Satu tahun telah berlalu. Alana dan teman-temannya sudah menyelesaikan program pertukaran mahasiswa yang ditugaskan kepada mereka. Banyak sekali ilmu-ilmu yang diraih selama berada di negri Singapura. Tentang bagaimana suasana belajar di sana, dan juga kehidupan sehari-harinya. Banyak bertemu dengan orang baru, banyak berkenalan dan tukar pikiran dengan orang-orang dari berbagai penjuru dunia, membuat Alana semakin melek dengan keadaan. Membuat pikirannya semakin terbuka, bahwa ternyata dunia itu sangat luas, ternyata diluar sana banyak orang yang memiliki toleransi begitu tinggi, ternyata dirinya bisa diterima oleh dunia, ternyata banyak yang bersikap ramah terhadapnya, ternyata di luar sana. dirinya begitu dihargai. Sangat bertolak belakang dengan kehidupannya sebelumnya, yang mana terlalu banyak sisi kelam yang dia lalui, sehingga sempat membuatnya ingin bunuh diri karena dunia yang tidak ramah padanya. "Ah, seandainya aku tidak nekat melarikan diri kala itu, mungkin hidupku han
"Kamu mau kuliah? Hahahah! Gak usah ngimpi! Kamu aku sekolahkan sampai lulus SMA saja sudah untung, dan selama ini tidak aku terlantarkan. Kamu pikir biaya kuliah tidak mahal?" Satu tangan Bu Rika bertelekan pinggang, satunya lagi menunujuk-nunjuk ke arah Muka Alana. Alana yang sedang berdiri didepan Ibu tirinya itu hanya menundukkan mukanya."Tapi aku mendapat beasiswa dari UNT, Ma. Jadi masalah biaya tidak akan merepotkan Mama lagi." Jawab Alana sambil menunjukkan selembar kertas yang berisi pengumuman bahwa dia masuk nominasi peraih beasiswa penuh di UNT. Disamping meraih beasiswa penuh sampai nanti dia lulus, sebelumnya Alana juga diterima di kampus PTN ternama di kota tersebut melalui jalur prestasi.Bu Rika terkejut. Dia baca surat panggilan dari kampus ternama itu. Hatinya panas tak terkira. Mischa, anak kandungnya yang bermimpi masuk kampus favorit itu saja, tidak diterima. Kenapa malah Alana, anak dari mendiang suaminya yang selama ini dia benci malah keterima?Ini tidak bisa
Bu Dewi membersihkan luka di lutut Alana. Lana meringis kala Bu Dewi mengoleskan betadine di atas luka tersebut."Sakit?" Tanya Bu Dewi."Perih, Tante." Jawab Lana."Tidak apa-apa. Setelah ini lukamu akan segera kering. Sebentar lagi angkutan Pak Bejo akan segera mampir kesini. Tante sudah berpesan agar jangan lupa berhenti di depan rumah.""Terimakasih Tante, sudah mau menolong Alana." Jawab Lana dengan mata berkaca-kaca."Tidak apa-apa. Bagi tante kamu sudah seperti anak tante sendiri."Tak lama kemudian terdengar klakson mobil di depan rumah Bu Dewi. Ya, angkot Pak Bejo yang dipesan bu Dewi menepati janjinya untuk berhenti di depan rumah. Dengan langkah tertatih-tatih karena terjatuh sewaktu lompat dari jendela pas subuh tadi, Alana menyeret kopernya dibantu Kirana."Lana, jangan lupa ini sarapan kamu, jangan lupa selalu sholat lima waktu. Gapai cita-citamu, Nak. Semoga nanti kamu jadi orang sukses, biar tidak ditindas oleh ibu dan saudara tirinya lagi." Pesan Bu Dewi ketika Lana m
"Lihat itu gadis yang memakai baju berwarna biru lusuh. Bukankah itu Alana?" Ujar Mischa berbisik di telinga Mama.Ya, mereka saat ini sudah berada di lingkungan kampus UNT. Hiruk-pikuk dan lalu-lalang anak-anak kampus memadati halaman luas tersebut. Ditambah lagi dengan banyaknya pendaftar kuliah yang ikut memadati halaman kampus. Tidak dipungkiri, kampus UNT merupakan incaran semua anak-anak yang berada di propinsi ini. Kampus ini adalah kampus favorit semua kalangan, dan sangat susah untuk bisa masuk ke kampus ini, apalagi untuk program studi populer.Alana beruntung bisa masuk kampus ini lewat jalur prestasi. Jadi tidak perlu susah payah harus ikut berbagai macam tes masuk yang ribet. Dia kesini hanya untuk mengurus daftar ulang saja."Ayo kita ikuti kemana dia akan pergi setelah ini."Mereka diam-diam menguntit kepergian Alana. Beruntung sekali mereka karena Aluna tidak mencurigai ada yang mengikutinya dari arah belakang. Aluna berjalan terus tanpa menoleh."Ma, kok sepertinya La
Pagi ini Lana memakai kebaya putih dengan panjang menjuntai sampai bawah, bawahan kain batik berwarna coklat. Luna tampak sangat anggun mengenakan pakaian tersebut. Baju akad nikah itu sangat cocok melekat ditubuhnya yang berkulit putih dan ramping.Sementara itu, dikamarnya Bu Rika, perempuan paruh baya itu tampak sangat gembira sekali, senyumnya merekah lebar melihat uang 1 koper berjumlah 200 juta, dia timang-timang terus"Wah, Neng Lana cantik sekali. Tidak dirias saja cantik, apalagi kalau dipakein make up begindang. Seperti bidadari, sumprit deh!" Jessica sang MUA takjub melihat hasil riasan yang tampak ngeblend sempurna di wajah Lana.Mischa melirik adik tirinya itu dengan pandangan iri, dia iri dengan kecantikan adiknya. Namun dia segera menghibur diri, ah, bukannya sebentar lagi kecantikan itu bisa kusaingi, dengan menggunakan uang 200 juta, bisa lah untuk perawatan dan membeli skincare mahal, setelah itu, pasti bisa menyaingi kecantikan si adik tiri sialan itu."Wah iya, ca
Suasana gaduh masih terjadi di rumah Bu Rika. Om Anton langsung dilarikan ke rumah sakit. Sedangkan di luar rumah, Bara sedang bergulat melawan kedua anak buah Om Anton.Meskipun kedua anak buah tersebut memiliki postir tubuh tinggi besar, cowok jangkung tersebut tidak gentar melawan keduanya. Gerakannya lincah, terus menendang lawan sampai lawan tidak mampu berkelit.Salah satu lawan Bara terbangun, lalu dia hendak membanting Bara dengan cara membelit tubuhnya. Namun, dengan lihainya Bara menyodokkan sikunya pada perut lekaki kekar tersebut, gerakannya yang tepat sasaran mampu membuat lawannya langsung terjerembab. Dua lelaki kekar tersebut langsung dibuat Bara menjadi terbaring lemah tak berdaya di lantai.Baru saja mau menarik nafas sebentar, dari arah dalam keributan kembali terjadi. Bara lalu menangkap ucapan seorang tamu yang masih di situ, bahwa Alana hilang. Dan orang sebanyak itu tak ada satupun yang mengetahui kemana Alana pergi.Semua orang memanggil-manggil Alana, namun ga
Dengan penuh amarah, dihajarnya orang yang akan memerkosa Alana itu, ditendangnya alat vital pria tersebut berkali-kali hingga lelaki yang tak bercelana itu mengaduh kesakitan, pemuda yang dihajar itu langsung jatuh terkapar sambil memegangi alat vitalnya yang terkena tendangan oleh seorang pria yang mukanya tidak nampak jelas karena dia bertopi dan menggunakan masker."Heh, siapa kamu?! Berani sekali mencampuri urusan kami!" Teriak salah seorang pemuda yang sedang memegang kedua tangan Alana. Sedangkan Alana bingung menutupi dadanya yang terbuka akibat baju yang dikenakannya robek."Kamu sendiri siapa?! Dasar pengecut, pecundang! Beraninya hanya sama perempuan. Sini kalau berani, lawan aku!"Dua orang temannya yang saat ini sedang memegangi Alana, langsung terpancing emosinya, dia lepaskan Alana, dan pasang kuda-kuda untuk melawan pemuda bertopi dan bermasker itu.Mereka terlibat dalam perkelahian seru, dua lawan satu, namun karena kedua pemuda tersebut masih berada dibawah pengaruh
Bara terpekur dihadapan Papanya yang kini terbujur kaku tak bernyawa. Dibelakangnya terdapat para istri Om Anton kecuali Mamanya. Mereka itu adalah istri siri semua. Dan mama lah satu-satunya istri sah. Namun karena penyakit lumpuhnya, Mama tidak bisa hadir di kematian suaminya ini. "Maaf, Tuan. Jenazah Om Anton akan kita kebumikan sekarang." Ujar salah seorang petugas pemakaman. Bara mengangguk. Dia lalu berdiri dan menyilakan para petugas itu mengangkat Papanya. Hatinya tergugu, perasaannya campur aduk. Papanya meninggal karena ulahnya yang berusaha menggagalkan pernikahannya dengan seorang gadis belia. Dia memang membenci papa, namun dia tidak ingin Papa meninggal dalam waktu ini.Sambil berjalan menuju ke mobil yang akan membawanya menuju ke peristirahatan terakhir sang Papa, diperhatikannya para istri siri Om Anton yang jumlahnya ada 3 itu. Mereka semua perempuan muda berusia sekitar tiga puluh tahunan, penampilan mereka semua modis-modis. Begitu jauh sekali dengan kondisi Mam
Satu tahun telah berlalu. Alana dan teman-temannya sudah menyelesaikan program pertukaran mahasiswa yang ditugaskan kepada mereka. Banyak sekali ilmu-ilmu yang diraih selama berada di negri Singapura. Tentang bagaimana suasana belajar di sana, dan juga kehidupan sehari-harinya. Banyak bertemu dengan orang baru, banyak berkenalan dan tukar pikiran dengan orang-orang dari berbagai penjuru dunia, membuat Alana semakin melek dengan keadaan. Membuat pikirannya semakin terbuka, bahwa ternyata dunia itu sangat luas, ternyata diluar sana banyak orang yang memiliki toleransi begitu tinggi, ternyata dirinya bisa diterima oleh dunia, ternyata banyak yang bersikap ramah terhadapnya, ternyata di luar sana. dirinya begitu dihargai. Sangat bertolak belakang dengan kehidupannya sebelumnya, yang mana terlalu banyak sisi kelam yang dia lalui, sehingga sempat membuatnya ingin bunuh diri karena dunia yang tidak ramah padanya. "Ah, seandainya aku tidak nekat melarikan diri kala itu, mungkin hidupku han
" Barang-barangmu sudah kebawa semua?" Nata bertanya memastikan bahwa koper Alana sudah terisi semua barang yang seharusnya dia bawa. "Sudah masuk koper semua, Nat." Jawab Lana. " Kamu tidak ingin berpamitan dengan siapapun?" Tanya Nata lagi. "Nanti aku pamitan sama kamu, kalau pesawatnya sudah datang." "Orang lain, ehm... Kak Bara misalnya?" Nata mencoba menggoda Alana. "Aku tidak memiliki siapa-siapa lagi," Alana menjawab dengan getir. "Maaf, aku cuma bercanda. Dah yuk, kita berangkat sekarang. Takut ketinggalan pesawat." Ujar Nata. Mereka keluar dari kontrakan Lana. Lana tidak lupa mengunci dan menyerahkan kuncinya pada ibu kost. "Semoga ilmu yang kamu dapatkan dari negri seberang berkah ya, Alana. Kalau akan kembali nanti, hubungi Ibu lagi saja. Ibu carikan kamar buat kamu." Ujar Ibu kost tatkala Alana berpamitan akan ke luar negri, guna mengikuti program pertukaran mahasiswa. "Amin. Terima kasih, Bu." Jawab Alana. Nata dan Alana lalu menuju ke mobil milik Nata yang sed
"Ini warungnya?" Tanya Nata. "Ya." Alana lalu turun dari atas motor Nata. Setelah itu melepas helm yang dikenakannya. Mereka berdua lalu memasuki warung yang selalu ramai pembeli tersebut. Mata Alana lalu menangkap sosok tua pemilik warung yang selama ini berjasa padanya. Dia berniat untuk mendatangi Bu Mirah, sang pemilik warung. Namun niat itu dia urungkan, Bu Mirah tampak sibuk melayani orang yang hendak membayar makanan yang dijualnya. "Sepertinya enak-enak semua ya, menunya." Ujar Nata sambil melihat berbagai macam lauk yang berderet rapi di balik meja etalase. "Iya, enak kok. Apalagi kalau lagi lapar begini." Jawab Lana. "Yang paling enak yang mana?" Bisik Nata lagi. "Itu tuh, ayam kecapnya enak, manis, gurih. Tapi tergantung selera sih." Jawab Lana. Tiba-tiba ingatannya berputar pada beberapa bulan lalu, saat dia masih bekerja di sini. Hampir setiap hari sebelum pulang, Bu Mirah menyuruhnya makan terlebih dahulu. Dan melarang membawa pulang makanan seperti pekerja lain.
"Sory, aku tidak mau!" Jawab Mischa dengan cepat dan lantang. "Kamu harus mau! Jika tidak, maka kamu akan kuteriaki habis mencuri di warungku!" Ancam Bu Mirah. Karena diancam seperti itu, Mischa jadi takut, sepertinya orang tua dihadapannya ini memang suka nekat. Galaknya setengah mati. Bikin nyalinya menciut. Mischa mau tidak mau berjalan masuk ke warung Bu Mirah, sesampainya di dalam dia dihadang oleh tatapan para karyawan orang tua tersebut dengan tatapan heran. Semua karyawannya pasti sudah tahu Mischa dan juga wataknya yang sombong serta tidak tahu sopan santun. Apalagi mereka semua masih ingat akan kejadian kemarin dimana Mischa dengan mulut besarnya membuat keributan di warung ini. Namun hari ini anehnya dia tampak begitu tunduk terhadap Bu Mirah. "Bik Yem, ini aku carikan tukang cuci piring baru, Bibik hari ini mending bantu saya njualin di depan saja." Ujar BU Mirah sambil melirik ke arah Mischa. Bik Yem tentu saja kaget. Dia yang biasa bekerja dengan gesit mencuci semu
Untuk sesaat, Mischa kembali dibuat semakin terkejut. Bagaimana bisa hutang mamanya tidak dibayarkan selama setahun? Bukankah mamanya habis menerima uang 200 juta? Ah, petugas bank ini pasti mengada-ada. Dia pasti mau mencari keuntungan sendiri dengan meminta tagihan kesini. Pagi-pagi sudah mau cari ribut rupanya. Tidak sadar dia dengan siapa berhadapan? "Heh! Yang benar saja kamu mau menyita rumah ini?? Mamaku pasti sudah melunasinya, dia habis mendapatkan uang 200 juta. Kamu mau cari gara-gara? Mau ambil keuntungan sendiri, kan?? Hayo ngaku!!" Hardik Mischa. Petugas itu tidak bereaksi sama sekali dengan kemarahan Mischa, wajah mereka tetap saja datar, dan kemudian menunjukkan surat penyitaan kepada Mischa, surat tersebut berstempel dan bertanda tangan resmi dari bank BNK. "Ini kalau tidak percaya. Sebaiknya Nona segera mengosongkan isi rumah ini, dan pergi sekarang juga. Karena rumah ini sudah kami lelang." Jawab Petugas itu, tidak gentar sedikitpun dengan hardikan Mischa. Lagian
Selepas Mischa pergi dari warung, semua menghela nafas lega, Bu Mirah meminta maaf kepada semua pengunjung atas ketidak nyamanan mereka makan di warung hari ini, akibat ulah si mantan napi yang tidak dididik dengan baik oleh orang tuanya. "Maaf ya semuanya, dia memang gadis yang tidak memiliki sifat yang baik, dia juga baru keluar dari penjara, sekarang dia mau pergi ke bank mengambil uang katanya, entah uang siapa yang dia ambil. Konon Mamanya banyak uang, tapi hampir tiap hari didatangi oleh debt collector untuk menagih utang." Bu Mirah menjelaskan kepada para pengunjung warung sambil terkekeh, sehingga ada beberapa yang menimpali. "Oalah, masih muda kelakuannya seperti demit. Mau jadi apa dia nanti? Apa ya ada lelaki yang bakal mau menikahinya?" Ujar Bu Romlah, salah satu pengunjung warung. "Entahlah, sepertinya kelakuannya itu menurun dari ibunya. Ibunya kan juga tidak ada akhlak, buah jatuh tak jauh dari pohonnya." Ujar Bu Warni menimpali. "Semoga dia segera mendapatkan hiday
Mischa membuka laci meja di kamar Mamanya, tempat biasa Bu Rika menaruh dompet. Dan benar saja, dompet yang doa cari tergeletak di laci tersebut. Dengan penuh kegirangan, Mischa ambil dompet tersebut, di timang-timangnya karena sepertinya isinya tebal sekali. Ah, pasti ini uang, pikirnya. Namun, betapa terkejutnya dia, yang membuat tebal dompet Mamanya ternyata adalah kertas-kertas berbagai catatan hutang, yang ada beberapa diantaranya sudah lunas, namun ada juga yang belum lunas. Hanya terdapat selembar uang sepuluh ribu rupiah, itupun bentuknya sudah sangat lusuh, selisih dompet yang dia pegang. "Sialan! Di mana sih sebenernya Mama menaruh uang-uangnya?? Setelah mendapat uang 200 juta dari Om Anton itu apa sekarang sudah habis? Atau jangan-jangan dia tabung di bank?" Batin Mischa. Dalam hati Mischa, dia membenarkan dugaannya sendiri, bahwa Mamanya pasti menyimpan uang tersebut di Bank. Tidak mungkin uang sekoper yang diberikan leh Om Anton itu langsung habis. Ya, aku akan tany
Alana menutup bukunya. Pelajaran bersama Dosen Aris memang mampu memeras otak. Sepertinya membeli es teh harga tiga ribuan mampu mendinginkan otaknya yang kemebul."Alana," Tiba-tiba Pak Aris memanggilnya. Membuat Alana menghentikan langkah, dan menghampiri dosen tersebut."Iya, Pak Aris. Ada apa?" Tanya Alana."Begini, aku ada tawaran job untuk kamu. Kamu mau tidak mengajar di bimbel milik saya? Untuk jadwalnya bisa sepulang dari kampus. Kalau dari sini jaraknya sekitar 4 kilometer. Kalau bawa motor sendiri lebih cepet."Bagai tersiram air pegunungan di gurun Sahara. Tawaran dari Pak Aris itu seperti jawaban atas do'anya semalam."Daripada keluyuran tidak jelas kan mending ngajar di bimbel saja, dapet duit, jadi tidak ngandelin kiriman ortu dari kampung. Gimana, mau tidak?"[Ya Alloh, ternyata Allah memay benar-benar Maha Baik. Disaat membutuhkan, dia datang membawa pertolongannya.]"Gimana, mau nggak? Malah bengong kayak sapi ompong?" Tanya Pak Aris yang memperhatikan ekspresi Alana
"Tidak apa-apa. Aku mau pindah kerja saja di tempat yang lebih nyaman. Kamu ada info lowongan nggak?" Tanya Alana. "Mana tahu aku hal-hal begituan. Kamu mau kerja lagi?" Tanya Nata. Alana menghela nafasnya. Lalu menghembuskannya lagi. "Kalau aku tidak kerja, nanti kebutuhanku mau di penuhi oleh siapa?" Ujar Lana, dengan tatapan mata kosong."Maaf, kalau boleh tahu, memang Bapak Ibumu kemana?" Nata yang seketika langsung paham dengan kondisi Alana, bertanya dengan hati-hati. "Sudah nggak ada. Aku bisa kuliah juga karena dapat beasiswa. Sedangkan untuk kebutuhan sehari-hari, aku harus kerja juga, kan? Makanya aku harus segera mendapatkan pekerjaan lagi kalau masih pengen hidup." Cerita Alana. Nata mengangguk tanda paham. "Maaf, Alana. Aku kira selama ini kamu bilang kalau yang antar jemput kamu itu adalah majikanmu, aku tidak percaya. Lagian mana ada sih majikan mau mengantar jemput karyawannya. Baru kali ini saja sepertinya di muka bumi ini. Aku kira dia itu kakakmu." Ujar Nata.