Koper berisi pakaian Ananda selama bepergian ke Filipina sudah siap di dekat pintu kamarnya. Dia sebenarnya tidak tenang meninggalkan istrinya sendirian di rumah. Namun, Maya meyakinkan bahwa dia akan baik-baik saja selama ditinggal pergi beberapa hari saja."Sini kasih Mas kiss dulu dong, May!" ujar Ananda yang sudah berdandan rapi dalam setelan jas Emperio Armani warna hitam tanpa dasi. Dia melangkahkan kakinya mendekati Maya yang duduk di atas kursi rodanya di depan meja rias bercermin.Sebuah kecupan sayang mendarat di kening Maya disusul sebuah pagutan dalam di bibirnya oleh suaminya. Kemudian Ananda berkata, "Kalau cium bibir kamu tuh berjuta rasanya, May. Bikin aku betah di rumah. Hehehe.""Makanya jangan lama-lama perginya, Mas. Nanti aku kangen juga!" sahut Maya sambil didorong kursi rodanya oleh Ananda keluar dari kamar mereka.Pesawat tujuan ke Manila akan berangkat 3 jam lagi, Ananda tidak boleh sampai terlambat sampai di bandara karena ia naik pesawat komersil. Mereka ber
Dengan perut kosong Maya berbaring di atas tempat tidur luas di kamarnya. Tadi memang Ananda sudah mengiriminya pesan, tetapi suaminya sedang meeting dengan kolega bisnisnya. Tentu saja tidak etis bila Maya mengganggu Ananda dengan chat-chat darinya bahwa dia lapar dan lain sebagainya.Mungkin nanti dia akan makan pisang Cavendish lagi untuk mengganjal perutnya yang keroncongan, pikirnya dengan tubuh terbaring lemas."TOK TOK TOK." Suara ketokan pintu dari luar kamarnya terdengar, Maya pun berseru meminta tamunya masuk saja karena tak dikunci."Ehh, kamu Edu—apa sudah pulang dari bepergian tadi?" sapa Maya ramah sambil duduk bersandar di kepala ranjang. Bocah berusia 8 tahun itu menutup pintu kamar bibinya lalu berjalan mendekat ke tepi ranjang Maya masih dengan pakaian bepergiannya yang rapi. "Kok ganteng banget sih, tadi pergi kemana, Edu?" tanya Maya sembari tersenyum melihat Edward duduk di tepi ranjangnya."Ada acara kondangan teman sekolah Mama yang nikah, Tante. Maaf ya, tadi
Pagi hari berikutnya pintu kamar Maya diketok dari luar dan ia pun bergegas dengan kursi rodanya membukakan pintu kamarnya. Ternyata keponakan tampannya yang berdiri di depan kamarnya dengan pakaian seragam SD lengkap sepertinya sudah siap berangkat ke sekolah."Selamat pagi, Tante Maya. Yuk kita turun sarapan bareng," sapa Edward."Selamat pagi juga, Edu. Wah sudah ganteng ya pagi-pagi! Oke, ayo—ehh ... tunggu dulu, turunnya gimana? Apa liftnya sudah normal?" balas Maya menoleh ke arah lift di ujung lorong lantai 2 itu. "Sebentar kulihat dulu, Tante," ujar bocah itu lalu berlari ke arah lift. Dia mengerutkan alisnya karena memang lift masih mati powernya. 'Ini mah bukan rusak, tapi dimatiin liftnya!' gerutu Edward yang paham mengenai lift di rumahnya. Dia pun menemukan ide cemerlang dan berlari kembali mendapatkan Maya."Masih nggak bisa jalan liftnya, Tante. Tunggu di sini sebentar ya!" pesannya sebelum berlari menuruni tangga ke lantai bawah. Sesuai dugaannya, seluruh keluarganya
Pria dengan muka tertutupi masker wajah itu bersembunyi di balik pot tanaman hias tinggi di lorong dekat lift. Dia mengintai Maya dari tempat persembunyiannya dan mencari kesempatan yang tepat untuk menyelesaikan tugasnya.Tepat ketika Maya melewatinya, pria misterius itu mendorong kursi roda Maya hingga terjun dari tangga lantai 2. Wanita itu tak sadarkan diri terguling hingga dasar tangga dan ia cepat-cepat meninggalkan rumah besar itu dari pintu teras depan yang terbuka lebar. Mbok Darmi dan para pelayan rumah yang sedang sibuk di dapur mempersiapkan menu makan siang pun sayup-sayup mendengar teriakan wanita dari arah ruang tengah."Sus—Susi, kamu dengar nggak teriakan wanita barusan? Apa kupingku aja yang rerungon (mendengar suara-suara)?" tanya Mbok Darmi penasaran sambil menaruh mangkuk besar berisi sop ayam di meja makan.Susi yang juga sedang menyiapkan peralatan makan pun menjawab dengan mengerutkan keningnya, "Sepertinya iya, Mbok ... coba saya lihat dulu ke ruang tengah ya
Pria itu berlari-lari sepanjang koridor rumah sakit menuju ke kamar dimana istrinya tengah dirawat. Ketika sudah masuk ke dalam ruangan steril itu, Ananda menghampiri ranjang pasien lalu bertanya ke adiknya, "Liv, gimana kata dokter tentang kondisi Maya?""Tenang ya, Mas Nanda. Maya baik-baik saja hanya syok dan memar badannya. Beruntung karena memang tangga rumah kita dilapisi karpet Turki tebal jadi cederanya terbatas. Dahinya memang ada luka terantuk teralis susuran tangga, tapi nggak yang berbahaya banget. Dokter bilang itu luka luar saja nggak sampai gegar otak," jawab Olivia dengan lengkap seperti yang dijelaskan dokter yang merawat Maya usai test MRI keluar hasilnya tadi.Akhirnya Ananda dapat menghela napas lega. "Syukurlah kalau begitu! Ini kenapa belum sadar juga, Liv?" balasnya sembari mendekati Maya lalu mengelus puncak kepalanya."Nanti sadar sendiri kata dokternya tadi, wajar sih Mas soalnya jatuh dari tangga lantai 2—" Sebelum Olivia selesai berbicara kakaknya memotongn
Ananda menelepon kamar papa mamanya dari pesawat telepon yang ada di meja kerja kantor rumahnya. "Halo, Pa. Apa kita bisa mengobrol di ruang kerjaku sekarang? Ajak mama juga ya," ujar Ananda yang diiyakan oleh papanya lalu dia meletakkan gagang telepon kembali ke tempatnya. Beberapa menit kemudian papa mama Ananda masuk ke dalam ruangan kantor. Mereka pun duduk di kursi seberang meja kerja putera mereka. Pak Alan lalu bertanya, "Kok kamu pulang cepat ada apa, Nanda?""Memang urusan Nanda di Manila nggak banyak kok, Pa. Sayangnya pas sampai di bandara malah dapat kabar dari Oliv kalau Maya masuk rumah sakit karena jatuh dari tangga lantai 2," pancing Ananda dengan nada sedih sambil mengamati reaksi kedua orang tuanya.Ternyata mamanya yang menyahut terlebih dahulu, "Istri kamu itu yang kurang hati-hati, Nanda. Bikin heboh orang serumah aja!""Kondisi Maya memprihatinkan sekali kata dokter yang merawatnya. Tadi sudah ditest MRI dan hasilnya buruk, dia harus dirawat lama karena cedera t
"Ehh ... Mas Nanda. Lho kok belum ganti baju— apa belum mandi, Mas?" sapa Maya dari ranjang pasien saat melihat suaminya masuk ke kamar perawatannya masih dengan baju yang sama dengan yang tadi dan wajah kusut.Olivia seolah bisa menebak bahwa kakaknya sedang uring-uringan sehingga penampilannya berantakan begitu. Dia pun berpamitan dengan Maya, "Berhubung sudah malam, aku pulang ya sama Edu. Dia belum mandi dan dinner juga. Sampai ketemu besok ya, May!" Kemudian dia menepuk-nepuk bahu kakaknya seraya berkata, "Jaga kesehatan ya, Mas. Jangan sampai ikutan dirawat dokter!""Ahh ... bisa aja kamu, Oliv. Thank you ya sudah nemenin Maya bareng sama Edu. Oya pulang sama siapa?" sahut Ananda sambil memeluk keponakannya sebelum berpisah."Sama sopir tadi yang nganterin aku ke sini. Ya udah, kami pulang dulu sekarang. Bye, Mas Nanda, Maya," balas Olivia lalu merangkul bahu Edward untuk meninggalkan ruang perawatan pasien VIP itu.Ananda terduduk lesu di kursi samping ranjang Maya, dia enggan
Sekitar pukul 09.00 WIB, pintu ruang perawatan Maya diketok dari luar. Kemudian rombongan dokter dan para dokter muda yang mengikuti kepaniteraan klinik internis masuk mengunjungi Maya. "Selamat pagi, apa badannya sudah enakan, Bu Maya?" sapa Dokter Brandon Tirta yang bertugas merawat pasien opname keluhan penyakit dalam.Pria berpotongan rambut rapi tanpa kaca mata itu berusia sekitar 30 tahun awal dan memiliki lesung pipit saat tersenyum itu mulai memeriksa kualitas kerja jantung dan napas Maya. Dan seorang dokter muda memeriksa tekanan darah Maya. "Tensinya 110/70 Dok," lapor dokter muda perempuan itu."Bagus, semua hasil pemeriksaannya normal ini, Pak, Bu. Mungkin besok pagi kalau tidak ada keluhan yang muncul dengan badannya, Bu Maya sudah boleh pulang ke rumah," tutur Dokter Brandon Tirta.Kemudian Ananda pun bertanya, "Baik, Dok. Saya dan istri ada rencana menetap di Singapura, kapan istri saya diperbolehkan naik pesawat?" "Ohh, kalau dari hasil MRI kemarin tidak ada situasi