"Abang yakin tidak ingin menerima tawaran dariku?" tanya Zelin lagi memastikan.
"Tidak, Zelin Wiraguna." Ziko menjawab dengan tegas.
"Eemm ... bagaimana kalau Abang dengarkan dulu proposal kerjasamanya. Siapa tahu tertarik," ucap Zelin tak berputus asa.
"Tidak perlu. Aku sangat yakin bahwa kerjasama yang kamu tawarkan tidak menarik dan sama sekali tidak memiliki keuntungan untukku," ucap Ziko.
"Abang gak percaya sama adik sendiri?" tanya Zelin dengan wajah memelas.
"Aku percaya! Hanya saja tak ingin melakukan suatu kesepakatan apa pun padamu," jawab Ziko dengan sombong.
Mendengar perkataan Ziko membuat Zelin semakin kesal. Dia seolah sedang dipermainkan dengan Abangnya sendiri. Padahal hal yang ingin dia tawarkan tentu saja akan menguntungkan mereka berdua.
"Kalau, Abang tidak mau tahu maka tidak masalah bagiku, tapi sebagai adik terbaiknya Ziko Wiraguna, aku akan memberitahu kepada Abang." Zelin masih tetap pantang menyerah.
Ziko menghembuskan napas kasar. Dari kecil hidup bersama membuatnya paham betul bagaimana sifat adiknya ini.
"Up to you! Lakukan apa pun yang kamu mau selama hal itu tidak merugikan Abang sama sekali," kata Ziko serius.
Akhirnya Ziko mengalah. Dia tahu kalau Zelin sudah maju maka tidak akan bisa dihentikan. Selagi itu tidak merugikan tak mengapa pikir Ziko.
Lagi pula, sejak dulu sampai saat ini Zelin tidak pernah merugikan Ziko. Sampai saat ini tindakan Zelin masih dibatas aman. Kalau soal menghamburkan uang?
Oh, sungguh tidak perlu diragukan lagi, Zelin Wiraguna adalah ratunya. Bahkan melebihi Sisil. Lalu, Ziko? Abangnya itu sama sekali tidak pernah mempermasalahkan.
Perusahaan dan uang yang mereka kelola serta nikmati saat ini adalah milik orang tuanya bukan hasil jeri payah dari nol. Lalu untuk apa keberatan dengan harta yang mungkin tidak akan habis tujuh turunan?
"Baiklah kalau begitu," kata Zelin tersenyum puas. Akhirnya dia mendapatkan angin segar.
Melihat sikap Ziko yang seperti ini semakin buat Zelin tertantang untuk segera memulai rencana yang telah dia susun dengan rapi.
"Jangan memikirkan hal yang bukan-bukan!" Ziko memperingati adiknya.
"Hanya sedikit," kata Zelin tersenyum jahil. "Aku, akan pastikan kalau Abang tidak akan rugi sedikitpun. Malah kita akan sama-sama mendapatkan keuntungan" lanjut Zelin dengan semangat empat lima.
"Aku tidak percaya," kata Ziko mengalihkan pandangan dari adiknya.
"Memang sudah seharusnya Abang tidak perlu percaya padaku. Aku bukan Tuhan yang harus Abang percayai. Aku ini si anak manja – Zelin Wiraguna yang hobinya hanya menghabiskan uang saja."
Zelin berkata benar. Kalau, Ziko yang seorang manusia ini percaya padanya maka dia bisa dikategorikan orang musyrik. Sebab sejatinya manusia hanya boleh percaya pada Tuhan saja.
"Baiklah," ucap Ziko malas.
Tidak ada pilihan lain selain mengikuti kemauan adiknya. Meski Ziko tidak tahu apa yang akan direncanakan oleh Zelin.
"Aku, akan mencarikan calon istri untuk, Abang." Zelin berkata cepat, tepat, singkat dan padat.
Membuat, Ziko tiba-tiba tersedak oleh air liurnya sendiri. Tak pernah terbayangkan sebelumnya kalau Zelin bisa seberani itu. Berdiri dari duduknya lalu berjalan ke mini pantry yang ada disudut ruangannya. Ziko mengambil gelas dan mengisinya dengan air.
Meneguk seluruh isi gelas itu dengan cepat. Tenggorokannya harus segera disapu oleh air mineral agar dia bisa sedikit lega. Ucapan Zelin sungguh membuatnya tak habis pikir.
"Calon istri? Yang benar saja! Dia pikir mencari calon istri seperti membeli tas Hermes di Mall?! Pikiran anak ini benar-benar sudah kacau," batin Ziko
"Sudah gila?" tanya Ziko memandang Zelin yang masih santai duduk di sofa tamu kantornya.
"Aku atau Abang?" tanya Zelin menantang.
"Kamu, lah. Masa, Abang." Ziko menjawab cepat.
"Bukan, aku tapi Abang! Kalau, Abang tidak gila kenapa sampai saat ini belum menikah juga? Apa tidak tertarik pada wanita?" tanya Zelin.
Kali ini sepertinya Zelin benar-benar ingin menantang Kakaknya itu. Bukan, karena dia egois. Namun, harus Zelin akui bahwa sejak dulu sampai saat ini dia belum pernah melihat Ziko jatuh cinta, berpacaran atau punya teman dekat wanita.
"Sepertinya, kamu ingin menabuh genderang perang dengan, Abangmu sendiri?" tanya Arya menaikkan kedua alisnya.
"Berperang? Dengan Abang? Untuk apa? Aku dalam hal ini hanya ingin mencarikan wanita agar titid Abang tidak digunakan untuk buang air kecil saja," kata Zelin tidak mau kalah.
Zelin bertekad bahwa kali ini dirinya tidak akan kalah. Demi cintanya pada Yhosan yang terhalang untuk menikah akibat Ziko tak kunjung menemukan pelabuhan terakhir.
Ini bukan soal Zelin yang sudah tidak kesabaran untuk menikah apalagi melakukan adegan enak-enak dengan Yhosan, tapi ini tentang masa depan Abangnya.
Hal ini juga menyangkut generasi penerus keluarga besar Wiraguna. Meski Zoy memilik sepasang anak. Namun, nantinya hanya anak Ziko lah yang dapat meneruskan perusahaan dan nama besar Wiraguna.
"Kemana kekasihmu itu? Kenapa belum kembali?" tanya Ziko mengalihkan pembicaraan.
"Mungkin dia ke toilet SPBU," jawab Zelin.
"Hubungi dia agar kalian bisa segera pulang," titah Ziko.
Ziko sama sekali tidak bisa berkata banyak pada adiknya. Selama dua puluh lima tahun usia Zelin tak pernah sedikit pun adik sematawayangnya itu lepas dari tatapan mata Ziko.
Membuatnya tahu betul harus berbuat apa. Zelin jika diladeni terus-menerus tidak akan ada habisnya. Namun, bila didiamkan maka wanita itu akan bosan dan diam dengan sendirinya.
"Wow ternyata Abang sudah berani mengusir adik sendiri?" tanya Zelin dengan tepuk tangan yang bergemuruh.
Wanita itu terlihat semakin berani menghadapi Abangnya.. Kini dia duduk dengan sombong. Membusungkan dadanya, menaikkan kaki kanan agar bertumpu pada kaki kirinya. Kedua tangannya pun berpangku pada bagian paha.
Sungguh terlihat seperti ibu-ibu sosialita. Apalagi tas Hermes yang begitu menyilaukan mata.
"Ya, diusir ajalah kalau tingkahnya seperti ini," kata Ziko mencibir cara duduk Zelin.
"Mau ditelepon, Papa?" tanya Zelin mengancam. Dia sudah mengeluarkan ponsel merek Apple keluaran terbaru yang baru saja dibelikan Ziko dua Minggu lalu.
Sebagai anak paling kecil yang hobinya hanya menghabiskan uang dan menyusahkan Abangnya. Zelin akan terus berpenampilan cantik, mewah dan mahal.
"Ancaman macam apa itu?" tanya Ziko meremehkan.
"Astaga," ucap Zelin menutup mulutnya yang menganga dengan kedua telapak tangannya. "Apa, Abang sudah tidak takut pada Papa? Tidak hormat? Ingat, Bang ... Papa adalah orang yang selalu ada dan membela kita kalau Mama sedang marah," kata Zelin seolah mengingatkan.
Ziko memijat pelipisnya pelan. Dia benar-benar sangat pusing menghadapi wanita dihadapannya ini. Padahal seingatnya dulu Zelin tidak begini.
"Apa karena pernikahannya terhambat membuat Zelin jadi mengalami gangguan jiwa?" tanya Ziko dalam hati.
"Pulanglah. Akan kita bicarakan hal ini nanti," kata Ziko melemah.
Ziko mampu menghadapi segala tingkah laku adiknya termasuk kalau hari ini juga Zelin minta dibelikan tas bermerek keluaran terbaru yang diproduksi dengan jumlah terbatas.
Namun, untuk urusan pasangan hidupnya, Ziko tak ingin Zelin terlalu ikut campur. Sebab untuk saat ini dan entah sampai kapan pun tidak keinginan menikah didalam dirinya.
"Aku, akan pulang kalau Abang berjanji satu hal," kata Zelin memberi penawaran sekali lagi.
"Kenapa kamu jadi ahli marketing? Atau jangan-jangan kamu sudah tidak ingin mendapatkan tas keluaran terbaru tanpa bekerja lagi?" tanya Ziko yang sudah benar-benar pusing dengan adiknya itu.
"Tas baru? Ada yang baru kah?" tanya Zelin sambil membuka ponselnya. Mencari stok tas terbaru dari brand kesayangan.
Untuk beberapa saat wanita itu berhasil dialihkan dengan kesibukan mencari tas terbaru. Namun, beberapa menit kemudian dia sadar bahwa Ziko sedang mengelabuinya.
"Tidak ada tas baru! Jangan bohong padaku! Mereka pasti akan langsung menghubungi jika mengeluarkan model baru," gerutu Zelin pada Ziko sambil menghempaskan ponselnya ke samping kiri tempat duduknya.
Ziko hanya tertawa kecil saja. Dia yakin sebentar lagi perang pasti akan berlanjut.
"Bang, ayolah. Terima tawaranku dan aku akan pulang," kata Zelin yang juga mulai lelah.
"Aku tidak akan menikah! Kalau kamu ingin menikah ya silahkan, tak perlu ada kerjasama atau tawaran apa pun itu," kata Ziko. "Pulanglah! Aku benar-benar lelah," lanjutnya.
Tentu saja si keras kepala Zelin tidak akan semudah itu untuk mundur. Mau diusir seribu kali pun oleh Ziko dia tetap tidak akan pulang!
Tidak akan! Selama Ziko belum memberi izin untuk Zelin mencarikannya calon istri maka adik kandung Ziko Wiraguna itu tidak akan pernah mundur dari medan pertempuran.
Ziko membuka jas hitam yang menutupi kemeja biru navy. Merebahkan tubuhnya di atas sofa dengan kepala yang bertumpu di tangan."Masih tak ingin pulang? Abang lelah, ingin tidur," kata Ziko.Entah harus dengan cara apa lagi agar Zelin mau pulang. Ziko benar-benar tidak memiliki tenaga kalau harus meladeni pikiran-pikiran adiknya yang tak sejalan dengan dirinya. Dia bahkan hampir kehilangan kesabaran dalam menghadapi sikap adiknya hari ini."Apa yang terjadi pada Papa dan Mama? Kenapa aturan tak tertulis yang memberatkan ini harus hadir tiba-tiba?" tanya Ziko dalam hati.Peraturan macam apa itu? Hanya sebuah peraturan yang dapat merampas hak orang lain untuk bahagia. Apa orang tua mereka lupa bahwa saat ini abad kedua puluh satu bukan abad ke tujuh belas saat berdirinya VOC."Aku tidak akan pulang sampai Abang menerima tawaranku," kata Zelin menantang."K
Mobil Tesla berwarna berwarna hitam dengan dua penumpang didalamnya keluar dari parkiran perusahaan Wiraguna Crop. Suasana didalam begitu mencekam.Kegagalan untuk menikah nyatanya membuat calon pengantin dan juga orang disekitar terlibat luka hati. Berperang dengan perasaan masing-masing."Apa kamu juga sedang memikirkan cara lain?" tanya Yhosan tiba-tiba.Padahal dia sendiri sedang tidak memikirkan apapun, tapi daripada suasana terasa seperti di rumah hantu jadi lebih baik memulai percakapan mengenai rencana mereka saja, pikir Yhosan."Huum. Aku sedang memikirkan, bagaimana kalau kiamat datang dan kita masih belum menikah? Kapan lagi akan merasakan kenikmatan duniawi?" tanya Zelin.Yhosan mengerutkan keningnya. Kenapa tiba-tiba jadi bahas hari kiamat dan kenikmatan duniawi? Padahal yang ada dipikiran laki-laki itu adalah bagaimana cara agar Ziko bisa jatuh cinta pada wanita.
"Kamu tetap akan pergi?" tanya Yhosan saat melihat kekasihnya yang sedang berdiri didepan pintu rumah dengan dua buah koper besar.Seminggu lalu saat pengunduran pernikahan mereka. Malamnya keluarga besar Zelin telah berunding dan memutuskan bahwa peraturan tidak bisa dirubah.Oleh sebab itu hari ini, Zelin memutuskan untuk pergi ke desa Suka Hati. Dengan harapan di sana mungkin dia akan menemukan wanita yang tepat untuk Ziko."Ya, Sayang. Kalau aku tidak pergi bagaimana dengan kelanjutan hubungan kita?" Zelin balik bertanya.Sejak keputusan itu di buat, Yhosan adalah orang yang paling menentang rencana Zelin untuk pergi ke desa. Dia tidak bisa berjauhan dengan kekasih hatinya itu."Tapi, 'kan kita bisa cari wanita lain. Di sini ada banyak wanita cantik yang mungkin salah satunya diinginkan oleh Bang Ziko," ucap Yhosan membujuk.Bagi Yhosan tidak masalah kalau pernikahannya di undur, tapi tidak untuk kepergian Zelin ke Desa yang jaraknya cukup jauh dari kota. Selama tujuh tahun merek
"Maafkan, Papa." Zoy menghembuskan nafasnya kasar. "Tapi ini adalah sebuah aturan tidak tertulis yang sudah berlaku sejak puluhan tahun lalu – tak ada satu pun yang boleh menentangnya." Zoy menjelaskan dengan tenang, meski raut wajahnya tidak bisa berbohong. Laki-laki yang masih terlihat tampan meski usianya sudah memasuki lima puluh dua tahun itu duduk dengan penuh wibawa sembari memperhatikan putrinya terisak dipangkuan sang istri. Hari ini cuaca di luar cukup panas – 32°C cukup menambah kobaran api didalam lubuk hati wanita malang yang sedang terisak akibat tak terima atas keputusan sang Papa. Sebagai orang tua tentu saja Zoy tak tega saat melihat putri sematawayangnya tersakiti akibat tradisi. Hatinya pedih. Namun, tak ada yang bisa diperbuat selain memberi pengertian pada putrinya. Sisil–ibunya Zelin hanya mampu mengusap lembut kepala putrinya. Melihat bagaimana terguncangnya tubuh gadis
"Zelin Wiraguna, bersediakah engkau menjadi pendamping hidupku? Menemani aku menghabiskan sisa hidup ini bersamamu dan anak-anak kita nanti?" Kalimat itu keluar dari mulut Yhosan dengan begitu mulus. Sudah lama dia menghafal dan menantikan hari ini. Menyatakan keseriusannya pada Zelin. Alexandre Yhosanio–putra tunggal keluarga Alexander yang sudah menjalin kasih dengan Zelin sejak duduk di bangku kuliah. Saat di bangku SMA Yhosan suka tapi memendam rasa dan saat di semester 6 laki-laki berdarah Jepang itu menyatakan cinta pada Zelin. Tak ada dekorasi mewah di atas kapal pesiar ini. Hanya sebuah lamaran sederhana disertai beberapa pasang mata dengan kotak beludru yang berisikan cincin berlian incaran Zelin Minggu lalu. Zelin sebenarnya bukan pecinta berlian atau perhiasan lainnya. Namun, saat Yhosan membawanya kesebuah toko perhiasan otomatis jiwanya sebagai wanita terpanggil.
"Mama kenapa bisa masuk?" tanya Zelin dengan polosnya. Sisil dapat melihat mata anak gadisnya itu terlihat masih merah dan basah. Artinya tangis Zelin baru saja berhenti atau bahkan belum sama sekali. Ada sesak dihatinya melihat keadaan putri semata wayangnya itu. "Karena Mama adalah pemilik rumah ini!" jawab Sisil dengan lantang dan seolah terlihat angkuh. "Kalau, Mama tidak masuk dan membiarkan kalian lebih lama di sini bisa saja kalian berdua melakukan hal yang tidak-tidak," lanjutnya seolah menuduh padahal bukan itu maksud dari kedatangannya. Sampai detik ini Sisil sangat percaya pada putra putrinya. Mereka tidak akan mungkin merusak kepercayaan orang tua apalagi sampai menorehkan aib yang akan membekas diingatan masyarakat luas. Mendengar ucapan Sisil membuat Zelin dan Yhosan membulatkan matanya tak percaya. Selama tujuh tahun menjalin hubungan tak pernah mereka melakukan sebuah pelangga
Pintu baru saja terbuka, muncul wajah kaku Yhosan dan Zelin dengan senyuman mengembang seolah semua baik-baik saja. Namun, pertanyaan Ziko sontak saja membuat nyalinya menciut tiba-tiba. Apalagi raut wajah Abangnya itu tak sehangat biasa. Ziko tentu saja sudah melihat potongan-potongan video yang tersebar di sosial media. Membuatnya paham perihal tujuan mereka datang menemuinya. Apalagi berita yang dia dapat dari mata-matanya. Menjadi anak paling besar dan memiliki kewajiban untuk melindungi serta menjaga adiknya. Membuat Ziko tak serta merta melepaskannya begitu saja. Ada banyak pengawalan tanpa sepengetahuan Zelin. "Abang, lagi banyak pekerjaan?" tanya Zelin hati-hati. Padahal tadi dia sudah menyiapkan diri dengan matang setelah beradu argument dengan perasaannya. Di satau sisi Zelin berfikir bahwa seharusnya dia tidak turut membawa Yhosan terlebih dahulu. Sebab biarpun Ziko menyukai Yhosan
"Kamu tetap akan pergi?" tanya Yhosan saat melihat kekasihnya yang sedang berdiri didepan pintu rumah dengan dua buah koper besar.Seminggu lalu saat pengunduran pernikahan mereka. Malamnya keluarga besar Zelin telah berunding dan memutuskan bahwa peraturan tidak bisa dirubah.Oleh sebab itu hari ini, Zelin memutuskan untuk pergi ke desa Suka Hati. Dengan harapan di sana mungkin dia akan menemukan wanita yang tepat untuk Ziko."Ya, Sayang. Kalau aku tidak pergi bagaimana dengan kelanjutan hubungan kita?" Zelin balik bertanya.Sejak keputusan itu di buat, Yhosan adalah orang yang paling menentang rencana Zelin untuk pergi ke desa. Dia tidak bisa berjauhan dengan kekasih hatinya itu."Tapi, 'kan kita bisa cari wanita lain. Di sini ada banyak wanita cantik yang mungkin salah satunya diinginkan oleh Bang Ziko," ucap Yhosan membujuk.Bagi Yhosan tidak masalah kalau pernikahannya di undur, tapi tidak untuk kepergian Zelin ke Desa yang jaraknya cukup jauh dari kota. Selama tujuh tahun merek
Mobil Tesla berwarna berwarna hitam dengan dua penumpang didalamnya keluar dari parkiran perusahaan Wiraguna Crop. Suasana didalam begitu mencekam.Kegagalan untuk menikah nyatanya membuat calon pengantin dan juga orang disekitar terlibat luka hati. Berperang dengan perasaan masing-masing."Apa kamu juga sedang memikirkan cara lain?" tanya Yhosan tiba-tiba.Padahal dia sendiri sedang tidak memikirkan apapun, tapi daripada suasana terasa seperti di rumah hantu jadi lebih baik memulai percakapan mengenai rencana mereka saja, pikir Yhosan."Huum. Aku sedang memikirkan, bagaimana kalau kiamat datang dan kita masih belum menikah? Kapan lagi akan merasakan kenikmatan duniawi?" tanya Zelin.Yhosan mengerutkan keningnya. Kenapa tiba-tiba jadi bahas hari kiamat dan kenikmatan duniawi? Padahal yang ada dipikiran laki-laki itu adalah bagaimana cara agar Ziko bisa jatuh cinta pada wanita.
Ziko membuka jas hitam yang menutupi kemeja biru navy. Merebahkan tubuhnya di atas sofa dengan kepala yang bertumpu di tangan."Masih tak ingin pulang? Abang lelah, ingin tidur," kata Ziko.Entah harus dengan cara apa lagi agar Zelin mau pulang. Ziko benar-benar tidak memiliki tenaga kalau harus meladeni pikiran-pikiran adiknya yang tak sejalan dengan dirinya. Dia bahkan hampir kehilangan kesabaran dalam menghadapi sikap adiknya hari ini."Apa yang terjadi pada Papa dan Mama? Kenapa aturan tak tertulis yang memberatkan ini harus hadir tiba-tiba?" tanya Ziko dalam hati.Peraturan macam apa itu? Hanya sebuah peraturan yang dapat merampas hak orang lain untuk bahagia. Apa orang tua mereka lupa bahwa saat ini abad kedua puluh satu bukan abad ke tujuh belas saat berdirinya VOC."Aku tidak akan pulang sampai Abang menerima tawaranku," kata Zelin menantang."K
"Abang yakin tidak ingin menerima tawaran dariku?" tanya Zelin lagi memastikan."Tidak, Zelin Wiraguna." Ziko menjawab dengan tegas."Eemm ... bagaimana kalau Abang dengarkan dulu proposal kerjasamanya. Siapa tahu tertarik," ucap Zelin tak berputus asa."Tidak perlu. Aku sangat yakin bahwa kerjasama yang kamu tawarkan tidak menarik dan sama sekali tidak memiliki keuntungan untukku," ucap Ziko."Abang gak percaya sama adik sendiri?" tanya Zelin dengan wajah memelas."Aku percaya! Hanya saja tak ingin melakukan suatu kesepakatan apa pun padamu," jawab Ziko dengan sombong.Mendengar perkataan Ziko membuat Zelin semakin kesal. Dia seolah sedang dipermainkan dengan Abangnya sendiri. Padahal hal yang ingin dia tawarkan tentu saja akan menguntungkan mereka berdua."Kalau, Abang tidak mau tahu maka tidak masalah bagiku, tapi sebagai adik terbaikn
Pintu baru saja terbuka, muncul wajah kaku Yhosan dan Zelin dengan senyuman mengembang seolah semua baik-baik saja. Namun, pertanyaan Ziko sontak saja membuat nyalinya menciut tiba-tiba. Apalagi raut wajah Abangnya itu tak sehangat biasa. Ziko tentu saja sudah melihat potongan-potongan video yang tersebar di sosial media. Membuatnya paham perihal tujuan mereka datang menemuinya. Apalagi berita yang dia dapat dari mata-matanya. Menjadi anak paling besar dan memiliki kewajiban untuk melindungi serta menjaga adiknya. Membuat Ziko tak serta merta melepaskannya begitu saja. Ada banyak pengawalan tanpa sepengetahuan Zelin. "Abang, lagi banyak pekerjaan?" tanya Zelin hati-hati. Padahal tadi dia sudah menyiapkan diri dengan matang setelah beradu argument dengan perasaannya. Di satau sisi Zelin berfikir bahwa seharusnya dia tidak turut membawa Yhosan terlebih dahulu. Sebab biarpun Ziko menyukai Yhosan
"Mama kenapa bisa masuk?" tanya Zelin dengan polosnya. Sisil dapat melihat mata anak gadisnya itu terlihat masih merah dan basah. Artinya tangis Zelin baru saja berhenti atau bahkan belum sama sekali. Ada sesak dihatinya melihat keadaan putri semata wayangnya itu. "Karena Mama adalah pemilik rumah ini!" jawab Sisil dengan lantang dan seolah terlihat angkuh. "Kalau, Mama tidak masuk dan membiarkan kalian lebih lama di sini bisa saja kalian berdua melakukan hal yang tidak-tidak," lanjutnya seolah menuduh padahal bukan itu maksud dari kedatangannya. Sampai detik ini Sisil sangat percaya pada putra putrinya. Mereka tidak akan mungkin merusak kepercayaan orang tua apalagi sampai menorehkan aib yang akan membekas diingatan masyarakat luas. Mendengar ucapan Sisil membuat Zelin dan Yhosan membulatkan matanya tak percaya. Selama tujuh tahun menjalin hubungan tak pernah mereka melakukan sebuah pelangga
"Zelin Wiraguna, bersediakah engkau menjadi pendamping hidupku? Menemani aku menghabiskan sisa hidup ini bersamamu dan anak-anak kita nanti?" Kalimat itu keluar dari mulut Yhosan dengan begitu mulus. Sudah lama dia menghafal dan menantikan hari ini. Menyatakan keseriusannya pada Zelin. Alexandre Yhosanio–putra tunggal keluarga Alexander yang sudah menjalin kasih dengan Zelin sejak duduk di bangku kuliah. Saat di bangku SMA Yhosan suka tapi memendam rasa dan saat di semester 6 laki-laki berdarah Jepang itu menyatakan cinta pada Zelin. Tak ada dekorasi mewah di atas kapal pesiar ini. Hanya sebuah lamaran sederhana disertai beberapa pasang mata dengan kotak beludru yang berisikan cincin berlian incaran Zelin Minggu lalu. Zelin sebenarnya bukan pecinta berlian atau perhiasan lainnya. Namun, saat Yhosan membawanya kesebuah toko perhiasan otomatis jiwanya sebagai wanita terpanggil.
"Maafkan, Papa." Zoy menghembuskan nafasnya kasar. "Tapi ini adalah sebuah aturan tidak tertulis yang sudah berlaku sejak puluhan tahun lalu – tak ada satu pun yang boleh menentangnya." Zoy menjelaskan dengan tenang, meski raut wajahnya tidak bisa berbohong. Laki-laki yang masih terlihat tampan meski usianya sudah memasuki lima puluh dua tahun itu duduk dengan penuh wibawa sembari memperhatikan putrinya terisak dipangkuan sang istri. Hari ini cuaca di luar cukup panas – 32°C cukup menambah kobaran api didalam lubuk hati wanita malang yang sedang terisak akibat tak terima atas keputusan sang Papa. Sebagai orang tua tentu saja Zoy tak tega saat melihat putri sematawayangnya tersakiti akibat tradisi. Hatinya pedih. Namun, tak ada yang bisa diperbuat selain memberi pengertian pada putrinya. Sisil–ibunya Zelin hanya mampu mengusap lembut kepala putrinya. Melihat bagaimana terguncangnya tubuh gadis