Sore itu, mendung menaungi langit. Mengibaskan desir angin yang menambah dingin suasana. Aku duduk di sebuah taman kecil di kotaku. Aku menunggu Rifki. Hampir setiap sore kami disini, membicarakan banyak hal. Entah apa sebutannya, kami tidak terikat hubungan tapi kedekatan kami melebihi teman.
Sudah hampir satu jam tapi dia belum datang.
“Mungkin dia nggak dateng, pulang ajalah” gumamku
Belum sempat aku melangkah tiba seseorang datang,
“Udah lama ya Nay?” Tanyanya
“Hendi? Ngapain kamu kesini?” Tanyaku heran
“Loh kan kamu yang katanya pengin ketemu” jawabnya sumringah
Aku terheran, karena aku tak merasa mengatakan seperti yang dia katakan. Aku belum sempat menjawab apapun. Aku masih mematung sampai seorang lainnya datang. Dan...PLaaaakkkk !!!
Seseorang menamparku. Lalu menarik rambutku saat aku masih meringis memegang pipi.
“Penghianaatt!!! Teman penghianat!!!” teriak wanita itu sambil tak henti” memukuliku.
“cukup meyy” ilma mencoba menghalangi mey yang terus memukul
BRAAAKK
Ilma tersungkur.“ kamu kenapa mey??” Tanyaku pelan dengan tubuh yang berusaha bangun.
“Nggak usah pura-pura, jadi ini kelakuan kamu? Didepan pura-pura baik. Ternyata malah mau ngrebut hendi lagi” jawab mey dengan raut yang sangat marah
Beberapa orang ditaman menatap. Mereka seperti disuguhkan tontonan. Beberapa ada yang merekam.
“Aku nggak tau maksud kamu Mey. Tadi aku lagi nunggu Rifki” jawabku lirih
“alaah sok polos” sahut Dini dengan tangan di silangkan di dadanya
“Nggak mungkin, aku kenal Nayra. Dia tidak seperti itu” bela ilma
“ Diam kauu, bukan urusanmu” potong mey
“Meyy ayolaahh kita bicarakan baik-baik, lagian tujuan kita ke sini kan mau jalan jalan” bujuk ilma lagi
“ Diaaammm!!!”
Mey lebih percaya pada pandangannya daripada penjelasanku.
Mey dan Hendi berlalu tanpa memperdulikan kami. Dini sedari tadi mematung menyaksikan apa yang terjadi. Kemudian pergi tanpa sepatah katapun.
Ilma memelukku. Baju kami sudah basah. Ujung bibirku terasa perih tapi semua tak seberapa dibanding rasa malu yang kami lalui karena tatapan orang di sekitar yang masih menonton.
Kami meneduh pada teras toko yang sudah tutup.
“ Sabar ya Nay, ini Cuma salah paham nanti aku coba jelasin ke mey, aku tau betul watak mey jika sudah buta karena cinta” kata-kata ilma menenangkanku
“Iya il, makasih ya”
“Sama sama”
*******
Malam ini aku tidak pulang, aku lebih memilih menginap di rumah ilma. Karena jelas mama akan khawatir melihat luka diwajahku. Ah, entah tenaga apa yang mey gunakan saat memukulku.“Aauu, sakit bu dhe” rintihku
Ibu ilma tersenyum. Wajahnya begitu teduh.
“Berteman itu memang kadang karus diwarnai keributan. Tapi, kalian malah terlihat seperti habis melawan preman” ibu ilma terkekeh
“ibu apaan sih, kita ini lagi ada salah paham” ilma cemberut
KRIIINGG !!!
Suara telephon rumah ilma terdengar nyaring. Ibu ilma segera mengangkat dan berbicara dengan orang diseberang. Ternyata ibuku yang menelphon, memastikan anak gadisnya benar benar menginap d sini.
“Tok tok tok”
Selagi ibu ilma menerima telephon ada seseorang datang. Aku cepat-cepat menuju pintu untuk membukanya.
“Bu dhe ada ta....” kataku terpotong
Aku tertunduk“Oohh dia di sini??!! Kamu nglindungin penghianat ini il?”
Mey datang masih dengan amarahnya. Ilma bingung harus menjawab apa. Karena apapun yang ia katakan tidak akan diterima oleh mey.
“Eehh mbak mey, mari masuk mbak. Biar bu dhe bikinin teh” bujuk ibu ilma ramah
“nggak perlu bu dhe, saya nggak pengin teh. Saya pengin dia pergi dari sini. Apa bu dhe bisa mengeluarkannya dari rumah bu dhe?” tanya mey dengan nada sombong
“Maaf mbak mey, tapi ini sudah malam. Nay pasti besok pagi pulang kok” ibu ilma tetap membujuk
“Tadinya aku ke sini disuruh papa buat ngasih ini, uang buat biaya sekolah ilma. Tapi aku pikir, nggak perlu mengasihani penghianat” ketusnya lagi
“Saya lebih memilih tidak menerima uang itu daripada harus mengusir sahabatku sendiri, kamu harusnya buka mata kamu siapa penyebab semua ini” ilma mulai naik pitam.
“Sombong sekali” gumam mey
“il, nggak papa saya pulang aja ya, mumpung belum terlalu larut juga kan” aku terenyuh
“Tapi nak...”kata kata ibu ilma terhenti.
Seketika tanganku menyambar amplop yang sedari tadi Mey pegang. Menggenggamkannya pada tangan ibu ilma. Aku sontak berlari, melewati pintu yang sedari tadi menganga. Seperti memepersilahkanku pergi. Hujan ini terasa lebih dingin dari biasanya. Sesekali kilatan cahaya mengagetkan. Aku berlari semampuku menjauh dari apa yang bisa ku hindari.“Nayraaa...Naayyy”
Dari jauh terdengar suara yang aku kenal. Ilma mengejarku, tapi langkahku jauh lebih cepat darinya. Aku berlari tanpa tujuan air mataku sudah deras. Entah kemana lagi aku meneduhkan badan. Tidak mungkin aku pulang dengan keadaan basah dan pipi yaang terluka. Aku jongkok meringkuk di tepi jalan.
“Naaayy?” tanya seseorang lirih
Aku mendongak“Naayy kamu kenapa?” tanyanya lebih keras.
Ia lantas membuka jaketnya memakaikannya padaku.“Nay, pliis cerita. Kamu kenapa?” tanyanya lagi
Aku memeluknya tanpa menjelaskan apapun.*****
“Makasih ya ki, udah nganterin Nayra pulang. Maaf jaketmu jadi basah dipake Nayra”
“Nggak papa kok tante. Maaf ya saya nggak bisa jagain Nayra” jawab Rifki
Rifki pulang dengan jaket yang basah karena ku kenakan tadi. Untunglah dia menemukanku. Dan mengantar pulang, pastilah negosiasi yang alot karena awalnya aku enggan ke rumah. Walaupun masih ada yang mengganjal. Kenapa dia tak menemuiku sore ini? Apa dia sengaja agar aku seperti ini? Atau dia ada kepentingan lain? Lalu, kenapa stidak memberitahu?
Ah! Terlalu banyak pertanyaan hingga aku tak tau mana yang harus aku tanyakan.
“aaww sakit bu” aku merajuk saat ibu memebersihkan luka di sudut bibir
“anak perempuan itu nggak baik berantem. Apalagi sampai babak belur begini. Jangan bikin mama khawatir Nay. Jangan ikut ikut tawuran lah” omel ibu
Aku hanya diam. Entah apa yang dijelaskan Rifki tadi.*****
Aku sama sekali tidak menyangka masalah sepele ini merambah kemana-mana. Ibu ilma yang semula bekerja di rumah mey sebagai asisten rumah tangga diberhentikan. Hanya karena anaknya selalu memihakku. Sebegitu tertutupkah penglihatan mey??“Nay,,, maafin saya ya,,. Lain kali akan saya jelaskan ke mey”
“Lain kali katanya? Kemarin dia ngapain nggak jelasin?”gerutuku
Pesan singkat Hendi masih tersimpan, tak ku balas .kalau kalau mey menyalahkanku lagi, aku mempunyai bukti.Sejak itu hubungan kami sangat renggang. Bahkan ilma harus membantu ibunya berdagang sepulang sekolah. Banyak perasaan bersalah, tapi apa mau dikata?
Dan kesalahan yang paling aku sesali ialah tetap memaafkan mereka, terlepas dari apa yang telah mereka lakukanSampai kelulusanpun, kami masih tak saling tegur sapa. Sampai saat ini. Entah bagaimana kabar Hendi, Dini serta Mey. Aku hanya tau keadaan Ilma yang masih setia bersahabat denganku. Sedangkan Rifki, ia melanjutkan studynya di luar kota. Akupun tak pernah berkabar dengan Rifki. Karena memang beberapa kontak telephone teman sempat hilang saat ponselku rusak.
******
Air mataku menetes, mulutku seolah kaku tak bisa meneruskan cerita. Mas Radit menyeka air mataku, meraih tanganku dan digenggamnya
“Dan kamu tau peran Dini?” tanya mas Radit tiba tiba
Aku menggeleng, mas Radit tertegun. Ia berpendapat tidak mungkin hanya karena masalah seperti ini semuanya menjadi rumit. Pasti ada hal lain dibaliknya.
“Looh Nay kenapa nangis? Kalian berantem” entah sedari kapan ibu memperhatikan.
“Nggak kok bu, Nay terharu sebentar lagi punya suami seperti saya” celetuk Radit.
Aku mencubit mas Radit. Seketika aku tertawa melihat tingkah ge er nya. Walaupun aku tau dia cemburu dan marah dari apa yang aku ceritakan.Ia paling pandai menyembuhkan tangisku. Pertanyaan mas Radit tentang Dini membuatku penasaran. Dari sekian banyak yang aku ceritakan kenapa dia fokus pada Dini yang sepertinya tak banyak andil dalam masalah itu.Ada apa dengan Dini? Kenapa mas Radit penasaran?
Hari ini adalah hari yang kutunggu. Seperti para calon pengantin kebanyakan, pasti akan antusias jika mulai mencoba dan memilih pakaian yang akan dipakai saat hari bahagia.Kebaya putih dengan payet silver tengah ku kenakan. Dipadukan dengan kain jarik coklat lengkap dengan selop yang menambah elok. Aku berdiri sembari sesekali membalikkan badan. Dari pantulan cermin mas Radit nampak tersenyum. Tangannya sibuk memegangi ponsel yang sedari tadi digunakannya untuk memotretku."Gimana mas?" Tanyaku setengah tersipu"Cantik" ucap singkat mas Radit tanpa mengedip“Calon isteriku selalu cantik” ucapnya lagiAku tersipu, pipiku merona. Mas Radit selalu pandai membuatku senang walau hanya dengan kata kata sederhananya.“Berarti sudah cocok yang ini aja ya kebayanya? Tanya mba Reni , seorang pengelola WO yang dipercaya ibu untuk mengurus
Sepulang dari butik mbak Reni, kami memutuskan untuk terlebih dulu singgah di sebuah cafe untuk sekedar duduk berbincang sembari menikmati kudapan khas di tempat itu. "Mau pesan apa mbak?" Tanya seorang pelayan "Emm" aku berpikir sejenak "Teh tawar sama choco brown cake mozarella" jawab mas Radit cekatan pas dengan yang hendak ku katakan. Mas Radit tau persis kesukaanku. Pelayan laki-laki di depan kami mencatat pesanan mas Radit dan kemudian berlalu setelah meminta kami menunggu pesanan. Kami tak banyak bicara saat itu. Kami sibuk dengan hidangan yang tengah dinikmati. Hanya saja, mas Radit terlihat sering sekali melirik ke arahku. Aku melihatnya dari balik pantulan gelas di meja. Sikapnya membuatku salah tingkah. Wajah gugupku tak dapat ku tutupi. "Udah makannya Nay?" Tanya mas Radit "Udah mas" jawabku singkat "Kita langsung pulang saja ya. Sudah mendung soalnya." Lanjutnya Aku mengangguk. Kakiku se
Aku berlari menuju kamar mandi yang sebenarnya bukan tujuanku. Aku hanya salah tingkah dengan kenyataan aku mendapat kiriman paket dari Hendi. Setengah hati aku senang. Selebihnya aku takut mas Radit salah paham. Beberapa menit aku berdiam, sampai akhirnya memberanikan diri kembali duduk dengan ibu dan mas Radit. **** Di ruang tengah ibu terlihat memilah beberapa undangan. Mengumpulkannya berdasarkan alamat. Tapi tak terlihat mas Radit bersamanya. "Mas Radit mana bu?" Tanyaku "Ada di teras Nay, katanya mau cari angin" jawab ibu dengan senyum Aku berlalu meninggalkan ibu yang masih sibuk. Ku lihat mas Radit duduk di lantai dengan kaki menyilang. Di depannya nampak bungkusan plastik hitam. "Ah aku lupa dengan paket itu" gumamku "Lagi ngapain mas?" Tanyaku basa-basi "Lagi nunggu kamu buka ini. Aku penasaran apa yang dikirimkan seorang laki-laki pada mantan kekasihnya" terangnya dengan wajah masam
Aku menuju ruang tamu. Kudapati seorang pria dengan kemeja kotak-kotak tengah duduk di sana. Pandangannya tertuju pada beberapa gambar yang tertempel di dinding. Aku duduk di sofa tepat di hadapannya. Tatapanku sangat teliti pada penampilannya. Dari atas kepala hingga ujung kaki kuperhatikan. Pria itu membalas tatapanku "Rifkiiii" teriakku "Apakabar Nay? Sepertinya sangat sehat?" Sapanya usil melihat aku yang sekarang sudah tak sekurus dulu. "Aku mengembang bersama usia ki" jawabku dengan tawa "Kapan kamu pulang ki? Udah mau wisuda ya?" Sambungku "Aku udah lulus dari beberapa tahun lalu Nay, ini udah enam tahun loh masa kamu masih mikir aku belum lulus" jawabnya cemberut "Hehehe kali aja. Oh iya, jadi kamu sekarang kegiatannya ngapain? Kerja atau lanjut S2?" Tanyaku "Lagi mengunjungi calon isteri Nay" jawabnya "Calon isteri? Siapa? Kenalin dong?" Aku penasaran Dia tak menjawab. Ia menatapku dalam
Mencari tau tentang Nayra adalah kebahagiaan tersendiri bagi Hendi. Baginya ada sesuatu yang belum selesai diantara mereka. Mereka terpisah saat kita masih sama-sama suka. Tapi bagi Hendi biarlah seperti ini saja, asal Nayra bersama orang yang tepat.Hendi mengawasi dua orang yang tengah berjalan beriringan. Mereka terlihat sangat behagia. Bersenda gurau ditengah keramaian. Tak sadar, Hendi pun turut senyum melihat tingkah mereka.Nayra sepertinya tak menyadari Hendi berada di sana dan tengah mengawasinya. Hendi memang sengaja meminta tolong Rifki agar bagaimana caranya dia bisa melihat Nayra."Tingkahnya masih sama, keceriaannya masih sama yang berbeda hanya kini dia bersama orang lain" begitu pikirnyaBanyak sekali yang ingin Hendi katakan. Tapi terpaksa dia tahan karena tak ingin melihatnya kecewa. Melihat tawa Nayra saja sudah sangat membuatnya bahagia.Hendi mengambil ponsel dari saku jaket."Sudah cukup Rif. Makasih ya" pesanku singkat
Suara sirine memecah keramaian jalanan. Lalu lalang kendaraan seolah tersibak tatkala mobil putih itu melintas.Di dalam, Deni tengah memegang erat tangan isterinya yang sedang merasakan sakit luar biasa. Sementara Mei turut tersedu melihat wajah temannya pucat pasi tak berdaya. Ilma mengatur nafas sebisanya."Bertahan ya sayang, kamu kuat. Sebentar lagi kita sampai" bisik Deni dengan suara bergetarLima belas menit waktu yang ditempuh. Mereka sampai di Rumah sakit. Petugas segera membawa Ilma. Dokter Rani yang sebelumnya sudah ditelfon pun sudah siaga siap menangani pasiennya."Bapak, ibu mohon tunggu di luar ya" pinta seorang perawat sambil menutup pintu UGD.Deni bolak-balik di depan pintu dimana isterinya ditangani. Mulutnya tak berhenti mengucap dzikir. Beberapa waktu kemudian, Dokter memanggilnya ke sebuah ruangan.“Saya sudah mengingatkan sebelumnya ya pak, kalau ibu Ilma harus operasi dan tindakan tersebut dilakukan sebelum terasa ko
Duniaku hancur, satu sahabatku pergi. Aku merasa seorang diri.“Sabar Nay, ikhlaskan Ilma ya sayang. Dia sudah bahagia” kata-kata lembut itu membangunkankuAku memeluk sosok itu. Entah dari kapan ibu sudah berada di sini. Dibangku tempatku tergeletak.“Ilma bu, Ilma. Kenapa harus Ilma bu??!” Aku semakin histeris“Ssttt sudah sudah” ibu memelukkuMas Deni sedang ikut mengurus jenazah Ilma. Sementara aku tak tega jika harus melihat sahabatku sudah dalam keadaan dingin. Tiba-tiba emosiku mencuat, ku pandang Mei yang masih saja duduk.“Seneng kamu? Kamu mau tertawa? Kalo kamu dulu nggak egois Ilma nggak akan kaya gini. Bu dhe nggak akan kena strok. Ilma tidak harus pontang panting kerja disaat hamil karena harus menutup hutang ibunya” gerutuku“Nay, aku nggak tau kalo kehidupan Ilma berubah drastis setelah bu dhe tidak bekerja di tempat papa” bela Mei“Karena kamu tida
Tiga hari kepergian Ilma rasanya masih seperti mimpi bagiku. Aku masih di rumah sakit menunggu si kecil dengan bolak-balik pulang untuk mengurus keperluan pernikahanku. Mas Radit selalu menemaniku di rumah sakit. Hari ini kami berencana mengantar undangan. Memang ada beberapa undangan yang sengaja kami antar sendiri karena kami pun harus meminta do’a restu kepada yang bersangkutan.Sebenarnya aku agak canggung saat bertemu beberapa rekan dari calon mertuaku. Tapi kusampingkan perasaan itu.“Oh ini calonnya Radit ya? Wah cantik sekali. selamat ya, tante do’akan acaranya lancar” kata tante Asri saat kami berkunjungSesekali aku melirik sekitar, dekorasi rumah semi eropa seolah menggambarkan kalau sang pemilik dari golongan menengah ke atas. Beberapa pajangan mewah pun tampak berderet di sebuah lemari pajangan.“Hen, sini nak bentar!” teriak tante Asri“Mungkin nama anaknya Heni” benakku“ada apa tan” tanya seorang oemud
"Hen, besok kamu bisa nganterin Nay....""yuk bu, kita pulang. Lagian Mei sudah ijab qobul" potongku"nganterin kemana tan?" tanya Hendi"eh anu nggak kemana-mana. Mungkin maksud ibu, nganterin pulang sekarang. Tapi aku mau pulang sama ibu aja. ya kan bu?" Aku mengedip-ngedipkan mataku sebagai kode. Rupanya ibu baru sadar ia baru saja hampir keceplosan."e-iya Hen, tadinya tante mau minta tolong anterin Nayra pulang. Tapi nggak usah deh, biar pulang sama tante aja naik taksi online" jelas ibuAku menghela nafas lega. Tapi, Hendi seolah tak percaya dengan alasan ibu. Sorot matanya penuh keingintahuan, gerak-geriknya penuh rasa penasaran. Bahkan aku sempat melihat ia membuntuti kami hingga masuk ke dalam taksi online. Aku memergokinya dari balik pantulan kaca mobil.[tan, maaf. Saya pulang dulu ya. Ada urusan yang harus saya selesaikan][iya, Nay nggak papa. Maaf ya tadi nggak sempet nemenin kamu sama ibu]Aku menutup sambungan telephon, dan mobil mulai melaju. Dari arah depan, ku liha
Mas Radit, benar saja aku seperti mengenali suaranya. Ia meraih tanganku yang tengah membersihkan jas.nya. Jarak kami begitu dekat membuat jantungku berdegup kencang. Aku mengatur ulang nafasku, agar tak segugup ini."eh maaf mas, jasmu jadi kotor" tegurku seraya berusaha melepaskan genggaman tangannya.Tapi sialnya, entah kenapa ujung jilbabku tersangkut dijam tangannya. Pandangan kami saling tertaut, seperti terjebak pada satu titik. Hingga beberapa detik kami saling memandang kosong satu sama lain."maaf, jilbabku tersangkut" kataku membuyarkan fokusnya"bentar, pelan-pelan aja Nay nanti jilbabmu sobek kalo dipaksa"Aku menurut saja, tangannya segera mengambil alih berusaha melepas jilbabku. Tapi, dari adah lain Dini datang. Dan...kreekkk!!!Ia menggunting jilbabku,"gitu aja kok repot, nggak usah dilama-lamain biar bisa ambil kesempatan deketin suami orang!" ucapnya keras.'ya Alloh, jilbab kesayanganku pemberian Ilma' batinku"nggak perlu cari-cari alasan biar bisa deket sama m
"nggak papa kok mah" jawab Mei tersenyumAku sendiri telah paham kenapa sahabatku ini tak mau aku mendampinginya . Aku bahkan tidak keberatan ataupun merasa tersinggung, justru aku senang karena aku bisa leluasa menyembunyikan diriku jika saja ada tamu yang tak ingin ku temui.*****Akhirnya hari pernikahan Mei dan Rifki tiba, beberapa orang sudah mulai mendatangi lokasi."Nay, kok mukanya sedih? aku nikah sama Rifki loh, kita bertiga bakal tetep temenan. Kita tetep bisa pergi bareng-bareng"Mei menggenggam tanganku erat, seperti paham dengan apa yang aku rasakan. "janji ya Mei, sekarang temenku cuma kamu" ucapkuMei menatapku lekat, matanya yang sudah penuh riasan hampir meneteskan air mata. Cepat-cepat tangannya mengelap dengan tisu sebelum berhambur jatuh kepipi. Kami berpelukan sambil menahan tangis masing-maning. Aku menghela nafas, mencoba melonggarkan dada agar tak sesak oleh perasaan sedih. Mei pergi meninggalkan meja rias, ia bersiap ketempat akad. Wajahnya begitu ayu dengan
Siang hari terasa menyengat dari biasanya. Seseorang wanita paruh baya terlihat tengah menjemur beberapa lembar pakaian, tangannya nampak kesulitan."MasyaAlloh bu, biar saya bantu""biarin Den, ini tinggal satu aja kok"Deni meraih selembar pakaian yang masih dalam genggaman bu Nani."biar ibu aja Den" cegah sang mertuaDeni mendorong kursi roda bu Nani kedalam rumah. Lalu, ia duduk menekuk setengah lutut dihadapannya, Tangannya menggenggam jari sang mertua."bu, ibu nggak usah ngerjain kerjaan rumah kayak tadi ya. Saya takut ibu kecapean" terang Deni"tapi, ibu nggak enak Den, masa ibu cuma makan tidur aja. Lagian kan cuma beres-beres rumah""kalo ibu ngrasa nggak enak ke saya berarti ibu nganggep saya sebagai orang lain"Bu Nani terdiam, tangannya mengusap peluh di dahinya. "Bu, saat ini saya nggak lagi nganggep ibu sebagai mertua tapi sudah menjadi ibu bagi saya. Ibu adalah keluarga saya satu-satunya disini. Cuma ibu sama pakdhe Narto yang saya punya" Deni masih menatapnya dalam,
Akhirnya hari ini aku diharuskan datang kepernikahan mas Radit dengan Dini. Walau aku sudah tak punya perasaan apapun pada mas Radit, tetap saja bayang-bayang penghianatannya masih menyisakan sakit. Aku memaksa diriku untuk kuat hanya sekedar mengucapkan selamat, daripada Dini akan mengecapku sebagai orang yang masih mengharapkan suaminya itu."selamat ya Din" ucapkuDini menarik badanku, memelukku. Alih-alih sikapnya seperti sahabat, ia justru membisikkan sesuatu."pernikahanmu batal ya? yang sabar ya" ucapnya lirih tapi cukup didengar beberapa orang disekitar kamiAku menelan ludah, menarik nafas panjang sembari menekan emosiku."selamat ya mas" Aku ngeluyur dari hadapan Dini, bahkan aku mengabaikan mas Radit yang sudah mengulurkan tangan.Dihari bahagianya pun ia masih sempat meledek nasibku. "Andai Mei, Rifki atau minimal Hendi disini, mungkin mereka tidak akan membiarkan Dini mengucapkan pertanyaan itu" gumamkuSeorang kerabat Dini mempersilahkan aku mengambil hidangan. Karena
Sebuah toko tampak mulai berbenah, karena memang sudah mulai larut."iya deh calon manten, seharian semangat banget kerjanya" ledek HendiRifki hanya tertawa kecil."makaya nikah dong Hen, eh lupa jomblo" ledek Rifki"sialan. Liat aja ntar kalo aku nikah kamu bakal kaget" jawab Hendi percaya diri"udahlah aku mau pulang" lanjut HendiIa melangkah, tapi tak langsung memacu motornya. Ia duduk diemperan toko membuka Ponselnya yang sedari tadi didalam tas.Tangannya membuka aplikasi biru, wajahnya seketika muram. Melihat sebuah foto dalam aplikasi."kamu wanita baik, cantik. Tapi, kenapa laki-laki selalu bermain-main dengan perasaanmu" batinnyaHendi terus menatapi gambar Nayra. Gambar yang manis dengan balutan senyum yang sederhana. Tapi senyum itu tak seceria dulu. Baru dua menit foto itu diposting, dia segera meninggalkan jempolnya di foto Nayra. Seperti itu setiap hari, Hendi memastikan keadaan Nayra dari media sosial. Seperti dulu."kenapa sih kamu nggak jujur aja sama Nayra?" "eh k
"kenapa harus bertemu dia dua kali sepagi ini?" gumamku"Hai juga Mei" sapaya ceria"kamu ngapain disini Din?" tanya Mei"kan nyiapin acara pernikahanku, cuma beda satu hari sama kamu, tapi aku duluan hehe" jelasnya terkekehMei senyum kecut melihat tingkah serta penjelasannya."maksudmu peresmian pernikahanmu?" ledek Mei"apapun itu, intinya pernikahanku sama mas Radit" jawabnyaIa terlalu percaya diri bahkan saat tengah mempersiapkan pernikahan dengan kondisi perut yang sudah membesar. Seolah ia malah memamerkannya laksana sebuah kebanggaan."jangan lupa dateng ya Nay" jawabnya sembari berlalu"pasti" jawabkuLangkahnya yang sok anggun membuat Mei terlihat muak, dia terus saja mengusikku bahkan disaat aku sudah tak peduli dengan kehidupannya bersama mas Radit.Dari arah depan mas Radit menyambut sang isteri, tapi sikapnya berubah kikuk saat mendapati aku dan Mei ditempat itu juga. Dia melempar senyum, tapi aku membalas dengan tatapan datar tanpa ekspresi.Aku terus menemani Mei mem
Aku tak begitu peduli dengan mas Radit dan Dini, karena memang aku sudah tak mau terlibat masalah dengan mereka.Rifki menjemputku untuk menemani Mei menuju kantor urusan agama. Tidak, lebih tepatnya kami kesana untuk urusan masing-masing. Rifki kembali ke tokonya setelah aku sudah bersama Mei."ayo Nay" Aku menaiki motornya. Tiap langkah kami, kukumpulkan tekad beserta tujuanku. Membatalkan pernikahan untuk kedua kalinya adalah sesuatu yang membuatku malu. Tapi, itulah seharusnya."kenapa kamu nggak nunggu mas Deni ngasih keputusan lagi Nay, kemarin dia ngomong gitu karena suasana hatinya sedang sedih" ucap Mei"kenapa aku harus menunggu untuk sesuatu yang sudah diputuskan?" tanyaku balik"aku malu Mei, kok terkesannya aku yang ngejar-ngejar mas Deni. Padahal aku mau nikah sama dia juga karena wasiat dari almarhumah Ilma" lanjutku"Ya udah, tapi kamu jangan sedih ya" jawabnyaKami terus melaju pada tempat yang kami tuju. Seorang ibu berseragam coklat menyambut kami, ia begitu sumrin
Sepulang dari desa kaliwangi, aku belum lagi ke rumah bu dhe. Rasanya ada rasa sungkan bertemu mas Deni. Ibu masih di sana, mungkin sampai acara tujuh hari selesai. "Nanti malam kamu kesini ya Nay" ucap ibu pada sambungan telephon."InsyaAlloh bu" Aku menutup telephon, lalu melanjutkan sholat subuh. Masih terlalu pagi, tapi ibu sudah mengingatkan banyak acara untuk hari ini. Dimulai ke kantor urusan agama untuk kembali membatalkan pernikahanku, membantu persiapan pernikahan Mei, belum lagi aku harus ke rumah mas Deni, Itu adalah bagian yang paling berat bagiku.Setelah selesai beres-beres rumah dan menyiapkan sarapan, aku melongok jam bundar didinding. Sudah pukul tujuh. Aku bergegas, langkahku mantap menuju kantor urusan agama. Mungkin petugas disana akan menganggap aku bermain-main dengan pernikahan karena ini kali kedua aku membatalkan pernikahan.Tok tok tok !!!Terdengar Suara ketukan dari arah pintu depan, aku cepat-cepat menuju ruang tamu."mungkin ibu pulang, dia kan belum k