Sekitar pukul 19.00 WIB, Ananda sampai juga ke rumahnya. Dia begitu merindukan istrinya karena seharian tak bertemu dengannya. Segera usai memarkir mobilnya di garasi, pria itu bergegas naik tangga ke lantai 2 dimana kamar mereka berada. "Maya—" panggilnya sembari menutup pintu kamar kembali. Namun, alisnya langsung berkerut karena istrinya terbaring di atas ranjang memunggunginya.Ananda segera menghampiri di sisi ranjang Maya berbaring miring untuk memeriksa keadaannya. Ternyata memang istrinya itu sudah tidur, sebuah hal yang sedikit janggal. Dia lalu menggoyang-goyang bahu Maya pelan untuk membangunkannya."Sayang ... Sayangku ... ada apa? Kamu apa lagi nggak enak badan?" tanya Ananda sembari membelai kepala Maya dengan lembut.Mata Maya seperti diolesi lem super hingga berat sekali untuk membuka sekalipun dia mendengar suara Ananda menanyakan kondisinya. Badannya juga terasa letih sekali, tadi sore pelayan rumah mengantarkan secangkir teh manis hangat lalu ia merasa sangat menga
Seusai menyuapi istrinya makan malam, Ananda pun makan malam ditemani oleh Maya di sebelahnya. Dia bertanya mengenai aktivitas Maya seharian ini karena sedari tadi dia curiga ada yang tidak beres dengan kondisi tubuh istrinya.Sekalipun Maya lumpuh kedua kakinya, tetapi Ananda tidak pernah mendapati wanita itu lemas seperti malam ini. Masa iya sih memegangi piring saja bisa tidak kuat dan lepas seperti tadi. Selain itu untuk pindah dari tempat tidur ke kursi roda juga Maya tidak sanggup, sungguh janggal 'kan? Namun, dia menahan diri untuk tidak mendesak Maya, lebih baik tunggu Dokter Bernard Santosa yang memeriksa istrinya ini."TOK TOK TOK." Suara ketokan dari luar pintu kamar terdengar. Dan Ananda yakin itu tamu yang telah dia tunggu-tunggu. Maka ia pun bangkit berdiri dan berjalan untuk membukakan pintu. "Selamat malam, Pak Nanda. Apa kabar? Sudah lama nggak visit ke rumah, siapa nih yang sakit?" sapa pria berjas putih khas dokter dengan rambut diselingi banyak uban dan berkaca ma
Sudah dua minggu Sherrin dirawat di rumah sakit, dia memang tidak bisa melihat jadi tidak tahu apakah hari telah berganti pagi atau petang. Segalanya gelap, sepi, dan mulai membuatnya tak sabar."MAMA! PAPA! PANGGIL DOKTER SEKARANG—POKOKNYA SHERRIN MAU BUKA PERBAN SECEPATNYA!" Gadis itu berteriak-teriak tengah malam di dalam kamarnya membuat papa mamanya yang sedang menjaganya di sofa kamar perawatan itu terkejut dan bangun.Papa mama Sherrin saling bertukar pandang dengan hati galau, bukan tentang kain kasa perban yang menutupi kedua mata puteri mereka melainkan memang Sherrin telah divonis oleh dokter bahwa ia akan buta seumur hidup. Serpihan kaca mobil yang masuk ke bola matanya menancap dan merusak struktur di dalam indera penglihatannya.Pak Anthony Arthasena meremas telapak tangan istrinya yang berdiri di sampingnya sembari merangkul bahunya berusaha menenangkan wanita yang telah mendampinginya berpuluh-puluh tahun lamanya dalam suka dan duka. Dia pun berkata, "Sher, ini tengah
Koper berisi pakaian Ananda selama bepergian ke Filipina sudah siap di dekat pintu kamarnya. Dia sebenarnya tidak tenang meninggalkan istrinya sendirian di rumah. Namun, Maya meyakinkan bahwa dia akan baik-baik saja selama ditinggal pergi beberapa hari saja."Sini kasih Mas kiss dulu dong, May!" ujar Ananda yang sudah berdandan rapi dalam setelan jas Emperio Armani warna hitam tanpa dasi. Dia melangkahkan kakinya mendekati Maya yang duduk di atas kursi rodanya di depan meja rias bercermin.Sebuah kecupan sayang mendarat di kening Maya disusul sebuah pagutan dalam di bibirnya oleh suaminya. Kemudian Ananda berkata, "Kalau cium bibir kamu tuh berjuta rasanya, May. Bikin aku betah di rumah. Hehehe.""Makanya jangan lama-lama perginya, Mas. Nanti aku kangen juga!" sahut Maya sambil didorong kursi rodanya oleh Ananda keluar dari kamar mereka.Pesawat tujuan ke Manila akan berangkat 3 jam lagi, Ananda tidak boleh sampai terlambat sampai di bandara karena ia naik pesawat komersil. Mereka ber
Dengan perut kosong Maya berbaring di atas tempat tidur luas di kamarnya. Tadi memang Ananda sudah mengiriminya pesan, tetapi suaminya sedang meeting dengan kolega bisnisnya. Tentu saja tidak etis bila Maya mengganggu Ananda dengan chat-chat darinya bahwa dia lapar dan lain sebagainya.Mungkin nanti dia akan makan pisang Cavendish lagi untuk mengganjal perutnya yang keroncongan, pikirnya dengan tubuh terbaring lemas."TOK TOK TOK." Suara ketokan pintu dari luar kamarnya terdengar, Maya pun berseru meminta tamunya masuk saja karena tak dikunci."Ehh, kamu Edu—apa sudah pulang dari bepergian tadi?" sapa Maya ramah sambil duduk bersandar di kepala ranjang. Bocah berusia 8 tahun itu menutup pintu kamar bibinya lalu berjalan mendekat ke tepi ranjang Maya masih dengan pakaian bepergiannya yang rapi. "Kok ganteng banget sih, tadi pergi kemana, Edu?" tanya Maya sembari tersenyum melihat Edward duduk di tepi ranjangnya."Ada acara kondangan teman sekolah Mama yang nikah, Tante. Maaf ya, tadi
Pagi hari berikutnya pintu kamar Maya diketok dari luar dan ia pun bergegas dengan kursi rodanya membukakan pintu kamarnya. Ternyata keponakan tampannya yang berdiri di depan kamarnya dengan pakaian seragam SD lengkap sepertinya sudah siap berangkat ke sekolah."Selamat pagi, Tante Maya. Yuk kita turun sarapan bareng," sapa Edward."Selamat pagi juga, Edu. Wah sudah ganteng ya pagi-pagi! Oke, ayo—ehh ... tunggu dulu, turunnya gimana? Apa liftnya sudah normal?" balas Maya menoleh ke arah lift di ujung lorong lantai 2 itu. "Sebentar kulihat dulu, Tante," ujar bocah itu lalu berlari ke arah lift. Dia mengerutkan alisnya karena memang lift masih mati powernya. 'Ini mah bukan rusak, tapi dimatiin liftnya!' gerutu Edward yang paham mengenai lift di rumahnya. Dia pun menemukan ide cemerlang dan berlari kembali mendapatkan Maya."Masih nggak bisa jalan liftnya, Tante. Tunggu di sini sebentar ya!" pesannya sebelum berlari menuruni tangga ke lantai bawah. Sesuai dugaannya, seluruh keluarganya
Pria dengan muka tertutupi masker wajah itu bersembunyi di balik pot tanaman hias tinggi di lorong dekat lift. Dia mengintai Maya dari tempat persembunyiannya dan mencari kesempatan yang tepat untuk menyelesaikan tugasnya.Tepat ketika Maya melewatinya, pria misterius itu mendorong kursi roda Maya hingga terjun dari tangga lantai 2. Wanita itu tak sadarkan diri terguling hingga dasar tangga dan ia cepat-cepat meninggalkan rumah besar itu dari pintu teras depan yang terbuka lebar. Mbok Darmi dan para pelayan rumah yang sedang sibuk di dapur mempersiapkan menu makan siang pun sayup-sayup mendengar teriakan wanita dari arah ruang tengah."Sus—Susi, kamu dengar nggak teriakan wanita barusan? Apa kupingku aja yang rerungon (mendengar suara-suara)?" tanya Mbok Darmi penasaran sambil menaruh mangkuk besar berisi sop ayam di meja makan.Susi yang juga sedang menyiapkan peralatan makan pun menjawab dengan mengerutkan keningnya, "Sepertinya iya, Mbok ... coba saya lihat dulu ke ruang tengah ya
Pria itu berlari-lari sepanjang koridor rumah sakit menuju ke kamar dimana istrinya tengah dirawat. Ketika sudah masuk ke dalam ruangan steril itu, Ananda menghampiri ranjang pasien lalu bertanya ke adiknya, "Liv, gimana kata dokter tentang kondisi Maya?""Tenang ya, Mas Nanda. Maya baik-baik saja hanya syok dan memar badannya. Beruntung karena memang tangga rumah kita dilapisi karpet Turki tebal jadi cederanya terbatas. Dahinya memang ada luka terantuk teralis susuran tangga, tapi nggak yang berbahaya banget. Dokter bilang itu luka luar saja nggak sampai gegar otak," jawab Olivia dengan lengkap seperti yang dijelaskan dokter yang merawat Maya usai test MRI keluar hasilnya tadi.Akhirnya Ananda dapat menghela napas lega. "Syukurlah kalau begitu! Ini kenapa belum sadar juga, Liv?" balasnya sembari mendekati Maya lalu mengelus puncak kepalanya."Nanti sadar sendiri kata dokternya tadi, wajar sih Mas soalnya jatuh dari tangga lantai 2—" Sebelum Olivia selesai berbicara kakaknya memotongn