"Inggit, ini Inggit? Masyallah cantik sekali kamu, Nak," ucap Ginda membelai wajah gadis kecil itu dengan lembut.
"Mama Ginda, udah bisa melihat ya?"Mendengar ucapan itu Ginda hanya tersenyum yang kemudian menganggukkan kepala."Iya, Sayang. Mama Ginda udah bisa melihat, dan Mama seneng bisa melihat wajah Inggit yang cantik ini, oiya bagaimana kalau mulai sekarang panggilnya Bunda aja, gimana Inggit mau?""Bunda? iya aku mau, Bunda," jawab Inggit ceria.Melihat kedekatan itu Sukma dan Marvin tak berkedip, rasanya seperti melihat seorang anak dan ibu kandung yang begitu dekat.Ginda benar benar sosok Ibu yang luar biasa, bahkan ia bisa menyayangi Inggit yang bukan anak kandungnya. Kini Ginda dan Inggit pun asik bermain bersama, Marvin yang tak berkedip memperhatikan sifat keibuan dari Ginda, ia mampu membuat Inggit bahagia.Sementara wajah ayu itu membuat Marvin tak ingin berpaling dari pandangannya, rasa hati yang tak t"Maaf, Mas. Aku harus pulang," ucap Ginda setelah panggilannya terputus.Ucapan itu membuat wajah Marvin tampak frustasi, ia menyunggar rambutnya kebelakang. Permintaannya kali ini ditolak lagi, entahlah harus bagaimana Marvin menghadapinya?"Yasudah saya antar.""Ngga usah, aku bisa pulang sendiri," jawab Ginda yang kemudian melangkah menjauh.Tak ingin mengalah, Marvin kini mengikuti langkah Ginda mau tak mau Marvin tetap akan mengantar Ginda kembali kerumahnya.Kalau pun Ginda tak mau lagi tinggal bersama Marvin, tapi setidaknya Marvin masih bisa memantau Ginda, siap membantu disaat ia butuh sesuatu, seorang Marvin tak sudi kalah dengan laki laki bertitle dosen tersebut.Kini Marvin dan Ginda pun melaju menuju rumahnya, tak ada pembahasan apa pun dalam perjalanannya, Ginda yang tampak tak sudi memandang wajah tampan laki laki disampingnya itu.Sementara Marvin yang mungkin juga sungkan ingin membuka suaranya, keduanya
Sesampainya Ginda dan Lian dirumah, mereka dapati Marvin yang sudah tampak terduduk seorang diri di teras rumahnya, memperhatikan sebuah mobil yang kini terhenti dihadapannya.Begitu pun Ginda dan Lian yang juga memperhatikan Marvin yang tampak sedang menunggu kedatangan sang pemilik rumah.Setelah keluar dari mobil, perlahan Ginda pun melangkah mendekati Marvin yang sudah berdiri siap menyambut kepulangannya."Mas Marvin."Sementara Lian yang hanya terdiam memperhatikan pemandangan itu dari jarak gang tak terlalu jauh, sebenarnya ia sedikit tak enak hati, karena Marvin yang telah melihat kepergiannya bersama istrinya. "Mas, ngapain disini?" tanya Ginda.Tak langsung menjawab, Marvin yang lebih dulu memperhatikan Lian disana. Cukup lama saling diam, sebelum akhirnya Marvin berkata,"Inggit mencarimu!"Jika sudah menyangkut tentang Inggit, rasanya Ginda tak dapat menolak, ia yang harus mau tak mau mengikuti permintaa
Keesokan harinya.Ginda yang sedang resah berada dirumahnya sendiri, ingatannya terus tertuju pada Marvin yang hari ini sedang berulang tahun."Ini adalah tanggal dan bulan kelahiran Mas Marvin, sementara aku, istrinya malah tak peduli dengannya, apa aku salah?" gumam Ginda dengan terus berpikir akan apa yang akan ia lakukan?Tak mungkin ia berdiam diri seperti ini sementara sang suami yang seharusnya mendapat perhatian lebih darinya.Pandangannya yang kini memperhatikan sebuah cincin berlian yang melingkar dijari manisnya, ia teringat akan saat itu saat dimana Marvin memberikannya untuk Ginda.Seharunya saat ini ia pun melakukan hal yang sama, namun malah keadaannya seperti ini, benar benar membuat Ginda bimbang.Setelah cukup lama berpikir, kini akhirnya Ginda memutuskan untuk beranjak dan bergegas menuju rumah Marvin, sebelum sampai rumah Marvin lebih dulu ia membelikan sebuah jam tangan untuk suaminya tersebut, bukan untuk me
"Apa, Ginda kecelakaan?" ucap Marvin terkejut kala mendengar kabar tentang Ginda yang kecelakaan.Tak menunggu lama, kini Marvin pun bergegas meninggalkan singgasananya. Ia melangkah sangat cepat, pikirannya panik dan cemas, berharap tak terjadi apapun pada istri dan calon anaknya tersebut.Marvin yang berjalan melewati Sukma begitu saja, melihat ekspresi panik sang anak Sukma pun menghentikan langkah Marvin."Ada apa, Vin? kenapa kamu panik sekali?""Ginda kecelakaan, Bu! Dia masuk UGD sekarang," jawab Marvin yang membuat Sukma pun terkejut.Tak berpikir panjang, kini Sukma dan Marvin pun bergegas menuju rumah sakit. Sesampainya dirumah sakit, Marvin dan Sukma dapati Lian berada di depan ruang UGD.Karena sudah panik akan kabar berita ini, emosi Marvin pun memuncak, ia yang datang dengan pandangan tajam yang tiba tiba mendaratkan kepalannya pada wajah Lian, hingga membuatnya terhuyung."Kamu kan yang membuat istri saya
"Seperti ucapan dokter, jika kamu harus istirahat total, jadi mulai sekarang kamu harus ikut saya pulang kerumah, kamu tidak perlu tinggal sendiri, mengerti kan?" tanya Marvin pada Ginda.Yang membuatnya sejenak terdiam sebelum akhirnya mengangguk. Mungkin memang ini saatnya Ginda belajar memaafkan, meski sulit namun Ginda akan berusaha membuka pintu hatinya kembali.Melihat jawab Ginda, Marvin pun tersenyum akhirnya istrinya itu mau kembali lagi bersamanya, ia berpikir mulai saat ini ia tak akan pernah membuat Ginda kecewa lagi."Mas, apa aku boleh bicara sebentar?" tanya Ginda yang membuat gerak tangan Marvin kini terhenti.Pandangannya tertuju pada wajah pucat pasi yang masih terbaring itu."Ada apa?""Aku.. aku mau minta maaf, Mas. Sebenarnya aku dan Pak Lian..""Jangan sebut nama itu lagi di hadapan saya, saya tidak mau mendengarnya," sambar Marvin pada ucapan Ginda yang belum usai."Tapi, Mas.. Aku mohon d
Keesokan harinya.Ginda yang telah bersiap hendak pergi ke kampus, Marvin yang melihat Ginda telah berpenampilan rapi pun dengan cepat menghampiri."Ginda, kamu mau kemana?" tanya Marvin dengan pandangan memastikan."Aku mau kuliah, Mas. Oiya nanti setelah pulang kampus aku langsung kerja ya, di Fashion Ted."Mendengar ucapan itu Marvin pun mengerutkan dahi. Bekerja? sejak kapan Ginda menjadi bagian dari Fashion Ted? perusahaan Fashion ternama di kota."Kamu kerja, buat apa?" tanya Marvin yang kini meraih tubuh Ginda dan membawa dihadapannya."Kamu itu istri saya, jadi tidak perlu repot repot bekerja. Saya mampu memenuhi semua keinginan kamu, saya bisa bahagiakan kamu dengan apa yang saya punya, jadi kamu tidak perlu bekerja, Ginda. ""Tapi ini salah satu mimpi aku, Mas. Aku pengen banget jadi desainer, dan saat ini aku hampir mencapainya, aku mohon, Mas izinin ya! aku tau kok kalau hanya untuk menafkahi aku Mas pasti ma
Kini Ginda yang hendak menuju toilet seorang diri tiba tiba ia melihat Lian yang melintas berlawanan arah dengannya hingga membuatnya dengan cepat memanggil."Pak Lian."Mendengar panggilan itu langkah kebut Lian seketika terhenti yang lalu dengan cepat menoleh, membuat Ginda kini menghampirinya.Namun seketika Ginda melebarkan mata kala ia melihat bekas memar yang masih terlihat dibeberapa sudut wajah Lian."Loh, Pak. Wajah Bapak kenapa memar begitu? Bapak dipukul orang?" tanya Ginda yang membuat Lian sejenak terdiam dan kemudian menjawab,"Tidak papa, luka kecil saja," jawab Lian yang sengaja menutupi jika Marvin lah yang menghajarnya saat itu.Tak mungkin ia berkata apa yang terjadi, karena sepertinya hubungan Ginda dan Marvin mulai membaik, jadi ia tak akan merusaknya lagi."Ginda, syukurlah kamu sudah sembuh, dan sudah bisa kembali masuk kuliah," tambah Lian yang membuat Ginda tersenyum dan mengangguk."Alh
Hari demi hari berlalu.Tak menyangka semakin hari Sinta yang semakin gencar mendekati Marvin kembali, tak lelah ia merayu dan menggoda mantan suaminya yang telah beristri lagi itu.Kali ini Sinta melangkahkan kakinya memasuki ruangan Marvin Marcello, setelah mengetuk pintu dan mendengar pemilik ruangan mengizinkannya masuk, kini Sinta pun membuka pintunya.Penampilan modis wanita ber-dress selutut itu membuat pandangan Marvin berpaling dari layar laptopnya. Ia dapati Sinta yang berdiri seolah menggoda disana."Ada apa?" tanya Marvin dengan pandangan menunduk kembali.Tak ingin berlama lama memperhatikan gerak tubuh yang mungkin akan membuatnya tergoda itu, kini Marvin kembali memperhatikan layar laptopnya.Belum menjawab, Sinta yang lebih dulu berjalan mendekat, bukannya terduduk justru Sinta mendekati Marvin dan melihat aktivitas apa yang sedang ia kerjakan.Tangannya dengan lincah meraih bahu Marvin yang ia jadikan se
Hari demi hari berlalu, membawa perubahan yang luar biasa dalam kehidupan Ginda. Kini, dengan bantuan setia Marvin, Ginda mampu berjalan kembali meskipun masih perlu bantuan. Suasana bahagia pun terasa di antara keduanya. "Alhamdulillah, Mas, akhirnya aku bisa jalan lagi," ucap Ginda penuh kebahagiaan, senyumnya merekah di wajahnya yang berseri.Marvin tersenyum lembut, "Kamu hebat, kamu bisa melalui cobaan ini."Ginda menatap Marvin dengan penuh rasa syukur, "Ini semua 'kan juga berkat Mas, kalau ngga ada Mas Marvin mungkin aku ngga menjadi Ginda yang setegar ini. Terimakasih, ya, Mas, untuk semua kebaikan kamu, kamu yang udah menerima aku apa adanya, sampai aku bisa jalan lagi seperti sekarang."Marvin tersenyum hangat, "Ini tugasku, Nda. Sebagai suami, sudah seharusnya aku mendampingi kamu, dalam suka maupun duka."Ucapan Marvin membuat Ginda tersenyum bahagia, merasa bersyukur memiliki seorang suami yang selalu ada untuknya, dalam se
Marvin memasuki hutan dengan hati penuh kekhawatiran, mencari jejak yang bisa mengantarkannya pada keberadaan istrinya, Ginda. Namun, semakin lama ia berada di dalam hutan yang lebat, semakin redup harapan yang ia sandarkan. Setiap langkah yang diambilnya terasa begitu berat, dipenuhi kegelapan dan ketakutan. "Ginda!" teriak Marvin dengan suara gemetar. Namun, tak ada jawaban yang terdengar kecuali desiran angin dan hiruk pikuk hutan yang sunyi. Ia meraba setiap sudut hutan, memanggil nama istrinya tanpa henti. Namun, waktu terus berlalu tanpa kehadiran Ginda yang dicarinya. Kesedihan merayapi hati Marvin, merangkulnya dalam kehampaan yang tak terperi. Pikirannya melayang jauh, membayangkan hal-hal mengerikan yang mungkin terjadi pada Ginda. Dan pada suatu titik, rasa putus asa itu mengubah energinya, membuatnya merasa tak berdaya, hampir tak sanggup melangkahkan kakinya lagi. Dengan langkah tertatih, Marvin berbalik ara
Hari semakin hari Berlalu, Marvin yang semakin curiga pada Dinda karena terdapat keanehan dan kejanggalan pada wanita yang ia anggap istrinya itu. Hari ini Dinda yang duduk menyilangkan kaki di tepi kolam renang tangannya terus menggenggam ponsel sambil tertawa-tertiwi, melihat itu Marvin pun heran rasanya Ini bukan sikap Ginda, pasalnya sejak menjadi istri Ginda tak pernah berperilaku demikian. "Ginda, aku mau bicara sebentar," ucap Marvin yang membuat wanita itu dengan cepat menurunkan kakinya. "Kenapa sih, Mas? mau bicara apa? kalau ngga penting lebih baik ngga udah deh, aku lagi sibuk," jawab Dinda yang membuat Marvin melebarkan mata. Kini rasa curiga semakin memenuhi hatinya, Marvin mengira jika Ginda yang ada dihadapannya saat ini bukanlah Ginda istrinya. Tak menunggu lama, kini Marvin pun mendekat meraih tangan Dinda hingga membuatnya terkejut. "Apa-apaan sih kamu, Mas? kenapa kamu kasar sama aku?"
Niat Dinda untuk menggantikan posisi Honda telah berhasil, hatinya bahagia serta puas melihat keberhasilannya saat ini. Karena wajah dan penampilan yang sama persis, hingga Sukma yang tak sadar jika wanita yang ada dihadapannya saat ini bukanlah menantunya. Dinda merasa jantungnya berdegup kencang ketika Marvin tiba-tiba muncul di tengah-tengah kebersamaannya dengan Sukma. Dengan wajah serius, Marvin menyapa mereka, "Assalamu'alaikum.""Walaikumsalam," jawab Dinda dengan cemas, berusaha menjaga ketenangan meskipun hatinya berdebar-debar.Marvin, tanpa menyadari keberadaan sebenarnya, bertanya dengan heran, "Lagi pada bahas apa sih? Serius banget kayanya."Sukma, tanpa sadar memperburuk situasi, menjawab dengan semangat, "Ini loh, Vin, kita lagi bahas Dinda, masa tadi Dinda ninggalin istrimu sendirian, untung dia bisa pulang sendiri kalau ngga gimana coba?"Mendengar ucapan itu, Marvin pun terbelalak. Matanya terbuka lebar, mencari kebena
Didalam ruang kamar Dinda. Ia yang kini terduduk dengan raut wajah serius. Setelah memasuki kamar dan mengunci pintunya kini Dinda terduduk memperhatikan pemandangan luar. "Aku harus mulai rencanaku secepatnya, sebelum Ginda bisa jalan lagi dan buat aku susah melakukan rencanaku," gumam Dinda lirih. "Maafkan aku, Ginda. Bukan maksud ingin menjadi saudara yang kejam, tapi takdir yang membuatku tega melakukan ini padamu," batin Dinda dengan pandangan tajam. Setelah memikirkan apa yang hendak ia rencanakan kini Dinda pun beranjak, keluar kamar dan menemui Ginda yang sedang berada di halaman belakang rumahnya. "Ginda," panggil Dinda yang membuat Ginda seketika menoleh. "Dinda, ada apa?""Bisa antar aku ke suatu tempat? aku mau ketemu temenku, tapi aku ngga tau tempat itu dimana alamatnya.""Temen?"Sejenak Ginda terdiam, hatinya sedikit merasa tak tenang ada sesuatu yang mengganjal dibalik ajakan saud
"Sesuai rencana," batin Dinda setelah memasuki rumah. Apa maksud ucapannya barusan? rencana apa yang bersarang diotaknya? bahkan ekspresi wajahnya pun menunjukan arti kepuasan. "Akhirnya aku bisa masuk rumah ini dengan begitu mudah," tambah batin Dinda tertawa. Ya, ternyata amnesia yang Dinda alami hanya sebagai sandiwara belaka, demi mewujudkan keinginan dan ambisinya untuk dapat masuk ditengah tengah rumah tangga Marvin Marcello. Benar benar jahat, wanita tak punya hati sudah ditolong malah ingin menikam. Saudara kandung macam apa Dinda ini? mengapa ia begitu tega? "Setelah ini aku akan merebut semuanya dari kamu, Ginda. Aku yang akan menjadi ratu dirumah ini," tambah Dinda tertawa dalam hati. Melihat ekspresi Dinda rasanya Sukma mulai curiga, lantaran ia yang tak menyukai Dinda sejak dulu, ditambah lagi Sukma mengetahui bagaimana perlakuan Dinda pada Ginda menantunya. "Apa yang sedang direncanakan wanita itu? a
Tak lama kemudian. Seorang dokter keluar dari ruangan, dengan cepat Ginda dan Marvin mendekatinya untuk menanyakan keadaan Dinda saat ini. "Bagaimana, Dok, keadaan Dinda?"Tak langsung menjawa dokter yang sejenak terdiam memperhatikan wajah Marvin dan Ginda. Pandangannya membuat semakin penasaran. "Pasien sudah sadarkan diri," jawab dokter yang membuat Ginda dan Marvin seketika menghela nafas lega. "Pasien bisa dijenguk setelah nanti dipindahkan ke ruang rawat yah, kalau begitu saya permisi," tambah dokter yang lalu melangkah meninggalkan tempat.Tak lama kemudian, Dinda yang kini dipindahkan ke ruang rawat oleh beberapa suster yang mendorongnya. Marvin dan Ginda pun mengikutinya. Melihat adanya Marvin dan Ginda pandangan Dinda tampak aneh, ia yang tak berkedip dan seakan sedang memikirkan sesuatu. Setelah kini beberapa suster meninggalkan tempat, Ginda pun mendekat, ia pandangi waja wanita yang mirip deng
Sesampainya di rumah, Sukma yang menyambut kedatangan Ginda dan Marvin pun dengan cepat menghampiri, ia menyambut dengan wajah penuh penasaran. "Ginda, Marvin. Bagaimana hasilnya?" tanya Sukma yang memperhatikan dengan seksama. Tak langsung menjawab Marvin dan Dinda yang lebih dulu terdiam, hingga membuat Sukma semakin penasaran. Cukup lama terdiam, sebelum akhirnya Marvin membantu Ginda untuk terduduk di sofa, menghela nafas berat dan mengeluarkan sebuah surat dari dalam tasnya. Lalu perlahan memberikannya pada Sukma dengan berkata, "Ini, Bu. Hasilnya."Sukma meraih kertas itu perlahan, dengan rasa takut dan ragu untuk membaca, berharap tak terjadi apa-apa pada menantunya tersebut. Kini Sukma pun membaca tulisan dalam surat itu, setelah beberapa detik kemudian akhirnya Sukma pun menghela nafas lega, setelah tahun jika hasilnya adalah baik-baik saja, tidak ada masalah dalam kandungan Ginda sang menantu. "Aku baik-b
Keesokan harinya, Ginda yang terduduk di kursi roda, dengan gerak tangan yang terus menyiram bunga, ia menyiram bunga dengan wajah ceria. Namun wajah cerianya seketika menghilang kala sebuah suara datang menyapanya. "Ekhemm."Deheman itu membuat Ginda seketika memutar wajahnya, ia dapati Dinda disana, yang berdiri memperhatikannya dengan pandangan megintimidasi. "Dinda.""Kasihan ya kamu, hanya untuk emnyiram bunga saja kamu harus terduduk seperti ini," ucap Dinda yang mengarah pada penghinaan."Apa maksudmu?"Tak langsung menjawab, Dinda yang kini terkekeh dan memutar tubuhnya, membelakangi Ginda hingga membuat pandangan Ginda menatap tubuh bagian belakang Dinda. "Ginda, Ginda. Apa kamu ngga sadar apa yang terjadi sama kamu saat ini adalah balasan buat kamu. Selama ini kamu bahagia, sedangkan aku menderita. Selama ini kamu hidup enak dan aku hidup susah. Dan sekarang kamu dapat balasannya, kamu lumpuh dan kamu... Man