Dadaku berdebar seolah sedang bersiap untuk mencuri. Aku menarik napas dalam berkali-kali, sambil terus melirik ke arah tiga orang lainnya. Aku meyakinkan diri agar dapat menekan tombol dengan cepat tanpa ada yang tahu.Tanganku terangkat, aku baru menekan satu panel angka saat pintu terbuka dari dalam membuat jantungku melompat. Wajah Tristian terlihat membuat aku bernapas lega."Tian ..." Mba Luna melewatiku menyapa pria itu. Kami bertiga mengekor di belakang. Aku lebih banyak diam daripada yang lain. Mba Luna, mas Andreas dan Leon banyak bertanya pada Tristian.Pria itu terlihat lebih segar, dia sering melirik dan tersenyum. Aku sedikit kurang nyaman saat melihat interaksi Tristian dan mba Luna. Tidak ada perlakuan khusus dari Tristian tapi mba Luna seolah sudah sering kemari, dia menyiapkan makanan untuk pria itu yang kami beli sebelum sampai kemari, lalu membuatkan teh untuk kami bertiga.Mereka berdua duduk berhadapan di meja makan kecil yang memang untuk dua orang saja, sedangk
Aku mengulum bibirku, rasanya percaya dengan apa yang dia katakan. Tapi kekhawatiran melingkupi benakku, pikiran jahat menguasai pikiranku. Rasa egois itu muncul dan aku langsung memeluk Tristian. Dia terjengkang duduk saat aku menghambur ke dada pria itu. Tapi dengan mudah dia bisa menahan tubuh kami berdua."Maaf, aku cemburu ..." bisikku.Aku dapat merasakan dia tersenyum walau wajahnya ada disamping wajahku."Maaf Bee, buat kamu cemburu. Tapi aku senang ... itu artinya kamu ...."Aku membungkam bibir Tristian dengan bibirku, tidak ingin mendengar hal yang selalu aku sadari selama bertahun ini.Dengan senang hati Tristian langsung memagut bibirku, dia mengguling tubuhku sehingga aku berbaring di lantai. Aku pun seolah tidak peduli dengan lantai keras itu, aku hanya sibuk mengalirkan perasaanku pada pria itu.Saat tangan Tristian mulai bergerilya dengan tidak sabar, aku tiba-tiba teringat tentang keadaannya."Wait ... Wait ..." Napas kami berdua tersengal. "Nanti kamu sakit lagi ...
Flashback OnAku berjalan ke arah lapangan basket kampus, Tristian bilang dia akan main basket dengan kawan-kawannya sebelum kami pergi makan malam merayakan acara wisuda yang akan di adakan lusa. Rasanya sudah tidak sabar, ada rasa bangga menyeruak akhirnya aku bisa menyelesaikan kuliahku.Mama dan Papa bilang akan datang besok malam dari Jakarta, aku rencananya akan mengambil baju kebaya di butik langganan Mama sepulang dari dinner dengan Tristian.Aku melongok ke tengah lapangan, tidak terlihat pria itu di antara para orang yang sedang main basket. Walau suasana ramai, dengan mudah aku pasti melihatnya. Tapi dia benar-benar tidak ada. Aku mendekat ke beberapa orang yang sedang duduk, lalu dengan berani menghampiri salah satunya."Mm.. sorry, lihat Tristian ga?" tanyaku. Seorang cowok memandangku heran, matanya naik turun melihatku lalu menjawab dengan acuh sambil tersenyum mengejek."Di ruang ganti kali ..." Dia kembali berbincang dengan temannya.Ini yang sering aku alami, aku sel
Aku menutup mulutku sambil menggeleng. Mataku berkaca-kaca."Ian kayak orang gila nyariin lo setelah wisuda itu. Gw juga heran lo kayak hilang ditelan bumi. Udah setengah sédéng tuh bocah putus asa nyariin lo."Aku meremas tanganku. Informasi baru ini membuat dadaku sesak."Lo mau maafin gw kan Greet? Ian sahabat baik gw. Beberapa bulan lalu dia cerita kalau akhirnya dia ketemu lo lagi, dan gw ngerasa ... perasaan dia buat lo masih ada."Aku menggeleng, ternyata Tristian memang sungguh-sungguh saat dia bilang kalau dia menyayangiku."Greet?" Jordan terbingung dengan sikapku yang tiba-tiba tertawa tidak jelas."Dan ... gw ... haha ... astaga!! Thankyou Jordan, gw ga bakal yakin sama Tristian kalau lo ga bilang apa-apa sekarang."Jordan tersenyum. "Gw mau liat dia happy. However, dia sahabat baik gw. Gw kenal sifat dia. Kalau dia bilang dia bakal dapetin lo lagi, maka itu yang bakal dia lakuin."Aku tercengang menatapnya. "Dia bilang gitu?"Jordan mengangguk. "Apa lo ga sadar kalo dari
Suara ketukan pintu membuat aku bangun dan menggeliat."Sayang ... Ayo bangun, sudah jam delapan nih ..."Dengan enggan aku duduk, mataku terasa pegal karena menangis sepanjang malam. Aku melangkah lesu ke kamar mandi dan mencuci mukaku.Bengkak ...Mataku terlihat seperti habis di antuk tawon.Aku menghela napas tidak peduli, aku tinggal mencari alasan bila Mama atau Papa bertanya. Aku tidak melirik lagi ke arah jendela, tidak ingin berharap Tristian masih menunggu. Dia berhenti menghubungiku sejak pukul dua dini hari. Aku yakin dia menyerah dan pulang.Aku turun ke lantai bawah, sedikit heran mendengar suara Papa dan entah siapa sedang bercakap-cakap sambil sesekali tertawa.Mataku terbuka lebar tidak percaya saat aku melangkah keruang makan dan melihat orang yang duduk di depan Papa."I ... ian?"Mereka menoleh bersamaan, tapi mataku terfokus pada pria yang menyeringai lebar."Morning Greet ..."***"Jadi kalian pernah satu kampus? Kok Mama ga pernah dengar soal Tristian?" Mama meno
Aku menghela napas, mataku melirik ke arah pintu kamarnya, terkejut melihat pria itu tengah berdiri sambil menatapku. Entah berapa lama dia sudah berdiri disana. Aku mengangkat kedua gelas dan berjalan."Aku bikin kopi." sahutku tanpa menatapnya lagi lalu duduk di sofa tv-nya.Dia mengeringkan rambutnya yang basah sambil duduk di sampingku. Kami terdiam menatap tv yang tidak menyala. Aku meremas cangkir yang terasa panas itu, lalu satu tangan Tristian meraih tangan kiriku, mengaitkan jemari kami membuat aku menoleh padanya."Aku ... khawatir banget semalam. Kamu menghilang begitu aja. Greet ..." Tristian mengambil cangkirku dan meletakannya di meja. Dia meraih tanganku satu lagi, menariknya mendekati pipinya. Aku bergeser miring menghadapnya."Jordan ... Udah cerita soal apa yang kalian obrolin semalam." sambungnya."Maaf Bee ..." dia menggeleng, "Aku ga tau kalau ... Aku udah bikin salah paham dan nyakitin kamu."Aku menggigit bibirku, padahal aku yang salah karena berkesimpulan sendi
Aku menjatuhkan kedua tanganku yang tadinya bersiap memukul dia lagi. Aku merasa lemas, aku tahu kejadian itu lima puluh persen juga karena kemauanku. Tapi tetap saja mendengar dia punya rencana seolah ... aku di jebak. Aku terduduk lemas di lantai, menaruh wajahku ke pangkuan dan menunduk."Bee ... please maafin aku. Aku pasti tanggung jawab." Dia menarik tanganku sambil jongkok disebelahku.Aku terisak, bukan itu maksudku. Aku hanya kesal pada diriku sendiri karena membiarkan rasa ego dan gairah menguasai pikiranku saat itu."Itu pertama kalinya buat aku, Ian ..." Aku menyentak tangannya. Aku merasa malu, entah apa pikiran pria itu saat aku dengan mudahnya .... Aku kembali menutup wajahku dengan tangan."Bee ... hei, Bee ..." dia menariknya hingga aku menatapnya. Tristian menangkup wajahku."Itu juga pertama kalinya aku bercinta dengan ... seorang perempuan"Aku menarik cairan di hidungku. "Bohong!" ketusku.Dia tersenyum sambil menghapus airmataku dengan jarinya. "I swear to God ..
Sudah hampir satu bulan berlalu sejak aku menyandang status sebagai pacar rahasia Tristian. Kami seperti bocah SMA yang sembunyi-sembunyi menjalin hubungan dibelakang para orangtua, tapi ini bedanya aku menyembunyikan hubungan kami dari mba Luna dan orang-orang kantor.Pergi keluar kota saat kerja seperti kesempatan kami untuk berkencan, itupun tetap kucing-kucingan dari rekan kerja lainnya.Kenapa Tristian belum memutuskan untuk bilang pada mba Luna? Aku yang melarangnya, toh aku selalu tahu kok kalau Tristian sedang bertemu mba Luna, mereka tidak pernah berduaan dan selalu bertemu di tempat ramai, lagipula Tristian lebih banyak menghabiskan waktu denganku, apalagi saat weekend, kami pasti seharian ada di apartemennya.Kali ini kota tujuan kami ke pantai Pelabuhan Ratu yang terletak di kabupaten Sukabumi. Kami akan menginap selama tiga malam. Kebetulan team satu lagi akan bergabung dengan kami setelah dari Bogor, Tristian bilang sekalian mini gathering, khusus dua hari satu malam unt
Greet POVAku mendorong pintu tanpa peduli, meringsek masuk kedalam. Respon terkejut Laura saja membuatku semakin berpikir macam-macam."Kak Greet!!!" Perempuan muda itu menahan lenganku tapi tenagaku lebih kuat, ditambah emosiku yang meledak membuat dia oleng saat aku menyentak tanganku. Aku melangkah dan terbelalak saat melihat Tristian sedang berdiri tidak kalah terkejutnya dengan Laura saat melihatku. Dia berdiri didepan sebuah meja bundar dengan....Jordan???Sedang apa Jordan ada di sini juga??KENAPA DIA ADA DISINI???Sontak aku menutup mulut, mataku membulat, ingatanku terlempar ke kejadian dulu saat......Astaga!!!! Astaga!!!!!Aku langsung berbalik."Bee!!!"Aku berlari tidak menghiraukan suara Tristian yang memanggil namaku, mengabaikan situasi menegangkan yang entah apakah nanti akan ku sesali tapi jelas aku yakin, aku kembali masuk kedalam situasi kesalahpahaman seperti dulu.Pandanganku kabur saat mencari nomor kamar yang tadi kupesan, hanya itu tempat yang kupikirkan ag
Tristian POV"Gimana La? Udah ada hasilnya?". Tanyaku penuh harap."Belum ada Tian, aku udah ngarep banget padahal, tapi belum jelas keliatannya." Keluh Laura.Aku menghela napas "Ya udah sabar La.."Aku tidak ingin Laura merasa terbeban dengan permasalahanku, dia sudah bersedia membantu saja aku sudah merasa berterima kasih.Laura, teman dan juga salah satu arsitek dikantorku, perempuan baik tapi super bawel nan kepo. Sedikit banyak dia tahu mengenai rencanaku dan menawarkan diri untuk membantu. Kebetulan juga aku merasa kalau dia orang yang tepat untuk mewujudkan rencanaku. Rencana yang sudah lama terus mengiang di mimpiku, berniat untuk kujadikan nyata."Jangan nyerah La, aku percaya kalau udah rejekinya pasti dimudahkan. Aku sabar kok, tapi kita ga boleh berhenti berusaha ya..." Aku terkekeh pelan berusaha mencairkan suasana hati perempuan itu."Ya kesel aja, aku ga mau ngecewain kamu. Udah ngarep banget dari kemarin-kemarin dapet kabar baiknya. Dia mendengus."Hehe.. gitu aja nga
Aku tengah memasak, sebenarnya hanya menghangatkan masakan saja sih, kedua orangtua kami datang hari ini, kami berencana makan malam di apartemen kami. Tadi Tristian memesan masakan dari restoran milik Pierce, pria itu khusus memesan aneka menu istimewa. Tristian ingin merayakan keberhasilan program IVF kami, dengan kedua Mama dan Papa.Aku sedikit kewalahan saat kedua Mama datang dan langsung berebut memelukku. Mereka menangis terharu, begitu juga dengan kedua Papa yang saling berpelukan. Kami semua larut dalam kebahagiaan."Aku ambilin buah dulu di kulkas." Tristian menepuk bahuku kemudian bangkit berdiri. Aku tersenyum mengambil puding coklat saat ponsel Tristian bergetar dan menyala diatas meja.Pop-up message terlihat.📩 LauraTian!!!! Astaga Tiaaaan!!! Aku punya berita baik!!! Segera telp aku, aku udah ga sabar pengen kasih tau kamu. Please cepet hubungi aku!!! Aku udah ga sabar mau kasih tau soal rencana kita!"Aku tertegun membaca isi pesan itu. Dadaku kembali berdebar tidak
"Kamu yakin?" Tristian menatapku, duduk di meja dengan kedua tubuhnya condong ke arahku, kedua tanganku digenggam olehnya. Aku mengangguk. "Aku mau coba. Kita ga pernah tau kalau ga coba." Sahutku lirih sambil menahan rasa cemas takut Tristian menolak usulanku. Pria itu menghela napas sambil menegakkan tubuhnya. "Bee, aku udah bilang kan? Aku ga masalah kalau memang Tuhan ga kasih anak buat kita. Buat aku yang penting ada kamu dihidup aku. Kamu segalanya buat aku." Tristian menarikku berdiri dan mendekapku. Aku menggigit bibir menahan isakan. Berkali Tristian mengatakan itu, tapi aku tahu dalam hatinya pasti ada keinginan itu. Tiga tahun, entah apakah bisa di anggap waktu yang cukup atau belum untuk usaha yang kami lakukan agar mendapat momongan. Aku tahu walau Tristian sama sekali tidak pernah menuntut untuk segera memiliki anak, tapi kerinduan itu tetap menghantuiku. Anak angkatku, Pieter yang terlihat semakin lucu dan menggemaskan, tidak sepenuhnya dapat mengisi kekosonganku ak
"Selamat pagi, Bapak dan Ibu Tristian Delmar. Silahkan." Seorang petugas maskapai penerbangan menyambut kami saat kami sampai di lobby Bandara Ngurah Rai. Rasanya aku harus terbiasa dengan panggilan baruku itu.Aku menatap ke arah pria itu yang terkekeh melihat wajah heranku. Dia sebenarnya mau mengajakku kemana sih?Kedua orangtua kami tidak mengatakan apapun. Mereka juga bilangnya tidak tahu apa-apa tentang kemana Tristian akan membawaku. Mama bahkan menangis haru saat aku hendak pergi dan bilang harus segera mengabari kalau sudah sampai di negara tujuan.Seorang rekan bisnis Papa Tjandra memberikan kartu debit dengan limit 100jt sebagai hadiah pernikahan kami. Lalu ada hadiah mobil, lalu voucher department store, lalu voucher belanja. Belum lagi 'amplop' yang langsung di transfer ke rekeningku dan Tristian, entah darimana mereka tahu, aku belum mengecek siapa saja yang mengirimkan angpao itu.Wanita itu mengantar kami ke VIP lounge, menyediakan minuman dan makanan kecil lalu menyur
Aku menarik napas dan memejamkan mata saat ci Kanika, MUA professional langganan Mama Ivon sedang me'retouch wajahku. Rasanya mataku mengantuk, saat kuas ringannya menyapu bagian mata, aku serasa di usap-usap nina bobo. Sudah 5 jam sejak aku berpenampilan bak putri kerajaan. Ternyata seperti ini rasanya menjadi ratu semalam. Jadi pusat perhatian, semua mata memandang dan terpukau, seolah hanya aku satu-satunya yang bisa mereka pandang. Haha. Berlebihan sekali aku menggambarkannya.Hari ini, tepat dua minggu setelah Tristian melamarku untuk yang kesekian kalinya, kami menikah. Satu jam lalu aku dan Tristian mengikat janji seumur hidup disaksikan Pendeta dan keluarga kami. Aku menangis haru, untung makeupnya waterproof semua, aman tidak merubah wajahku seperti zombie. Hihi.Dan sekarang kami bersiap untuk pestanya. Tadi saat pemberkatan rambutku di sanggul, sekarang aku minta untuk menggerainya agar terlihat lebih santai. Ci Kanika membuatnya gelombang acak terlihat elegan tapi natural.
Tristian memutar tubuhku ke segala arah. "Kamu tadi nungguin aku pake baju ini?!" Tanpa ragu dia meraba dadaku, matanya semakin terbuka lebar meneliti bagian lainnya."Astaga Bee!! Sadar ga sih kamu kalau Jordan bisa lihat..."Aku kembali menarik kerah kemejanya, melumat bibirnya, tidak membiarkan dia bicara lagi. Sumpah aku tidak sabar agar dia berhenti bicara dan melakukan apa yang sudah semenjak kemarin terbayang di otakku.Tristian seolah ingin menahan bahuku, tapi aku malah menarik tengkuknya dan memiringkan kepalaku agar lidahku bisa masuk lebih dalam. Pria itu sedikit tercengang dengan apa yang aku lakukan, tapi lima detik kemudian Tristian membalas ciumanku.Napas kami terengah seiring ciuman yang tidak berhenti. Aku menariknya ke kamar, dia terus menyentuh tubuhku dimanapun. Aku melepas jas dan kemejanya sedikit tergesa, dia tidak melakukan apapun selain menangkup kepalaku agar ciuman kami tidak terputus.Tanganku mengarah ke ban pinggangnya membuat Tristian menahan napasnya.
Greet POV"Bee!!""BEE!!"Aku menghapus airmataku, hancur perasaanku. Tristian selingkuh! Aku tidak percaya dia bisa melakukan itu."Bee, buka pintunya! Ini aku! Kamu salah paham Bee.. tadi bukan aku yang... arggh!! Buka Bee, dengerin penjelasanku!!"Apa katanya? Salah paham? Dia kira aku bodoh tidak mengenali siluet tubuh pria itu? Memangnya dua bulan tidak bertemu membuat dia berubah begitu saja jadi gendut misalnya?Apa dia berusaha mengelabuiku? Aku tahu aku pernah berpikiran konyol kalau Tristian lebih baik mencari wanita sempurna lain, tapi aku tidak menyangka dengan cara seperti ini.Tapi aku harus tahu yang sebenarnya, emosi dan amarahku sudah memuncak. Aku mengusap airmataku yang turun lagi kemudian melangkah membuka pintu.Terlihatlah wajah pria itu yang terkejut, setengah senang setengah tidak percaya. Tapi bukan saatnya sekarang aku beramah tamah dengannya. Tanpa ragu tanganku melayang ke arah pipinya.PLAKK!!!Dadaku naik turun menahan amarah, begitu juga dengan pria di d
Tristian POVLaura menghampiri dan mengecup pipiku. "Siap!" Lalu mata wanita itu naik turun mengamati pakaianku. "Resmi banget pake bajunya, Pak!" Sindirnya.Aku tersenyum simpul. "Kamu yang kelewat sexy, mau blind date emang?" Balasku sambil menutup pintunya.Dia tergelak saat aku duduk di kursi pengemudi. "Kali aja ada yang nyangkut." Sahutnya.Aku tertawa lalu melajukan kendaraanku ke arah hotel untuk jamuan makan malam yang pastinya membosankan."Untung aku berangkat sama kamu, jadi ga bakal bosan deh nanti.." Ucapnya membuatku tercenung sesaat. Kenapa pikirannya bisa sama?Hmmm, aku harap juga demikian deh kalau dia sepikiran denganku.***Baru dua gelas scotch yang aku nikmati, setelah makan malam, kami dipersilahkan untuk menikmati pesta yang di adakan pemilik hotel mewah itu. Benar saja, aku sudah merasa bosan padahal belum dua jam aku disini. Entah mengapa aku merasa lelah dan ingin beristirahat. Laura terlihat sedang membaur, gadis itu pintar bergaul dengan yang lebih tua da