"Maafkan, Papa." Zoy menghembuskan nafasnya kasar. "Tapi ini adalah sebuah aturan tidak tertulis yang sudah berlaku sejak puluhan tahun lalu – tak ada satu pun yang boleh menentangnya." Zoy menjelaskan dengan tenang, meski raut wajahnya tidak bisa berbohong.
Laki-laki yang masih terlihat tampan meski usianya sudah memasuki lima puluh dua tahun itu duduk dengan penuh wibawa sembari memperhatikan putrinya terisak dipangkuan sang istri.
Hari ini cuaca di luar cukup panas – 32°C cukup menambah kobaran api didalam lubuk hati wanita malang yang sedang terisak akibat tak terima atas keputusan sang Papa.
Sebagai orang tua tentu saja Zoy tak tega saat melihat putri sematawayangnya tersakiti akibat tradisi. Hatinya pedih. Namun, tak ada yang bisa diperbuat selain memberi pengertian pada putrinya.
Sisil–ibunya Zelin hanya mampu mengusap lembut kepala putrinya. Melihat bagaimana terguncangnya tubuh gadis dalam pangkuannya itu. Namun, sebagai seorang istri dia juga tak bisa berbuat apa-apa.
"Pa, kenapa harus begini? Bukankah apa yang Papa katakan sama saja dengan melanggar hak asasi manusia?" tanya Zelin ditengah isak tangisnya.
Wajah gadis cantik itu memerah. Air mata terus membasahi pipi mulusnya. Tak hanya tubuh yang terguncang karena menangis, tapi juga hatinya.
"Maafkan, Papa," ucap Zoy lirih. "Kita tidak bisa melanggar apa yang telah dibuat! Papa yakin Yhosan pasti akan mengerti dengan semua ini. Usia kalian juga baru dua puluh lima tahun. Tak masalah jika menunda pernikahan," lanjut Zoy.
Mendengar ucapan Zoy membuat tangis Zelin semakin menjadi-jadi. Sakit di hatinya bertambah parah kala sang Papa tidak mau mengerti.
"Berdoalah supaya Abangmu cepat mendapatkan jodoh. Kalau tahun ini dia bisa menikah, maka tahun depan giliranmu dan Yhosan."
Tak mampu melihat putrinya menangis membuat Zoy pergi. Meninggal Zelin yang masih terisak dalam pangkuan Sisil. Sebagai kepala keluarga membuatnya harus banyak berfikir dan mempertimbangkan apa yang terbaik untuk mereka.
"Sebaiknya aku bicarakan saja hal ini pada Bang Arya," gumam Zoy sambil berjalan.
Keputusan ini dibuat mengingat anak tertua laki-lakinya tak kunjung membawa calon menantu kedalam rumah. Hingga Zoy dengan sangat terpaksa harus mengambil langkah agar putranya segera menikah.
Mengorbankan perasaan putri tunggal demi putra satu-satunya. Sebuah keputusan sulit saat melihat kedua buah hatinya terluka. Orang tua mana pun dibelahan dunia ini pasti tidak menginginkan hal itu terjadi.
Padahal sejak dulu, Zoy selalu berusaha untuk menjadi Papa terbaik. Mendukung apa pun yang dilakukan oleh anak-anaknya. Dia bahkan dengan gagahnya menjadi tameng saat sang istri sedang memarahi buah hatinya.
Namun, kali ini ... demi kepentingan bersama agar bisa melihat anak-anaknya bahagia ditengah umur yang semakin bertambah maka, Zoy harus melakukan ini.
Membuat peraturan bahwa anak bungsu perempuan tidak boleh melangkahi saudara laki-laki tertua dalam hal pernikahan. Peraturan itu memang ada sejak dulu, hanya saja sudah lama ditinggalkan sebab Arya dan Zoy tidak memiliki saudara perempuan. Pun generasi Ayah mereka.
Melihat Papanya yang telah meninggalkan ruang keluarga membuat Zelin juga turut menarik dirinya. Melepaskan dekapan Sisil dengan kasar dari tubuhnya.
"Zelin, kamu mau kemana, Sayang?" tanya Sisil saat melihat putrinya itu bangkit dan lari menuju lantai atas.
Zelin tidak menghiraukan panggilan sang Mama. Meski dia tahu bahwa Sisil tidak bisa berbuat apapun, tapi apa yang barusan terjadi membuatnya kecewa pada seluruh isi rumah.
Gadis cantik dengan rambut di kuncir kuda itu akan pergi ke kamarnya. Mengurung diri dan merenungi nasib. Ingin menikah saja malah dipersulit seperti ini. Sempat berpikir untuk kabur dari rumah. Namun, terlahir menjadi putri tunggal kaya raya dengan fasilitas selangit membuatnya berpikir berulang kali.
Seandainya berbuat zinah bukan sebuah dosa besar atau menimbulkan kerugian hingga akhir hayat. Maka ingin sekali rasanya Zelin untuk melakukan itu dengan kekasihnya.
Memakai metode hamil duluan baru menikah. Sebuah jalan keluar saat ingin menikah tapi memiliki hambatan. Namun, untunglah kewarasannya serta iman masih bekerja dengan baik.
Di dalam kamar bernuansa putih dengan sedikit corak merah muda, terlihat elegan tapi juga terkesan feminim, Zelin menjatuhkan bobot tubuhnya di atas kasur king size dengan sprei polos tanpa motif berwarna baby pink.
Meski umur sudah tak lagi muda, tapi dia masih suka akan hal-hal yang berbau anak gadis kecil.
Dia menumpahkan segala isi hatinya melalui isak tangis. Dibangun dengan kedap suara memudahkan Zelin untuk berteriak dan bebas mengekspresikan keadaannya saat ini. Meski hal itu tidak cukup berpengaruh sebab pintu balkon terbuka lebar.
Teringat akan kejadian seminggu yang lalu saat Zelin dan kekasihnya–Yhosan berlayar. Enam malam tujuh hari berada dalam kapal pesiar ditengah laut. Menemani sang kekasih melakukan perjalanan bisnis untuk pertama kalinya.
Disalah satu hari itu ternyata adalah hari jadi mereka yang ketujuh tahun. Zelin, sama sekali tidak mengingatnya sebab dia terlalu sibuk menikmati liburannya. Bahagia begitu menyelimuti hati kala pergi berdua untuk kali pertama.
Jarang-jarang dia bisa menikmati keindahan lautan menggunakan kapal pesiar. Bersama sang pujaan hati pula. Sungguh sebuah kebahagiaan yang belum pernah dia khayalkan kecuali saat sudah menikah nanti. Sebab berbulan madu layaknya Titanic menjadi impian Zelin.
Kala itu, siang hari dibawa birunya cakrawala dengan teriknya matahari di atas permukaan laut. Terlihat sepasang kekasih sedang menikmati indahnya pemandangan. Duduk dan mengobrol disebuah ruangan terbuka sambil menikmati semilir angin kencang.
Suasana yang terjadi diantaranya terlihat tenang. Mereka sedang asik dengan pikiran dan imajinasi masing-masing. Hingga seseorang datang menggangu ketenangan mereka. Membawakan, sebuah nampan yang dikira Zelin berisi makanan.
"Kenapa pesan makanan lagi? Aku udah kenyang banget," kata Zelin menatap Yhosan bingung.
Tujuh tahun lamanya menjalin kasih tentu membuat Zelin paham jadwal makan Yhosan. Apalagi mereka berdua termasuk golongan orang-orang yang tidak terlalu suka jajan.
"Aku hanya makan sedikit tadi. Berada di luar dengan angin kencang seperti ini membuat cacing diperut ingin diberi nutrisi," jawab Yhosan santai.
"Emangnya kamu pesan apa? Tidak takut gendut? Kita sudah makan makanan nakal selama disini," ucap Zelin memperingati.
Keduanya sama-sama tidak suka makanan berminyak atau yang banyak mengandung penyedap rasa. Mereka lebih mementingkan kesehatan untuk masa depan daripada harus memanjakan lidah setiap saat. Boleh makan sembarangan hanya saja waktunya harus diperhitungkan.
Yhosan, membuka penutup nampan yang terbuat dari aluminium tersebut. Ternyata didalamnya ada sebuah kotak beludru berwarna navy. Membuat Zelin mengerutkan kening. Dia bingung dan menerka apa yang akan terjadi di detik selanjutnya?
Dari posisi duduknya, Yhosan beranjak untuk berdiri, kemudian laki-laki itu berjongkok dan hanya bertumpu pada satu kakinya saja.
Zelin melirik kiri dan kanan. Entah sejak kapan disekitar mereka sudah banyak orang yang berdiri. Menatap sepasang kekasih itu dengan raut wajah bahagia.
"Zelin Wiraguna, bersediakah engkau menjadi pendamping hidupku? Menemani aku menghabiskan sisa hidup bersamamu dan anak-anak kita nanti?"
"Zelin Wiraguna, bersediakah engkau menjadi pendamping hidupku? Menemani aku menghabiskan sisa hidup ini bersamamu dan anak-anak kita nanti?" Kalimat itu keluar dari mulut Yhosan dengan begitu mulus. Sudah lama dia menghafal dan menantikan hari ini. Menyatakan keseriusannya pada Zelin. Alexandre Yhosanio–putra tunggal keluarga Alexander yang sudah menjalin kasih dengan Zelin sejak duduk di bangku kuliah. Saat di bangku SMA Yhosan suka tapi memendam rasa dan saat di semester 6 laki-laki berdarah Jepang itu menyatakan cinta pada Zelin. Tak ada dekorasi mewah di atas kapal pesiar ini. Hanya sebuah lamaran sederhana disertai beberapa pasang mata dengan kotak beludru yang berisikan cincin berlian incaran Zelin Minggu lalu. Zelin sebenarnya bukan pecinta berlian atau perhiasan lainnya. Namun, saat Yhosan membawanya kesebuah toko perhiasan otomatis jiwanya sebagai wanita terpanggil.
"Mama kenapa bisa masuk?" tanya Zelin dengan polosnya. Sisil dapat melihat mata anak gadisnya itu terlihat masih merah dan basah. Artinya tangis Zelin baru saja berhenti atau bahkan belum sama sekali. Ada sesak dihatinya melihat keadaan putri semata wayangnya itu. "Karena Mama adalah pemilik rumah ini!" jawab Sisil dengan lantang dan seolah terlihat angkuh. "Kalau, Mama tidak masuk dan membiarkan kalian lebih lama di sini bisa saja kalian berdua melakukan hal yang tidak-tidak," lanjutnya seolah menuduh padahal bukan itu maksud dari kedatangannya. Sampai detik ini Sisil sangat percaya pada putra putrinya. Mereka tidak akan mungkin merusak kepercayaan orang tua apalagi sampai menorehkan aib yang akan membekas diingatan masyarakat luas. Mendengar ucapan Sisil membuat Zelin dan Yhosan membulatkan matanya tak percaya. Selama tujuh tahun menjalin hubungan tak pernah mereka melakukan sebuah pelangga
Pintu baru saja terbuka, muncul wajah kaku Yhosan dan Zelin dengan senyuman mengembang seolah semua baik-baik saja. Namun, pertanyaan Ziko sontak saja membuat nyalinya menciut tiba-tiba. Apalagi raut wajah Abangnya itu tak sehangat biasa. Ziko tentu saja sudah melihat potongan-potongan video yang tersebar di sosial media. Membuatnya paham perihal tujuan mereka datang menemuinya. Apalagi berita yang dia dapat dari mata-matanya. Menjadi anak paling besar dan memiliki kewajiban untuk melindungi serta menjaga adiknya. Membuat Ziko tak serta merta melepaskannya begitu saja. Ada banyak pengawalan tanpa sepengetahuan Zelin. "Abang, lagi banyak pekerjaan?" tanya Zelin hati-hati. Padahal tadi dia sudah menyiapkan diri dengan matang setelah beradu argument dengan perasaannya. Di satau sisi Zelin berfikir bahwa seharusnya dia tidak turut membawa Yhosan terlebih dahulu. Sebab biarpun Ziko menyukai Yhosan
"Abang yakin tidak ingin menerima tawaran dariku?" tanya Zelin lagi memastikan."Tidak, Zelin Wiraguna." Ziko menjawab dengan tegas."Eemm ... bagaimana kalau Abang dengarkan dulu proposal kerjasamanya. Siapa tahu tertarik," ucap Zelin tak berputus asa."Tidak perlu. Aku sangat yakin bahwa kerjasama yang kamu tawarkan tidak menarik dan sama sekali tidak memiliki keuntungan untukku," ucap Ziko."Abang gak percaya sama adik sendiri?" tanya Zelin dengan wajah memelas."Aku percaya! Hanya saja tak ingin melakukan suatu kesepakatan apa pun padamu," jawab Ziko dengan sombong.Mendengar perkataan Ziko membuat Zelin semakin kesal. Dia seolah sedang dipermainkan dengan Abangnya sendiri. Padahal hal yang ingin dia tawarkan tentu saja akan menguntungkan mereka berdua."Kalau, Abang tidak mau tahu maka tidak masalah bagiku, tapi sebagai adik terbaikn
Ziko membuka jas hitam yang menutupi kemeja biru navy. Merebahkan tubuhnya di atas sofa dengan kepala yang bertumpu di tangan."Masih tak ingin pulang? Abang lelah, ingin tidur," kata Ziko.Entah harus dengan cara apa lagi agar Zelin mau pulang. Ziko benar-benar tidak memiliki tenaga kalau harus meladeni pikiran-pikiran adiknya yang tak sejalan dengan dirinya. Dia bahkan hampir kehilangan kesabaran dalam menghadapi sikap adiknya hari ini."Apa yang terjadi pada Papa dan Mama? Kenapa aturan tak tertulis yang memberatkan ini harus hadir tiba-tiba?" tanya Ziko dalam hati.Peraturan macam apa itu? Hanya sebuah peraturan yang dapat merampas hak orang lain untuk bahagia. Apa orang tua mereka lupa bahwa saat ini abad kedua puluh satu bukan abad ke tujuh belas saat berdirinya VOC."Aku tidak akan pulang sampai Abang menerima tawaranku," kata Zelin menantang."K
Mobil Tesla berwarna berwarna hitam dengan dua penumpang didalamnya keluar dari parkiran perusahaan Wiraguna Crop. Suasana didalam begitu mencekam.Kegagalan untuk menikah nyatanya membuat calon pengantin dan juga orang disekitar terlibat luka hati. Berperang dengan perasaan masing-masing."Apa kamu juga sedang memikirkan cara lain?" tanya Yhosan tiba-tiba.Padahal dia sendiri sedang tidak memikirkan apapun, tapi daripada suasana terasa seperti di rumah hantu jadi lebih baik memulai percakapan mengenai rencana mereka saja, pikir Yhosan."Huum. Aku sedang memikirkan, bagaimana kalau kiamat datang dan kita masih belum menikah? Kapan lagi akan merasakan kenikmatan duniawi?" tanya Zelin.Yhosan mengerutkan keningnya. Kenapa tiba-tiba jadi bahas hari kiamat dan kenikmatan duniawi? Padahal yang ada dipikiran laki-laki itu adalah bagaimana cara agar Ziko bisa jatuh cinta pada wanita.
"Kamu tetap akan pergi?" tanya Yhosan saat melihat kekasihnya yang sedang berdiri didepan pintu rumah dengan dua buah koper besar.Seminggu lalu saat pengunduran pernikahan mereka. Malamnya keluarga besar Zelin telah berunding dan memutuskan bahwa peraturan tidak bisa dirubah.Oleh sebab itu hari ini, Zelin memutuskan untuk pergi ke desa Suka Hati. Dengan harapan di sana mungkin dia akan menemukan wanita yang tepat untuk Ziko."Ya, Sayang. Kalau aku tidak pergi bagaimana dengan kelanjutan hubungan kita?" Zelin balik bertanya.Sejak keputusan itu di buat, Yhosan adalah orang yang paling menentang rencana Zelin untuk pergi ke desa. Dia tidak bisa berjauhan dengan kekasih hatinya itu."Tapi, 'kan kita bisa cari wanita lain. Di sini ada banyak wanita cantik yang mungkin salah satunya diinginkan oleh Bang Ziko," ucap Yhosan membujuk.Bagi Yhosan tidak masalah kalau pernikahannya di undur, tapi tidak untuk kepergian Zelin ke Desa yang jaraknya cukup jauh dari kota. Selama tujuh tahun merek
"Kamu tetap akan pergi?" tanya Yhosan saat melihat kekasihnya yang sedang berdiri didepan pintu rumah dengan dua buah koper besar.Seminggu lalu saat pengunduran pernikahan mereka. Malamnya keluarga besar Zelin telah berunding dan memutuskan bahwa peraturan tidak bisa dirubah.Oleh sebab itu hari ini, Zelin memutuskan untuk pergi ke desa Suka Hati. Dengan harapan di sana mungkin dia akan menemukan wanita yang tepat untuk Ziko."Ya, Sayang. Kalau aku tidak pergi bagaimana dengan kelanjutan hubungan kita?" Zelin balik bertanya.Sejak keputusan itu di buat, Yhosan adalah orang yang paling menentang rencana Zelin untuk pergi ke desa. Dia tidak bisa berjauhan dengan kekasih hatinya itu."Tapi, 'kan kita bisa cari wanita lain. Di sini ada banyak wanita cantik yang mungkin salah satunya diinginkan oleh Bang Ziko," ucap Yhosan membujuk.Bagi Yhosan tidak masalah kalau pernikahannya di undur, tapi tidak untuk kepergian Zelin ke Desa yang jaraknya cukup jauh dari kota. Selama tujuh tahun merek
Mobil Tesla berwarna berwarna hitam dengan dua penumpang didalamnya keluar dari parkiran perusahaan Wiraguna Crop. Suasana didalam begitu mencekam.Kegagalan untuk menikah nyatanya membuat calon pengantin dan juga orang disekitar terlibat luka hati. Berperang dengan perasaan masing-masing."Apa kamu juga sedang memikirkan cara lain?" tanya Yhosan tiba-tiba.Padahal dia sendiri sedang tidak memikirkan apapun, tapi daripada suasana terasa seperti di rumah hantu jadi lebih baik memulai percakapan mengenai rencana mereka saja, pikir Yhosan."Huum. Aku sedang memikirkan, bagaimana kalau kiamat datang dan kita masih belum menikah? Kapan lagi akan merasakan kenikmatan duniawi?" tanya Zelin.Yhosan mengerutkan keningnya. Kenapa tiba-tiba jadi bahas hari kiamat dan kenikmatan duniawi? Padahal yang ada dipikiran laki-laki itu adalah bagaimana cara agar Ziko bisa jatuh cinta pada wanita.
Ziko membuka jas hitam yang menutupi kemeja biru navy. Merebahkan tubuhnya di atas sofa dengan kepala yang bertumpu di tangan."Masih tak ingin pulang? Abang lelah, ingin tidur," kata Ziko.Entah harus dengan cara apa lagi agar Zelin mau pulang. Ziko benar-benar tidak memiliki tenaga kalau harus meladeni pikiran-pikiran adiknya yang tak sejalan dengan dirinya. Dia bahkan hampir kehilangan kesabaran dalam menghadapi sikap adiknya hari ini."Apa yang terjadi pada Papa dan Mama? Kenapa aturan tak tertulis yang memberatkan ini harus hadir tiba-tiba?" tanya Ziko dalam hati.Peraturan macam apa itu? Hanya sebuah peraturan yang dapat merampas hak orang lain untuk bahagia. Apa orang tua mereka lupa bahwa saat ini abad kedua puluh satu bukan abad ke tujuh belas saat berdirinya VOC."Aku tidak akan pulang sampai Abang menerima tawaranku," kata Zelin menantang."K
"Abang yakin tidak ingin menerima tawaran dariku?" tanya Zelin lagi memastikan."Tidak, Zelin Wiraguna." Ziko menjawab dengan tegas."Eemm ... bagaimana kalau Abang dengarkan dulu proposal kerjasamanya. Siapa tahu tertarik," ucap Zelin tak berputus asa."Tidak perlu. Aku sangat yakin bahwa kerjasama yang kamu tawarkan tidak menarik dan sama sekali tidak memiliki keuntungan untukku," ucap Ziko."Abang gak percaya sama adik sendiri?" tanya Zelin dengan wajah memelas."Aku percaya! Hanya saja tak ingin melakukan suatu kesepakatan apa pun padamu," jawab Ziko dengan sombong.Mendengar perkataan Ziko membuat Zelin semakin kesal. Dia seolah sedang dipermainkan dengan Abangnya sendiri. Padahal hal yang ingin dia tawarkan tentu saja akan menguntungkan mereka berdua."Kalau, Abang tidak mau tahu maka tidak masalah bagiku, tapi sebagai adik terbaikn
Pintu baru saja terbuka, muncul wajah kaku Yhosan dan Zelin dengan senyuman mengembang seolah semua baik-baik saja. Namun, pertanyaan Ziko sontak saja membuat nyalinya menciut tiba-tiba. Apalagi raut wajah Abangnya itu tak sehangat biasa. Ziko tentu saja sudah melihat potongan-potongan video yang tersebar di sosial media. Membuatnya paham perihal tujuan mereka datang menemuinya. Apalagi berita yang dia dapat dari mata-matanya. Menjadi anak paling besar dan memiliki kewajiban untuk melindungi serta menjaga adiknya. Membuat Ziko tak serta merta melepaskannya begitu saja. Ada banyak pengawalan tanpa sepengetahuan Zelin. "Abang, lagi banyak pekerjaan?" tanya Zelin hati-hati. Padahal tadi dia sudah menyiapkan diri dengan matang setelah beradu argument dengan perasaannya. Di satau sisi Zelin berfikir bahwa seharusnya dia tidak turut membawa Yhosan terlebih dahulu. Sebab biarpun Ziko menyukai Yhosan
"Mama kenapa bisa masuk?" tanya Zelin dengan polosnya. Sisil dapat melihat mata anak gadisnya itu terlihat masih merah dan basah. Artinya tangis Zelin baru saja berhenti atau bahkan belum sama sekali. Ada sesak dihatinya melihat keadaan putri semata wayangnya itu. "Karena Mama adalah pemilik rumah ini!" jawab Sisil dengan lantang dan seolah terlihat angkuh. "Kalau, Mama tidak masuk dan membiarkan kalian lebih lama di sini bisa saja kalian berdua melakukan hal yang tidak-tidak," lanjutnya seolah menuduh padahal bukan itu maksud dari kedatangannya. Sampai detik ini Sisil sangat percaya pada putra putrinya. Mereka tidak akan mungkin merusak kepercayaan orang tua apalagi sampai menorehkan aib yang akan membekas diingatan masyarakat luas. Mendengar ucapan Sisil membuat Zelin dan Yhosan membulatkan matanya tak percaya. Selama tujuh tahun menjalin hubungan tak pernah mereka melakukan sebuah pelangga
"Zelin Wiraguna, bersediakah engkau menjadi pendamping hidupku? Menemani aku menghabiskan sisa hidup ini bersamamu dan anak-anak kita nanti?" Kalimat itu keluar dari mulut Yhosan dengan begitu mulus. Sudah lama dia menghafal dan menantikan hari ini. Menyatakan keseriusannya pada Zelin. Alexandre Yhosanio–putra tunggal keluarga Alexander yang sudah menjalin kasih dengan Zelin sejak duduk di bangku kuliah. Saat di bangku SMA Yhosan suka tapi memendam rasa dan saat di semester 6 laki-laki berdarah Jepang itu menyatakan cinta pada Zelin. Tak ada dekorasi mewah di atas kapal pesiar ini. Hanya sebuah lamaran sederhana disertai beberapa pasang mata dengan kotak beludru yang berisikan cincin berlian incaran Zelin Minggu lalu. Zelin sebenarnya bukan pecinta berlian atau perhiasan lainnya. Namun, saat Yhosan membawanya kesebuah toko perhiasan otomatis jiwanya sebagai wanita terpanggil.
"Maafkan, Papa." Zoy menghembuskan nafasnya kasar. "Tapi ini adalah sebuah aturan tidak tertulis yang sudah berlaku sejak puluhan tahun lalu – tak ada satu pun yang boleh menentangnya." Zoy menjelaskan dengan tenang, meski raut wajahnya tidak bisa berbohong. Laki-laki yang masih terlihat tampan meski usianya sudah memasuki lima puluh dua tahun itu duduk dengan penuh wibawa sembari memperhatikan putrinya terisak dipangkuan sang istri. Hari ini cuaca di luar cukup panas – 32°C cukup menambah kobaran api didalam lubuk hati wanita malang yang sedang terisak akibat tak terima atas keputusan sang Papa. Sebagai orang tua tentu saja Zoy tak tega saat melihat putri sematawayangnya tersakiti akibat tradisi. Hatinya pedih. Namun, tak ada yang bisa diperbuat selain memberi pengertian pada putrinya. Sisil–ibunya Zelin hanya mampu mengusap lembut kepala putrinya. Melihat bagaimana terguncangnya tubuh gadis