Didalam ruang kamarnya, Ginda yang tampak sedang terduduk dengan tangan bersimpuh. Wanita yang baru saja selesai melakukan sholatnya itu kini berdoa.
Bersyukur dan berterimakasih dengan apa yang telah datang padanya. Akan matanya yang kini kembali dapat melihat, dan suaminya yang kini telah berbaik padanya."Aku benar benar bahagia, Yaallah. Terimakasih atas semua anugrah ini."Doa itu ternyata terdengar oleh Marvin yang kini terdiam memperhatikan gerak Ginda, lagi lagi aktivitas Ginda yang membuat Marvin tertegun. Wanita cantik dan sholehah itu seakan menghipnotisnya."Kamu benar benar istri yang sholehah, beruntung aku bisa menikah dengan kamu, tapi.."Entahlah bagi Marvin masih ada rasa sulit untuk dapat membuka hatinya. Merasa sedang diperhatikan Ginda kini menoleh ia dapati Marvin yang terdiam merenung didepan pintu kamarnya."Mas," panggil Ginda yang membuat lamunan Marvin terbuyar.Kini pandangannya memperhatikan"Apa mereka masih saling cinta ya? karena katanya kan mereka berpisah bukan karena keinginannya, tapi karena Ibu yang ngga suka, jadi mungkin saja Mas Marvin memang memberikan cincin itu untuk mantan istrinya. Yaallah aku harus gimana sekarang?" batin Ginda yang terus memikirkan perkara cincin tersebut.Tak lama kemudian.Marvin yang kini telah kembali kerumah, merasa sepi dan tak mendapat sambutan dari sang anak, kini Marvin pun mencari keberadaan Inggit, mencari ke berbagai ruangan yang sering Inggit datangi."Inggit kamu dimana, nak? Papa pulang nih," pekik Marvin yang terus mencari.Sudah beberapa tempat Marvin datangi namun Inggit tak jua ia temukan, hingga kini datanglah Ginda dan berkata."Inggit udah dijemput Mamanya, Mas."Mendengar jawaban itu seketika Marvin pun menoleh."Dijemput Sinta?""Iya, Kasihan Inggit, Mas. Tadi sebenernya dia belum mau pulang, tapi dipaksa sama Mba Sinta, sampe dia nangis git
"Apa, jadi mobil itu milik Pak Lian?" ucap Ginda terbelalak.Tak menyangka jika laki laki yang selama ini ia cari adalah Lian, dosen di kampusnya. Ginda menatap dengan marah, matanya memerah dan dadanya naik turun.Tak berpikir panjang, Ginda yang dengan cepat turun dan menghampiri Lian disana, rasanya ia sudah tak sabar ingin memaki dan marahi laki laki tersebut.Kesabarannya selama ini seperti ini lah batasnya, ia yang sudah tak dapat menahan marah lagi setelah sekian lama menanti. Langkah kebutnya terus mendekat hingga kini Ginda berada tepat dibelakang Lian."Pak Lian," panggil Ginda yang membuat laki laki itu seketika menoleh."Ginda."Tak berkata apa apa lagi, dengan tatap marah, benci dan kecewa rasa itu terkumpul menjadi satu, entah apa yang harus Ginda katakan untuk memulai semua ini, yang jelas saat ini Ginda benar benar kecewa.Dan tak disangka, tiba tiba...Plaaakkk!Ginda mendaratkan telapa
Sesampainya di mall kembali, kini Ginda menemui Sukma yang ternyata sudah menunggunya sejak tadi."Bu, maafin aku. Ibu udah nunggu lama ya?" tanya Ginda menghampiri wanita paruh baya itu."Kamu dari mana, Nda?" tanya Sukma yang membuat Ginda terdiam.Wajahnya menunduk, ingin sekali ia berbagi kisah pada Ibu mertuanya tersebut, namun Ginda berpikir ini bukan saatnya, jadi lebih baik Ginda tak usah memberi tahu Sukma akan hal ini."Tadi aku ketemu temen aku, Bu. Jadi aku antar dia dulu," jawab Ginda beralibi."Oh, yaudah kalau gitu yuk pulang, kamu ngga mau cari apa apa dulu kan?""Ngga, Bu. Ayo kita pulang sekarang!"Kini keduanya pun melaju kembali ke rumah. Sepanjang perjalanan Ginda yang tak lagi fokus dengan kemudinya, ia terus memikirkan akan ucapan Lian yang mengatakan jika itu bukanlah mobilnya."Jadi kalau itu bukan mobil Pak Lian, lalu mobil siapa itu sebenarnya?" batin Ginda merenung dengan terus m
Keesokan harinya.Perlahan Ginda membuka matanya, ia dapati Marvin yang tertidur disebelahnya dalam satu selimut yang sama dan bahkan masih bertelanjang dada.Melihat itu membuat Ginda tersenyum, tak menyangka akhirnya setelah sekian lama menikah, kini mereka telah melakukan kewajibannya, rasanya benar benar membuat Ginda bahagia.Perlahan Ginda meraih wajah tampan itu, membelainya dengan lembut dan dengan pandangan tak berkedip, wajah tampan dihadapannya itu benar benar membuat Ginda terpesona, tak terasa belaian itu dirasa oleh Marvin hingga membuatnya kini membuka mata.Wajah ayu yang pertama kali ia lihat itu ada dihadapannya, sejenak terdiam sebelum kini ia memperhatikan kondisi tubuhnya bersama Ginda, matanya sedikit melebar, namun tanpa ucapan."Jadi, aku dan Ginda telah melakukannya?" batin Marvin dengan pandangan bingung.Entahlah apa yang terjadi pada Marvin, bukankah ia sendiri yang menggoda dan sekarang malah ia sendi
"Pak Lian, saya mau bicara sebentar, bisa?" ucap Ginda menatap wajah Lian penuh tanya."Bisa, ayo disana!" jawab Lian yang kini melangkah lebih dulu dan diikuti oleh Ginda.Langkahnya terhenti ditaman kampus, kini Lian dan Ginda terduduk."Ada apa, Ginda?""Pak Lian, sebelumnya saya mau minta maaf atas apa yang saya lakukan sama Bapak kemarin, saya benar benar ngga tau kalau ternyata bukan bapak pemilik pertama mobil itu, dan saya juga sangat marah saat itu, saya pikir Bapak adalah laki laki pembunuh yang selama ini saya cari, tapi ternyata bukan.""Sudahlah, Ginda. Tidak apa.""Tapi, Pak Lian. Saya mau bertanya, tolong beri tahu saya siapa pemilik pertama mobil itu, Pak? saya perlu tau, Pak. Saya tidak bisa membiarkan pembunuh itu hidup bahagia, sementara saya yang sempat tersiksa karena kelakuannya itu.""Tapi Ginda, apa tidak sebaiknya kamu maafkan saja dia, karena menurut saya menyimpan dendam itu tidak baik, kamu me
"Sekarang aku mau cari laki laki itu kemana lagi? Yaallah, kenapa sulit sekali sih?" batin Ginda yang kini terdiam di halaman belakang rumahnya.Melihat sang menantu merenung, Sukma pun kini menghampiri. Sukma adalah sosok Ibu mertua yang terbilang perhatian, entah lah apa kah karena ia merasa bersalah dengan Ginda, atau karena memang Sukma orang yang baik?"Ginda," panggil Sukma yang membuat Ginda seketika memutar wajahnya."Ibu.""Kamu kenapa, Nda? Ibu perhatiin kamu lebih banyak melamun," tanya Sukma yang membuat Ginda kembali menunduk.Ingin sekali rasanya ia bercerita tentang kegundahan hatinya saat ini. Namun kembali lagi, ia tak ingin merepotkan orang lain untuk perkara ini, jadi mungkin lebih baik Ginda diam saja."Aku ngga papa kok, Bu. Aku... Aku lagi kangen aja sama Ibu Rumi, udah lama ya aku ngga ketemu Ibu," jawab Ginda beralibi."Kenapa kamu ngga ajak Marvin aja untuk berkunjung kerumah Ibumu? besok dan lus
Sesampainya dirumah Rumi.Rumi yang terkejut atas kedatangan anak dan menantunya itu, karena sebelumnya ia tak memberi tahu terlebih dulu.Dengan hangat Rumi mempersilahkan Ginda dan Marvin masuk ke rumahnya. Menjamunya dengan teh hangat dan cemilan sederhana."Kenapa kalian ngga kabari Ibu dulu kalau mau datang? jadi biar Ibu bisa siapin makanan buat kalian sejak tadi.""Ngga papa, Bu. Nanti aku bantuin masak ya," jawab Ginda yang membuat Rumi tersenyum dan mengangguk."Emm, Mas, apa mau istirahat dulu? ayo aku antar ke kamar.""Iya, Nak Marvin. Lebih baik kamu istirahat dulu, biar Ibu Masak dulu buat makan siang kita nanti," sambar Rumi yang membuat Marvin mengangguk.Kini langkah Marvin dan Ginda pun berjalan memasuki ruang kamar. Ruangan yang sempit dengan tempat tidur yang kecil dan tampak keras., hingga membuat pandangan Marvin tak berkedip memperhatikan sekelilingnya."Kalau mau tidur silahkan tidur aja,
"Mas."Terdengar panggilan itu dari suara Ginda yang membuat Marvin seketika menoleh. Ekspresi wajahnya tampak terkejut dan kemudian dengan cepat meletakkan kembali bingkai foto yang sedari tadi ia genggam itu."Ginda.""Mas, kenapa?"Mendapat pertanyaan itu Marvin pun bingung menjawabnya, ia tak tahu harus berkata apa saat ini? Sementara Ginda yang terus menatapnya dengan pandangan ingin tahu."Kenapa Mas minta maaf? apa Mas kenal sama Ayah?"Kembali lagi Ginda melontarkan pertanyaan yang membuat Marvin gelagapan. Jika saya Ginda dapat mendengar suara hati Marvin, saat ini Marvin sedang meminta maaf karena pernah berbuat kesalahan padanya dan Danang, sang Ayah mertua.Namun sayangnya Ginda tak pernah tau apa yang sedang dipikirkan Marvin, sementara Marvin yang terus berusaha menutupi rahasianya itu."Eemm, tidak apa, s-saya minta karena saya merasa pernah membuat Ayahmu bersedih, syaa yang sempat tidak bersyuku