Keesokan harinya.
Ginda yang sedang resah berada dirumahnya sendiri, ingatannya terus tertuju pada Marvin yang hari ini sedang berulang tahun."Ini adalah tanggal dan bulan kelahiran Mas Marvin, sementara aku, istrinya malah tak peduli dengannya, apa aku salah?" gumam Ginda dengan terus berpikir akan apa yang akan ia lakukan?Tak mungkin ia berdiam diri seperti ini sementara sang suami yang seharusnya mendapat perhatian lebih darinya.Pandangannya yang kini memperhatikan sebuah cincin berlian yang melingkar dijari manisnya, ia teringat akan saat itu saat dimana Marvin memberikannya untuk Ginda.Seharunya saat ini ia pun melakukan hal yang sama, namun malah keadaannya seperti ini, benar benar membuat Ginda bimbang.Setelah cukup lama berpikir, kini akhirnya Ginda memutuskan untuk beranjak dan bergegas menuju rumah Marvin, sebelum sampai rumah Marvin lebih dulu ia membelikan sebuah jam tangan untuk suaminya tersebut, bukan untuk me"Apa, Ginda kecelakaan?" ucap Marvin terkejut kala mendengar kabar tentang Ginda yang kecelakaan.Tak menunggu lama, kini Marvin pun bergegas meninggalkan singgasananya. Ia melangkah sangat cepat, pikirannya panik dan cemas, berharap tak terjadi apapun pada istri dan calon anaknya tersebut.Marvin yang berjalan melewati Sukma begitu saja, melihat ekspresi panik sang anak Sukma pun menghentikan langkah Marvin."Ada apa, Vin? kenapa kamu panik sekali?""Ginda kecelakaan, Bu! Dia masuk UGD sekarang," jawab Marvin yang membuat Sukma pun terkejut.Tak berpikir panjang, kini Sukma dan Marvin pun bergegas menuju rumah sakit. Sesampainya dirumah sakit, Marvin dan Sukma dapati Lian berada di depan ruang UGD.Karena sudah panik akan kabar berita ini, emosi Marvin pun memuncak, ia yang datang dengan pandangan tajam yang tiba tiba mendaratkan kepalannya pada wajah Lian, hingga membuatnya terhuyung."Kamu kan yang membuat istri saya
"Seperti ucapan dokter, jika kamu harus istirahat total, jadi mulai sekarang kamu harus ikut saya pulang kerumah, kamu tidak perlu tinggal sendiri, mengerti kan?" tanya Marvin pada Ginda.Yang membuatnya sejenak terdiam sebelum akhirnya mengangguk. Mungkin memang ini saatnya Ginda belajar memaafkan, meski sulit namun Ginda akan berusaha membuka pintu hatinya kembali.Melihat jawab Ginda, Marvin pun tersenyum akhirnya istrinya itu mau kembali lagi bersamanya, ia berpikir mulai saat ini ia tak akan pernah membuat Ginda kecewa lagi."Mas, apa aku boleh bicara sebentar?" tanya Ginda yang membuat gerak tangan Marvin kini terhenti.Pandangannya tertuju pada wajah pucat pasi yang masih terbaring itu."Ada apa?""Aku.. aku mau minta maaf, Mas. Sebenarnya aku dan Pak Lian..""Jangan sebut nama itu lagi di hadapan saya, saya tidak mau mendengarnya," sambar Marvin pada ucapan Ginda yang belum usai."Tapi, Mas.. Aku mohon d
Keesokan harinya.Ginda yang telah bersiap hendak pergi ke kampus, Marvin yang melihat Ginda telah berpenampilan rapi pun dengan cepat menghampiri."Ginda, kamu mau kemana?" tanya Marvin dengan pandangan memastikan."Aku mau kuliah, Mas. Oiya nanti setelah pulang kampus aku langsung kerja ya, di Fashion Ted."Mendengar ucapan itu Marvin pun mengerutkan dahi. Bekerja? sejak kapan Ginda menjadi bagian dari Fashion Ted? perusahaan Fashion ternama di kota."Kamu kerja, buat apa?" tanya Marvin yang kini meraih tubuh Ginda dan membawa dihadapannya."Kamu itu istri saya, jadi tidak perlu repot repot bekerja. Saya mampu memenuhi semua keinginan kamu, saya bisa bahagiakan kamu dengan apa yang saya punya, jadi kamu tidak perlu bekerja, Ginda. ""Tapi ini salah satu mimpi aku, Mas. Aku pengen banget jadi desainer, dan saat ini aku hampir mencapainya, aku mohon, Mas izinin ya! aku tau kok kalau hanya untuk menafkahi aku Mas pasti ma
Kini Ginda yang hendak menuju toilet seorang diri tiba tiba ia melihat Lian yang melintas berlawanan arah dengannya hingga membuatnya dengan cepat memanggil."Pak Lian."Mendengar panggilan itu langkah kebut Lian seketika terhenti yang lalu dengan cepat menoleh, membuat Ginda kini menghampirinya.Namun seketika Ginda melebarkan mata kala ia melihat bekas memar yang masih terlihat dibeberapa sudut wajah Lian."Loh, Pak. Wajah Bapak kenapa memar begitu? Bapak dipukul orang?" tanya Ginda yang membuat Lian sejenak terdiam dan kemudian menjawab,"Tidak papa, luka kecil saja," jawab Lian yang sengaja menutupi jika Marvin lah yang menghajarnya saat itu.Tak mungkin ia berkata apa yang terjadi, karena sepertinya hubungan Ginda dan Marvin mulai membaik, jadi ia tak akan merusaknya lagi."Ginda, syukurlah kamu sudah sembuh, dan sudah bisa kembali masuk kuliah," tambah Lian yang membuat Ginda tersenyum dan mengangguk."Alh
Hari demi hari berlalu.Tak menyangka semakin hari Sinta yang semakin gencar mendekati Marvin kembali, tak lelah ia merayu dan menggoda mantan suaminya yang telah beristri lagi itu.Kali ini Sinta melangkahkan kakinya memasuki ruangan Marvin Marcello, setelah mengetuk pintu dan mendengar pemilik ruangan mengizinkannya masuk, kini Sinta pun membuka pintunya.Penampilan modis wanita ber-dress selutut itu membuat pandangan Marvin berpaling dari layar laptopnya. Ia dapati Sinta yang berdiri seolah menggoda disana."Ada apa?" tanya Marvin dengan pandangan menunduk kembali.Tak ingin berlama lama memperhatikan gerak tubuh yang mungkin akan membuatnya tergoda itu, kini Marvin kembali memperhatikan layar laptopnya.Belum menjawab, Sinta yang lebih dulu berjalan mendekat, bukannya terduduk justru Sinta mendekati Marvin dan melihat aktivitas apa yang sedang ia kerjakan.Tangannya dengan lincah meraih bahu Marvin yang ia jadikan se
Ditengah tengah kebersamaannya, tiba tiba..Dreet dreet!Ponsel Ginda berdering hingga membuat Marvin kini melepas genggamannya, nama Teddy menari nari dilayar benda pipih tersebut."Assalamualaikum, Pak. Ada apa? Oh sekarang ya? baik lah saya kesana sekarang," ucap Ginda pada seseorang dibalik ponselnya tersebut.Mendengar percakapan itu Marvin pun bertanya siapa yang menelponnya, Ginda pun menjawab jika yang menelponnya adalah pemimpin perusahaan tempatnya bekerja."Aku harus kembali ke kantor sekarang, Mas!""Yasudah, saya antar!"Tak menunggu lama Ginda dan Marvin kini melangkah meninggalkan tempat dan melaju menuju perusahaan Fashion Ted. Beberapa menit kemudian.Marvin menghentikan mobilnya dihalaman perusahaan tersebut, Sementara Teddy yang sedang berdiri tampak sedang memperhatikan mobil yang baru saja datang.Melihat itu Marvin pun mengangkat alis sebelah kirinya, mengapa Teddy ada di
Dirumah.Marvin yang kini melangkah mendekati Ginda yang sedang terduduk seorang diri dihalaman belakang rumahnya.Wanita hamil tersebut tampak sedang memperhatikan penghijauan sekitar, semilir angin yang membelai tubuhnya membuatnya merasa tenang."Ginda."Tiba tiba terdengar panggilan itu yang membuat Ginda seketika menoleh pada sumber suara. Marvin disana yang kini terduduk sejajar dengan sang istri."Ada apa, Mas?"Terdiam sejenak, tampaknya Marvin sedang memikirkan hendak mulai percakapannya dari mana? "Saya ingin bertanya, apa maksud Teddy tadi, mengapa dia menganggap kamu istrinya Lian?"Pertanyaan itu membuat Ginda tersenyum samar, yang kemudian mengarahkan pandangannya kedepan kembali.Perlahan Ginda pun menjelaskan pada Marvin apa yang membuat Teddy mengira jika ia adalah istrinya Lian."Jadi begitu ceritanya, Mas. Mungkin Pak Lian melakukan itu juga karena biar aku diterima disana,
Ditengah tengah kebersamaanya, tiba tiba...Drreet drreet!Ponsel Ginda berdering, hingga membuatnya dengan cepat meraih ponselnya, nama Rumi menari nari dilayar benda pipih tersebut."Assalamualaikum, Bu.""Walaikum salam, Ginda. Ibu... Ibu.." ucap Rumi yang terdengar begitu lemah, hingga membuat Ginda melebarkan mata. "Ibu kenapa? Ibu sakit ya?" tanya Ginda cemas."Kepala Ibu sakit banget, Nak."Mendengar ucapan lemah itu seketika ekspresi Ginda berubah, ia merasa ada yang tidak baik dengan Ibunya."Ibu, bertahan ya. Sabar sebentar aku pulang sekarang," ucap Ginda yang kemudian mengakhiri panggilannya.Lalu memperhatikan Marvin dengan mata berkaca kaca."Mas, sepertinya Ibu sedang sakit, dia mendesak kesakitan. Mas, apa aku boleh berkunjung kerumah Ibu? aku khawatir Mas terjadi apa apa sama Ibu," ucap Ginda meraih tanga Marvin dengan penuh harap.Ia berharap untuk diizinkan pergi, m