papanya tadi membuat Zelin sedikit kesal.
Sisil merengkuh tubuh Zelin. Air mata yang sejak tadi dia tahan akhirnya jatuh juga. Mengusap punggung Zelin seolah sedang menyalurkan kekuatan untuk putrinya.
"Semua akan baik-baik saja. Mama, yakin kalau Bang Ziko pasti bisa mendapatkan pasangan dan menikah. Percaya pada, Mama bahwa semua akan baik-baik saja."
Zelin menganggukkan kepalanya dalam pelukan Sisil. Ibu memang tempat paling nyaman untuk anak-anaknya.
****
Zelin dan Yhosan kini tengah berada dalam perjalanan. Tak lupa sebelum pergi, Zelin mengoles sedikit makeup untuk menutup matanya yang baru menangis dan tentu saja untuk membuat wajahnya lebih fresh.
Tujuan mereka kali ini adalah bertemu dengan Ziko. Sebab ada rencana yang akan dijalankan pasangan kekasih itu. Sebelum melajukan kendaran ke kantor tempat di mana Ziko bekerja. Mereka terlebih dahulu menemui orang tua Zelin.
Mengatakan kalau mereka setuju untuk menunda pernikahan dan menunggu sampai Ziko mendapatkan wanita yang tepat. Namun, keduanya juga mengajukan sebuah syarat untuk Zoy dan Sisil bahwa kedua orang tua Zelin itu harus setuju kalau Yhosan dan Zelin membatu Ziko untuk mendapatkan pujaan hatinya–pelabuhan terakhir.
Untunglah dari pihak Zoy maupun Sisil sebagai orang tua tidak keberatan. Lagi pula yang dilakukan Yhosan dan Zelin juga untuk kebaikan Ziko. Dan tentu saja buat mereka agar keduanya bisa segera menikah.
"Kamu, yakin jika kita akan berhasil?" tanya Zelin saat mereka sudah setengah perjalanan menuju kantor Abangnya.
"Kita pasrahkan saja pada Tuhan. Lagi pula jodoh, rezeki dan maut sudah ditentukan oleh-Nya. Rencana yang Tuhan buat pun jauh lebih baik daripada kita," kata Yhosan seolah percaya diri.
Mengingat bahwa calon Abang iparnya memiliki sifat dingin dan sulit bergaul apalagi dengan wanita membuat Yhosan sedikit ragu. Apalagi laki-laki yang sedang mengemudikan mobil Bentley itu tidak tahu bagaimana sepak terjang Ziko.
Dia hanya berpura-pura yakin saja untuk menenangkan hati dan perasaan Zelin. Yhosan tidak ingin kekasihnya itu terlalu berlebihan dalam memikirkan hal ini.
"Semoga Bang Ziko bisa cepat menemukan pujaan hatinya," kata Zelin penuh harap. "Sebenarnya ada hal yang membuat aku penasaran," kata Zelin pelan. Pandangannya menerawang jauh.
"Tentang apa?" tanya Yhosan melirik sekilas kekasihnya itu.
"Tentang alasan mengapa Bang Ziko bisa memilih untuk tidak menikah," jawabnya dengan pasti
Banyak pikiran-pikiran aneh merasuki kepala Zelin. Mulai dari Ziko yang mungkin pernah disakiti wanita atau bahkan sampai berpikir bahwa Abangnya bukan laki-laki normal.
"Memangnya kalian berdua tidak pernah berbagi cerita?" tanya Yhosan menaikkan sebelah alisnya.
Terlahir sebagai anak tunggal tentu saja membuat Yhosan tidak terlalu paham akan artinya memiliki saudara. Dia hanya sendiri, berbagi cerita pada orang tau atau teman-temannya.
Zelin menjawab dengan menggelengkan kepalanya. "Apa dulu Bang Ziko pernah disakiti oleh wanita, ya?" tanya Zelin yang entah ditujukan pada siapa sebab tatapan matanya tertuju pada jendela mobil.
"Apa kita harus selidiki sepak terjang, Bang Ziko terlebih dahulu?" Yhosan balik bertanya sebab dia tidak bisa menjawab pertanyaan Zelin barusan.
Bagaimana mau menjawab kalau dia sendiri tidak terlalu dekat dengan calon Abang iparnya itu.
Kalaupun bertemu, mereka hanya membicarakan soal bisnis. Mengenai masalah pribadi, Ziko tak pernah terbuka pada siapa pun. Bahkan kepada kedua orang tuanya.
"Boleh dicoba," kata Zelin menganggukkan kepalanya.
Zelin sangat tertarik untuk mencaritahu akan hal ini. Dia benar-benar penasaran. Kira-kira apa alasan Ziko sampai tidak ingin menikah dan menghindar dari wanita?
Semua ini harus cepat selesai pikir Zelin. Kalau lebih lama lagi menunda pernikahannya dengan Yhosan bisa saja laki-laki yang saat ini menjadi kekasihnya itu akan berubah pikiran.
Bukankah waktu terus berputar dan kita sebagai manusia tidak tahu apa yang akan terjadi kedepannya?
"Baiklah mulai hari ini kita harus mencari tahu segala hal tentang Bang Ziko termasuk urusan pribadinya," kata Yhosan semangat.
Ya, mereka berdua memang harus semangat dan saling menguatkan juga. Sebab semua ini ada kaitannya dengan masa depan Zelin dan Yhosan.
Atau mungkin hal ini bukan masalah Ziko melainkan karena Zelin dan Yhosan yang tidak berjodoh? Zelin dengan cepat menggelengkan kepalanya saat pikiran buruk itu datang.
Enak saja! Masa setelah tujuh tahun pacaran harus berpisah? Memangnya Zelin ini panti asuhan apa? Yang bisa merawat dan memberikan kasih sayang pada seseorang yang nantinya akan pergi. Oh tidak! Tidak! Hati seorang Zelin Wiraguna tidak sebaik itu.
"Pokoknya aku akan berusaha agar Bang Ziko bisa segera menikah. Dia tidak boleh menjadi perjaka tua selama hidupnya. Kalau, dia tak menikah maka aku ...."
Zelin tak mampu melanjutkan kalimatnya. Dia bahkan juga tak bisa membayangkan kalau hal itu sampai terjadi pada dirinya sendiri. Apalagi membayangkan sampai tidak berjodoh dengan Yhosan.
"Sudahlah, kamu tidak perlu memikirkan yang bukan-bukan. Saat ini, 'kan kita sedang mencari cara supaya Bang Ziko bisa cepat menikah."
Berpikir panjang dan menerka-nerka segala hal yang belum tentu terjadi hanya akan membuat mereka menambah beban pikiran saja.
"Ada keperluan apa kalian berdua kesini? Mau minta restu?" tanya Ziko saat melihat adik perempuannya dan Yhosan datang.
Pintu baru saja terbuka, muncul wajah kaku Yhosan dan Zelin dengan senyuman mengembang seolah semua baik-baik saja. Namun, pertanyaan Ziko sontak saja membuat nyalinya menciut tiba-tiba. Apalagi raut wajah Abangnya itu tak sehangat biasa. Ziko tentu saja sudah melihat potongan-potongan video yang tersebar di sosial media. Membuatnya paham perihal tujuan mereka datang menemuinya. Apalagi berita yang dia dapat dari mata-matanya. Menjadi anak paling besar dan memiliki kewajiban untuk melindungi serta menjaga adiknya. Membuat Ziko tak serta merta melepaskannya begitu saja. Ada banyak pengawalan tanpa sepengetahuan Zelin. "Abang, lagi banyak pekerjaan?" tanya Zelin hati-hati. Padahal tadi dia sudah menyiapkan diri dengan matang setelah beradu argument dengan perasaannya. Di satau sisi Zelin berfikir bahwa seharusnya dia tidak turut membawa Yhosan terlebih dahulu. Sebab biarpun Ziko menyukai Yhosan
"Abang yakin tidak ingin menerima tawaran dariku?" tanya Zelin lagi memastikan."Tidak, Zelin Wiraguna." Ziko menjawab dengan tegas."Eemm ... bagaimana kalau Abang dengarkan dulu proposal kerjasamanya. Siapa tahu tertarik," ucap Zelin tak berputus asa."Tidak perlu. Aku sangat yakin bahwa kerjasama yang kamu tawarkan tidak menarik dan sama sekali tidak memiliki keuntungan untukku," ucap Ziko."Abang gak percaya sama adik sendiri?" tanya Zelin dengan wajah memelas."Aku percaya! Hanya saja tak ingin melakukan suatu kesepakatan apa pun padamu," jawab Ziko dengan sombong.Mendengar perkataan Ziko membuat Zelin semakin kesal. Dia seolah sedang dipermainkan dengan Abangnya sendiri. Padahal hal yang ingin dia tawarkan tentu saja akan menguntungkan mereka berdua."Kalau, Abang tidak mau tahu maka tidak masalah bagiku, tapi sebagai adik terbaikn
Ziko membuka jas hitam yang menutupi kemeja biru navy. Merebahkan tubuhnya di atas sofa dengan kepala yang bertumpu di tangan."Masih tak ingin pulang? Abang lelah, ingin tidur," kata Ziko.Entah harus dengan cara apa lagi agar Zelin mau pulang. Ziko benar-benar tidak memiliki tenaga kalau harus meladeni pikiran-pikiran adiknya yang tak sejalan dengan dirinya. Dia bahkan hampir kehilangan kesabaran dalam menghadapi sikap adiknya hari ini."Apa yang terjadi pada Papa dan Mama? Kenapa aturan tak tertulis yang memberatkan ini harus hadir tiba-tiba?" tanya Ziko dalam hati.Peraturan macam apa itu? Hanya sebuah peraturan yang dapat merampas hak orang lain untuk bahagia. Apa orang tua mereka lupa bahwa saat ini abad kedua puluh satu bukan abad ke tujuh belas saat berdirinya VOC."Aku tidak akan pulang sampai Abang menerima tawaranku," kata Zelin menantang."K
Mobil Tesla berwarna berwarna hitam dengan dua penumpang didalamnya keluar dari parkiran perusahaan Wiraguna Crop. Suasana didalam begitu mencekam.Kegagalan untuk menikah nyatanya membuat calon pengantin dan juga orang disekitar terlibat luka hati. Berperang dengan perasaan masing-masing."Apa kamu juga sedang memikirkan cara lain?" tanya Yhosan tiba-tiba.Padahal dia sendiri sedang tidak memikirkan apapun, tapi daripada suasana terasa seperti di rumah hantu jadi lebih baik memulai percakapan mengenai rencana mereka saja, pikir Yhosan."Huum. Aku sedang memikirkan, bagaimana kalau kiamat datang dan kita masih belum menikah? Kapan lagi akan merasakan kenikmatan duniawi?" tanya Zelin.Yhosan mengerutkan keningnya. Kenapa tiba-tiba jadi bahas hari kiamat dan kenikmatan duniawi? Padahal yang ada dipikiran laki-laki itu adalah bagaimana cara agar Ziko bisa jatuh cinta pada wanita.
"Kamu tetap akan pergi?" tanya Yhosan saat melihat kekasihnya yang sedang berdiri didepan pintu rumah dengan dua buah koper besar.Seminggu lalu saat pengunduran pernikahan mereka. Malamnya keluarga besar Zelin telah berunding dan memutuskan bahwa peraturan tidak bisa dirubah.Oleh sebab itu hari ini, Zelin memutuskan untuk pergi ke desa Suka Hati. Dengan harapan di sana mungkin dia akan menemukan wanita yang tepat untuk Ziko."Ya, Sayang. Kalau aku tidak pergi bagaimana dengan kelanjutan hubungan kita?" Zelin balik bertanya.Sejak keputusan itu di buat, Yhosan adalah orang yang paling menentang rencana Zelin untuk pergi ke desa. Dia tidak bisa berjauhan dengan kekasih hatinya itu."Tapi, 'kan kita bisa cari wanita lain. Di sini ada banyak wanita cantik yang mungkin salah satunya diinginkan oleh Bang Ziko," ucap Yhosan membujuk.Bagi Yhosan tidak masalah kalau pernikahannya di undur, tapi tidak untuk kepergian Zelin ke Desa yang jaraknya cukup jauh dari kota. Selama tujuh tahun merek
"Maafkan, Papa." Zoy menghembuskan nafasnya kasar. "Tapi ini adalah sebuah aturan tidak tertulis yang sudah berlaku sejak puluhan tahun lalu – tak ada satu pun yang boleh menentangnya." Zoy menjelaskan dengan tenang, meski raut wajahnya tidak bisa berbohong. Laki-laki yang masih terlihat tampan meski usianya sudah memasuki lima puluh dua tahun itu duduk dengan penuh wibawa sembari memperhatikan putrinya terisak dipangkuan sang istri. Hari ini cuaca di luar cukup panas – 32°C cukup menambah kobaran api didalam lubuk hati wanita malang yang sedang terisak akibat tak terima atas keputusan sang Papa. Sebagai orang tua tentu saja Zoy tak tega saat melihat putri sematawayangnya tersakiti akibat tradisi. Hatinya pedih. Namun, tak ada yang bisa diperbuat selain memberi pengertian pada putrinya. Sisil–ibunya Zelin hanya mampu mengusap lembut kepala putrinya. Melihat bagaimana terguncangnya tubuh gadis
"Zelin Wiraguna, bersediakah engkau menjadi pendamping hidupku? Menemani aku menghabiskan sisa hidup ini bersamamu dan anak-anak kita nanti?" Kalimat itu keluar dari mulut Yhosan dengan begitu mulus. Sudah lama dia menghafal dan menantikan hari ini. Menyatakan keseriusannya pada Zelin. Alexandre Yhosanio–putra tunggal keluarga Alexander yang sudah menjalin kasih dengan Zelin sejak duduk di bangku kuliah. Saat di bangku SMA Yhosan suka tapi memendam rasa dan saat di semester 6 laki-laki berdarah Jepang itu menyatakan cinta pada Zelin. Tak ada dekorasi mewah di atas kapal pesiar ini. Hanya sebuah lamaran sederhana disertai beberapa pasang mata dengan kotak beludru yang berisikan cincin berlian incaran Zelin Minggu lalu. Zelin sebenarnya bukan pecinta berlian atau perhiasan lainnya. Namun, saat Yhosan membawanya kesebuah toko perhiasan otomatis jiwanya sebagai wanita terpanggil.
"Kamu tetap akan pergi?" tanya Yhosan saat melihat kekasihnya yang sedang berdiri didepan pintu rumah dengan dua buah koper besar.Seminggu lalu saat pengunduran pernikahan mereka. Malamnya keluarga besar Zelin telah berunding dan memutuskan bahwa peraturan tidak bisa dirubah.Oleh sebab itu hari ini, Zelin memutuskan untuk pergi ke desa Suka Hati. Dengan harapan di sana mungkin dia akan menemukan wanita yang tepat untuk Ziko."Ya, Sayang. Kalau aku tidak pergi bagaimana dengan kelanjutan hubungan kita?" Zelin balik bertanya.Sejak keputusan itu di buat, Yhosan adalah orang yang paling menentang rencana Zelin untuk pergi ke desa. Dia tidak bisa berjauhan dengan kekasih hatinya itu."Tapi, 'kan kita bisa cari wanita lain. Di sini ada banyak wanita cantik yang mungkin salah satunya diinginkan oleh Bang Ziko," ucap Yhosan membujuk.Bagi Yhosan tidak masalah kalau pernikahannya di undur, tapi tidak untuk kepergian Zelin ke Desa yang jaraknya cukup jauh dari kota. Selama tujuh tahun merek
Mobil Tesla berwarna berwarna hitam dengan dua penumpang didalamnya keluar dari parkiran perusahaan Wiraguna Crop. Suasana didalam begitu mencekam.Kegagalan untuk menikah nyatanya membuat calon pengantin dan juga orang disekitar terlibat luka hati. Berperang dengan perasaan masing-masing."Apa kamu juga sedang memikirkan cara lain?" tanya Yhosan tiba-tiba.Padahal dia sendiri sedang tidak memikirkan apapun, tapi daripada suasana terasa seperti di rumah hantu jadi lebih baik memulai percakapan mengenai rencana mereka saja, pikir Yhosan."Huum. Aku sedang memikirkan, bagaimana kalau kiamat datang dan kita masih belum menikah? Kapan lagi akan merasakan kenikmatan duniawi?" tanya Zelin.Yhosan mengerutkan keningnya. Kenapa tiba-tiba jadi bahas hari kiamat dan kenikmatan duniawi? Padahal yang ada dipikiran laki-laki itu adalah bagaimana cara agar Ziko bisa jatuh cinta pada wanita.
Ziko membuka jas hitam yang menutupi kemeja biru navy. Merebahkan tubuhnya di atas sofa dengan kepala yang bertumpu di tangan."Masih tak ingin pulang? Abang lelah, ingin tidur," kata Ziko.Entah harus dengan cara apa lagi agar Zelin mau pulang. Ziko benar-benar tidak memiliki tenaga kalau harus meladeni pikiran-pikiran adiknya yang tak sejalan dengan dirinya. Dia bahkan hampir kehilangan kesabaran dalam menghadapi sikap adiknya hari ini."Apa yang terjadi pada Papa dan Mama? Kenapa aturan tak tertulis yang memberatkan ini harus hadir tiba-tiba?" tanya Ziko dalam hati.Peraturan macam apa itu? Hanya sebuah peraturan yang dapat merampas hak orang lain untuk bahagia. Apa orang tua mereka lupa bahwa saat ini abad kedua puluh satu bukan abad ke tujuh belas saat berdirinya VOC."Aku tidak akan pulang sampai Abang menerima tawaranku," kata Zelin menantang."K
"Abang yakin tidak ingin menerima tawaran dariku?" tanya Zelin lagi memastikan."Tidak, Zelin Wiraguna." Ziko menjawab dengan tegas."Eemm ... bagaimana kalau Abang dengarkan dulu proposal kerjasamanya. Siapa tahu tertarik," ucap Zelin tak berputus asa."Tidak perlu. Aku sangat yakin bahwa kerjasama yang kamu tawarkan tidak menarik dan sama sekali tidak memiliki keuntungan untukku," ucap Ziko."Abang gak percaya sama adik sendiri?" tanya Zelin dengan wajah memelas."Aku percaya! Hanya saja tak ingin melakukan suatu kesepakatan apa pun padamu," jawab Ziko dengan sombong.Mendengar perkataan Ziko membuat Zelin semakin kesal. Dia seolah sedang dipermainkan dengan Abangnya sendiri. Padahal hal yang ingin dia tawarkan tentu saja akan menguntungkan mereka berdua."Kalau, Abang tidak mau tahu maka tidak masalah bagiku, tapi sebagai adik terbaikn
Pintu baru saja terbuka, muncul wajah kaku Yhosan dan Zelin dengan senyuman mengembang seolah semua baik-baik saja. Namun, pertanyaan Ziko sontak saja membuat nyalinya menciut tiba-tiba. Apalagi raut wajah Abangnya itu tak sehangat biasa. Ziko tentu saja sudah melihat potongan-potongan video yang tersebar di sosial media. Membuatnya paham perihal tujuan mereka datang menemuinya. Apalagi berita yang dia dapat dari mata-matanya. Menjadi anak paling besar dan memiliki kewajiban untuk melindungi serta menjaga adiknya. Membuat Ziko tak serta merta melepaskannya begitu saja. Ada banyak pengawalan tanpa sepengetahuan Zelin. "Abang, lagi banyak pekerjaan?" tanya Zelin hati-hati. Padahal tadi dia sudah menyiapkan diri dengan matang setelah beradu argument dengan perasaannya. Di satau sisi Zelin berfikir bahwa seharusnya dia tidak turut membawa Yhosan terlebih dahulu. Sebab biarpun Ziko menyukai Yhosan
"Mama kenapa bisa masuk?" tanya Zelin dengan polosnya. Sisil dapat melihat mata anak gadisnya itu terlihat masih merah dan basah. Artinya tangis Zelin baru saja berhenti atau bahkan belum sama sekali. Ada sesak dihatinya melihat keadaan putri semata wayangnya itu. "Karena Mama adalah pemilik rumah ini!" jawab Sisil dengan lantang dan seolah terlihat angkuh. "Kalau, Mama tidak masuk dan membiarkan kalian lebih lama di sini bisa saja kalian berdua melakukan hal yang tidak-tidak," lanjutnya seolah menuduh padahal bukan itu maksud dari kedatangannya. Sampai detik ini Sisil sangat percaya pada putra putrinya. Mereka tidak akan mungkin merusak kepercayaan orang tua apalagi sampai menorehkan aib yang akan membekas diingatan masyarakat luas. Mendengar ucapan Sisil membuat Zelin dan Yhosan membulatkan matanya tak percaya. Selama tujuh tahun menjalin hubungan tak pernah mereka melakukan sebuah pelangga
"Zelin Wiraguna, bersediakah engkau menjadi pendamping hidupku? Menemani aku menghabiskan sisa hidup ini bersamamu dan anak-anak kita nanti?" Kalimat itu keluar dari mulut Yhosan dengan begitu mulus. Sudah lama dia menghafal dan menantikan hari ini. Menyatakan keseriusannya pada Zelin. Alexandre Yhosanio–putra tunggal keluarga Alexander yang sudah menjalin kasih dengan Zelin sejak duduk di bangku kuliah. Saat di bangku SMA Yhosan suka tapi memendam rasa dan saat di semester 6 laki-laki berdarah Jepang itu menyatakan cinta pada Zelin. Tak ada dekorasi mewah di atas kapal pesiar ini. Hanya sebuah lamaran sederhana disertai beberapa pasang mata dengan kotak beludru yang berisikan cincin berlian incaran Zelin Minggu lalu. Zelin sebenarnya bukan pecinta berlian atau perhiasan lainnya. Namun, saat Yhosan membawanya kesebuah toko perhiasan otomatis jiwanya sebagai wanita terpanggil.
"Maafkan, Papa." Zoy menghembuskan nafasnya kasar. "Tapi ini adalah sebuah aturan tidak tertulis yang sudah berlaku sejak puluhan tahun lalu – tak ada satu pun yang boleh menentangnya." Zoy menjelaskan dengan tenang, meski raut wajahnya tidak bisa berbohong. Laki-laki yang masih terlihat tampan meski usianya sudah memasuki lima puluh dua tahun itu duduk dengan penuh wibawa sembari memperhatikan putrinya terisak dipangkuan sang istri. Hari ini cuaca di luar cukup panas – 32°C cukup menambah kobaran api didalam lubuk hati wanita malang yang sedang terisak akibat tak terima atas keputusan sang Papa. Sebagai orang tua tentu saja Zoy tak tega saat melihat putri sematawayangnya tersakiti akibat tradisi. Hatinya pedih. Namun, tak ada yang bisa diperbuat selain memberi pengertian pada putrinya. Sisil–ibunya Zelin hanya mampu mengusap lembut kepala putrinya. Melihat bagaimana terguncangnya tubuh gadis