"Lihat itu gadis yang memakai baju berwarna biru lusuh. Bukankah itu Alana?" Ujar Mischa berbisik di telinga Mama.
Ya, mereka saat ini sudah berada di lingkungan kampus UNT. Hiruk-pikuk dan lalu-lalang anak-anak kampus memadati halaman luas tersebut. Ditambah lagi dengan banyaknya pendaftar kuliah yang ikut memadati halaman kampus. Tidak dipungkiri, kampus UNT merupakan incaran semua anak-anak yang berada di propinsi ini. Kampus ini adalah kampus favorit semua kalangan, dan sangat susah untuk bisa masuk ke kampus ini, apalagi untuk program studi populer.Alana beruntung bisa masuk kampus ini lewat jalur prestasi. Jadi tidak perlu susah payah harus ikut berbagai macam tes masuk yang ribet. Dia kesini hanya untuk mengurus daftar ulang saja."Ayo kita ikuti kemana dia akan pergi setelah ini."Mereka diam-diam menguntit kepergian Alana. Beruntung sekali mereka karena Aluna tidak mencurigai ada yang mengikutinya dari arah belakang. Aluna berjalan terus tanpa menoleh."Ma, kok sepertinya Lana berjalan mengikuti seorang cowok ya?" Ujar Mischa ketika mengikuti langkah Alana jauh di belakangnya.***"Berapa Pak ongkosnya?" Di persimpangan kota Alana turun dari angkot Pak Bejo, karena angkot tersebut akan menuju ke arah pasar, sedangkan untuk menuju ke kota dimana kampus UNT berada, Alana harus naik bus kota dari situ.Setelah mendengar percakapan mama dan Kak Mischa perihal dirinya mau dinikahkan Om Anton, semalam Alana tidak bisa tidur. Dia mencari cara agar bisa lari dari kedua manusia iblis tersebut agar mereka gagal menikahkannya. Jalan satu-satunya adalah dengan kabur disaat Mama dan kak Mischa tidur.Dini hari sebelum subuh, Alana keluar lewat jendela kamarnya. Dibawanya 1 ransel besar berisi pakaian, ijazah serta uang dua juta hasil menabung di tempat Bu Mirah. Uang tersebut dia kumpulkannya sedikit demi sedikit, dan dia titipkan kepada pemilik warung tempatnya bekerja tersebut. Dulu dia pernah membawa pulang semua gajinya, namun semua gaji tersebut dirampas oleh Bu Rika. Alana yang bekerja keras memeras keringat tidak diijinkan menikmati uang tersebut. Alasannya adalah untuk menyicil hutang Papa pada Om Anton.Untuk itulah, bulan depannya Alana mengambil sedikit gajinya, untuk dia titipkan kepada Bu Mirah. Waktu ibu meminta gajinya, dia protes."Hey Lana, gajimu bulan kemarin dua juta, kenapa sekarang cuma 1.900.000? Kamu kemanakan uangnya?""Uangnya buat mengganti Bu Mirah, Ma. Gara-gara Alana memecahkan piringnya. Mulai sekarang Alana harus menyicil tiap bulan." Jawab Aluna."Kamu memang teledor! Uang segini mana cukup buat membayar hutang?! Huh! Terpaksa aku harus menambah angsuran pakai uangku sendiri!" Ujar Bu Rika sambil memukul Alana.Begitulah, jika Alana berbuat sesuatu yang tidak sesuai keinginan Mama, Mama tidak segan-segan memukulnya. Kadang Mischa pun ikut membantu Mama memukulinya. Sehingga pantaslah badannya banyak bekas pukulan disana sini."Hey, kamu berasal dari Desa Gunungjati?" Pertanyaan si petugas panitia daftar ulang membuyarkan lamunan Aluna.Alunay hanya mengangguk sambil tersenyum."Woy, Bos Bara. Lihat nih, ada yang berasal dari desa tanah kelahiranmu. Keren loh, bisa masuk lewat jalur prestasi. Kenal gak kamu sama gadis ini?" Teriak petugas tersebut kepada seorang yang bernama Bara."Hmm..." Hanya itu yang keluar dari mulut Bara.Ketua panitia penerimaan mahasiswa baru yang bernama Bara itu menoleh sepintas, kemudian melanjutkan pekerjaannya lagi."Sok cool kamu ah, Bara. Kamu emang gak asyik kalau diajak godain cewek cantik. Sama sesama saudara sekampung saja sombong sekali." Seru panitia tersebut."Sudah apa belum kak, suratnya?" Alana mengalihkan pembicaraan, dia merasa risih dengan panitia yang agak ganjen itu."Sudah. Tapi bagi tahu dulu, kamu disini ngekost dimana?" Tanya panitia tersebut sambil mengerlingkan mata nakal."Saya baru mau cari kost, kak." Jawab Alana jujur. Dia memang selepas turun dari bus kota, langsung datang ke kampus untuk daftar ulang, setelah ini dia baru mau mencari kost murah."Aah yang bener, ayo jujur saja. Aku gak bakal nakalin kamu kok." Panitia tersebut masih juga tak percaya."Bener kak, sumpah Demi Allah." Jawab Alana mencoba meyakinkan."Kalau gitu, bagi nomer WA saja deh." Cowok itu tidak mau menyerah begitu saja."Aku tidak punya HP, kak." Jawab Luna lagi. Dia memang tidak memiliki benda pintar berbentuk pipih dan kotak. Selama ini mama tidak memfasilitasinya dengan HP, pengen beli sendiripun tidak mungkin, karena uang hasil kerjanya selalu diminta Mama, tanpa menyisakan sepeserpun."Aku gak percaya, gak ku kasihkan loh suratnya kalau kamu gak jujur.""Galih, jangan godain anak baru! Kebiasaan kamu tuh ya?! Berikan apa tidak kertas itu!" Bara tiba-tiba marah. Cowok yang tadinya tampak dingin itu tiba-tiba menunjukkan pembelaannya terhadap Alana."Ah, sok pahlawan kamu Bara! Biar apa? Biar mendapat simpati dari mahasiswa baru kita ini, kan?" Ledek Galih."Diam kamu! Aku bisa mematahkan lehermu kalau kamu masih saja ganjen ke setiap mahasiswa baru!" Ucap Bara. Cowok itu lalu merebut surat milik Alana yang berada di tangan Galih, dan menyerahkannya kepada Alana."Terima kasih, Kak. Saya permisi dulu." Lana beranjak lalu berjalan keluar gedung."Tunggu!" Bara berseru kepada Aluna."Ada apa, kak?" Aluna membalikkan tubuhnya, menatap heran cowok jangkung berkulit putih itu."Ikut aku." Perintahnya."Hah?! Kemana?!!" Tanya Alana sambil mengernyitkan kening karena heran."Pokoknya ikut saja." Bara berkata dengan tegas. Gila nih cowok, kelakuannya misterius sekali. Alana jadi takut, Jangan-jangan dia mau berbuat sesuatu yang membahayakannya, mengingat dia hanya sendirian di kota ini, dan belum pernah berkunjung ke kota sekalipun.Namun Alana seperti dicucuk hidungnya, tetap saja mengekori cowok itu yang jalannya cepat sekali, langkahnya juga lebar. Lana sampai tersengal-sengal mengikuti langkahnya."Cepetan dong kalau jalan. Kamu gak biasa kerja cepet ya dirumah? Pasti kamu terbiasa dimanjakan ortumu, lelet sekali sih?" Bara yang berada 5 meter didepan Alana menghentikan langkah, dan menengok sambil ngedumel kearah Lana.Dibilang seperti itu, Lana jadi berang, ingin rasanya dia jejeli mulut pedas cowok angkuh didepannya itu pake ulekan cabe Bu Mirah. Enak saja ngatain dia anak manja, gak pernah ngerjan pekerjaan rumah. Mau diadu apa? Coba lebih gesit siapa mengerjakan pekerjaan rumah, aku atau kamu, hei Bambang?! Batin Lana geram."Emang kamu mau ajak aku kemana?" Tanya Lana, dia harus waspada, takut Bara akan berbuat jahat kepadanya"Kamu butuh tempat tinggal, kan?""I-iya.""Ya sudah ikut saja." Masih dengan nada ketus, Bara menyuruh Lana mengikutinya."Ya tapi pelan-pelan dong kak jalannya, berat nih!"Bara baru sadar kalau Lana membawa tas ransel yang besar dan nampak berat. Tidak seimbang dengan badannya yang kurus kerempeng.Bara mengambil alih tas tersebut, namun dicegah oleh, Lana."Jangan!" Lana menarik tas ranselnya, namun cowok jangkung itu berkelit."Kamu mau mencuri tasku?" Teriak Lana. Dia takut, jika tas itu dicuri, Bila-bila dia jadi gembel di jalanan. Di dalam tas itu ada uang 2.450.000. Ada ijazah, buku, dan pakaian-pakaian."Siapa juga yang tertarik sama tas kumal kayak gini?" Bara tampak kesal."Tapi meskipun kumal, tas ini berisi ijasah, baju-bajuku, dan juga u..." Belum sempat Alana meneruskan ucapannya, Bara sudah memotongnya."Rumah bercat putih itu kost-kostan putri, disitu masih ada kamar yang tersisa 1. Cepat kamu datangi ibu kost agar kamarnya tidak diberikan ke orang lain." Bara menunjuk sebuah rumah yang nampak asri yang tak jauh dari mereka berdiri. Lalu meletakkan ransel kumal tersebut didepan Lana.Luna hanya melongo, dibalik sikap dingin dan ketusnya, ternyata Bara perhatian sekali. Apa karena dia kata Galih berasal dari satu desa yang sama?"Te-terima kasih, kak." Ucap Lana. Dia masih mematung di tempat, tidak percaya bahwa cowok yang jika dilihat ternyata sangat sempurna itu, badan tinggi tegap, kulit putih, hidung bangir seperti pria keturunan Arab, alis tebal, mata memiliki tatapan Yang teduh itu memiliki hati yang baik, sayangnya dia ketus sekali."Kenapa masih berdiri disitu? Cepetan masuk!" Ucap Bara, masih dengan nada galaknya.Lana tersadar dari lamunannya, dia jadi malu. Jangan sampai cowok itu tahu kalau aku lagi mengaguminya, Ya Allah, batinnya."Eh, iya kak." Jawab Lana, lalu Menjinjing tas ranselnya dan berjalan menuju rumah yang ditunjuk Bara barusan.Ibu kost menyapa Alana dengan ramah. Setelah membayar biaya kost, Lana ditunjukkan sebuah kamar berukuran 3x3. Sudah terdapat Kasur busa didalamnya, meskipun kasur itu tidak ada depannya, sebuah lemari kayu, dan meja kecil. Lana tampak puas, meskipun kamar ini sederhana, namun baginya tampak lebih mewah daripada kamarnya di rumah yang sempit."Jangan lupa dibersihkan dulu kamarnya, beberapa hari tidak dipakai, mungkin kamar ini berdebu." Pesan Ibu kost."Baik, Bu." Jawab Lana.Setelah membersihkan kamar dan menata barang bawaannya, Lana segera membersihkan dirinya. Setelah itu beristirahat. Besok pagi dia harus mencari pekerjaan paruh waktu, agar bisa untuk menyambung hidup selama tinggal di perantauan. Pekerjaan apapun akan dia jalani, yang penting halal. Beasiswa yang dia peroleh hanya mengcover seluruh biaya kuliah sampai lulus. Untuk biaya hidup sehari-hari, tetap harus cari sendiri.Baru memejamkan mata satu menit, kamarnya tiba-tiba ada yang menggedor-gedor dari luar."Lana, buka pintunya! Keluar kamu dari sini sekarang juga!" Loh, itu seperti suara ibu kost? Ada apa gerangan? Ibu kost yang tampak ramah tadi siang, kenapa berubah sangat galak? Sambil beranjak untuk membuka pintu, Lana mencoba memgingat-ingat, sudah melakukan kesalahan apa terhadap ibu kost?"Maaf, Bu. Ada apa ya?" Lana bertanya dengan sopan, menyembunyikan rasa terkejutnya karena melihat ibu kost bersama dengan dua orang laki-laki berpostur tubuh tinggi besar dan memakai pakaian serba hitam.Namun tanpa menunggu keterangan dari Ibu Kost, dua orang tinggi besar itu langsung menyeret Lana, dan membawanya keluar dari kamar kost. Lana berteriak minta tolong, namun tidak ada yang menggubris.Karena Lana terus berusaha melawan, dua orang berbadan tinggi besar tersebut membekap mulut Lana dengan sapu tangan yang sudah dibubuhi cairan obat bius, Alana pun pelan-pelan badannya melunglai, dan dia tak sadarkan diri.***Pagi ini Lana memakai kebaya putih dengan panjang menjuntai sampai bawah, bawahan kain batik berwarna coklat. Luna tampak sangat anggun mengenakan pakaian tersebut. Baju akad nikah itu sangat cocok melekat ditubuhnya yang berkulit putih dan ramping.Sementara itu, dikamarnya Bu Rika, perempuan paruh baya itu tampak sangat gembira sekali, senyumnya merekah lebar melihat uang 1 koper berjumlah 200 juta, dia timang-timang terus"Wah, Neng Lana cantik sekali. Tidak dirias saja cantik, apalagi kalau dipakein make up begindang. Seperti bidadari, sumprit deh!" Jessica sang MUA takjub melihat hasil riasan yang tampak ngeblend sempurna di wajah Lana.Mischa melirik adik tirinya itu dengan pandangan iri, dia iri dengan kecantikan adiknya. Namun dia segera menghibur diri, ah, bukannya sebentar lagi kecantikan itu bisa kusaingi, dengan menggunakan uang 200 juta, bisa lah untuk perawatan dan membeli skincare mahal, setelah itu, pasti bisa menyaingi kecantikan si adik tiri sialan itu."Wah iya, ca
Suasana gaduh masih terjadi di rumah Bu Rika. Om Anton langsung dilarikan ke rumah sakit. Sedangkan di luar rumah, Bara sedang bergulat melawan kedua anak buah Om Anton.Meskipun kedua anak buah tersebut memiliki postir tubuh tinggi besar, cowok jangkung tersebut tidak gentar melawan keduanya. Gerakannya lincah, terus menendang lawan sampai lawan tidak mampu berkelit.Salah satu lawan Bara terbangun, lalu dia hendak membanting Bara dengan cara membelit tubuhnya. Namun, dengan lihainya Bara menyodokkan sikunya pada perut lekaki kekar tersebut, gerakannya yang tepat sasaran mampu membuat lawannya langsung terjerembab. Dua lelaki kekar tersebut langsung dibuat Bara menjadi terbaring lemah tak berdaya di lantai.Baru saja mau menarik nafas sebentar, dari arah dalam keributan kembali terjadi. Bara lalu menangkap ucapan seorang tamu yang masih di situ, bahwa Alana hilang. Dan orang sebanyak itu tak ada satupun yang mengetahui kemana Alana pergi.Semua orang memanggil-manggil Alana, namun ga
Dengan penuh amarah, dihajarnya orang yang akan memerkosa Alana itu, ditendangnya alat vital pria tersebut berkali-kali hingga lelaki yang tak bercelana itu mengaduh kesakitan, pemuda yang dihajar itu langsung jatuh terkapar sambil memegangi alat vitalnya yang terkena tendangan oleh seorang pria yang mukanya tidak nampak jelas karena dia bertopi dan menggunakan masker."Heh, siapa kamu?! Berani sekali mencampuri urusan kami!" Teriak salah seorang pemuda yang sedang memegang kedua tangan Alana. Sedangkan Alana bingung menutupi dadanya yang terbuka akibat baju yang dikenakannya robek."Kamu sendiri siapa?! Dasar pengecut, pecundang! Beraninya hanya sama perempuan. Sini kalau berani, lawan aku!"Dua orang temannya yang saat ini sedang memegangi Alana, langsung terpancing emosinya, dia lepaskan Alana, dan pasang kuda-kuda untuk melawan pemuda bertopi dan bermasker itu.Mereka terlibat dalam perkelahian seru, dua lawan satu, namun karena kedua pemuda tersebut masih berada dibawah pengaruh
Bara terpekur dihadapan Papanya yang kini terbujur kaku tak bernyawa. Dibelakangnya terdapat para istri Om Anton kecuali Mamanya. Mereka itu adalah istri siri semua. Dan mama lah satu-satunya istri sah. Namun karena penyakit lumpuhnya, Mama tidak bisa hadir di kematian suaminya ini. "Maaf, Tuan. Jenazah Om Anton akan kita kebumikan sekarang." Ujar salah seorang petugas pemakaman. Bara mengangguk. Dia lalu berdiri dan menyilakan para petugas itu mengangkat Papanya. Hatinya tergugu, perasaannya campur aduk. Papanya meninggal karena ulahnya yang berusaha menggagalkan pernikahannya dengan seorang gadis belia. Dia memang membenci papa, namun dia tidak ingin Papa meninggal dalam waktu ini.Sambil berjalan menuju ke mobil yang akan membawanya menuju ke peristirahatan terakhir sang Papa, diperhatikannya para istri siri Om Anton yang jumlahnya ada 3 itu. Mereka semua perempuan muda berusia sekitar tiga puluh tahunan, penampilan mereka semua modis-modis. Begitu jauh sekali dengan kondisi Mam
"Hah, panjang umur akhirnya kamu datang juga. Kamar ini mau ditempati oleh orang lain. Perempuan tidak jelas seperti kamu tidak pantas tinggal di sini. Bikin citra buruk kontrakanku saja! Sekarang pergilah, bawa semua barang-barangmu!" Seru Bu Dewi sambil menunjuk kearah jalan. Barang-barang itu dilempar dan berserakan begitu saja di kaki Alana. Ingin sekali Alana membalasnya dengan kemarahan, namun dia tidak punya hak apapun terhadap ibu kost, dia jauh lebih berkuasa di sini. "Baiklah, Bu. Aku akan pergi tapi tolong kembalikan uang yang saya bayarkan kemarin." Ujar Alana dengan tegas. "Nih! Sudah sana pergi!" Ibu Dewi melempar uang sejumlah yang dibayarkan Alana kemarin, cara melemparnya pun tidak sopan sekali. Alana hanya bisa menarik nafas dalam, setelah itu dia punguti uang tersebut dengan perasaan campur aduk. Pergi membawa ransel yang penuh dan berat, langkahnya tertatih dibawah sinar matahari yang begitu terik menyengat, ditambah lagi dengan kondisi kakinya yang masih bel
Seketika seluruh tubuh Alana membeku, menatap sosok di hadapannya yang tersenyum penuh arti. "Ka-kamu...?"Orang di hadapannya tersenyum smirk. Sambil menyeruput es teh, matanya menatap ke arah Alana. "Iya, eyke kenapa, harusnya eyke yang bertanya sama elu, kenapa kabur pas dinikahin kakek-kakek tajir. Hahahaa malah minggat. Jam segini masih keluyuran ntar ditangkep arwahnya Om Anton baru nyaho luh." Ujar si Jaka alias Jessica dengan tangan melambai. "Arwah Om Anton? Maksudmu?" Alana tidak paham dengan perkataan banci kaleng itu. "Iyeu Arwah Om Anton gentayangan nyariin elu, gara-gara elu dia sekarang metong, jasadnya udah di makan cacing, hiiiy...." Ucap Jessica dengan mimik muka jijik. "Ja-jadi orang tua itu udah mati?" Pekik Alana. "Iyey Alana sayaang, gara-gara elu tuh. Hati-hati aja cynnn, ntar elu dicariin polisi buat dimintain pertanggungjawaban kematian Om Anton, hahahaa..." Si cewek jadi-jadian itu ngakak garing. "Aku tidak takut." Jawab Alana ketus. "Iya iyaaa, berca
"Sini lu!" Seru Jessica.Alana berjalan mendekati juragannya."Lu ngerti gak sih, pengering ini kalau kena kulit rasanya pansos, kulit bisa melepuh dan sakyiit, kerja yang bener cyn, jangan sampai eyke kapok menolong elu, mempekerjakan elu, ngerti?!" Nasihat Jessica."Maaf, Jes. Tadi kak Mischa memang sengaja menyuruhku untuk segera mengambilkan katalog. Padahal rambutnya belum selesai aku keringkan, tapi dia memaksa terus supaya aku cepetan mengambil katalog ini." Alana tidak Terima disalahkan, karena ini memang Mischa sendiri yang menyuruh."Tapi naruh pengeringnya gak di pinggiran begini, elu udah eyke training berkali-kali kagak juga ngerti, ciiih...." Ujar si banci kaleng sambil melambaikan tangannya dengan kemayu."Pegawai keras kepala, susah diberi pengertian begini kenapa kamu pertahankan sih, Jess. Kayak gak bisa cari pegawai saja kamu?" Mischa semakin mengompori Jessica."Kalau aku jadi kamu, pasti langsung kupecat. Di luar sana masih banyak orang yang butuh pekerjaan, dan p
"Kak Lana, kakak mau pergi kemana? Apakah sudah ada tujuan?" Gadis berambut panjang itu bertanya sambil nafasnya terengah-engah. "Mau cari kost, kamu siapa?" Alana heran, ada orang asing yang mengenalnya di kota yang baru seminggu dia singgahi. "Aku yang tadi antre di salon Jessica. Aku tadi lihat dengan mataku sendiri bahwa orang tadi sengaja menjatuhkan hairdryer mengenai tangannya. Maaf, Kak, aku tidak bisa membela kakak tadi," Gadis itu menunduk. Alana terkejut mendengar penuturan gadis tersebut, namun sejurus kemudian dia tersenyum. "Iya, mungkin memang rejeki aku bukan di situ." Jawab Alana."Berarti kakak sudah tidak bekerja di salon Jessica lagi ya?"Alana menggeleng, lalu tersenyum dan memalingkan muka, karena tidak ingin memperlihatkan raut kesedihannya. Jika harus mencari kost, dia harus mencari yang sesuai dengan budget yang dia miliki, sedangkan uang di dompetnya sudah semakin menipis. Alana mengira bahwa kuliah dengan beasiswa penuh itu sudah tidak perlu bayar ini i
Satu tahun telah berlalu. Alana dan teman-temannya sudah menyelesaikan program pertukaran mahasiswa yang ditugaskan kepada mereka. Banyak sekali ilmu-ilmu yang diraih selama berada di negri Singapura. Tentang bagaimana suasana belajar di sana, dan juga kehidupan sehari-harinya. Banyak bertemu dengan orang baru, banyak berkenalan dan tukar pikiran dengan orang-orang dari berbagai penjuru dunia, membuat Alana semakin melek dengan keadaan. Membuat pikirannya semakin terbuka, bahwa ternyata dunia itu sangat luas, ternyata diluar sana banyak orang yang memiliki toleransi begitu tinggi, ternyata dirinya bisa diterima oleh dunia, ternyata banyak yang bersikap ramah terhadapnya, ternyata di luar sana. dirinya begitu dihargai. Sangat bertolak belakang dengan kehidupannya sebelumnya, yang mana terlalu banyak sisi kelam yang dia lalui, sehingga sempat membuatnya ingin bunuh diri karena dunia yang tidak ramah padanya. "Ah, seandainya aku tidak nekat melarikan diri kala itu, mungkin hidupku han
" Barang-barangmu sudah kebawa semua?" Nata bertanya memastikan bahwa koper Alana sudah terisi semua barang yang seharusnya dia bawa. "Sudah masuk koper semua, Nat." Jawab Lana. " Kamu tidak ingin berpamitan dengan siapapun?" Tanya Nata lagi. "Nanti aku pamitan sama kamu, kalau pesawatnya sudah datang." "Orang lain, ehm... Kak Bara misalnya?" Nata mencoba menggoda Alana. "Aku tidak memiliki siapa-siapa lagi," Alana menjawab dengan getir. "Maaf, aku cuma bercanda. Dah yuk, kita berangkat sekarang. Takut ketinggalan pesawat." Ujar Nata. Mereka keluar dari kontrakan Lana. Lana tidak lupa mengunci dan menyerahkan kuncinya pada ibu kost. "Semoga ilmu yang kamu dapatkan dari negri seberang berkah ya, Alana. Kalau akan kembali nanti, hubungi Ibu lagi saja. Ibu carikan kamar buat kamu." Ujar Ibu kost tatkala Alana berpamitan akan ke luar negri, guna mengikuti program pertukaran mahasiswa. "Amin. Terima kasih, Bu." Jawab Alana. Nata dan Alana lalu menuju ke mobil milik Nata yang sed
"Ini warungnya?" Tanya Nata. "Ya." Alana lalu turun dari atas motor Nata. Setelah itu melepas helm yang dikenakannya. Mereka berdua lalu memasuki warung yang selalu ramai pembeli tersebut. Mata Alana lalu menangkap sosok tua pemilik warung yang selama ini berjasa padanya. Dia berniat untuk mendatangi Bu Mirah, sang pemilik warung. Namun niat itu dia urungkan, Bu Mirah tampak sibuk melayani orang yang hendak membayar makanan yang dijualnya. "Sepertinya enak-enak semua ya, menunya." Ujar Nata sambil melihat berbagai macam lauk yang berderet rapi di balik meja etalase. "Iya, enak kok. Apalagi kalau lagi lapar begini." Jawab Lana. "Yang paling enak yang mana?" Bisik Nata lagi. "Itu tuh, ayam kecapnya enak, manis, gurih. Tapi tergantung selera sih." Jawab Lana. Tiba-tiba ingatannya berputar pada beberapa bulan lalu, saat dia masih bekerja di sini. Hampir setiap hari sebelum pulang, Bu Mirah menyuruhnya makan terlebih dahulu. Dan melarang membawa pulang makanan seperti pekerja lain.
"Sory, aku tidak mau!" Jawab Mischa dengan cepat dan lantang. "Kamu harus mau! Jika tidak, maka kamu akan kuteriaki habis mencuri di warungku!" Ancam Bu Mirah. Karena diancam seperti itu, Mischa jadi takut, sepertinya orang tua dihadapannya ini memang suka nekat. Galaknya setengah mati. Bikin nyalinya menciut. Mischa mau tidak mau berjalan masuk ke warung Bu Mirah, sesampainya di dalam dia dihadang oleh tatapan para karyawan orang tua tersebut dengan tatapan heran. Semua karyawannya pasti sudah tahu Mischa dan juga wataknya yang sombong serta tidak tahu sopan santun. Apalagi mereka semua masih ingat akan kejadian kemarin dimana Mischa dengan mulut besarnya membuat keributan di warung ini. Namun hari ini anehnya dia tampak begitu tunduk terhadap Bu Mirah. "Bik Yem, ini aku carikan tukang cuci piring baru, Bibik hari ini mending bantu saya njualin di depan saja." Ujar BU Mirah sambil melirik ke arah Mischa. Bik Yem tentu saja kaget. Dia yang biasa bekerja dengan gesit mencuci semu
Untuk sesaat, Mischa kembali dibuat semakin terkejut. Bagaimana bisa hutang mamanya tidak dibayarkan selama setahun? Bukankah mamanya habis menerima uang 200 juta? Ah, petugas bank ini pasti mengada-ada. Dia pasti mau mencari keuntungan sendiri dengan meminta tagihan kesini. Pagi-pagi sudah mau cari ribut rupanya. Tidak sadar dia dengan siapa berhadapan? "Heh! Yang benar saja kamu mau menyita rumah ini?? Mamaku pasti sudah melunasinya, dia habis mendapatkan uang 200 juta. Kamu mau cari gara-gara? Mau ambil keuntungan sendiri, kan?? Hayo ngaku!!" Hardik Mischa. Petugas itu tidak bereaksi sama sekali dengan kemarahan Mischa, wajah mereka tetap saja datar, dan kemudian menunjukkan surat penyitaan kepada Mischa, surat tersebut berstempel dan bertanda tangan resmi dari bank BNK. "Ini kalau tidak percaya. Sebaiknya Nona segera mengosongkan isi rumah ini, dan pergi sekarang juga. Karena rumah ini sudah kami lelang." Jawab Petugas itu, tidak gentar sedikitpun dengan hardikan Mischa. Lagian
Selepas Mischa pergi dari warung, semua menghela nafas lega, Bu Mirah meminta maaf kepada semua pengunjung atas ketidak nyamanan mereka makan di warung hari ini, akibat ulah si mantan napi yang tidak dididik dengan baik oleh orang tuanya. "Maaf ya semuanya, dia memang gadis yang tidak memiliki sifat yang baik, dia juga baru keluar dari penjara, sekarang dia mau pergi ke bank mengambil uang katanya, entah uang siapa yang dia ambil. Konon Mamanya banyak uang, tapi hampir tiap hari didatangi oleh debt collector untuk menagih utang." Bu Mirah menjelaskan kepada para pengunjung warung sambil terkekeh, sehingga ada beberapa yang menimpali. "Oalah, masih muda kelakuannya seperti demit. Mau jadi apa dia nanti? Apa ya ada lelaki yang bakal mau menikahinya?" Ujar Bu Romlah, salah satu pengunjung warung. "Entahlah, sepertinya kelakuannya itu menurun dari ibunya. Ibunya kan juga tidak ada akhlak, buah jatuh tak jauh dari pohonnya." Ujar Bu Warni menimpali. "Semoga dia segera mendapatkan hiday
Mischa membuka laci meja di kamar Mamanya, tempat biasa Bu Rika menaruh dompet. Dan benar saja, dompet yang doa cari tergeletak di laci tersebut. Dengan penuh kegirangan, Mischa ambil dompet tersebut, di timang-timangnya karena sepertinya isinya tebal sekali. Ah, pasti ini uang, pikirnya. Namun, betapa terkejutnya dia, yang membuat tebal dompet Mamanya ternyata adalah kertas-kertas berbagai catatan hutang, yang ada beberapa diantaranya sudah lunas, namun ada juga yang belum lunas. Hanya terdapat selembar uang sepuluh ribu rupiah, itupun bentuknya sudah sangat lusuh, selisih dompet yang dia pegang. "Sialan! Di mana sih sebenernya Mama menaruh uang-uangnya?? Setelah mendapat uang 200 juta dari Om Anton itu apa sekarang sudah habis? Atau jangan-jangan dia tabung di bank?" Batin Mischa. Dalam hati Mischa, dia membenarkan dugaannya sendiri, bahwa Mamanya pasti menyimpan uang tersebut di Bank. Tidak mungkin uang sekoper yang diberikan leh Om Anton itu langsung habis. Ya, aku akan tany
Alana menutup bukunya. Pelajaran bersama Dosen Aris memang mampu memeras otak. Sepertinya membeli es teh harga tiga ribuan mampu mendinginkan otaknya yang kemebul."Alana," Tiba-tiba Pak Aris memanggilnya. Membuat Alana menghentikan langkah, dan menghampiri dosen tersebut."Iya, Pak Aris. Ada apa?" Tanya Alana."Begini, aku ada tawaran job untuk kamu. Kamu mau tidak mengajar di bimbel milik saya? Untuk jadwalnya bisa sepulang dari kampus. Kalau dari sini jaraknya sekitar 4 kilometer. Kalau bawa motor sendiri lebih cepet."Bagai tersiram air pegunungan di gurun Sahara. Tawaran dari Pak Aris itu seperti jawaban atas do'anya semalam."Daripada keluyuran tidak jelas kan mending ngajar di bimbel saja, dapet duit, jadi tidak ngandelin kiriman ortu dari kampung. Gimana, mau tidak?"[Ya Alloh, ternyata Allah memay benar-benar Maha Baik. Disaat membutuhkan, dia datang membawa pertolongannya.]"Gimana, mau nggak? Malah bengong kayak sapi ompong?" Tanya Pak Aris yang memperhatikan ekspresi Alana
"Tidak apa-apa. Aku mau pindah kerja saja di tempat yang lebih nyaman. Kamu ada info lowongan nggak?" Tanya Alana. "Mana tahu aku hal-hal begituan. Kamu mau kerja lagi?" Tanya Nata. Alana menghela nafasnya. Lalu menghembuskannya lagi. "Kalau aku tidak kerja, nanti kebutuhanku mau di penuhi oleh siapa?" Ujar Lana, dengan tatapan mata kosong."Maaf, kalau boleh tahu, memang Bapak Ibumu kemana?" Nata yang seketika langsung paham dengan kondisi Alana, bertanya dengan hati-hati. "Sudah nggak ada. Aku bisa kuliah juga karena dapat beasiswa. Sedangkan untuk kebutuhan sehari-hari, aku harus kerja juga, kan? Makanya aku harus segera mendapatkan pekerjaan lagi kalau masih pengen hidup." Cerita Alana. Nata mengangguk tanda paham. "Maaf, Alana. Aku kira selama ini kamu bilang kalau yang antar jemput kamu itu adalah majikanmu, aku tidak percaya. Lagian mana ada sih majikan mau mengantar jemput karyawannya. Baru kali ini saja sepertinya di muka bumi ini. Aku kira dia itu kakakmu." Ujar Nata.