Di ruang makan, Sukma yang sudah lebih dulu duduk, kini tersenyum menyambut kedua anaknya.
"Ayo duduk! kita makan malam dulu bareng bareng," ucap Sukma dengan manisnya.Entahlah bagi Ginda, Sukma adalah Ibu mertua terbaik di dunia, dari awal ia memintanya untuk menikah dengan Marvin, hingga ia membiayai operasi mata Ginda, dan kini ia begitu baik dengannya.Ginda benar benar merasa harus banyak berterimakasih pada Sukma, karena mungkin ia banyak berhutang budi. Namun nyatanya semua itu tak seperti yang Ginda pikirkan.Apakah ia akan terus terusan berterimakasih jika ia telah mengetahui semuanya? tentang siapa penabrak lari tersebut?Kini Ginda pun meraih sendok nasi dan membantu mengambilkan makanan untuk Marvin, hingga membuat Marvin kini tertegun dengan sikap Ginda yang begitu perhatian."Mau pakai ikan atau ayam, Mas?" tanya Ginda yang membuat Marvin gelagapan, renungannya seketika terputus kala mendengar pertanyaan sang istriSesampainya di Kampus.Marvin yang kini lebih dulu turun dan membuka pintu untuk Ginda, dengan penampilan kantorannya Marvin begitu tampak berkharisma."Silahkan," ucap Marvin tersenyum dan membuat Ginda pun tersenyum."Terimakasih, Mas."Pagi ini berbeda dengan pagi pagi sebelumnya, jika biasanya Ginda yang selalu turun dari mobil taxy, kini ia turun dari mobil mewah dan diantar oleh pangeran tampan.Bak seorang Cinderella yang tiba dengan kereta kencana, pemandangan itu ternyata disaksikan oleh Dela sahabat baik Ginda.Ia yang terpesona dengan keromantisan yang terjalin dalam rumah tangga sang sahabat. saking terpesonanya Dila enggan meninggalkan tempat, pandangannya tak berkedip memperhatikan betapa beruntungnya Ginda bagi Dila."Oh My God. Mereka sweet banget. Kapan ya aku punya suami kaya suaminya Ginda," gumam Dila dengan pandangan mata berbinar.Betapa beruntungnya Ginda saat ini? ia berada dalam sebuah k
Saat ini, Ginda terduduk didekat parkiran kampusnya, berharap sang suami datang menjemputnya lagi, namun entahlah mungkin harapan Ginda sia sia nyatanya hingga sekarang Marvin belum juga datang."Apa Mas Marvin ngga jemput aku ya?" batin Ginda dengan wajah bersedih.Baru saja tadi pagi ia bahagia, tapi sekarang ia harus kembali bersedih."Nda, apa suamimu ngga jemput?"Terlontar pertanyaan itu dari bibir Dela yang membuat Ginda menggelengkan kepala."Ngga tau, Del. Mungkin Mas Marvin lagi sibuk," jawabnya dengan pandangan yang terus memperhatikan arah parkiran.Dan ternyata sebuah mobil berwarna merah yang baru saja datang membuat Ginda melebarkan mata dan seketika bibirnya tersenyum."Itu, Mas Marvin."Betapa bahagianya hati Ginda, ternyata harapannya tak sia sia, melihat Marvin datang rasa semangatnya seketika kembali.Pandangannya kini tertuju pada pintu mobil yang perlahan terbuka, membuat Ginda per
Melihat isi didalamnya Ginda pun terbelalak, lantaran ia dapati sebuah cincin berlian yang begitu indah disana."Masyaallah, bagus banget" gumam Ginda tertegun.Kini pandangannya kembali melirik Marvin, sejenak bibirnya tersenyum dan tak berkedip memperhatikan wajah tampan laki laki dihadapannya itu."Mas, ini untukku?" tanya Ginda yang membuat pandangan Marvin kini berpaling dari makanan dihadapannya.Belum menjawab, Marvin yang sejenak terdiam, tersenyum dan menyeruput sedikit minumannya sebelum memulai berbicara."Iya, itu untuk kamu, sebagai hadiah ulang tahunmu. Tapi saya tidak bermaksud merayakan ya, saya cuma ingin memberi kejutan pada istri saya, apa kamu suka?" tanya Marvin dengan pandangan tak berkedip memperhatikan Ginda yang masih terpanah.Entahlah harus berkata apa Ginda saat ini, rasanya ia telah dibuat Marvin terbang melayang layang. Belum sempat menjawab kini air mata Ginda yang lebih dulu menetes terjatuh dipipi
Didalam ruang kamarnya, Ginda yang tampak sedang terduduk dengan tangan bersimpuh. Wanita yang baru saja selesai melakukan sholatnya itu kini berdoa.Bersyukur dan berterimakasih dengan apa yang telah datang padanya. Akan matanya yang kini kembali dapat melihat, dan suaminya yang kini telah berbaik padanya."Aku benar benar bahagia, Yaallah. Terimakasih atas semua anugrah ini."Doa itu ternyata terdengar oleh Marvin yang kini terdiam memperhatikan gerak Ginda, lagi lagi aktivitas Ginda yang membuat Marvin tertegun. Wanita cantik dan sholehah itu seakan menghipnotisnya."Kamu benar benar istri yang sholehah, beruntung aku bisa menikah dengan kamu, tapi.."Entahlah bagi Marvin masih ada rasa sulit untuk dapat membuka hatinya. Merasa sedang diperhatikan Ginda kini menoleh ia dapati Marvin yang terdiam merenung didepan pintu kamarnya."Mas," panggil Ginda yang membuat lamunan Marvin terbuyar.Kini pandangannya memperhatikan
"Apa mereka masih saling cinta ya? karena katanya kan mereka berpisah bukan karena keinginannya, tapi karena Ibu yang ngga suka, jadi mungkin saja Mas Marvin memang memberikan cincin itu untuk mantan istrinya. Yaallah aku harus gimana sekarang?" batin Ginda yang terus memikirkan perkara cincin tersebut.Tak lama kemudian.Marvin yang kini telah kembali kerumah, merasa sepi dan tak mendapat sambutan dari sang anak, kini Marvin pun mencari keberadaan Inggit, mencari ke berbagai ruangan yang sering Inggit datangi."Inggit kamu dimana, nak? Papa pulang nih," pekik Marvin yang terus mencari.Sudah beberapa tempat Marvin datangi namun Inggit tak jua ia temukan, hingga kini datanglah Ginda dan berkata."Inggit udah dijemput Mamanya, Mas."Mendengar jawaban itu seketika Marvin pun menoleh."Dijemput Sinta?""Iya, Kasihan Inggit, Mas. Tadi sebenernya dia belum mau pulang, tapi dipaksa sama Mba Sinta, sampe dia nangis git
"Apa, jadi mobil itu milik Pak Lian?" ucap Ginda terbelalak.Tak menyangka jika laki laki yang selama ini ia cari adalah Lian, dosen di kampusnya. Ginda menatap dengan marah, matanya memerah dan dadanya naik turun.Tak berpikir panjang, Ginda yang dengan cepat turun dan menghampiri Lian disana, rasanya ia sudah tak sabar ingin memaki dan marahi laki laki tersebut.Kesabarannya selama ini seperti ini lah batasnya, ia yang sudah tak dapat menahan marah lagi setelah sekian lama menanti. Langkah kebutnya terus mendekat hingga kini Ginda berada tepat dibelakang Lian."Pak Lian," panggil Ginda yang membuat laki laki itu seketika menoleh."Ginda."Tak berkata apa apa lagi, dengan tatap marah, benci dan kecewa rasa itu terkumpul menjadi satu, entah apa yang harus Ginda katakan untuk memulai semua ini, yang jelas saat ini Ginda benar benar kecewa.Dan tak disangka, tiba tiba...Plaaakkk!Ginda mendaratkan telapa
Sesampainya di mall kembali, kini Ginda menemui Sukma yang ternyata sudah menunggunya sejak tadi."Bu, maafin aku. Ibu udah nunggu lama ya?" tanya Ginda menghampiri wanita paruh baya itu."Kamu dari mana, Nda?" tanya Sukma yang membuat Ginda terdiam.Wajahnya menunduk, ingin sekali ia berbagi kisah pada Ibu mertuanya tersebut, namun Ginda berpikir ini bukan saatnya, jadi lebih baik Ginda tak usah memberi tahu Sukma akan hal ini."Tadi aku ketemu temen aku, Bu. Jadi aku antar dia dulu," jawab Ginda beralibi."Oh, yaudah kalau gitu yuk pulang, kamu ngga mau cari apa apa dulu kan?""Ngga, Bu. Ayo kita pulang sekarang!"Kini keduanya pun melaju kembali ke rumah. Sepanjang perjalanan Ginda yang tak lagi fokus dengan kemudinya, ia terus memikirkan akan ucapan Lian yang mengatakan jika itu bukanlah mobilnya."Jadi kalau itu bukan mobil Pak Lian, lalu mobil siapa itu sebenarnya?" batin Ginda merenung dengan terus m
Keesokan harinya.Perlahan Ginda membuka matanya, ia dapati Marvin yang tertidur disebelahnya dalam satu selimut yang sama dan bahkan masih bertelanjang dada.Melihat itu membuat Ginda tersenyum, tak menyangka akhirnya setelah sekian lama menikah, kini mereka telah melakukan kewajibannya, rasanya benar benar membuat Ginda bahagia.Perlahan Ginda meraih wajah tampan itu, membelainya dengan lembut dan dengan pandangan tak berkedip, wajah tampan dihadapannya itu benar benar membuat Ginda terpesona, tak terasa belaian itu dirasa oleh Marvin hingga membuatnya kini membuka mata.Wajah ayu yang pertama kali ia lihat itu ada dihadapannya, sejenak terdiam sebelum kini ia memperhatikan kondisi tubuhnya bersama Ginda, matanya sedikit melebar, namun tanpa ucapan."Jadi, aku dan Ginda telah melakukannya?" batin Marvin dengan pandangan bingung.Entahlah apa yang terjadi pada Marvin, bukankah ia sendiri yang menggoda dan sekarang malah ia sendi
Hari demi hari berlalu, membawa perubahan yang luar biasa dalam kehidupan Ginda. Kini, dengan bantuan setia Marvin, Ginda mampu berjalan kembali meskipun masih perlu bantuan. Suasana bahagia pun terasa di antara keduanya. "Alhamdulillah, Mas, akhirnya aku bisa jalan lagi," ucap Ginda penuh kebahagiaan, senyumnya merekah di wajahnya yang berseri.Marvin tersenyum lembut, "Kamu hebat, kamu bisa melalui cobaan ini."Ginda menatap Marvin dengan penuh rasa syukur, "Ini semua 'kan juga berkat Mas, kalau ngga ada Mas Marvin mungkin aku ngga menjadi Ginda yang setegar ini. Terimakasih, ya, Mas, untuk semua kebaikan kamu, kamu yang udah menerima aku apa adanya, sampai aku bisa jalan lagi seperti sekarang."Marvin tersenyum hangat, "Ini tugasku, Nda. Sebagai suami, sudah seharusnya aku mendampingi kamu, dalam suka maupun duka."Ucapan Marvin membuat Ginda tersenyum bahagia, merasa bersyukur memiliki seorang suami yang selalu ada untuknya, dalam se
Marvin memasuki hutan dengan hati penuh kekhawatiran, mencari jejak yang bisa mengantarkannya pada keberadaan istrinya, Ginda. Namun, semakin lama ia berada di dalam hutan yang lebat, semakin redup harapan yang ia sandarkan. Setiap langkah yang diambilnya terasa begitu berat, dipenuhi kegelapan dan ketakutan. "Ginda!" teriak Marvin dengan suara gemetar. Namun, tak ada jawaban yang terdengar kecuali desiran angin dan hiruk pikuk hutan yang sunyi. Ia meraba setiap sudut hutan, memanggil nama istrinya tanpa henti. Namun, waktu terus berlalu tanpa kehadiran Ginda yang dicarinya. Kesedihan merayapi hati Marvin, merangkulnya dalam kehampaan yang tak terperi. Pikirannya melayang jauh, membayangkan hal-hal mengerikan yang mungkin terjadi pada Ginda. Dan pada suatu titik, rasa putus asa itu mengubah energinya, membuatnya merasa tak berdaya, hampir tak sanggup melangkahkan kakinya lagi. Dengan langkah tertatih, Marvin berbalik ara
Hari semakin hari Berlalu, Marvin yang semakin curiga pada Dinda karena terdapat keanehan dan kejanggalan pada wanita yang ia anggap istrinya itu. Hari ini Dinda yang duduk menyilangkan kaki di tepi kolam renang tangannya terus menggenggam ponsel sambil tertawa-tertiwi, melihat itu Marvin pun heran rasanya Ini bukan sikap Ginda, pasalnya sejak menjadi istri Ginda tak pernah berperilaku demikian. "Ginda, aku mau bicara sebentar," ucap Marvin yang membuat wanita itu dengan cepat menurunkan kakinya. "Kenapa sih, Mas? mau bicara apa? kalau ngga penting lebih baik ngga udah deh, aku lagi sibuk," jawab Dinda yang membuat Marvin melebarkan mata. Kini rasa curiga semakin memenuhi hatinya, Marvin mengira jika Ginda yang ada dihadapannya saat ini bukanlah Ginda istrinya. Tak menunggu lama, kini Marvin pun mendekat meraih tangan Dinda hingga membuatnya terkejut. "Apa-apaan sih kamu, Mas? kenapa kamu kasar sama aku?"
Niat Dinda untuk menggantikan posisi Honda telah berhasil, hatinya bahagia serta puas melihat keberhasilannya saat ini. Karena wajah dan penampilan yang sama persis, hingga Sukma yang tak sadar jika wanita yang ada dihadapannya saat ini bukanlah menantunya. Dinda merasa jantungnya berdegup kencang ketika Marvin tiba-tiba muncul di tengah-tengah kebersamaannya dengan Sukma. Dengan wajah serius, Marvin menyapa mereka, "Assalamu'alaikum.""Walaikumsalam," jawab Dinda dengan cemas, berusaha menjaga ketenangan meskipun hatinya berdebar-debar.Marvin, tanpa menyadari keberadaan sebenarnya, bertanya dengan heran, "Lagi pada bahas apa sih? Serius banget kayanya."Sukma, tanpa sadar memperburuk situasi, menjawab dengan semangat, "Ini loh, Vin, kita lagi bahas Dinda, masa tadi Dinda ninggalin istrimu sendirian, untung dia bisa pulang sendiri kalau ngga gimana coba?"Mendengar ucapan itu, Marvin pun terbelalak. Matanya terbuka lebar, mencari kebena
Didalam ruang kamar Dinda. Ia yang kini terduduk dengan raut wajah serius. Setelah memasuki kamar dan mengunci pintunya kini Dinda terduduk memperhatikan pemandangan luar. "Aku harus mulai rencanaku secepatnya, sebelum Ginda bisa jalan lagi dan buat aku susah melakukan rencanaku," gumam Dinda lirih. "Maafkan aku, Ginda. Bukan maksud ingin menjadi saudara yang kejam, tapi takdir yang membuatku tega melakukan ini padamu," batin Dinda dengan pandangan tajam. Setelah memikirkan apa yang hendak ia rencanakan kini Dinda pun beranjak, keluar kamar dan menemui Ginda yang sedang berada di halaman belakang rumahnya. "Ginda," panggil Dinda yang membuat Ginda seketika menoleh. "Dinda, ada apa?""Bisa antar aku ke suatu tempat? aku mau ketemu temenku, tapi aku ngga tau tempat itu dimana alamatnya.""Temen?"Sejenak Ginda terdiam, hatinya sedikit merasa tak tenang ada sesuatu yang mengganjal dibalik ajakan saud
"Sesuai rencana," batin Dinda setelah memasuki rumah. Apa maksud ucapannya barusan? rencana apa yang bersarang diotaknya? bahkan ekspresi wajahnya pun menunjukan arti kepuasan. "Akhirnya aku bisa masuk rumah ini dengan begitu mudah," tambah batin Dinda tertawa. Ya, ternyata amnesia yang Dinda alami hanya sebagai sandiwara belaka, demi mewujudkan keinginan dan ambisinya untuk dapat masuk ditengah tengah rumah tangga Marvin Marcello. Benar benar jahat, wanita tak punya hati sudah ditolong malah ingin menikam. Saudara kandung macam apa Dinda ini? mengapa ia begitu tega? "Setelah ini aku akan merebut semuanya dari kamu, Ginda. Aku yang akan menjadi ratu dirumah ini," tambah Dinda tertawa dalam hati. Melihat ekspresi Dinda rasanya Sukma mulai curiga, lantaran ia yang tak menyukai Dinda sejak dulu, ditambah lagi Sukma mengetahui bagaimana perlakuan Dinda pada Ginda menantunya. "Apa yang sedang direncanakan wanita itu? a
Tak lama kemudian. Seorang dokter keluar dari ruangan, dengan cepat Ginda dan Marvin mendekatinya untuk menanyakan keadaan Dinda saat ini. "Bagaimana, Dok, keadaan Dinda?"Tak langsung menjawa dokter yang sejenak terdiam memperhatikan wajah Marvin dan Ginda. Pandangannya membuat semakin penasaran. "Pasien sudah sadarkan diri," jawab dokter yang membuat Ginda dan Marvin seketika menghela nafas lega. "Pasien bisa dijenguk setelah nanti dipindahkan ke ruang rawat yah, kalau begitu saya permisi," tambah dokter yang lalu melangkah meninggalkan tempat.Tak lama kemudian, Dinda yang kini dipindahkan ke ruang rawat oleh beberapa suster yang mendorongnya. Marvin dan Ginda pun mengikutinya. Melihat adanya Marvin dan Ginda pandangan Dinda tampak aneh, ia yang tak berkedip dan seakan sedang memikirkan sesuatu. Setelah kini beberapa suster meninggalkan tempat, Ginda pun mendekat, ia pandangi waja wanita yang mirip deng
Sesampainya di rumah, Sukma yang menyambut kedatangan Ginda dan Marvin pun dengan cepat menghampiri, ia menyambut dengan wajah penuh penasaran. "Ginda, Marvin. Bagaimana hasilnya?" tanya Sukma yang memperhatikan dengan seksama. Tak langsung menjawab Marvin dan Dinda yang lebih dulu terdiam, hingga membuat Sukma semakin penasaran. Cukup lama terdiam, sebelum akhirnya Marvin membantu Ginda untuk terduduk di sofa, menghela nafas berat dan mengeluarkan sebuah surat dari dalam tasnya. Lalu perlahan memberikannya pada Sukma dengan berkata, "Ini, Bu. Hasilnya."Sukma meraih kertas itu perlahan, dengan rasa takut dan ragu untuk membaca, berharap tak terjadi apa-apa pada menantunya tersebut. Kini Sukma pun membaca tulisan dalam surat itu, setelah beberapa detik kemudian akhirnya Sukma pun menghela nafas lega, setelah tahun jika hasilnya adalah baik-baik saja, tidak ada masalah dalam kandungan Ginda sang menantu. "Aku baik-b
Keesokan harinya, Ginda yang terduduk di kursi roda, dengan gerak tangan yang terus menyiram bunga, ia menyiram bunga dengan wajah ceria. Namun wajah cerianya seketika menghilang kala sebuah suara datang menyapanya. "Ekhemm."Deheman itu membuat Ginda seketika memutar wajahnya, ia dapati Dinda disana, yang berdiri memperhatikannya dengan pandangan megintimidasi. "Dinda.""Kasihan ya kamu, hanya untuk emnyiram bunga saja kamu harus terduduk seperti ini," ucap Dinda yang mengarah pada penghinaan."Apa maksudmu?"Tak langsung menjawab, Dinda yang kini terkekeh dan memutar tubuhnya, membelakangi Ginda hingga membuat pandangan Ginda menatap tubuh bagian belakang Dinda. "Ginda, Ginda. Apa kamu ngga sadar apa yang terjadi sama kamu saat ini adalah balasan buat kamu. Selama ini kamu bahagia, sedangkan aku menderita. Selama ini kamu hidup enak dan aku hidup susah. Dan sekarang kamu dapat balasannya, kamu lumpuh dan kamu... Man