Aku menggeleng keras. "Ga bisa, ga bisa ...."
Tristian menatapku. "Kenapa ga bisa? Bisa lah!"
"No ... no!!" Aku kembali menggeleng. Mataku menatap tajam ke arah pria itu. "Kamu sengaja kan?"
Dia menaikkan alisnya, membuatku semakin yakin kalau dia memang sengaja hanya memesan satu kamar untuk kami menginap malam ini.
"Aku bakal tanya langsung ke resepsionisnya." Tanpa menunggu jawabannya aku melangkah keluar kamar dan berjalan ke arah lobby resort mewah ini. Suasana temaram tapi obor-obor disepanjang jalan menuju kesana menerangi langkahku.
Aku tersenyum masam pada seorang perempuan muda yang berdiri di balik meja resepsionis.
"Mm ... mba maaf, saya mau tanya." Aku merasa canggung tapi daripada aku penasaran.
"Iya, Bu, ada yang bisa saya bantu?" Perempuan itu tersenyum ramah.
"Mm, itu ... ka-kamarnya memang ga ada lagi ya? Kalau ada saya mau pesan tipe lain."
"Kebetulan untuk tipe yan
Boleh ya, Tuhan?
Aku tidak menolak saat Tristian mengangkat kepalaku lalu mengecup bibirku. Ini pertama kali bibir kami bersentuhan dan aku mengerjap canggung. Aku belum pernah dicium seorang pria pun di bibir sepanjang umurku.Tristian mengambil jarak satu jengkal, kemudian dia mendekap bahuku dan kembali meleburkan bibir kami berdua. Awalnya hanya kecupan, aku mulai terengah dan dia dengan berani menciumku lebih dalam. Aku memejamkan mata, melingkarkan tanganku ke lehernya. Aku mulai mempelajari cara Tristian menciumku dan membalas dengan cara yang sama.Kami sama-sama terengah saat muncul keinginan lain terasa begitu kentara. Tangan Tristian yang bertengger di pinggangku mulai berani mengusap turun ke bokongku dan meremasnya. Aku merasa aneh, aku ingin melakukan hal yang sama tapi pantas atau tidak? Akhirnya aku menurunkan tanganku ke punggungnya dan mengusapnya pelan. Lalu berputar ke depan, rasa penasaran pada otot dadanya ku salurkan, keras, kokoh tapi nyaman untuk bersandar.
Jawab jujur, pernah tidak kalian merasa ingin punya ilmu meringankan diri agar bisa kabur dari situasi yang canggung? Nah, itu yang sedang aku harapkan sekarang. Aku sedang berupaya menggeser tubuhku senti demi senti yang padahal tidak ringan sama sekali, tidak membuat gerakan apapun yang bisa membuat pria di sampingku ini membuka matanya secara tiba-tiba.Rasa malu seolah menguar di seluruh ruangan ini, menguasai benakku yang entah berapa jam lalu kehilangan rasa itu, dikalahkan oleh napsu primitif pada sosok pria yang sudah dengan sukarela ku serahkan kegadisanku.Sedikit gerakan dari tubuhnya saja membuatku langsung membeku, lampu masih menyala terang, aku tidak ingin dia melihat tubuhku yang telanjang tak berbentuk. Astaga ... apa yang aku pikirkan tadi?Rasa perih membuatku meringis saat aku akhirnya berhasil menepi dan berjongkok, Tristian masih memejamkan matanya. Pengalaman pertama yang sedikit menyakitkan, tapi membuatku merasa aneh saat kami ... apa istilahnya? Menyatu? Aaar
Aku terus menguap sepanjang siang, kami sudah kembali ke Bali dua jam lalu dan langsung bergabung dengan yang lain. Anehnya tidak ada yang menatap aneh pada kami berdua.Tubuhku terasa remuk, intiku terasa pegal dan aku merasa aneh saat berjalan.Tristian terus-terusan tersenyum seperti orang gila, terbalik dengan situasiku, pria itu terlihat bugar, padahal kami baru tidur saat ayam-ayam mulai berkokok. Dia sangat bersemangat, membuatku kadang tak bisa menahan rasa malu saat dia menatapku penuh arti."Capek ya Greet?" tanya mba Silvy di sela istirahat kami.Aku mengangguk, memang itu yang aku rasakan."Semalam tidur sama Pak Tian?"Aku cukup kaget, apa maksud pertanyaan mba Silvy?"Ho-hotelnya mahal-mahal mb .a.." jawabku kikuk, dengan harapan dia tidak akan lebih penasaran.Dia mendesah singkat. "Iyalah ... Penida! Lagian Pak Tian mana mau tidur di losmen backpackeran atau rumah penduduk.. Yah, mending lah Greet, daripada kita bayar sendiri kan!" cerocosnya.Aku mengangguk. Kemudian
Aku terdiam menatap hadiah yang tadi mba Luna berikan saat dia menjemput kami di bandara. Sebuah gelang emas yang sama dengan yang dikenakan mba Luna di pergelangan tangan kirinya, membuatku diliputi rasa bersalah dengan apa yang sudah aku lalui bersama Tristian. Aku memang tidak tahu bagaimana hubungan mereka tapi itu yang aku rasakan saat ini.Aku lebih banyak diam dan menanggapi obrolan dengan singkat saat di jalan tadi mba Luna bicara panjang lebar, dia ingin mengajakku keluar makan untuk merayakan ulang tahunku tapi aku menolaknya dengan halus dengan alasan kelelahan, Tristian juga mendukung perkataanku, besok kami libur dua hari, senin baru masuk lagi. Untung mba Luna percaya dan menyarankan kami untuk beristirahat.Aku menghela napas untuk kesekian kalinya. Apa yang harus aku lakukan nanti saat kembali bertemu mereka? Lalu bagaimana dengan Tristian? Apakah aku harus menanyakan perihal hubungan kami?Aku meraih kunci apartemen yang pria itu berikan, kembali menghela napas. Apa m
Aku berusaha berpikir apa yang harus kulakukan. Aku mendengar erangan pelan Tristian. Pelan-pelan aku memejamkan mata dan mengatur napasku. Aku harus menguasai diri. Jangan panik Greet, jangan panik!Ketika aku sudah mulai tenang. Aku membalikan badannya dan membenarkan posisi tidurnya. Aku mencari handuk untuk mengelap keringat yang membasahi tubuhnya dan baju baru yang kering. Aku membuka setiap bagian lemarinya karena aku tidak tahu dimana letak pakaiannya. Setelah berhasil mendapatkan apa yang aku perlu, aku segera kembali ke Tristian yang terlihat pucat, lemah tak berdaya. Aku merasa cemas, sedikitpun dia tidak membuka matanya.Aku membuka bajunya yang basah dengan sedikit susah payah dan segera mengelap seluruh badannya. Setelah itu, aku memasangkan baju baru. Lalu aku berjalan keluar kamar dan mencari-cari tempat obat. Aku melihat ada laci yang berada dalam keadaan setengah terbuka di bagian bawah kitchen set bernuansa hitam itu. Untunglah dengan mudah aku menemukan banyak maca
Aku menggeliat saat merasakan usapan pelan di pipiku. Mataku terpejam ingin kembali tidur, tapi kemudian kecupan-kecupan ringan membuat kantukku hilang dan membuka mata."Hai ..." sapanya.Aku tersenyum. "Hai ..." Suaraku serak. Lalu aku teringat dengan kondisi semalam dan langsung menyentuh dahinya. Aku bernapas lega saat merasakan suhunya sudah normal, sama hangatnya denganku."Udah enakan?" tanyaku.Dia mengangguk. "Masih pusing sedikit pas bangun ke kamar mandi tadi, tapi better.""Kenapa ga bangunin aku? Aku bisa anterin kamu."Dia tersenyum lalu mengecup hidungku. Dia menarikku masuk ke pelukannya. "Maaf aku ngerepotin kamu."Aku menggeleng. "Aku khawatir banget .... Kenapa ga kabarin sih?""Hmm ... aku tepar banget kemarin itu, aku pikir cuma kurang tidur aja, tapi aku ga sanggup bangun pas paginya, kepalaku muter ga karuan.""Kamu kecapekan itu." sahutku."Iya, pas ke Bali ada yang kuras tenagaku."Aku terdiam sejenak lalu mengerti maksud perkataan pria itu dan mencubit perutn
Dadaku berdebar seolah sedang bersiap untuk mencuri. Aku menarik napas dalam berkali-kali, sambil terus melirik ke arah tiga orang lainnya. Aku meyakinkan diri agar dapat menekan tombol dengan cepat tanpa ada yang tahu.Tanganku terangkat, aku baru menekan satu panel angka saat pintu terbuka dari dalam membuat jantungku melompat. Wajah Tristian terlihat membuat aku bernapas lega."Tian ..." Mba Luna melewatiku menyapa pria itu. Kami bertiga mengekor di belakang. Aku lebih banyak diam daripada yang lain. Mba Luna, mas Andreas dan Leon banyak bertanya pada Tristian.Pria itu terlihat lebih segar, dia sering melirik dan tersenyum. Aku sedikit kurang nyaman saat melihat interaksi Tristian dan mba Luna. Tidak ada perlakuan khusus dari Tristian tapi mba Luna seolah sudah sering kemari, dia menyiapkan makanan untuk pria itu yang kami beli sebelum sampai kemari, lalu membuatkan teh untuk kami bertiga.Mereka berdua duduk berhadapan di meja makan kecil yang memang untuk dua orang saja, sedangk
Aku mengulum bibirku, rasanya percaya dengan apa yang dia katakan. Tapi kekhawatiran melingkupi benakku, pikiran jahat menguasai pikiranku. Rasa egois itu muncul dan aku langsung memeluk Tristian. Dia terjengkang duduk saat aku menghambur ke dada pria itu. Tapi dengan mudah dia bisa menahan tubuh kami berdua."Maaf, aku cemburu ..." bisikku.Aku dapat merasakan dia tersenyum walau wajahnya ada disamping wajahku."Maaf Bee, buat kamu cemburu. Tapi aku senang ... itu artinya kamu ...."Aku membungkam bibir Tristian dengan bibirku, tidak ingin mendengar hal yang selalu aku sadari selama bertahun ini.Dengan senang hati Tristian langsung memagut bibirku, dia mengguling tubuhku sehingga aku berbaring di lantai. Aku pun seolah tidak peduli dengan lantai keras itu, aku hanya sibuk mengalirkan perasaanku pada pria itu.Saat tangan Tristian mulai bergerilya dengan tidak sabar, aku tiba-tiba teringat tentang keadaannya."Wait ... Wait ..." Napas kami berdua tersengal. "Nanti kamu sakit lagi ...
Greet POVAku mendorong pintu tanpa peduli, meringsek masuk kedalam. Respon terkejut Laura saja membuatku semakin berpikir macam-macam."Kak Greet!!!" Perempuan muda itu menahan lenganku tapi tenagaku lebih kuat, ditambah emosiku yang meledak membuat dia oleng saat aku menyentak tanganku. Aku melangkah dan terbelalak saat melihat Tristian sedang berdiri tidak kalah terkejutnya dengan Laura saat melihatku. Dia berdiri didepan sebuah meja bundar dengan....Jordan???Sedang apa Jordan ada di sini juga??KENAPA DIA ADA DISINI???Sontak aku menutup mulut, mataku membulat, ingatanku terlempar ke kejadian dulu saat......Astaga!!!! Astaga!!!!!Aku langsung berbalik."Bee!!!"Aku berlari tidak menghiraukan suara Tristian yang memanggil namaku, mengabaikan situasi menegangkan yang entah apakah nanti akan ku sesali tapi jelas aku yakin, aku kembali masuk kedalam situasi kesalahpahaman seperti dulu.Pandanganku kabur saat mencari nomor kamar yang tadi kupesan, hanya itu tempat yang kupikirkan ag
Tristian POV"Gimana La? Udah ada hasilnya?". Tanyaku penuh harap."Belum ada Tian, aku udah ngarep banget padahal, tapi belum jelas keliatannya." Keluh Laura.Aku menghela napas "Ya udah sabar La.."Aku tidak ingin Laura merasa terbeban dengan permasalahanku, dia sudah bersedia membantu saja aku sudah merasa berterima kasih.Laura, teman dan juga salah satu arsitek dikantorku, perempuan baik tapi super bawel nan kepo. Sedikit banyak dia tahu mengenai rencanaku dan menawarkan diri untuk membantu. Kebetulan juga aku merasa kalau dia orang yang tepat untuk mewujudkan rencanaku. Rencana yang sudah lama terus mengiang di mimpiku, berniat untuk kujadikan nyata."Jangan nyerah La, aku percaya kalau udah rejekinya pasti dimudahkan. Aku sabar kok, tapi kita ga boleh berhenti berusaha ya..." Aku terkekeh pelan berusaha mencairkan suasana hati perempuan itu."Ya kesel aja, aku ga mau ngecewain kamu. Udah ngarep banget dari kemarin-kemarin dapet kabar baiknya. Dia mendengus."Hehe.. gitu aja nga
Aku tengah memasak, sebenarnya hanya menghangatkan masakan saja sih, kedua orangtua kami datang hari ini, kami berencana makan malam di apartemen kami. Tadi Tristian memesan masakan dari restoran milik Pierce, pria itu khusus memesan aneka menu istimewa. Tristian ingin merayakan keberhasilan program IVF kami, dengan kedua Mama dan Papa.Aku sedikit kewalahan saat kedua Mama datang dan langsung berebut memelukku. Mereka menangis terharu, begitu juga dengan kedua Papa yang saling berpelukan. Kami semua larut dalam kebahagiaan."Aku ambilin buah dulu di kulkas." Tristian menepuk bahuku kemudian bangkit berdiri. Aku tersenyum mengambil puding coklat saat ponsel Tristian bergetar dan menyala diatas meja.Pop-up message terlihat.📩 LauraTian!!!! Astaga Tiaaaan!!! Aku punya berita baik!!! Segera telp aku, aku udah ga sabar pengen kasih tau kamu. Please cepet hubungi aku!!! Aku udah ga sabar mau kasih tau soal rencana kita!"Aku tertegun membaca isi pesan itu. Dadaku kembali berdebar tidak
"Kamu yakin?" Tristian menatapku, duduk di meja dengan kedua tubuhnya condong ke arahku, kedua tanganku digenggam olehnya. Aku mengangguk. "Aku mau coba. Kita ga pernah tau kalau ga coba." Sahutku lirih sambil menahan rasa cemas takut Tristian menolak usulanku. Pria itu menghela napas sambil menegakkan tubuhnya. "Bee, aku udah bilang kan? Aku ga masalah kalau memang Tuhan ga kasih anak buat kita. Buat aku yang penting ada kamu dihidup aku. Kamu segalanya buat aku." Tristian menarikku berdiri dan mendekapku. Aku menggigit bibir menahan isakan. Berkali Tristian mengatakan itu, tapi aku tahu dalam hatinya pasti ada keinginan itu. Tiga tahun, entah apakah bisa di anggap waktu yang cukup atau belum untuk usaha yang kami lakukan agar mendapat momongan. Aku tahu walau Tristian sama sekali tidak pernah menuntut untuk segera memiliki anak, tapi kerinduan itu tetap menghantuiku. Anak angkatku, Pieter yang terlihat semakin lucu dan menggemaskan, tidak sepenuhnya dapat mengisi kekosonganku ak
"Selamat pagi, Bapak dan Ibu Tristian Delmar. Silahkan." Seorang petugas maskapai penerbangan menyambut kami saat kami sampai di lobby Bandara Ngurah Rai. Rasanya aku harus terbiasa dengan panggilan baruku itu.Aku menatap ke arah pria itu yang terkekeh melihat wajah heranku. Dia sebenarnya mau mengajakku kemana sih?Kedua orangtua kami tidak mengatakan apapun. Mereka juga bilangnya tidak tahu apa-apa tentang kemana Tristian akan membawaku. Mama bahkan menangis haru saat aku hendak pergi dan bilang harus segera mengabari kalau sudah sampai di negara tujuan.Seorang rekan bisnis Papa Tjandra memberikan kartu debit dengan limit 100jt sebagai hadiah pernikahan kami. Lalu ada hadiah mobil, lalu voucher department store, lalu voucher belanja. Belum lagi 'amplop' yang langsung di transfer ke rekeningku dan Tristian, entah darimana mereka tahu, aku belum mengecek siapa saja yang mengirimkan angpao itu.Wanita itu mengantar kami ke VIP lounge, menyediakan minuman dan makanan kecil lalu menyur
Aku menarik napas dan memejamkan mata saat ci Kanika, MUA professional langganan Mama Ivon sedang me'retouch wajahku. Rasanya mataku mengantuk, saat kuas ringannya menyapu bagian mata, aku serasa di usap-usap nina bobo. Sudah 5 jam sejak aku berpenampilan bak putri kerajaan. Ternyata seperti ini rasanya menjadi ratu semalam. Jadi pusat perhatian, semua mata memandang dan terpukau, seolah hanya aku satu-satunya yang bisa mereka pandang. Haha. Berlebihan sekali aku menggambarkannya.Hari ini, tepat dua minggu setelah Tristian melamarku untuk yang kesekian kalinya, kami menikah. Satu jam lalu aku dan Tristian mengikat janji seumur hidup disaksikan Pendeta dan keluarga kami. Aku menangis haru, untung makeupnya waterproof semua, aman tidak merubah wajahku seperti zombie. Hihi.Dan sekarang kami bersiap untuk pestanya. Tadi saat pemberkatan rambutku di sanggul, sekarang aku minta untuk menggerainya agar terlihat lebih santai. Ci Kanika membuatnya gelombang acak terlihat elegan tapi natural.
Tristian memutar tubuhku ke segala arah. "Kamu tadi nungguin aku pake baju ini?!" Tanpa ragu dia meraba dadaku, matanya semakin terbuka lebar meneliti bagian lainnya."Astaga Bee!! Sadar ga sih kamu kalau Jordan bisa lihat..."Aku kembali menarik kerah kemejanya, melumat bibirnya, tidak membiarkan dia bicara lagi. Sumpah aku tidak sabar agar dia berhenti bicara dan melakukan apa yang sudah semenjak kemarin terbayang di otakku.Tristian seolah ingin menahan bahuku, tapi aku malah menarik tengkuknya dan memiringkan kepalaku agar lidahku bisa masuk lebih dalam. Pria itu sedikit tercengang dengan apa yang aku lakukan, tapi lima detik kemudian Tristian membalas ciumanku.Napas kami terengah seiring ciuman yang tidak berhenti. Aku menariknya ke kamar, dia terus menyentuh tubuhku dimanapun. Aku melepas jas dan kemejanya sedikit tergesa, dia tidak melakukan apapun selain menangkup kepalaku agar ciuman kami tidak terputus.Tanganku mengarah ke ban pinggangnya membuat Tristian menahan napasnya.
Greet POV"Bee!!""BEE!!"Aku menghapus airmataku, hancur perasaanku. Tristian selingkuh! Aku tidak percaya dia bisa melakukan itu."Bee, buka pintunya! Ini aku! Kamu salah paham Bee.. tadi bukan aku yang... arggh!! Buka Bee, dengerin penjelasanku!!"Apa katanya? Salah paham? Dia kira aku bodoh tidak mengenali siluet tubuh pria itu? Memangnya dua bulan tidak bertemu membuat dia berubah begitu saja jadi gendut misalnya?Apa dia berusaha mengelabuiku? Aku tahu aku pernah berpikiran konyol kalau Tristian lebih baik mencari wanita sempurna lain, tapi aku tidak menyangka dengan cara seperti ini.Tapi aku harus tahu yang sebenarnya, emosi dan amarahku sudah memuncak. Aku mengusap airmataku yang turun lagi kemudian melangkah membuka pintu.Terlihatlah wajah pria itu yang terkejut, setengah senang setengah tidak percaya. Tapi bukan saatnya sekarang aku beramah tamah dengannya. Tanpa ragu tanganku melayang ke arah pipinya.PLAKK!!!Dadaku naik turun menahan amarah, begitu juga dengan pria di d
Tristian POVLaura menghampiri dan mengecup pipiku. "Siap!" Lalu mata wanita itu naik turun mengamati pakaianku. "Resmi banget pake bajunya, Pak!" Sindirnya.Aku tersenyum simpul. "Kamu yang kelewat sexy, mau blind date emang?" Balasku sambil menutup pintunya.Dia tergelak saat aku duduk di kursi pengemudi. "Kali aja ada yang nyangkut." Sahutnya.Aku tertawa lalu melajukan kendaraanku ke arah hotel untuk jamuan makan malam yang pastinya membosankan."Untung aku berangkat sama kamu, jadi ga bakal bosan deh nanti.." Ucapnya membuatku tercenung sesaat. Kenapa pikirannya bisa sama?Hmmm, aku harap juga demikian deh kalau dia sepikiran denganku.***Baru dua gelas scotch yang aku nikmati, setelah makan malam, kami dipersilahkan untuk menikmati pesta yang di adakan pemilik hotel mewah itu. Benar saja, aku sudah merasa bosan padahal belum dua jam aku disini. Entah mengapa aku merasa lelah dan ingin beristirahat. Laura terlihat sedang membaur, gadis itu pintar bergaul dengan yang lebih tua da