"Bagaimana keadaan Ginda, dok?" tanya Sukma setelah dokter selesai memeriksa Ginda.
"Ginda sakit apa, dok?" tambah Marvin, sementara Ginda yang hanya terdiam terbaring lemah."Istri Tuan tidak sakit, hanya saja dia sedang mengandung," jawab dokter wanita yang membuat Marvin, Sukma dan Ginda terbelalak."Apa, hamil?""Ya, usianya kehamilannya memasuki dua minggu, untuk menjaga kesehatan Ibu dan anak jangan lupa selalu beri support ya, Tuan. Ini saya buatkan resep vitamin untuk kekebalan janinnya," ucap dokter seraya menulis resep obat dan diberikannya pada Marvin.Entah akankah mereka bahagia atas kehamilan ini? sementara secara tidak langsung talak telah diucapkan oleh Marvin, dan jika sekarang Ginda hamil, tandanya perceraian itu tidak akan terjadi."Tuan bisa tebus resep ini di apotik ya," ucap dokter yang membuat Marvin perlahan mengangguk.Tak menunggu lama, kini dokter pun meninggalkan rumah Marvin. Sementara GindaMalam ini.Ginda yang tiba tiba terbangun karena merasa dahaga, ia berjalan keluar kamarnya dan menuju ruang makan untuk menuang air putih dalam gelas yang telah ia siapkan.Ia pun menenggaknya hingga tandas, namun tiba tiba sebuah mangga muda yang kini melintasi pikirannya, membuatnya seketika ingin sekali memakannya."Kenapa aku pengen mangga muda ya?" gumam Ginda yang kemudian melirik jarum jam yang telah menunjukan pukul 23:00."Yah udah malam, emang masih ada penjual buah yang buka jam segini?" tambahnya.Namun karena rasa ingin yang tak tertahan lagi, akhirnya Ginda memutuskan untuk keluar rumah, ia berjalan kaki menuju kios buah yang tak jauh dari komplek perumahannya."Mudah mudahan masih buka deh."Langkahnya terus berjalan tanpa henti, sementara Lian yang melintas melewati Ginda, seketika ia menghentikan mobilnya kala melihat wanita berhijab itu berjalan sendiri."Itu Ginda? ngapain sih malam malam gin
Bruuukkk!Marvin yang tiba tiba melempar sebuah koper dihadapan Ginda, hingga membuat Ginda terkejut dan terbelalak."Pergi dari rumah saya!" ucap Marvin tanpa memandang, rasanya ia tak sudi melihat wajah wanita yang ia anggap telah berkhianat itu.Sejenak terdiam, Ginda tau ini adalah bagian amarah dari Marvin, dan sepertinya memang ini resiko yang harus ia tanggung, atas sandiwara yang telah ia lakukan, perlahan Ginda pun meraih koper tersebut. Sementara Sukma yang melihat itu pun bergegas menghampiri."Apa kalian tidak bisa menyelesaikan masalah ini secara baik baik? Marvin, ini bukan jalan yang harus kalian tempuh.""Ibu masih mau membela wanita ini? sudah jelas jelas dia yang membuat perkara ini, Bu. Jadi jangan lagi membela dia atau pun melarangku untuk mengusir dia dari rumah ini. Toh dia sudah tidak mencintai aku lagi, dia lebih memilih dosennya itu, dari pada aku suaminya, jadi sudah lah biarkan dia pergi dari rumah ini."
Pagi ini dikampus tercinta, lagi lagi Ginda yang datang berbarengan dengan Lian, mencuri pandangan Dela, lantaran beberapa hari ini Ginda dan Lian selalu bersama, tak seperti keakraban dosen dan mahasiswanya."Kenapa mereka selalu barengan ya? berangkat bareng, dan pulang juga bareng, suami Ginda kemana? kenapa beberapa hari ini Ginda bareng Pak Lian terus?" gumam Dela yang kini pandangannya tertuju pada Ginda dan Lian yang berjalan beriringan."Terimakasih ya, Pak Lian. Kalau gitu saya ke kelas dulu.""Ya, belajar yang semangat ya. Masa depanmu ada di tanganmu sendiri," ucap Lian yang membuat Ginda tersenyum dan mengangguk.Entahlah rasanya Lian selalu memberi Ginda semangat, disaat hatinya sedang rapuh karena masalah yang menimpa hubungan rumah tangganya, malah kini Lian seperti sengaja hadir dan memberi ketenangan.Kini Ginda pun melangkah memasuki ruang kelasnya, langkahnya seketika terhenti kala Dela memanggil namanya, membuat wanita
"Lalu, apa ini maksudnya, Pak?""Jadi begini, Ginda. Perusahan itu bergerak dalam bidang fashion, dan mereka sedang membutuhkan desainer tetap disana. Saya rasa kamu bisa mengajukan diri untuk menjadi desainer mereka," jelas Lian yang membuat Ginda tak berkedip memperhatikan isi dalam map tersebut."Tapi, Pak. Apa saya bisa? ini perusahaan besar Pak saya takut saya tidak mampu.""Ginda, saya memberikan ini pada kamu, itu karena saya tau kualitas kamu, jadi jangan merasa seolah kamu tidak bisa, bukan kah menjadi desainer ternama adalah impian kamu? jadi jangan sia sia kan kesempatan ini, Ginda."Mendengar semua ucapan Lian, perlahan Ginda mengangguk. Ya, mungkin ini jalan yang akan membawanya dalam kesuksesan."Kamu tenang saja, saya akan membantu kamu, sebisa saya," tambah Lian yang membuat Ginda kini tersenyum."Terimakasih banyak, Pak Lian. Terimakasih sudah mendukung saya, rasanya saya seperti ada yang melindungi, ya meski pun
"Apa yang terjadi padaku? mengapa aku rasanya tak ingin mendengar Ginda dekat dengan laki laki itu? aku seperti marah, aku... ahhh perasaan apa ini? mengapa aku kacau dibuatnya?" gerutu Marvin kala kini Sinta tak lagi bersamanya.Kabar yang Sinta bawa rupanya membuat Marvin kalang kabut, mungkin perasaannya saat ini adalah perasaan cemburu, namun ia tak mengerti.Ia tak pernah sadar karena ia terlalu egois untuk menyadarinya, seorang Marvin Marcello tak ingin begitu saja percaya akan hal cinta, meski nyatanya ada namun karena ego dan masa lalu, membuat Marvin sulit mengakui hal itu."Dan aku pikir setelah Ginda pergi dari rumahku, dia akan melaporkan aku ke polisi, tapi ternyata sampai saat ini belum ada polisi yang mencari aku, apa Ginda tak melakukan itu? tapi kenapa? bukan kah ia ingin sekali berbalas dendam?" tambah Marvin dengan ekspresi terus berpikir.Entahlah Ginda benar benar membuat pikirannya kacau, ia yang tak mengerti apa yang sebenar
Diperjalanan."Pak, saya minta maaf ya udah selalu merepotkan, Bapak. Bapak jadi harus antar jemput saya seperti ini," ucap Ginda yang membuat pandangan Lian sejenak memperhatikanya yang kemudian kembali fokus pada kemudinya."Tak masalah, saya tidak pernah keberatan menolong kamu, justru saya senang, dan saya ingin menjadi seseorang yang sigap menolong kamu," jawab Lian yang membuat Ginda tertegun.Entahlah apakah seorang Lian memang laki laki yang begitu baik? atau ada maksud lain dari ucapannya itu? rasanya beberapa hari terakhir ini, Lian begitu mudah mengucapkan kata kata manis.Mendengar itu Ginda hanya tersenyum dan menunduk, tak tau akan berkata apa lagi, hingga kini pandangannya tertuju pada penjual es krim dipinggir taman kota.Entahlah, mengapa rasanya tiba tiba Ginda menginginkan es krim tersebut? hingga membuat Ginda seketika menghentikan laju Lian."Berhenti sebentar, Pak." Tanpa banyak bicara, kini Lian p
"Sekali lagi terimakasih ya, Pak," ucap Ginda kala kini Lian menghentikan mobilnya dihalaman rumahnya."Sama sama, jaga kesehatan terus ya, jangan capek capek, inget ada janin yang harus kamu jaga," ucap Lian yang membuat Ginda tertegun.Padahal ini bukan kewajiban Lian untuk mengingatkan Ginda akan kandungannya. Namun dengan tulus Lian berkata itu, selain itu Lian juga selalu ada saat Ginda butuh pertolongan, seolah Lian ingin melindungi dan menjaga Ginda serta bayi dalam kandungannya tersebut."Terimakasih banyak, Pak. Sudah mengingatkan, kalau begitu saya masuk dulu.""Emm, Ginda. Jangan pernah keluar rumah sendiri ya, kalau ada perlu diluar kamu bisa hubungi saya, saya siap antar kamu," ucap Lian yang membuat Ginda menghentikan langkahnya.Tak menjawab, Ginda hanya tersenyum dan kemudian mengangguk, kembali ia melangkahkan kakinya dan memasuki rumah. Kepergian wanita berhijab itu tak hilang dari pandangan Lian, Dengan bibir yang terus
Marvin yang kini kembali kerumah dengan wajah muram, ia terduduk disofa ruang tamunya dengan nafas berat, melihat itu Sukma pun menghampiri."Marvin, ada apa?"Mendengar pertanyaan itu perlahan Marvin pun menoleh, tanpa ragu Marvin menceritakan semuanya pada Sukma. Tentang niatnya yang mengajak Ginda kembali ke rumah namun ditolak begitu saja."Ginda ngga mau?""Sepertinya begitu, Bu. Entahlah apa dia berniat melaporkan aku ke polisi? ditambah lagi Ginda dan dosennya itu, sepertinya hubungan keduanya semakin dekat, Bu. Bahkan segalanya laki laki itu yang menanggung, seolah ia tak ingin Ginda menderita.""Ini juga kan kesalahan kamu, Vin. Coba aja saat itu kamu ngga mengusir Ginda, ini tidak akan terjadi, kamu masih terus bisa memantaunya, kamu masih terus bisa membujuk hatinya, dan sekarang bagaimana kalau Ginda benar benar melaporkan kamu ke polisi?""Pasrah saja, Bu. Mungkin memang itu balasan untukku," jawab Marvin tanpa meman
Hari demi hari berlalu, membawa perubahan yang luar biasa dalam kehidupan Ginda. Kini, dengan bantuan setia Marvin, Ginda mampu berjalan kembali meskipun masih perlu bantuan. Suasana bahagia pun terasa di antara keduanya. "Alhamdulillah, Mas, akhirnya aku bisa jalan lagi," ucap Ginda penuh kebahagiaan, senyumnya merekah di wajahnya yang berseri.Marvin tersenyum lembut, "Kamu hebat, kamu bisa melalui cobaan ini."Ginda menatap Marvin dengan penuh rasa syukur, "Ini semua 'kan juga berkat Mas, kalau ngga ada Mas Marvin mungkin aku ngga menjadi Ginda yang setegar ini. Terimakasih, ya, Mas, untuk semua kebaikan kamu, kamu yang udah menerima aku apa adanya, sampai aku bisa jalan lagi seperti sekarang."Marvin tersenyum hangat, "Ini tugasku, Nda. Sebagai suami, sudah seharusnya aku mendampingi kamu, dalam suka maupun duka."Ucapan Marvin membuat Ginda tersenyum bahagia, merasa bersyukur memiliki seorang suami yang selalu ada untuknya, dalam se
Marvin memasuki hutan dengan hati penuh kekhawatiran, mencari jejak yang bisa mengantarkannya pada keberadaan istrinya, Ginda. Namun, semakin lama ia berada di dalam hutan yang lebat, semakin redup harapan yang ia sandarkan. Setiap langkah yang diambilnya terasa begitu berat, dipenuhi kegelapan dan ketakutan. "Ginda!" teriak Marvin dengan suara gemetar. Namun, tak ada jawaban yang terdengar kecuali desiran angin dan hiruk pikuk hutan yang sunyi. Ia meraba setiap sudut hutan, memanggil nama istrinya tanpa henti. Namun, waktu terus berlalu tanpa kehadiran Ginda yang dicarinya. Kesedihan merayapi hati Marvin, merangkulnya dalam kehampaan yang tak terperi. Pikirannya melayang jauh, membayangkan hal-hal mengerikan yang mungkin terjadi pada Ginda. Dan pada suatu titik, rasa putus asa itu mengubah energinya, membuatnya merasa tak berdaya, hampir tak sanggup melangkahkan kakinya lagi. Dengan langkah tertatih, Marvin berbalik ara
Hari semakin hari Berlalu, Marvin yang semakin curiga pada Dinda karena terdapat keanehan dan kejanggalan pada wanita yang ia anggap istrinya itu. Hari ini Dinda yang duduk menyilangkan kaki di tepi kolam renang tangannya terus menggenggam ponsel sambil tertawa-tertiwi, melihat itu Marvin pun heran rasanya Ini bukan sikap Ginda, pasalnya sejak menjadi istri Ginda tak pernah berperilaku demikian. "Ginda, aku mau bicara sebentar," ucap Marvin yang membuat wanita itu dengan cepat menurunkan kakinya. "Kenapa sih, Mas? mau bicara apa? kalau ngga penting lebih baik ngga udah deh, aku lagi sibuk," jawab Dinda yang membuat Marvin melebarkan mata. Kini rasa curiga semakin memenuhi hatinya, Marvin mengira jika Ginda yang ada dihadapannya saat ini bukanlah Ginda istrinya. Tak menunggu lama, kini Marvin pun mendekat meraih tangan Dinda hingga membuatnya terkejut. "Apa-apaan sih kamu, Mas? kenapa kamu kasar sama aku?"
Niat Dinda untuk menggantikan posisi Honda telah berhasil, hatinya bahagia serta puas melihat keberhasilannya saat ini. Karena wajah dan penampilan yang sama persis, hingga Sukma yang tak sadar jika wanita yang ada dihadapannya saat ini bukanlah menantunya. Dinda merasa jantungnya berdegup kencang ketika Marvin tiba-tiba muncul di tengah-tengah kebersamaannya dengan Sukma. Dengan wajah serius, Marvin menyapa mereka, "Assalamu'alaikum.""Walaikumsalam," jawab Dinda dengan cemas, berusaha menjaga ketenangan meskipun hatinya berdebar-debar.Marvin, tanpa menyadari keberadaan sebenarnya, bertanya dengan heran, "Lagi pada bahas apa sih? Serius banget kayanya."Sukma, tanpa sadar memperburuk situasi, menjawab dengan semangat, "Ini loh, Vin, kita lagi bahas Dinda, masa tadi Dinda ninggalin istrimu sendirian, untung dia bisa pulang sendiri kalau ngga gimana coba?"Mendengar ucapan itu, Marvin pun terbelalak. Matanya terbuka lebar, mencari kebena
Didalam ruang kamar Dinda. Ia yang kini terduduk dengan raut wajah serius. Setelah memasuki kamar dan mengunci pintunya kini Dinda terduduk memperhatikan pemandangan luar. "Aku harus mulai rencanaku secepatnya, sebelum Ginda bisa jalan lagi dan buat aku susah melakukan rencanaku," gumam Dinda lirih. "Maafkan aku, Ginda. Bukan maksud ingin menjadi saudara yang kejam, tapi takdir yang membuatku tega melakukan ini padamu," batin Dinda dengan pandangan tajam. Setelah memikirkan apa yang hendak ia rencanakan kini Dinda pun beranjak, keluar kamar dan menemui Ginda yang sedang berada di halaman belakang rumahnya. "Ginda," panggil Dinda yang membuat Ginda seketika menoleh. "Dinda, ada apa?""Bisa antar aku ke suatu tempat? aku mau ketemu temenku, tapi aku ngga tau tempat itu dimana alamatnya.""Temen?"Sejenak Ginda terdiam, hatinya sedikit merasa tak tenang ada sesuatu yang mengganjal dibalik ajakan saud
"Sesuai rencana," batin Dinda setelah memasuki rumah. Apa maksud ucapannya barusan? rencana apa yang bersarang diotaknya? bahkan ekspresi wajahnya pun menunjukan arti kepuasan. "Akhirnya aku bisa masuk rumah ini dengan begitu mudah," tambah batin Dinda tertawa. Ya, ternyata amnesia yang Dinda alami hanya sebagai sandiwara belaka, demi mewujudkan keinginan dan ambisinya untuk dapat masuk ditengah tengah rumah tangga Marvin Marcello. Benar benar jahat, wanita tak punya hati sudah ditolong malah ingin menikam. Saudara kandung macam apa Dinda ini? mengapa ia begitu tega? "Setelah ini aku akan merebut semuanya dari kamu, Ginda. Aku yang akan menjadi ratu dirumah ini," tambah Dinda tertawa dalam hati. Melihat ekspresi Dinda rasanya Sukma mulai curiga, lantaran ia yang tak menyukai Dinda sejak dulu, ditambah lagi Sukma mengetahui bagaimana perlakuan Dinda pada Ginda menantunya. "Apa yang sedang direncanakan wanita itu? a
Tak lama kemudian. Seorang dokter keluar dari ruangan, dengan cepat Ginda dan Marvin mendekatinya untuk menanyakan keadaan Dinda saat ini. "Bagaimana, Dok, keadaan Dinda?"Tak langsung menjawa dokter yang sejenak terdiam memperhatikan wajah Marvin dan Ginda. Pandangannya membuat semakin penasaran. "Pasien sudah sadarkan diri," jawab dokter yang membuat Ginda dan Marvin seketika menghela nafas lega. "Pasien bisa dijenguk setelah nanti dipindahkan ke ruang rawat yah, kalau begitu saya permisi," tambah dokter yang lalu melangkah meninggalkan tempat.Tak lama kemudian, Dinda yang kini dipindahkan ke ruang rawat oleh beberapa suster yang mendorongnya. Marvin dan Ginda pun mengikutinya. Melihat adanya Marvin dan Ginda pandangan Dinda tampak aneh, ia yang tak berkedip dan seakan sedang memikirkan sesuatu. Setelah kini beberapa suster meninggalkan tempat, Ginda pun mendekat, ia pandangi waja wanita yang mirip deng
Sesampainya di rumah, Sukma yang menyambut kedatangan Ginda dan Marvin pun dengan cepat menghampiri, ia menyambut dengan wajah penuh penasaran. "Ginda, Marvin. Bagaimana hasilnya?" tanya Sukma yang memperhatikan dengan seksama. Tak langsung menjawab Marvin dan Dinda yang lebih dulu terdiam, hingga membuat Sukma semakin penasaran. Cukup lama terdiam, sebelum akhirnya Marvin membantu Ginda untuk terduduk di sofa, menghela nafas berat dan mengeluarkan sebuah surat dari dalam tasnya. Lalu perlahan memberikannya pada Sukma dengan berkata, "Ini, Bu. Hasilnya."Sukma meraih kertas itu perlahan, dengan rasa takut dan ragu untuk membaca, berharap tak terjadi apa-apa pada menantunya tersebut. Kini Sukma pun membaca tulisan dalam surat itu, setelah beberapa detik kemudian akhirnya Sukma pun menghela nafas lega, setelah tahun jika hasilnya adalah baik-baik saja, tidak ada masalah dalam kandungan Ginda sang menantu. "Aku baik-b
Keesokan harinya, Ginda yang terduduk di kursi roda, dengan gerak tangan yang terus menyiram bunga, ia menyiram bunga dengan wajah ceria. Namun wajah cerianya seketika menghilang kala sebuah suara datang menyapanya. "Ekhemm."Deheman itu membuat Ginda seketika memutar wajahnya, ia dapati Dinda disana, yang berdiri memperhatikannya dengan pandangan megintimidasi. "Dinda.""Kasihan ya kamu, hanya untuk emnyiram bunga saja kamu harus terduduk seperti ini," ucap Dinda yang mengarah pada penghinaan."Apa maksudmu?"Tak langsung menjawab, Dinda yang kini terkekeh dan memutar tubuhnya, membelakangi Ginda hingga membuat pandangan Ginda menatap tubuh bagian belakang Dinda. "Ginda, Ginda. Apa kamu ngga sadar apa yang terjadi sama kamu saat ini adalah balasan buat kamu. Selama ini kamu bahagia, sedangkan aku menderita. Selama ini kamu hidup enak dan aku hidup susah. Dan sekarang kamu dapat balasannya, kamu lumpuh dan kamu... Man