Kini, panggilan Zulaiha yang mencoba masuk ke dalam alat komunikasi milik Amira. Beruntungnya karena nomor ponsel si gadis sudah kembali aktif, Amira baru saja menghidupkannya. “Eh, ini kan ... nomor tante. Aku baru ingat kalau aku belum memberi tahukan tante nomorku.” Ikon hijau segera digeser. “Assamulaikum,” salam Zulaiha di detik pertama panggilannya terhubung. “Wa’alaikumussalam Tante,” sahut hangat Amira. “Ami baik-baik saja? Tante tidak tenang karena belum mendengar suara Ami ...,” ungkapan kasih sayang Zulaiha. “Ami baik-baik saja kok, Tante. Tante dapat nomor Ami dari mana?” “Dari mamanya Ami,” jawab lembut Zulaiha, kemudian segera berpesan, “Sayang, jaga diri baik-baik ya. Kamu jauh dari tante dan mama, jangan sampai kamu salah bergaul.” “Tenang saja Tante, Ami tidak pernah kemana-mana kok selain di sini.” “Lebih baik begitu. Keluar seperlunya saja ya, Sayang,” pesan lanjutan Zulaiha, “tadi Tante sempat ngobrol sama mamanya Ami katanya banyak sekali gadis muda yang mel
Amira menyaksikan reaksi Cindy yang sangat terlihat ingin sekali bicara atau menemui Erzhan, tetapi ekspresi si pria sangat berlainan. Justru wajahnya datar dan dingin. ‘Pria kutub!’ Ejek si gadis yang segera berkata pada Cindy, “Kak, terimakasih ya sudah antar Ami. Sekarang kak Erzhan sudah pulang. Ami masuk dulu ya!” pamit segeranya untuk memberikan waktu pada Cindy dan Erzhan.Benar saja, saat Amira berlalu Cindy segera mengawali pembicaraan saat pria itu hendak pergi menghindarinya. “Erzhan, apa kabar?” Raut wajahnya merindu karena sebenarnya masih tersisa banyak rasa untuk mantan kekasihnya ini.Erzhan membuang wajahnya sesaat. “Sudah malam, masuklah.” Dia masih mencoba menghindari Cindy, tetapi alih-alih pergi justru wanita itu melangkah mendekat hingga berdiri tepat di hadapannya. “Tolong jangan menghindariku terus ...,” lirih wanita ini.Namun, Erzhan masih bersikap dingin. “Kamu sudah menikah, untuk apa berbicara denganku di sini. Kembalilah.” Pria ini sudah mengambil langkah
Amira segera melarikan diri ke teras rumah. “Pa ... apa Ami akan tetap aman terus tinggal di sini? Tapi Ami harus tinggal di mana lagi. Rumah papa yang dulunya aman sekarang jadi tidak aman karena mama ....” Amira merengek pada bayangan ayahnya. Satu-satunya foto Bagas hanya yang tertempel di dinding kamarnya maka gadis ini tidak bisa menatap ayahnya walau hanya menatap sang ayah dalam potret lawasnya.Sementara, Erzhan barusaja meneguk tiga gelas air putih sebagai upayanya menstabilkan kondisi tubuhnya kini. Tarikan udara panjang diambilnya perlahan hingga berhasil mengikis semua rasa tabu ini. Selama beberapa saat pria ini tetap berada di ruang makan, hingga akhirnya mencoba mencari Amira untuk meminta maaf.Hendak naik ke lantai dua, tetapi Erzhan mendengar tangisan sesenggukan dari arah luar villa maka langkahnya segera menuju sumber suara. “Hei.” Suaranya dibuat biasa saja, tetapi Amira terperanjat hingga mundur beberapa langkah.“Jangan menatapku seperti itu, orang lain akan sal
Prasangkan Erzhan berlangsung hingga pagi hari, tepatnya pukul enam pagi karena dia yakin Amira sudah kembali ke villa. Namun, hasil panggilannya masih sama seperti kemarin. “Astaga, dia betah sekali berada di rumah oranglain sampai melupakan rumahnya sendiri!” Gelengan kepala Erzhan seolah tidak dapat memberikan toleransi untuk kedua kalinya. Maka, pria ini meminta satpam untuk menyuruh adik perempuannya kembali ke villa karena terdapat hal penting yang harus dibicarakan.Kini, satpam segera mengetuk pintu keluarga Barack. Cindy yang membukanya karena kebetulan dirinya akan meninggalkan rumah orangtuanya hari ini. “Iya, ada yang bisa kami bantu?” sapa hangatnya.Satpam tersenyum ramah saat memberikan jawaban, “Maaf Nyonya jika saya mengganggu pagi Nyonya sekeluarga.”“Tidak apa, ada apa ya Pak ...,” santun Cindy yang menyambut pria tinggi besar ini.“Barusaja tuan Erzhan meminta tolong pada saya untuk menyuruh adik perempuannya kembali ke villa,” kekehnya.“Heuh?” Tentu saja dahi Cin
Erzhan segera mengunjungi kediaman orangtuanya Amira di sore hari karena dirinya tidak tahu kemana lagi harus mencari Amira walaupun kemungkinan gadis itu di sini sangat minim, bahkan mungkin nol persen. “Permisi Bu ..., Amira di sini?” Terang-terangan pria ini bertanya pada Fatma saat wanita itu membukakan pintu untuknya setelah selesai mengetuk.‘Pria kaya raya. Lihat saja dari stelannya. Ini pasti pelanggannya Ami!’ Seringai Fatma segera berkibar walau hanya di dalam hati seiring memerhatikan pernampilan Erzhan. “Oh ... mencari Ami ya?” ramah nan hangatnya.Namun, sejak tadi Erzhan hanya tersenyum kecil. “Iya Bu, saya mencari Amira.”“Silakan masuk.” Pintu segera dibuka lebar oleh Fatma bersama senyuman ramahnya yang selalu terdapat udang di balik batu.“Terimakasih Bu, tapi tidak perlu karena saya sedang terburu-buru. Jika Ami di dalam bisa tolong dipanggilakan. Oh iya, sebelumnya perkenalkan, nama saya Erzhan.” Kini Erzhan memasang sikap santun walau sebenarnya sangat tidak ingin
Sekitar satu jam setengah Erzhan mengendarai mobilnya hingga akhirnya tiba di gedung tempat Tasya trainee. Farhan segera berkata, “Saya tidak punya nomor kak Tasya, tapi saya pernah ikut mengantar kak Tasya kesini.”“Jadi sekarang bagaimana?” Erzhan tidak ingin mendengarkan penjelasan berbelit-belit. Dirinya lebih suka langsung ke intinya, apalagi ini termasuk saat yang genting. Amira harus segera ditemukan.“Masuk saja, kita langsung ke nomor kamar kak Tasya.” Keputusan terbaik menurut Farhan. Apalagi saat ini perannya sedang sangat diandalkan oleh Erzhan yang tidak tahu apapun tentang gedung ini dan tidak mengenal Tasya sama sekali. “Iya sudah.” Jadi, keduanya keluar dari mobil. Gedung ini dihuni oleh banyak orang, bahkan halamannya saja dipenuhi dengan team stasion televisi. Erzhan berjalan tegap bersama wibawanya, jadi dia lolos dari pertanyaan satpam yang mengira Erzhan adalah orang penting di sini. Begitupun Farhan yang berjalan bersisian dengan Erzhan.‘Sensasi berjalan dengan
“Iya, tapi Kakak bersembunyi saja di sini. Abaikan saja pria hidung belang itu!” Frontal Tasya yang masih menanamkan prasangka jika Amira adalah pekerja sexual.Saat ini Amira dibuat tabu oleh kalimat Tasya. “Eu-Kakak tidak tahu sih Erzhan pria hidung belang atau bukan, tapi sepetinya bukan,” celetuknya yang sudah tinggal dengan Erzhan selama beberapa lama. Dia pikir pria itu adalah pria baik-baik walaupun ketidak yakinannya sangat besar.“Astaga, Kak ....” Tasya merasa heran berkali lipat pada tanggapan Amira karena sudah jelas seorang pria bernama Erzhan adalah pria yang suka memesan wanita malam, tapi Amira menyebutnya bukan pria hidung belang. Namun, sejurus kemudian anggapan gadis ini berganti. ‘Mungkin maksud kakak, Erzhan itu cuma mau dilayani sama kakak jadi tidak pernah membeli gadis malam lainnya.’ Tasya merasa dunia ini tidak layak untuk Amira tinggali karena kakak perempuannya adalah sosok yang baik, jangankan terjun ke dunia kelam seperti itu, bergaul saja sangat pemilih.
Sementara, malamnya Amira diisi dengan kuliner karena Tasya mengajaknya ke sebuah mall. “kakak tidak punya uang. Uang Kakak cuma sedikit,” aku Amira saat adiknya membawanya ke sebuah restoran yang ada di dalam mall besar ini.“Tenang saja, ini teraktiran dari Tasya. Tasya baru saja mendapatkan uang. Hihi ....” Gadis ini memang sangat berniat mengajak Amira makan enak karena mungkin kakaknya belum pernah merasakan makanan manusia elit karena keseharian Amira hanya di dalam rumah.“Thank ya, Kakak tidak tahu harus membalasnya dengan apa.”“Ish, sudahlah ... jangan dipikirkan!” tulus Tasya.Amira berencana membicarakan tawaran Erlangga, kebetulan Tasya mengajaknya pergi berdua saja maka gadis ini bisa bicara dengan leluasa. “Tadi Kakak sudah selesai wawancara.”“Oh iya, Tasya baru ingat belum menanyakan itu. Jadi bagaimana hasilnya, Kakak diterima kan? Karena tidak mungkin pak Erlangga tidak menerima Kakak. Kakak keluarganya Tasya.” Gadis ini sangat yakin.“Kakak mencoba melamar jadi cle