"Pak, bilang sama saya. Wanita itu siapa? kenapa dia mirip banget sama saya?" tanya Dinda memperhatikan wajah Marvin dari samping.
Pandangan laki laki itu menatap iba pada sang istri yang sampai saat ini masih belum jua tersadar dari komanya.Perlahan Marvin pun mendekat, meraih tangan Ginda dan menggenggamnya dengan erat, matanya tampak memerah, rasa tangis yang tak tertahankan akhirnya terjatuh juga.Buliran air mata itu membasahi genggaman tangannya, jiwa Marvin saat ini bukan lagi jiwa laki laki yang kuat, hatinya melemah karena harapannya selalu terpatahkan."Dia istri saya, wanita cantik ini adalah istri saya. Dia sudah tertidur selama satu tahun," jawab Marvin setelah berusaha melupakan air matanya.Mendengar pengakuan Marvin Dinda pun terbelalak, tak menyangka jika selama itu ia tertidur."Tujuan saya mengajak kamu kesini adalah siapa tau istri saya akan terbangun kala ia merasakan kehadiran kamu disini," tambah Marvin yaSementara Dinda yang kini sedang mengobrak abrik seisi lemarinya, entahlah ia mencari apa? mungkin ia mencari sesuatu yang dapat membuatnya percaya akan ucapan Rumi.Setelah cukup lama mencari, kini akhirnya Dinda berhasil menemukan sebuah salinan akta kelahiran yang sudah tampak kusut dan lusuh, dalam kertas itu menyatakan bahwa benar jika wanita itu bermana Dinda Almarena, yang menyatakan bahwa anak kandung dari Rumi dan Almarhum Danang.Dinda pun terbelalak setelah membaca surat lusuh tersebut, tak menyangka jika apa yang dikatakan wanita tua tadi semuanya benar."Jadi semua cerita itu benar? aku adalah anak kandung Ibu Rumi? dan namaku Dinda, bukan Dila? terus kenapa Papa dan Mama ngga pernah bicara soal ini ke aku?" gumam Dinda bingung.Seketika ia merasa tak tega karena telah meninggalkan Rumi begitu saja, dan tak memperdulikan ucapannya. Dengan cepat kini Dinda meletakan kertas tersebut dan melangkah hendak menemui Rumi dirumah sakit kembal
Setelah kepergian Rumi Dinda yang tak ingin kembali kehilangan Ginda, kini langkahnya perlahan memasuki ruangan dimana Ginda berada.Masih dengan peralatan medis yang membantu Ginda bertahan hidup, entahlah harus sampai kapan Ginda terbaring seperti ini? bagai hidup segan mati tak mau.Dinda memperhatikan wajah saudara kembarnya itu dengan pilu, perasaannya tak karuan sedih dan kecewa bercampur menjadi satu."Kenapa nasibmu sebaik ini? kamu disayang oleh Ibu dan Ayah, dan sekarang kamu juga memiliki seorang suami dan Ibu mertua yang sempurna, kenapa cuma kamu yang bernasib baik sementara aku tidak?" gumam Dinda tak berkedip memperhatikan wajah wanita berhijab yang sedang terpejam itu.Dinda merasa dunia tak adil untuknya, selama ini ia yang harus hidup terlantar dan menjadi pengamen jalanan, sementara Ginda yang dapat hidup enak bersama Marvin.Entahlah apa yang dipikirkan Dinda saat ini, mengapa ia iri dengan takdir hidup saudara kembarn
Sore harinya.Marvin yang kini menjemput Dinda dirumahnya, meski Dinda sudah berkata tidak mau namun Marvin tak menghiraukannya, Ia yang masih saja datang dan meminta Dinda untuk ikut dengannya hari ini."Udah berapa kali saya bilang, Pak? saya tidak mau, kenapa maksa banget sih?""Dinda, bantu saya nasib saya hari ini ada di tangan kamu, kalau kamu tidak mau membantu saya, partner saya kali ini bisa lolos.""Bukan urusan saya ya, Pak. Saya nggak ngerti yang begituan, udah deh lebih baik sekarang Bapak pergi sendiri, karena saya nggak mau ikut Bapak."Ucapan itu membuat Marvin memandangnya dengan tajam, sedikit membuatnya marah hingga kini ia meraih tangan Dinda dan membawanya begitu saja."Lepasin saya, dasar tukang maksa, lepas!"Pekikan itu tak di hiraukan oleh Marvin, ia yang terus membawa Dinda memasuki mobilnya dan melaju ke suatu tempat, Marvin lebih dulu pergi ke salon sebelum pergi menemui partnernya.M
Setelah pertemuan berakhir, Dinda yang kemudian menghela nafas lega."huuff, akhirnya selesai juga. Udah kayak orang bego aja, yang cuma bisa diem," gerutu Dinda yang terdengar ditelinga Marvin.Mendengar ucapan itu Marvin pun tersenyum smirk, dan menggelengkan kepala."Meski sama, nyatanya tetap berbeda," ucap Marvin yang kemudian melangkah meninggalkan tempat.Membuat Dinda terbelalak atas ucapan yang didengarnya."Maksud, Bapak? Bapak bilang saya bego?" ucap Dinda dengan langkah yang terus mengejar Marvin, hingga kini memasuki mobilnya."Saya tidak bicara seperti itu, bukankah kamu sendiri yang bilang kamu bego?" jawab Marvin seraya melajukan mobilnya."Ya tapi kan ngga harus diperjelas, Pak."Tak ingin lagi berdebat Marvin yang kini terdiam kala Dinda terus menggerutu. Kini Marvin semakin mempercepat laju mobilnya hingga melewati jalan yang seharusnya ia lintasi."Loh, Pak. Harusnya kan belok, kenap
Hari demi Hari berlalu, keadaan Ginda yang masih tak ada perubahan, juga keadaan Dinda dan Marvin yang semakin hari semakin dekat.Hari ini Dinda berada di depan rumah Marvin, ia tak berkedip memperhatikan pemandangan indah di hadapannya itu, rasa takjub membuat nya melebarkan mata."Astaga jadi ini rumah Marvin? bagus banget," ucapnya terpesona.Dinda yang masih terdiam membeku, memperhatikan sesuatu yang seakan membuatnya tak dapat bergerak, sementara mobil Marvin yang kini memasuki halaman rumahnya dan membunyikan klakson mobilnya.Bim Bim!Mendengar suara itu Dinda pun terperanjak kaget, ia seketika menoleh dan menjauh memberi jalan mobil Marvin untuk masuk.Memperhatikan Marvin yang kini tampak keluar dari mobilnya, pandangan Dinda yang lagi lagi tak berkedip, rasanya apa yang ia perhatikan hari ini membuatnya terpesona."Ada apa kamu datang kemari?" tanya Marvin setelah gini berada dekat dengan Dinda.Mend
Hari demi hari berlalu, dan perasaan Dinda terhadap Marvin rasanya perasaan yang berbeda, perasaan yang semakin kuat, semakin membuatnya bimbang.Setiap kali melihat Marvin, hatinya berdebar-debar, dan setiap kali Marvin tersenyum, dia merasa dunianya berputar. Namun, dia tahu bahwa perasaannya itu salah. Marvin adalah suami Ginda, saudara kembarnya sendiri. Mencintainya adalah sesuatu yang tidak mungkin dan tidak seharusnya dia lakukan. Dinda duduk di sudut ruangan, matanya tak berkedip memandangi Marvin yang sedang sibuk dengan Ginda disana. Dia terpesona dengan ketenangan dan kegigihan Marvin, namun sekaligus merasa resah dengan perasaannya sendiri. Di dalam hatinya, dia berusaha menyangkal perasaannya. Dia berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa perasaannya itu salah, bahwa dia tidak boleh mencintai Marvin. Namun, semakin dia berusaha menyangkal, semakin kuat perasaannya. "Ginda, maafkan aku," bisik Dinda dalam hati, menatap sos
Setelah kembali ke rumah, Ginda disambut dengan hangat oleh Sukma, ibu mertuanya. "Alhamdulillah, kamu sudah kembali, Ginda," ucap Sukma dengan senyuman, memperhatikan Ginda yang sedang berjalan dibantu oleh Marvin. "Bu, alhamdulillah," jawab Ginda sambil tersenyum. Marvin membawa Ginda masuk ke dalam kamar agar Ginda dapat beristirahat dengan nyaman. "Kamu istirahat dulu ya, jangan terlalu banyak bergerak," ucap Marvin setelah membantu Ginda berbaring di tempat tidurnya. Ginda merasakan tempat ini begitu ia rindukan. Hampir dua tahun lamanya ia meninggalkan ruangan yang nyaman ini, hanya untuk tidur di rumah sakit dengan tingkat kenyamanan yang tidak sebanding. Pandangannya masih memperhatikan sekeliling ruangan, rasa rindu begitu terlihat dalam matanya. Ginda menghela nafas lega. "Akhirnya, aku bisa kembali merasakan ruangan ini," gumam Ginda dengan suara pelan, yang terdengar oleh Marvin. "Mas, terima
"Dia.. Dia saudara kembar kamu, Nda," jawab Marvin yang membuat Ginda terbelalak.Ginda tak tahu sejak kapan ia memiliki saudara kembar? bahkan selama ini Ibunya pun tak pernah memberi tahunya, lalu kenapa sekarang saudara kembar itu hadir?"Maksudnya apa sih, Mas? saudara kembar? apa aku punya saudara kembar?" tanya Ginda tak percaya.Perlahan Marvin pun menceritakan semua yang pernah Rumi jelaskan padanya, jika Dinda adalah saudara kembar Ginda yang terpisah sejak bayi.Ginda merasa terkejut dan tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Dia merasa seperti dunianya tiba-tiba berubah dalam sekejap. Dia berusaha memproses informasi yang diberikan oleh Marvin, mencoba mengingat-ingat momen-momen masa kecilnya yang mungkin menunjukkan tanda-tanda bahwa dia memiliki seorang saudara kembar yang terpisah. Pikiran Ginda melayang kemasa lalu, mencoba menghubungkan potongan-potongan ingatan yang samar-samar. Apakah ada momen