Seusai menyuapi istrinya makan malam, Ananda pun makan malam ditemani oleh Maya di sebelahnya. Dia bertanya mengenai aktivitas Maya seharian ini karena sedari tadi dia curiga ada yang tidak beres dengan kondisi tubuh istrinya.Sekalipun Maya lumpuh kedua kakinya, tetapi Ananda tidak pernah mendapati wanita itu lemas seperti malam ini. Masa iya sih memegangi piring saja bisa tidak kuat dan lepas seperti tadi. Selain itu untuk pindah dari tempat tidur ke kursi roda juga Maya tidak sanggup, sungguh janggal 'kan? Namun, dia menahan diri untuk tidak mendesak Maya, lebih baik tunggu Dokter Bernard Santosa yang memeriksa istrinya ini."TOK TOK TOK." Suara ketokan dari luar pintu kamar terdengar. Dan Ananda yakin itu tamu yang telah dia tunggu-tunggu. Maka ia pun bangkit berdiri dan berjalan untuk membukakan pintu. "Selamat malam, Pak Nanda. Apa kabar? Sudah lama nggak visit ke rumah, siapa nih yang sakit?" sapa pria berjas putih khas dokter dengan rambut diselingi banyak uban dan berkaca ma
Sudah dua minggu Sherrin dirawat di rumah sakit, dia memang tidak bisa melihat jadi tidak tahu apakah hari telah berganti pagi atau petang. Segalanya gelap, sepi, dan mulai membuatnya tak sabar."MAMA! PAPA! PANGGIL DOKTER SEKARANG—POKOKNYA SHERRIN MAU BUKA PERBAN SECEPATNYA!" Gadis itu berteriak-teriak tengah malam di dalam kamarnya membuat papa mamanya yang sedang menjaganya di sofa kamar perawatan itu terkejut dan bangun.Papa mama Sherrin saling bertukar pandang dengan hati galau, bukan tentang kain kasa perban yang menutupi kedua mata puteri mereka melainkan memang Sherrin telah divonis oleh dokter bahwa ia akan buta seumur hidup. Serpihan kaca mobil yang masuk ke bola matanya menancap dan merusak struktur di dalam indera penglihatannya.Pak Anthony Arthasena meremas telapak tangan istrinya yang berdiri di sampingnya sembari merangkul bahunya berusaha menenangkan wanita yang telah mendampinginya berpuluh-puluh tahun lamanya dalam suka dan duka. Dia pun berkata, "Sher, ini tengah
Koper berisi pakaian Ananda selama bepergian ke Filipina sudah siap di dekat pintu kamarnya. Dia sebenarnya tidak tenang meninggalkan istrinya sendirian di rumah. Namun, Maya meyakinkan bahwa dia akan baik-baik saja selama ditinggal pergi beberapa hari saja."Sini kasih Mas kiss dulu dong, May!" ujar Ananda yang sudah berdandan rapi dalam setelan jas Emperio Armani warna hitam tanpa dasi. Dia melangkahkan kakinya mendekati Maya yang duduk di atas kursi rodanya di depan meja rias bercermin.Sebuah kecupan sayang mendarat di kening Maya disusul sebuah pagutan dalam di bibirnya oleh suaminya. Kemudian Ananda berkata, "Kalau cium bibir kamu tuh berjuta rasanya, May. Bikin aku betah di rumah. Hehehe.""Makanya jangan lama-lama perginya, Mas. Nanti aku kangen juga!" sahut Maya sambil didorong kursi rodanya oleh Ananda keluar dari kamar mereka.Pesawat tujuan ke Manila akan berangkat 3 jam lagi, Ananda tidak boleh sampai terlambat sampai di bandara karena ia naik pesawat komersil. Mereka ber
Dengan perut kosong Maya berbaring di atas tempat tidur luas di kamarnya. Tadi memang Ananda sudah mengiriminya pesan, tetapi suaminya sedang meeting dengan kolega bisnisnya. Tentu saja tidak etis bila Maya mengganggu Ananda dengan chat-chat darinya bahwa dia lapar dan lain sebagainya.Mungkin nanti dia akan makan pisang Cavendish lagi untuk mengganjal perutnya yang keroncongan, pikirnya dengan tubuh terbaring lemas."TOK TOK TOK." Suara ketokan pintu dari luar kamarnya terdengar, Maya pun berseru meminta tamunya masuk saja karena tak dikunci."Ehh, kamu Edu—apa sudah pulang dari bepergian tadi?" sapa Maya ramah sambil duduk bersandar di kepala ranjang. Bocah berusia 8 tahun itu menutup pintu kamar bibinya lalu berjalan mendekat ke tepi ranjang Maya masih dengan pakaian bepergiannya yang rapi. "Kok ganteng banget sih, tadi pergi kemana, Edu?" tanya Maya sembari tersenyum melihat Edward duduk di tepi ranjangnya."Ada acara kondangan teman sekolah Mama yang nikah, Tante. Maaf ya, tadi
Pagi hari berikutnya pintu kamar Maya diketok dari luar dan ia pun bergegas dengan kursi rodanya membukakan pintu kamarnya. Ternyata keponakan tampannya yang berdiri di depan kamarnya dengan pakaian seragam SD lengkap sepertinya sudah siap berangkat ke sekolah."Selamat pagi, Tante Maya. Yuk kita turun sarapan bareng," sapa Edward."Selamat pagi juga, Edu. Wah sudah ganteng ya pagi-pagi! Oke, ayo—ehh ... tunggu dulu, turunnya gimana? Apa liftnya sudah normal?" balas Maya menoleh ke arah lift di ujung lorong lantai 2 itu. "Sebentar kulihat dulu, Tante," ujar bocah itu lalu berlari ke arah lift. Dia mengerutkan alisnya karena memang lift masih mati powernya. 'Ini mah bukan rusak, tapi dimatiin liftnya!' gerutu Edward yang paham mengenai lift di rumahnya. Dia pun menemukan ide cemerlang dan berlari kembali mendapatkan Maya."Masih nggak bisa jalan liftnya, Tante. Tunggu di sini sebentar ya!" pesannya sebelum berlari menuruni tangga ke lantai bawah. Sesuai dugaannya, seluruh keluarganya
Pria dengan muka tertutupi masker wajah itu bersembunyi di balik pot tanaman hias tinggi di lorong dekat lift. Dia mengintai Maya dari tempat persembunyiannya dan mencari kesempatan yang tepat untuk menyelesaikan tugasnya.Tepat ketika Maya melewatinya, pria misterius itu mendorong kursi roda Maya hingga terjun dari tangga lantai 2. Wanita itu tak sadarkan diri terguling hingga dasar tangga dan ia cepat-cepat meninggalkan rumah besar itu dari pintu teras depan yang terbuka lebar. Mbok Darmi dan para pelayan rumah yang sedang sibuk di dapur mempersiapkan menu makan siang pun sayup-sayup mendengar teriakan wanita dari arah ruang tengah."Sus—Susi, kamu dengar nggak teriakan wanita barusan? Apa kupingku aja yang rerungon (mendengar suara-suara)?" tanya Mbok Darmi penasaran sambil menaruh mangkuk besar berisi sop ayam di meja makan.Susi yang juga sedang menyiapkan peralatan makan pun menjawab dengan mengerutkan keningnya, "Sepertinya iya, Mbok ... coba saya lihat dulu ke ruang tengah ya
Pria itu berlari-lari sepanjang koridor rumah sakit menuju ke kamar dimana istrinya tengah dirawat. Ketika sudah masuk ke dalam ruangan steril itu, Ananda menghampiri ranjang pasien lalu bertanya ke adiknya, "Liv, gimana kata dokter tentang kondisi Maya?""Tenang ya, Mas Nanda. Maya baik-baik saja hanya syok dan memar badannya. Beruntung karena memang tangga rumah kita dilapisi karpet Turki tebal jadi cederanya terbatas. Dahinya memang ada luka terantuk teralis susuran tangga, tapi nggak yang berbahaya banget. Dokter bilang itu luka luar saja nggak sampai gegar otak," jawab Olivia dengan lengkap seperti yang dijelaskan dokter yang merawat Maya usai test MRI keluar hasilnya tadi.Akhirnya Ananda dapat menghela napas lega. "Syukurlah kalau begitu! Ini kenapa belum sadar juga, Liv?" balasnya sembari mendekati Maya lalu mengelus puncak kepalanya."Nanti sadar sendiri kata dokternya tadi, wajar sih Mas soalnya jatuh dari tangga lantai 2—" Sebelum Olivia selesai berbicara kakaknya memotongn
Ananda menelepon kamar papa mamanya dari pesawat telepon yang ada di meja kerja kantor rumahnya. "Halo, Pa. Apa kita bisa mengobrol di ruang kerjaku sekarang? Ajak mama juga ya," ujar Ananda yang diiyakan oleh papanya lalu dia meletakkan gagang telepon kembali ke tempatnya. Beberapa menit kemudian papa mama Ananda masuk ke dalam ruangan kantor. Mereka pun duduk di kursi seberang meja kerja putera mereka. Pak Alan lalu bertanya, "Kok kamu pulang cepat ada apa, Nanda?""Memang urusan Nanda di Manila nggak banyak kok, Pa. Sayangnya pas sampai di bandara malah dapat kabar dari Oliv kalau Maya masuk rumah sakit karena jatuh dari tangga lantai 2," pancing Ananda dengan nada sedih sambil mengamati reaksi kedua orang tuanya.Ternyata mamanya yang menyahut terlebih dahulu, "Istri kamu itu yang kurang hati-hati, Nanda. Bikin heboh orang serumah aja!""Kondisi Maya memprihatinkan sekali kata dokter yang merawatnya. Tadi sudah ditest MRI dan hasilnya buruk, dia harus dirawat lama karena cedera t
Beberapa bulan kemudian sesuai janji Maya kepada Dokter Joyo Baskara, usai kelahiran anak kembar laki-laki dan perempuannya berselang masa nifasnya. Dia mengunjungi TPU Tanah Kusir bersama suaminya kali ini. Mereka hanya berdua saja dan ketiga anak mereka dititipkan di rumah kakek neneknya.Langit pagi itu biru cerah dengan gumpalan awan putih di angkasa. Musim kemarau baru berjalan tak lama di Indonesia waktu itu. Angin di taman pemakaman yang asri dan tenang itu bertiup sepoi-sepoi menerbangkan rambut panjang Maya yang tergerai. Suara serangga tongeret terdengar nyaring mengisi kesunyian tempat dimana ratusan jasad terkubur di bawah tanah berlapis rumput hijau yang terpangkas rapi.Ananda berjalan sembari menggenggam tangan kanan Maya dengan tangan satunya membawakan keranjang bunga mawar tabur untuk makam mendiang Andre dan mamanya.Dari kejauhan mereka dapat mengenali nisan putih bertuliskan nama sepasang ibu dan anak yang telah tiada tak lama berselang itu. Mereka berdua melangka
"Maafkan kami, Bu Maya. Kondisi fisik Nyonya Astrid semakin hari semakin melemah. Secara kejiwaan dan juga pikiran memang terapi psikologisnya berhasil membawa akal sehatnya kembali normal. Hanya saja—semangat hidupnya telah sirna, di situlah letak kesulitannya," terang Dokter Joyo Baskara yang merawat mama Andre selama berbulan-bulan terakhir ini.Maya pun menanggapi perkataan Dokter Joyo melalui sambungan telepon antar negara itu, "Baik, Dok. Kalau boleh saya tahu apakah Tante Astrid masih mau makan teratur setiap hari?""Masih, hanya terlalu sedikit. Dia juga lebih banyak tidur dibanding beraktivitas. Jarang berkomunikasi dengan orang lain yang ada di sekitarnya. Saya yang paling sering berbicara dengan beliau untuk menjalani konseling kejiwaan," ujar Dokter Joyo berusaha menjelaskan situasi sulit yang dihadapinya terkait pasien yang ditanganinya.Setelah berpikir sejenak, Maya pun bertanya, "Seandainya saya datang ke sana, apa beliau mau berbicara dengan tenang?""Nyonya Astrid me
Ketika Ananda sarapan pagi bersama Maya dan Bayu, di sekeliling meja makan juga ada Aji dan Marcella yang sudah dianggap seperti anggota keluarga kecil mereka."Ji, bikinin janji ke rumah sakit sepulang kerja nanti buat Maya ya. Kami mau periksa kehamilan," ujar Ananda santai sambil menikmati menu sarapan paginya.Mendengar perintah bosnya, Aji dan Marcella saling bertukar pandang kikuk. Mereka lalu diam-diam tersenyum satu sama lain. Aji pun menjawab, "Siap, Pak Nanda. Nanti saya buatkan janji ke dokter Obsgyn. Oya, kalau nanti kami nebeng berangkat ke rumah sakit apa boleh, Pak?"Kali ini Maya dan Ananda yang heran lalu Maya yang bereaksi terlebih dahulu, "Siapa yang sakit nih?""Cella juga mau periksa kehamilan sore ini, Bu Maya!" jawab Aji yang membuat seisi meja makan tertawa.Ananda pun menanggapi, "Kok bisa barengan nih jadinya. Padahal bikinnya nggak janjian 'kan?" Mendengar candaan suaminya, Maya mencubit pinggang pria itu hingga mengaduh-aduh. "Mas Nanda ini bisa-bisanya—"
"Hai, Hubby ... apa kamu capek?" sambut Marcella Wrigley saat bayi besarnya memeluknya erat-erat di balik pintu kamar tidur mereka sepulang kerja.Dengan manja Aji menyurukkan wajahnya di lekuk leher istrinya yang menguarkan aroma parfum feminin nan lembut. Dia menyesap kulit putih terang itu, tetapi Marcella membiarkannya begitu sekalipun akan membekas tanda kepemilikan berwarna merah tua nantinya yang tentu saja bertahan cukup lama."Baby Cella, Sayangku ...," gumam Aji sembari meraup tubuh istrinya menuju ke tempat tidur mereka.Wanita berambut pirang dengan sepasang mata biru itu melingkarkan kedua lengannya di leher Aji sambil menatap wajah pemuda berondong menggemaskan yang sedang menggendongnya. "Ji ... aku punya kabar mengejutkan untukmu," ujar Marcella hati-hati saat tubuhnya dibaringkan di atas ranjang. "Apa tuh, Cella?" sahut Aji santai seolah yakin dia tak akan terkejut mendengar pemberitahuan istrinya. Mereka sudah menikah berbulan-bulan dan kipernya telalu ahli menjaga
"Terdakwa penculikan putera dari CEO Grup Kusuma Mulia yaitu pasangan ibu dan anak Hartadinata telah menerima vonis bersalah dari pengadilan dan dijatuhi hukuman kurungan selama 5 tahun. Demikian laporan Desti Triana dan cameraman Rizky Setiadi dari depan ruang sidang. Kembali ke studio 5 Surya TV!" Berita siaran petang itu menjadi tayangan yang menyita perhatian Pak Alan dan Nyonya Belina. Mereka saling bertukar pandang prihatin. Kemudian Nyonya Belina berkata, "Kasihan sebenarnya, Pa. Sekeluarga kok bisa masuk bui semua. Mas Arifian juga masih 14 tahun penjara hukumannya."Pak Alan mendesah lelah, dia pun menanggapi, "Itu keluarga kacau balau, Ma. Kita telah salah mengenali di awal berteman dengan mereka. Tadinya konglomerat, sekarang malah sudah jatuh miskin masih harus tinggal di hotel prodeo. Malunya berlipat-lipat kalau dulu kita jadi berbesan sama mereka, tingkah mereka aneh-aneh begini!""Benar, Pa. Memang Mama dulu salah menilai, justru keluarganya Maya yang baik-baik saja m
Selang 24 jam pasca menghilangnya Bayu dari kediaman Kusuma Mulia. Pihak kepolisian dan juga Ananda Kusuma ditemani oleh sekretarisnya mendatangi Royal Heir Dharmawangsa apartment."TING TONG." Bunyi bel apartment milik Nyonya Shinta terdengar mengejutkan dia dan puterinya yang memang sengaja tidak keluar kemana pun dari apartment itu sejak kemarin malam."Ehh—siapa tuh, Ma?" tanya Deana cemas bertukar pandang dengan mamanya di sofa.Kemudian Nyonya Shinta berjalan ke pintu keluar unit apartmentnya dan mengintip siapa tamunya dari lubang intip. Ketika dia melihat petugas polisi berseragam, makin paniklah dia. "Dea ... Dea, ada polisi di depan!" serunya berlari menuju ke sofa.Namun, gedoran di pintu terdengar bersama suara amarah Ananda. "Buka pintunya atau perlu didobrak?!" teriaknya mengancam dari balik pintu. "Waduh Ma, gimana nih? Kok Mas Nanda tahu kita ada di sini?" Deana mencicit panik.Sementara Bayu yang tadinya diam mulai menjerit-jerit, "PAAPAA ... PAAAPAAA ...."Setelah m
Suara tangisan dan rengekan bayi terdengar memenuhi mobil Alphard putih yang tengah melaju di jalanan ibu kota yang padat oleh kendaraan bermotor petang itu. Sang sopir melirik curiga melalui spion tengah mobil yang dia kemudikan. 'Perasaan tadi nyonya besar dan nyonya muda berangkat nggak bawa bocah. Lha ini ... lantas anak siapa? Jangan-jangan mereka nyulik anak orang!' batin Pak Suryo gelisah sembari berjibaku dengan lalu lintas yang begitu ramai."Rewel banget sih nih bocah!" keluh Deana yang memangku putera Maya. Dia memang tidak suka anak kecil. "Sabar, Dea. Sebentar lagi juga sampai di apartment," bujuk Nyonya Shinta melirik puterinya dan Bayu yang menangis tak henti-hentinya. Memang mereka berdua tidak mengerti kalau bocah laki-laki itu kelaparan, tadi Suster Sisca pergi ke dapur untuk membuatkan susu untuk Bayu dan Nyonya Shinta membawa pergi bocah itu diam-diam.Mobil Alphard putih itu membelok ke apartment Royal Heir Dharmawangsa yang mewah. Pasca hotel milik keluarga Ha
Sore itu kediaman Keluarga Kusuma Mulia ramai dikunjungi oleh serombongan nyonya-nyonya sosialita. Ada arisan elite bulanan yang digelar di sana. Tempat acara bergengsi itu berpindah-pindah sesuai giliran dan kebetulan kali ini jatuh di rumah mama Ananda.Maya pun diundang bersama putera tunggalnya untuk diperkenalkan ke teman-teman arisan Nyonya Belina. Sekalipun Maya sebenarnya tidak terbiasa mengikuti acara semacam itu, mau tak mau demi menghormati mama suaminya dia pun hadir."Jeng-jeng, kenalkan ini Maya Angelita, menantu saya. Mungkin sebagian sudah kenal ya karena dia ini penulis dongeng anak terkenal lho, nggak cuma di Indonesia ... sampai luar negeri juga bukunya dijual. Dan yang ini cucu saya, namanya Bayu. Lucu ya?!" tutur Nyonya Belina berdiri bersama Maya dan Bayu yang digendong mamanya di hadapan teman-teman arisan yang tajir melintir itu.Apa pun yang bisa disombongkan harus ditonjolkan, itulah prinsip anggota arisan elite yang diikuti Nyonya Belina. Para wanita itu pun
Pagi dengan gerimis rintik-rintik sisa hujan besar semalam masih mengguyur kota Jakarta. Wanita cantik dengan gaun hitam selutut itu menguatkan tekadnya untuk mengunjungi TPU Tanah Kusir, tempat dimana mendiang Andre dimakamkan. Mungkin sedikit terlambat, tetapi dia memang baru mengetahui berita duka cita itu belakangan.Payung hitam yang dia bawa untuk menaungi tubuhnya meneteskan air di ujung-ujung rusuk benda itu. Angin dingin yang menerpanya serasa menusuk tulang, pipinya basah oleh air mata yang mengalir di balik kaca mata hitam yang menutupi sebagian wajahnya.Selangkah demi selangkah Maya menuju ke sebuah gundukan tanah merah yang masih baru dibuat. Ada sebentuk nisan yang tertancap bertuliskan nama familiar seorang pemuda yang pernah begitu berarti dalam hidupnya.Keranjang bunga mawar tabur terayun pelan di tangan kanannya. Semakin dekat ia melangkah, dadanya terasa semakin sesak. Maya mungkin telah memiliki cinta baru yang indah bersama Ananda. Namun, kenangan manis masa pac