Bara terpekur dihadapan Papanya yang kini terbujur kaku tak bernyawa. Dibelakangnya terdapat para istri Om Anton kecuali Mamanya. Mereka itu adalah istri siri semua. Dan mama lah satu-satunya istri sah. Namun karena penyakit lumpuhnya, Mama tidak bisa hadir di kematian suaminya ini. "Maaf, Tuan. Jenazah Om Anton akan kita kebumikan sekarang." Ujar salah seorang petugas pemakaman. Bara mengangguk. Dia lalu berdiri dan menyilakan para petugas itu mengangkat Papanya. Hatinya tergugu, perasaannya campur aduk. Papanya meninggal karena ulahnya yang berusaha menggagalkan pernikahannya dengan seorang gadis belia. Dia memang membenci papa, namun dia tidak ingin Papa meninggal dalam waktu ini.Sambil berjalan menuju ke mobil yang akan membawanya menuju ke peristirahatan terakhir sang Papa, diperhatikannya para istri siri Om Anton yang jumlahnya ada 3 itu. Mereka semua perempuan muda berusia sekitar tiga puluh tahunan, penampilan mereka semua modis-modis. Begitu jauh sekali dengan kondisi Mam
"Hah, panjang umur akhirnya kamu datang juga. Kamar ini mau ditempati oleh orang lain. Perempuan tidak jelas seperti kamu tidak pantas tinggal di sini. Bikin citra buruk kontrakanku saja! Sekarang pergilah, bawa semua barang-barangmu!" Seru Bu Dewi sambil menunjuk kearah jalan. Barang-barang itu dilempar dan berserakan begitu saja di kaki Alana. Ingin sekali Alana membalasnya dengan kemarahan, namun dia tidak punya hak apapun terhadap ibu kost, dia jauh lebih berkuasa di sini. "Baiklah, Bu. Aku akan pergi tapi tolong kembalikan uang yang saya bayarkan kemarin." Ujar Alana dengan tegas. "Nih! Sudah sana pergi!" Ibu Dewi melempar uang sejumlah yang dibayarkan Alana kemarin, cara melemparnya pun tidak sopan sekali. Alana hanya bisa menarik nafas dalam, setelah itu dia punguti uang tersebut dengan perasaan campur aduk. Pergi membawa ransel yang penuh dan berat, langkahnya tertatih dibawah sinar matahari yang begitu terik menyengat, ditambah lagi dengan kondisi kakinya yang masih bel
Seketika seluruh tubuh Alana membeku, menatap sosok di hadapannya yang tersenyum penuh arti. "Ka-kamu...?"Orang di hadapannya tersenyum smirk. Sambil menyeruput es teh, matanya menatap ke arah Alana. "Iya, eyke kenapa, harusnya eyke yang bertanya sama elu, kenapa kabur pas dinikahin kakek-kakek tajir. Hahahaa malah minggat. Jam segini masih keluyuran ntar ditangkep arwahnya Om Anton baru nyaho luh." Ujar si Jaka alias Jessica dengan tangan melambai. "Arwah Om Anton? Maksudmu?" Alana tidak paham dengan perkataan banci kaleng itu. "Iyeu Arwah Om Anton gentayangan nyariin elu, gara-gara elu dia sekarang metong, jasadnya udah di makan cacing, hiiiy...." Ucap Jessica dengan mimik muka jijik. "Ja-jadi orang tua itu udah mati?" Pekik Alana. "Iyey Alana sayaang, gara-gara elu tuh. Hati-hati aja cynnn, ntar elu dicariin polisi buat dimintain pertanggungjawaban kematian Om Anton, hahahaa..." Si cewek jadi-jadian itu ngakak garing. "Aku tidak takut." Jawab Alana ketus. "Iya iyaaa, berca
"Sini lu!" Seru Jessica.Alana berjalan mendekati juragannya."Lu ngerti gak sih, pengering ini kalau kena kulit rasanya pansos, kulit bisa melepuh dan sakyiit, kerja yang bener cyn, jangan sampai eyke kapok menolong elu, mempekerjakan elu, ngerti?!" Nasihat Jessica."Maaf, Jes. Tadi kak Mischa memang sengaja menyuruhku untuk segera mengambilkan katalog. Padahal rambutnya belum selesai aku keringkan, tapi dia memaksa terus supaya aku cepetan mengambil katalog ini." Alana tidak Terima disalahkan, karena ini memang Mischa sendiri yang menyuruh."Tapi naruh pengeringnya gak di pinggiran begini, elu udah eyke training berkali-kali kagak juga ngerti, ciiih...." Ujar si banci kaleng sambil melambaikan tangannya dengan kemayu."Pegawai keras kepala, susah diberi pengertian begini kenapa kamu pertahankan sih, Jess. Kayak gak bisa cari pegawai saja kamu?" Mischa semakin mengompori Jessica."Kalau aku jadi kamu, pasti langsung kupecat. Di luar sana masih banyak orang yang butuh pekerjaan, dan p
"Kak Lana, kakak mau pergi kemana? Apakah sudah ada tujuan?" Gadis berambut panjang itu bertanya sambil nafasnya terengah-engah. "Mau cari kost, kamu siapa?" Alana heran, ada orang asing yang mengenalnya di kota yang baru seminggu dia singgahi. "Aku yang tadi antre di salon Jessica. Aku tadi lihat dengan mataku sendiri bahwa orang tadi sengaja menjatuhkan hairdryer mengenai tangannya. Maaf, Kak, aku tidak bisa membela kakak tadi," Gadis itu menunduk. Alana terkejut mendengar penuturan gadis tersebut, namun sejurus kemudian dia tersenyum. "Iya, mungkin memang rejeki aku bukan di situ." Jawab Alana."Berarti kakak sudah tidak bekerja di salon Jessica lagi ya?"Alana menggeleng, lalu tersenyum dan memalingkan muka, karena tidak ingin memperlihatkan raut kesedihannya. Jika harus mencari kost, dia harus mencari yang sesuai dengan budget yang dia miliki, sedangkan uang di dompetnya sudah semakin menipis. Alana mengira bahwa kuliah dengan beasiswa penuh itu sudah tidak perlu bayar ini i
Namun Alana dengan cepat segera menguasai dirinya. "Syukurlah, Tante. Kalau sudah dapat perawat buat ibunya Tante. Kalau begitu Alana pamit dulu." Ujar Alana. "Mau pamit kemana? Bukankah ini sudah malam?" Oh, ternyata selain cantik, perempuan itu juga memiliki rasa simpatik. Alana kebingungan, dia memang tidak tahu harus kemana lagi. Namun bagaimana caranya mencari alasan agar di ijinkan menginap di rumah ini barang semalam saja?"Emmm....""Kamu boleh tetap bekerja di sini. Mulai besok bantu-bantu Bibik Indah dan Bibik Sari bersih-bersih dan masak. Sekarang karena sudah malam, sebaiknya kamu membersihkan diri dan beristirahat.""Terimakasih, Tante. Tapi...." Alana bingung, haruskah posisinya yang masih menjadi seorang mahasiswi ini diberitahukan? Apa tidak ngelunjak namanya, jika sudah dikasih pekerjaan, masih minta kompensasi waktu untuk kuliah? "Tapi apa?" Si Tante cantik bertanya kepada Alana. Ramah sekali dia, ah, pasti ibunya juga ramah seperti dia. Bukankah buah jatuh tak j
"Mbak Kiran kenapa sih mempekerjakan gadis itu? Dia bukan gadis yang bener, Mbak!" Bara mengungkapkan kemarahannya kepada kakaknya. "Kamu bisa menyimpulkan darimana kalau dia gadis yang tidak benar? Kamu tidak tahu kan bagaimana perjuangannya bisa bekerja demi membiayai hidupnya agar tetap bisa kuliah," Kirana malah terkekeh mendengar pengaduan adiknya. "Dia itu...." Belum sempat Bara melanjutkan bicaranya, sudah dipotong oleh Kirana yang menyilakan masuk Bibi Rindi, selaku perawat Bu Yulia. "Masuk, Bi Rindi," Ujar Kirana, Bibi Rindipun memasuki ruangan Kirana."Den Ayu Kirana, sebelumnya saya minta maaf kalau saya sudah lancang dan tidak tahu diri, tapi ini satu-satunya pilihan. Emm kalau saya merawat Nyonya Yulia hanya sampai sore saja bagaimana, soalnya malam saya juga harus merawat ibu saya yang juga sakit." Bibik Rindi mengucapkan sambil menunduk takut. "Loh, Ibunya Bik Rindi memangnya sakit apa?" Tanya Kirana, raut mukanya tampak khawatir."Ibu sakit stroke, dia juga lumpuh
Hampir saja nampan yang dibawanya jatuh. Saking asyiknya melihat profil Mischa yang ada di situ, sampai tidak sadar kalau dia sedang berada di kamar milik kulkas 4 pintu. "Ng... Ngantar kopi, Tuan." Jawab Alana dengan sopan. "Kalau cuma sekedar mengantarkan kopi tidak usah kepo dengan pekerjaan saya. Jadi ART jangan lancang! ART tugasnya hanya membantu pekerjaan masak dan bersih-bersih. Kamu tahu kode etik ART kan? Sudah dijelaskan sama kepala ART di sini kan bagaimana cara berperilaku yang baik selama bekerja di sini?" Rentetan kemarahan itu meluncur lancar sekali dari mulut si kulkas empat pintu. Sedangkan Alana yang ketangkap basah berlaku salah, hanya menunduk, tidak berani menatap anak majikannya yang angkuh itu. "Maaf, Tuan. Lain kali tidak akan saya ulangi lagi," Ujar Alana dengan wajah yang masih tertunduk. "Sudah, sana pergi!" Usir Bara. Alana segera keluar dari ruangan yang sudah membuatnya membeku sejenak tersebut. Selepas dari ruangan bernuansa hitam itu, kelegaan me
Satu tahun telah berlalu. Alana dan teman-temannya sudah menyelesaikan program pertukaran mahasiswa yang ditugaskan kepada mereka. Banyak sekali ilmu-ilmu yang diraih selama berada di negri Singapura. Tentang bagaimana suasana belajar di sana, dan juga kehidupan sehari-harinya. Banyak bertemu dengan orang baru, banyak berkenalan dan tukar pikiran dengan orang-orang dari berbagai penjuru dunia, membuat Alana semakin melek dengan keadaan. Membuat pikirannya semakin terbuka, bahwa ternyata dunia itu sangat luas, ternyata diluar sana banyak orang yang memiliki toleransi begitu tinggi, ternyata dirinya bisa diterima oleh dunia, ternyata banyak yang bersikap ramah terhadapnya, ternyata di luar sana. dirinya begitu dihargai. Sangat bertolak belakang dengan kehidupannya sebelumnya, yang mana terlalu banyak sisi kelam yang dia lalui, sehingga sempat membuatnya ingin bunuh diri karena dunia yang tidak ramah padanya. "Ah, seandainya aku tidak nekat melarikan diri kala itu, mungkin hidupku han
" Barang-barangmu sudah kebawa semua?" Nata bertanya memastikan bahwa koper Alana sudah terisi semua barang yang seharusnya dia bawa. "Sudah masuk koper semua, Nat." Jawab Lana. " Kamu tidak ingin berpamitan dengan siapapun?" Tanya Nata lagi. "Nanti aku pamitan sama kamu, kalau pesawatnya sudah datang." "Orang lain, ehm... Kak Bara misalnya?" Nata mencoba menggoda Alana. "Aku tidak memiliki siapa-siapa lagi," Alana menjawab dengan getir. "Maaf, aku cuma bercanda. Dah yuk, kita berangkat sekarang. Takut ketinggalan pesawat." Ujar Nata. Mereka keluar dari kontrakan Lana. Lana tidak lupa mengunci dan menyerahkan kuncinya pada ibu kost. "Semoga ilmu yang kamu dapatkan dari negri seberang berkah ya, Alana. Kalau akan kembali nanti, hubungi Ibu lagi saja. Ibu carikan kamar buat kamu." Ujar Ibu kost tatkala Alana berpamitan akan ke luar negri, guna mengikuti program pertukaran mahasiswa. "Amin. Terima kasih, Bu." Jawab Alana. Nata dan Alana lalu menuju ke mobil milik Nata yang sed
"Ini warungnya?" Tanya Nata. "Ya." Alana lalu turun dari atas motor Nata. Setelah itu melepas helm yang dikenakannya. Mereka berdua lalu memasuki warung yang selalu ramai pembeli tersebut. Mata Alana lalu menangkap sosok tua pemilik warung yang selama ini berjasa padanya. Dia berniat untuk mendatangi Bu Mirah, sang pemilik warung. Namun niat itu dia urungkan, Bu Mirah tampak sibuk melayani orang yang hendak membayar makanan yang dijualnya. "Sepertinya enak-enak semua ya, menunya." Ujar Nata sambil melihat berbagai macam lauk yang berderet rapi di balik meja etalase. "Iya, enak kok. Apalagi kalau lagi lapar begini." Jawab Lana. "Yang paling enak yang mana?" Bisik Nata lagi. "Itu tuh, ayam kecapnya enak, manis, gurih. Tapi tergantung selera sih." Jawab Lana. Tiba-tiba ingatannya berputar pada beberapa bulan lalu, saat dia masih bekerja di sini. Hampir setiap hari sebelum pulang, Bu Mirah menyuruhnya makan terlebih dahulu. Dan melarang membawa pulang makanan seperti pekerja lain.
"Sory, aku tidak mau!" Jawab Mischa dengan cepat dan lantang. "Kamu harus mau! Jika tidak, maka kamu akan kuteriaki habis mencuri di warungku!" Ancam Bu Mirah. Karena diancam seperti itu, Mischa jadi takut, sepertinya orang tua dihadapannya ini memang suka nekat. Galaknya setengah mati. Bikin nyalinya menciut. Mischa mau tidak mau berjalan masuk ke warung Bu Mirah, sesampainya di dalam dia dihadang oleh tatapan para karyawan orang tua tersebut dengan tatapan heran. Semua karyawannya pasti sudah tahu Mischa dan juga wataknya yang sombong serta tidak tahu sopan santun. Apalagi mereka semua masih ingat akan kejadian kemarin dimana Mischa dengan mulut besarnya membuat keributan di warung ini. Namun hari ini anehnya dia tampak begitu tunduk terhadap Bu Mirah. "Bik Yem, ini aku carikan tukang cuci piring baru, Bibik hari ini mending bantu saya njualin di depan saja." Ujar BU Mirah sambil melirik ke arah Mischa. Bik Yem tentu saja kaget. Dia yang biasa bekerja dengan gesit mencuci semu
Untuk sesaat, Mischa kembali dibuat semakin terkejut. Bagaimana bisa hutang mamanya tidak dibayarkan selama setahun? Bukankah mamanya habis menerima uang 200 juta? Ah, petugas bank ini pasti mengada-ada. Dia pasti mau mencari keuntungan sendiri dengan meminta tagihan kesini. Pagi-pagi sudah mau cari ribut rupanya. Tidak sadar dia dengan siapa berhadapan? "Heh! Yang benar saja kamu mau menyita rumah ini?? Mamaku pasti sudah melunasinya, dia habis mendapatkan uang 200 juta. Kamu mau cari gara-gara? Mau ambil keuntungan sendiri, kan?? Hayo ngaku!!" Hardik Mischa. Petugas itu tidak bereaksi sama sekali dengan kemarahan Mischa, wajah mereka tetap saja datar, dan kemudian menunjukkan surat penyitaan kepada Mischa, surat tersebut berstempel dan bertanda tangan resmi dari bank BNK. "Ini kalau tidak percaya. Sebaiknya Nona segera mengosongkan isi rumah ini, dan pergi sekarang juga. Karena rumah ini sudah kami lelang." Jawab Petugas itu, tidak gentar sedikitpun dengan hardikan Mischa. Lagian
Selepas Mischa pergi dari warung, semua menghela nafas lega, Bu Mirah meminta maaf kepada semua pengunjung atas ketidak nyamanan mereka makan di warung hari ini, akibat ulah si mantan napi yang tidak dididik dengan baik oleh orang tuanya. "Maaf ya semuanya, dia memang gadis yang tidak memiliki sifat yang baik, dia juga baru keluar dari penjara, sekarang dia mau pergi ke bank mengambil uang katanya, entah uang siapa yang dia ambil. Konon Mamanya banyak uang, tapi hampir tiap hari didatangi oleh debt collector untuk menagih utang." Bu Mirah menjelaskan kepada para pengunjung warung sambil terkekeh, sehingga ada beberapa yang menimpali. "Oalah, masih muda kelakuannya seperti demit. Mau jadi apa dia nanti? Apa ya ada lelaki yang bakal mau menikahinya?" Ujar Bu Romlah, salah satu pengunjung warung. "Entahlah, sepertinya kelakuannya itu menurun dari ibunya. Ibunya kan juga tidak ada akhlak, buah jatuh tak jauh dari pohonnya." Ujar Bu Warni menimpali. "Semoga dia segera mendapatkan hiday
Mischa membuka laci meja di kamar Mamanya, tempat biasa Bu Rika menaruh dompet. Dan benar saja, dompet yang doa cari tergeletak di laci tersebut. Dengan penuh kegirangan, Mischa ambil dompet tersebut, di timang-timangnya karena sepertinya isinya tebal sekali. Ah, pasti ini uang, pikirnya. Namun, betapa terkejutnya dia, yang membuat tebal dompet Mamanya ternyata adalah kertas-kertas berbagai catatan hutang, yang ada beberapa diantaranya sudah lunas, namun ada juga yang belum lunas. Hanya terdapat selembar uang sepuluh ribu rupiah, itupun bentuknya sudah sangat lusuh, selisih dompet yang dia pegang. "Sialan! Di mana sih sebenernya Mama menaruh uang-uangnya?? Setelah mendapat uang 200 juta dari Om Anton itu apa sekarang sudah habis? Atau jangan-jangan dia tabung di bank?" Batin Mischa. Dalam hati Mischa, dia membenarkan dugaannya sendiri, bahwa Mamanya pasti menyimpan uang tersebut di Bank. Tidak mungkin uang sekoper yang diberikan leh Om Anton itu langsung habis. Ya, aku akan tany
Alana menutup bukunya. Pelajaran bersama Dosen Aris memang mampu memeras otak. Sepertinya membeli es teh harga tiga ribuan mampu mendinginkan otaknya yang kemebul."Alana," Tiba-tiba Pak Aris memanggilnya. Membuat Alana menghentikan langkah, dan menghampiri dosen tersebut."Iya, Pak Aris. Ada apa?" Tanya Alana."Begini, aku ada tawaran job untuk kamu. Kamu mau tidak mengajar di bimbel milik saya? Untuk jadwalnya bisa sepulang dari kampus. Kalau dari sini jaraknya sekitar 4 kilometer. Kalau bawa motor sendiri lebih cepet."Bagai tersiram air pegunungan di gurun Sahara. Tawaran dari Pak Aris itu seperti jawaban atas do'anya semalam."Daripada keluyuran tidak jelas kan mending ngajar di bimbel saja, dapet duit, jadi tidak ngandelin kiriman ortu dari kampung. Gimana, mau tidak?"[Ya Alloh, ternyata Allah memay benar-benar Maha Baik. Disaat membutuhkan, dia datang membawa pertolongannya.]"Gimana, mau nggak? Malah bengong kayak sapi ompong?" Tanya Pak Aris yang memperhatikan ekspresi Alana
"Tidak apa-apa. Aku mau pindah kerja saja di tempat yang lebih nyaman. Kamu ada info lowongan nggak?" Tanya Alana. "Mana tahu aku hal-hal begituan. Kamu mau kerja lagi?" Tanya Nata. Alana menghela nafasnya. Lalu menghembuskannya lagi. "Kalau aku tidak kerja, nanti kebutuhanku mau di penuhi oleh siapa?" Ujar Lana, dengan tatapan mata kosong."Maaf, kalau boleh tahu, memang Bapak Ibumu kemana?" Nata yang seketika langsung paham dengan kondisi Alana, bertanya dengan hati-hati. "Sudah nggak ada. Aku bisa kuliah juga karena dapat beasiswa. Sedangkan untuk kebutuhan sehari-hari, aku harus kerja juga, kan? Makanya aku harus segera mendapatkan pekerjaan lagi kalau masih pengen hidup." Cerita Alana. Nata mengangguk tanda paham. "Maaf, Alana. Aku kira selama ini kamu bilang kalau yang antar jemput kamu itu adalah majikanmu, aku tidak percaya. Lagian mana ada sih majikan mau mengantar jemput karyawannya. Baru kali ini saja sepertinya di muka bumi ini. Aku kira dia itu kakakmu." Ujar Nata.