Pagi hari berikutnya pintu kamar Maya diketok dari luar dan ia pun bergegas dengan kursi rodanya membukakan pintu kamarnya. Ternyata keponakan tampannya yang berdiri di depan kamarnya dengan pakaian seragam SD lengkap sepertinya sudah siap berangkat ke sekolah."Selamat pagi, Tante Maya. Yuk kita turun sarapan bareng," sapa Edward."Selamat pagi juga, Edu. Wah sudah ganteng ya pagi-pagi! Oke, ayo—ehh ... tunggu dulu, turunnya gimana? Apa liftnya sudah normal?" balas Maya menoleh ke arah lift di ujung lorong lantai 2 itu. "Sebentar kulihat dulu, Tante," ujar bocah itu lalu berlari ke arah lift. Dia mengerutkan alisnya karena memang lift masih mati powernya. 'Ini mah bukan rusak, tapi dimatiin liftnya!' gerutu Edward yang paham mengenai lift di rumahnya. Dia pun menemukan ide cemerlang dan berlari kembali mendapatkan Maya."Masih nggak bisa jalan liftnya, Tante. Tunggu di sini sebentar ya!" pesannya sebelum berlari menuruni tangga ke lantai bawah. Sesuai dugaannya, seluruh keluarganya
Pria dengan muka tertutupi masker wajah itu bersembunyi di balik pot tanaman hias tinggi di lorong dekat lift. Dia mengintai Maya dari tempat persembunyiannya dan mencari kesempatan yang tepat untuk menyelesaikan tugasnya.Tepat ketika Maya melewatinya, pria misterius itu mendorong kursi roda Maya hingga terjun dari tangga lantai 2. Wanita itu tak sadarkan diri terguling hingga dasar tangga dan ia cepat-cepat meninggalkan rumah besar itu dari pintu teras depan yang terbuka lebar. Mbok Darmi dan para pelayan rumah yang sedang sibuk di dapur mempersiapkan menu makan siang pun sayup-sayup mendengar teriakan wanita dari arah ruang tengah."Sus—Susi, kamu dengar nggak teriakan wanita barusan? Apa kupingku aja yang rerungon (mendengar suara-suara)?" tanya Mbok Darmi penasaran sambil menaruh mangkuk besar berisi sop ayam di meja makan.Susi yang juga sedang menyiapkan peralatan makan pun menjawab dengan mengerutkan keningnya, "Sepertinya iya, Mbok ... coba saya lihat dulu ke ruang tengah ya
Pria itu berlari-lari sepanjang koridor rumah sakit menuju ke kamar dimana istrinya tengah dirawat. Ketika sudah masuk ke dalam ruangan steril itu, Ananda menghampiri ranjang pasien lalu bertanya ke adiknya, "Liv, gimana kata dokter tentang kondisi Maya?""Tenang ya, Mas Nanda. Maya baik-baik saja hanya syok dan memar badannya. Beruntung karena memang tangga rumah kita dilapisi karpet Turki tebal jadi cederanya terbatas. Dahinya memang ada luka terantuk teralis susuran tangga, tapi nggak yang berbahaya banget. Dokter bilang itu luka luar saja nggak sampai gegar otak," jawab Olivia dengan lengkap seperti yang dijelaskan dokter yang merawat Maya usai test MRI keluar hasilnya tadi.Akhirnya Ananda dapat menghela napas lega. "Syukurlah kalau begitu! Ini kenapa belum sadar juga, Liv?" balasnya sembari mendekati Maya lalu mengelus puncak kepalanya."Nanti sadar sendiri kata dokternya tadi, wajar sih Mas soalnya jatuh dari tangga lantai 2—" Sebelum Olivia selesai berbicara kakaknya memotongn
Ananda menelepon kamar papa mamanya dari pesawat telepon yang ada di meja kerja kantor rumahnya. "Halo, Pa. Apa kita bisa mengobrol di ruang kerjaku sekarang? Ajak mama juga ya," ujar Ananda yang diiyakan oleh papanya lalu dia meletakkan gagang telepon kembali ke tempatnya. Beberapa menit kemudian papa mama Ananda masuk ke dalam ruangan kantor. Mereka pun duduk di kursi seberang meja kerja putera mereka. Pak Alan lalu bertanya, "Kok kamu pulang cepat ada apa, Nanda?""Memang urusan Nanda di Manila nggak banyak kok, Pa. Sayangnya pas sampai di bandara malah dapat kabar dari Oliv kalau Maya masuk rumah sakit karena jatuh dari tangga lantai 2," pancing Ananda dengan nada sedih sambil mengamati reaksi kedua orang tuanya.Ternyata mamanya yang menyahut terlebih dahulu, "Istri kamu itu yang kurang hati-hati, Nanda. Bikin heboh orang serumah aja!""Kondisi Maya memprihatinkan sekali kata dokter yang merawatnya. Tadi sudah ditest MRI dan hasilnya buruk, dia harus dirawat lama karena cedera t
"Ehh ... Mas Nanda. Lho kok belum ganti baju— apa belum mandi, Mas?" sapa Maya dari ranjang pasien saat melihat suaminya masuk ke kamar perawatannya masih dengan baju yang sama dengan yang tadi dan wajah kusut.Olivia seolah bisa menebak bahwa kakaknya sedang uring-uringan sehingga penampilannya berantakan begitu. Dia pun berpamitan dengan Maya, "Berhubung sudah malam, aku pulang ya sama Edu. Dia belum mandi dan dinner juga. Sampai ketemu besok ya, May!" Kemudian dia menepuk-nepuk bahu kakaknya seraya berkata, "Jaga kesehatan ya, Mas. Jangan sampai ikutan dirawat dokter!""Ahh ... bisa aja kamu, Oliv. Thank you ya sudah nemenin Maya bareng sama Edu. Oya pulang sama siapa?" sahut Ananda sambil memeluk keponakannya sebelum berpisah."Sama sopir tadi yang nganterin aku ke sini. Ya udah, kami pulang dulu sekarang. Bye, Mas Nanda, Maya," balas Olivia lalu merangkul bahu Edward untuk meninggalkan ruang perawatan pasien VIP itu.Ananda terduduk lesu di kursi samping ranjang Maya, dia enggan
Sekitar pukul 09.00 WIB, pintu ruang perawatan Maya diketok dari luar. Kemudian rombongan dokter dan para dokter muda yang mengikuti kepaniteraan klinik internis masuk mengunjungi Maya. "Selamat pagi, apa badannya sudah enakan, Bu Maya?" sapa Dokter Brandon Tirta yang bertugas merawat pasien opname keluhan penyakit dalam.Pria berpotongan rambut rapi tanpa kaca mata itu berusia sekitar 30 tahun awal dan memiliki lesung pipit saat tersenyum itu mulai memeriksa kualitas kerja jantung dan napas Maya. Dan seorang dokter muda memeriksa tekanan darah Maya. "Tensinya 110/70 Dok," lapor dokter muda perempuan itu."Bagus, semua hasil pemeriksaannya normal ini, Pak, Bu. Mungkin besok pagi kalau tidak ada keluhan yang muncul dengan badannya, Bu Maya sudah boleh pulang ke rumah," tutur Dokter Brandon Tirta.Kemudian Ananda pun bertanya, "Baik, Dok. Saya dan istri ada rencana menetap di Singapura, kapan istri saya diperbolehkan naik pesawat?" "Ohh, kalau dari hasil MRI kemarin tidak ada situasi
Seperti rencana Ananda bersama Maya sebelum berangkat ke Singapura, mereka membuat janji konsultasi dan pemeriksaan dengan dokter spesialis ortopedic yang direkomendasikan oleh Mr. Claudio. Pasien Dokter Lee Chao Djioe memang sangat banyak, dari saat Ananda membuat janji berselang 3 hari sesudahnya barulah Maya mendapat antrean panggilan temu di ruang praktik dokter itu.Saat ini mereka sedang duduk bersebelahan di ruang tunggu pasien sambil membawa hasil pemeriksaan MRI yang dilakukan kemarin pagi sesuai anjuran Dokter Lee Chao Djioe agar tidak perlu buang waktu bolak-balik tanpa kepastian penanganan medis. "Pasien Maya Angelita, silakan masuk ke ruang pemeriksaan," panggil perawat dari depan pintu ruang praktik Dokter Lee Chao Djioe.Ananda segera bangkit berdiri dan mendorong kursi roda Maya masuk ke ruangan itu. Dan kedatangan mereka segera disambut ramah oleh seorang dokter laki-laki berusia awal 40 tahun yang berpakaian jas sneli putih, badannya tinggi atletis tanpa kaca mata.
Sudah hampir sebulan perawatan yang dijalani Maya selama menetap di Singapura. Ada banyak kemajuan yang dialami olehnya dengan terapi akupuntur bersama Dokter Tan Cheng Ann. Hal tersebut dikonfirmasi oleh dokter spesialis ortopedic, Dokter Lee Chao Djioe yang ditemui Maya dan Ananda setiap dua minggu sekali. Test refleks yang dilakukan di lutut serta telapak kaki Maya menunjukkan timbal balik positif adanya reflek yang baik terhadap rangsangan. Itu tandanya proses kesembuhan yang sedang berjalan memang memiliki harapan hasil yang pasti.Hingga suatu hari saat menjalani sesi akupuntur, Dokter Tan Cheng Ann bertanya, "Apa kalian aktif melakukan hubungan suami istri tanpa kontrasepsi?""Ehh—iya, Dok. Ada apa ya?" jawab Ananda penasaran. Dia duduk di bangku samping Dokter Tan yang sedang menancapkan jarum-jarum akupuntur di kaki Maya.Pria muda itu tertawa pelan lalu berkata, "Selamat untuk kehadiran buah hati kalian sebentar lagi."Tentu saja Ananda sontak menjadi terkejut. Dia pun ikut