Suara sirine memecah keramaian jalanan. Lalu lalang kendaraan seolah tersibak tatkala mobil putih itu melintas.
Di dalam, Deni tengah memegang erat tangan isterinya yang sedang merasakan sakit luar biasa. Sementara Mei turut tersedu melihat wajah temannya pucat pasi tak berdaya. Ilma mengatur nafas sebisanya."Bertahan ya sayang, kamu kuat. Sebentar lagi kita sampai" bisik Deni dengan suara bergetarLima belas menit waktu yang ditempuh. Mereka sampai di Rumah sakit. Petugas segera membawa Ilma. Dokter Rani yang sebelumnya sudah ditelfon pun sudah siaga siap menangani pasiennya."Bapak, ibu mohon tunggu di luar ya" pinta seorang perawat sambil menutup pintu UGD. Deni bolak-balik di depan pintu dimana isterinya ditangani. Mulutnya tak berhenti mengucap dzikir. Beberapa waktu kemudian, Dokter memanggilnya ke sebuah ruangan.“Saya sudah mengingatkan sebelumnya ya pak, kalau ibu Ilma harus operasi dan tindakan tersebut dilakukan sebelum terasa koDuniaku hancur, satu sahabatku pergi. Aku merasa seorang diri.“Sabar Nay, ikhlaskan Ilma ya sayang. Dia sudah bahagia” kata-kata lembut itu membangunkankuAku memeluk sosok itu. Entah dari kapan ibu sudah berada di sini. Dibangku tempatku tergeletak.“Ilma bu, Ilma. Kenapa harus Ilma bu??!” Aku semakin histeris“Ssttt sudah sudah” ibu memelukkuMas Deni sedang ikut mengurus jenazah Ilma. Sementara aku tak tega jika harus melihat sahabatku sudah dalam keadaan dingin. Tiba-tiba emosiku mencuat, ku pandang Mei yang masih saja duduk.“Seneng kamu? Kamu mau tertawa? Kalo kamu dulu nggak egois Ilma nggak akan kaya gini. Bu dhe nggak akan kena strok. Ilma tidak harus pontang panting kerja disaat hamil karena harus menutup hutang ibunya” gerutuku“Nay, aku nggak tau kalo kehidupan Ilma berubah drastis setelah bu dhe tidak bekerja di tempat papa” bela Mei“Karena kamu tida
Tiga hari kepergian Ilma rasanya masih seperti mimpi bagiku. Aku masih di rumah sakit menunggu si kecil dengan bolak-balik pulang untuk mengurus keperluan pernikahanku. Mas Radit selalu menemaniku di rumah sakit. Hari ini kami berencana mengantar undangan. Memang ada beberapa undangan yang sengaja kami antar sendiri karena kami pun harus meminta do’a restu kepada yang bersangkutan.Sebenarnya aku agak canggung saat bertemu beberapa rekan dari calon mertuaku. Tapi kusampingkan perasaan itu.“Oh ini calonnya Radit ya? Wah cantik sekali. selamat ya, tante do’akan acaranya lancar” kata tante Asri saat kami berkunjungSesekali aku melirik sekitar, dekorasi rumah semi eropa seolah menggambarkan kalau sang pemilik dari golongan menengah ke atas. Beberapa pajangan mewah pun tampak berderet di sebuah lemari pajangan.“Hen, sini nak bentar!” teriak tante Asri“Mungkin nama anaknya Heni” benakku“ada apa tan” tanya seorang oemud
Motor mas Radit berhenti tepat di depan rumah Ilma. Aku mengajaknya masuk namun ia menolak dengan alasan pekerjaan. “Eehh ada tante Nay!!” teriak seseorang dari arah pintu rumah. Orang itu duduk diatas kursi roda dengan memangku bayi kecil. “Aaaa Tiara sayaaang!!!” teriakku berlari menyambut sang bayi Mas Radit pergi, bahkan tanpa menyalami ibu Ilma. Rasanya tak enak hati melihat tingkah laku mas Radit. Ia yang berwibawa dan sangat sopan santun seakan menjadi orang lain yang tak peduli pada sekitarnya. Ia kini menjadi pria dingin dan murung entah apa yang membuatnya berubah. aku melambai pada calon suamiku dan masuk kedalam rumah mas Deni.Di dalam rumah, masih terpajang foto-foto almarhum Ilma. senyumnya masih hangat mewarnai ruangan. hanya saja, rasanya wajahnya terlalu menyakitkan untuk aku tatap."huuuft" aku menghelaTerdengar suara tangis Tiara dari kamar belakang. aku bergegas menemuinya."ututuuu ana
aku pergi, menjauh sebisaku. aku bingung apa yang harus aku lakukan. Entah kepada siapa aku menceritakan dan keputusan seperti apa yang harus aku ambil.Lututku terasa nyeri. Aku tak ingat seberapa jauh aku berlari. Langkahku terhenti di sebuah taman dengan hamparan danau ditengahnya. kubasuh mukaku sembari menghela nafas. Perasaan kecewa masih menggelayutiku. "keringkan mukamu!" seseorang menyerahkan selembar tisuAku menoleh kearah tangan di sebelahku."Hendi? kamu ngapain di sini?" tanyaku dengan nada masih terisak"lah, kan emang aku ngikutin kamu dari depan komplek rumah mas Deni" jawab Hendi entengAku tak menjawab lagi. Rasanya Banyak sekali hal yang ingin kuceritakan padanya. Banyak hal yang akan ku adukan. Tapi aku harus mulai dari mana? hingga hanya air mata yang lebih dahulu keluar sebelum aku mengucapkan apapun."Mas Deni itu orang baik, baik sekali menurutku. Dia akan menyayangi dan membimbingmu. Ilma
"saya harus mencari Nayra bu, udah hampir maghrib saya khawatir dengan keadaannya" singkat Radit "ati-ati ya Dit, kabari ibu apapun itu. ketemu atau tidak kamu harus tetap memberitau ibu" pinta Ibu"pasti bu, Radit janji akan cari Nayra sampai ketemu" Radit bergegas, langkahnya begitu terburu-buru. Ia berlalu meninggalkan Ibu Nayra yang masih memperhatikan mobilnya dari kejauhan.****Gerimis turun senja itu, langit sudah gelap tertutup mendung, bunyi klakson terdengar bising seakan beradu suara saling menunjukkan bahwa si empunya kendaraan sedang diburu waktu.Memang, jam pulang kantor selalu diwarnai pemandangan demikian. Bagi mereka yang belum terbiasa pasti akan melelahkan. Tapi, mereka yang setiap hari melaluinya seakan seperti makanan yang setiap hari tersaji di penghujung hari. "kemana Kamu Nay??" batin Radittangannya tak berhenti menekan klakson. Pikirannya makin tak karuan. Wanita yang dicintainya kini menghilang. Bahkan kenyataan yang lebih
" bu, aku nggak mau nikah sama mas Deni" isakku" iya Nay iya. besok kita bicarakan dengan Deni dan keluarga Ilma ya" bujuk ibuMalam ini terasa lebih panjang. tak seperti malam-malam sebelumnya. Aku meringkuk di temoat tidur, membelakangi ibu yang sengaja bermalam di kamarku. Beliau takut kalau-kalau aku nekat dan pergi lagi. Sedang Rifki dan Hendi masih terdengar bercengkerama di teras. Mereka seperti securiti kali ini."tinggal beberapa hari lagi Rif, kita harus nglakuin sesuatu biar semuanya terungkap. kasian Nayra." ucap Hendi"kasian atau memang kamu yang belum rela?" goda Rifki"heh !! aku serius. Bagaimana kalau sampai Nayra memilih orang yang tidak tulus seperti bajingan itu. aku nggak bakal biarin laki-laki seperti fia menyakiti Nayra" Hendi mulai menaikkan volume suaranya"ssttt nggak usah nge-gas kan bisa? kalo Nayra denger gimana?" gertak Rifki"emang kalo aku denger kenapa ki?" tanyaku mengag
"sudahlah, semua sudah ada jalannya masing-masing. kalaupun Nayra berjodoh dengan Radit, ya berrati itu yang terbaik untuknya" jawab ibu Ilma dengan berat****Hari menjelang siang, Aku sudah berada di gedung yang sebelumnya sudah aku dan mas Radit tentukan untuk acara pernikahan kita. Sebenarnya kami sudah booking, tapi aku hanya ingin memastikan sejauh apa persiapannya. Aku menemui pemilik WO memastikan beberapa hal."Ini sudah deal begini penataannya ya mbak Nayra?" tanya teh Nita, WO kepercayaan keluarga mas Radit."iya mba, saya suka banget yang ini. Simpel tapi elegan banget" jawabku dengan menunjuk sebuah gambar."kok mas Raditnya nggak ikut sih? padahal biasanya tiap survey tempat selalu nemenin?" tanya beliau lagi"mas Raditnya lagi ada urusan mbak, jadi sementara saya sendiri dulu hehe" jawabku asalEntah urusan apa dan seperti apa yang aku maksudkan. Karena hingga hari ini pesanku saja belum dibacany
Yah! mas Deni, Rifki dan Hendi ternyata berteman cukup akrab tanpa sepengetahuanku. Rasanya terlalu banyak kebetulan yang sangat menyebalkan di sini.Sebenarnya hari ini aku ada janji dengan Mei. Dia mengajakku ke suatu tempat. Tapi ku sarankan hari esoknya saja. Jelas saja bukan karena lelah, tapi aku masih malas dengan wajahnya. Terlebih setelah semua yang aku dan keluarga Ilma lalui, Mei dan Hendi datang seperti tanpa salah."kami pamit pulang ya bu dhe, sekali lagi aku minta maaf" Sudah berapa aku mengucap permintaan maaf tapi seakan masih saja mengganjal. Karena ini sebuah wasiat yang sebenarnya harus ku lakukan."sudah Nay, kan tadi kita sudah sepakat nggak bahas itu lagi kan?" ibu Ilma memelukku hangat****Taman kota, pukul sembilan malam.Seorang wanita duduk di sebuah bangku dengan tangan menyilang di dada. Beberapa kali ditengoknya jam yang melingkar di pergelangan tangan."Meiiii !!!" Seseorang bert
"Hen, besok kamu bisa nganterin Nay....""yuk bu, kita pulang. Lagian Mei sudah ijab qobul" potongku"nganterin kemana tan?" tanya Hendi"eh anu nggak kemana-mana. Mungkin maksud ibu, nganterin pulang sekarang. Tapi aku mau pulang sama ibu aja. ya kan bu?" Aku mengedip-ngedipkan mataku sebagai kode. Rupanya ibu baru sadar ia baru saja hampir keceplosan."e-iya Hen, tadinya tante mau minta tolong anterin Nayra pulang. Tapi nggak usah deh, biar pulang sama tante aja naik taksi online" jelas ibuAku menghela nafas lega. Tapi, Hendi seolah tak percaya dengan alasan ibu. Sorot matanya penuh keingintahuan, gerak-geriknya penuh rasa penasaran. Bahkan aku sempat melihat ia membuntuti kami hingga masuk ke dalam taksi online. Aku memergokinya dari balik pantulan kaca mobil.[tan, maaf. Saya pulang dulu ya. Ada urusan yang harus saya selesaikan][iya, Nay nggak papa. Maaf ya tadi nggak sempet nemenin kamu sama ibu]Aku menutup sambungan telephon, dan mobil mulai melaju. Dari arah depan, ku liha
Mas Radit, benar saja aku seperti mengenali suaranya. Ia meraih tanganku yang tengah membersihkan jas.nya. Jarak kami begitu dekat membuat jantungku berdegup kencang. Aku mengatur ulang nafasku, agar tak segugup ini."eh maaf mas, jasmu jadi kotor" tegurku seraya berusaha melepaskan genggaman tangannya.Tapi sialnya, entah kenapa ujung jilbabku tersangkut dijam tangannya. Pandangan kami saling tertaut, seperti terjebak pada satu titik. Hingga beberapa detik kami saling memandang kosong satu sama lain."maaf, jilbabku tersangkut" kataku membuyarkan fokusnya"bentar, pelan-pelan aja Nay nanti jilbabmu sobek kalo dipaksa"Aku menurut saja, tangannya segera mengambil alih berusaha melepas jilbabku. Tapi, dari adah lain Dini datang. Dan...kreekkk!!!Ia menggunting jilbabku,"gitu aja kok repot, nggak usah dilama-lamain biar bisa ambil kesempatan deketin suami orang!" ucapnya keras.'ya Alloh, jilbab kesayanganku pemberian Ilma' batinku"nggak perlu cari-cari alasan biar bisa deket sama m
"nggak papa kok mah" jawab Mei tersenyumAku sendiri telah paham kenapa sahabatku ini tak mau aku mendampinginya . Aku bahkan tidak keberatan ataupun merasa tersinggung, justru aku senang karena aku bisa leluasa menyembunyikan diriku jika saja ada tamu yang tak ingin ku temui.*****Akhirnya hari pernikahan Mei dan Rifki tiba, beberapa orang sudah mulai mendatangi lokasi."Nay, kok mukanya sedih? aku nikah sama Rifki loh, kita bertiga bakal tetep temenan. Kita tetep bisa pergi bareng-bareng"Mei menggenggam tanganku erat, seperti paham dengan apa yang aku rasakan. "janji ya Mei, sekarang temenku cuma kamu" ucapkuMei menatapku lekat, matanya yang sudah penuh riasan hampir meneteskan air mata. Cepat-cepat tangannya mengelap dengan tisu sebelum berhambur jatuh kepipi. Kami berpelukan sambil menahan tangis masing-maning. Aku menghela nafas, mencoba melonggarkan dada agar tak sesak oleh perasaan sedih. Mei pergi meninggalkan meja rias, ia bersiap ketempat akad. Wajahnya begitu ayu dengan
Siang hari terasa menyengat dari biasanya. Seseorang wanita paruh baya terlihat tengah menjemur beberapa lembar pakaian, tangannya nampak kesulitan."MasyaAlloh bu, biar saya bantu""biarin Den, ini tinggal satu aja kok"Deni meraih selembar pakaian yang masih dalam genggaman bu Nani."biar ibu aja Den" cegah sang mertuaDeni mendorong kursi roda bu Nani kedalam rumah. Lalu, ia duduk menekuk setengah lutut dihadapannya, Tangannya menggenggam jari sang mertua."bu, ibu nggak usah ngerjain kerjaan rumah kayak tadi ya. Saya takut ibu kecapean" terang Deni"tapi, ibu nggak enak Den, masa ibu cuma makan tidur aja. Lagian kan cuma beres-beres rumah""kalo ibu ngrasa nggak enak ke saya berarti ibu nganggep saya sebagai orang lain"Bu Nani terdiam, tangannya mengusap peluh di dahinya. "Bu, saat ini saya nggak lagi nganggep ibu sebagai mertua tapi sudah menjadi ibu bagi saya. Ibu adalah keluarga saya satu-satunya disini. Cuma ibu sama pakdhe Narto yang saya punya" Deni masih menatapnya dalam,
Akhirnya hari ini aku diharuskan datang kepernikahan mas Radit dengan Dini. Walau aku sudah tak punya perasaan apapun pada mas Radit, tetap saja bayang-bayang penghianatannya masih menyisakan sakit. Aku memaksa diriku untuk kuat hanya sekedar mengucapkan selamat, daripada Dini akan mengecapku sebagai orang yang masih mengharapkan suaminya itu."selamat ya Din" ucapkuDini menarik badanku, memelukku. Alih-alih sikapnya seperti sahabat, ia justru membisikkan sesuatu."pernikahanmu batal ya? yang sabar ya" ucapnya lirih tapi cukup didengar beberapa orang disekitar kamiAku menelan ludah, menarik nafas panjang sembari menekan emosiku."selamat ya mas" Aku ngeluyur dari hadapan Dini, bahkan aku mengabaikan mas Radit yang sudah mengulurkan tangan.Dihari bahagianya pun ia masih sempat meledek nasibku. "Andai Mei, Rifki atau minimal Hendi disini, mungkin mereka tidak akan membiarkan Dini mengucapkan pertanyaan itu" gumamkuSeorang kerabat Dini mempersilahkan aku mengambil hidangan. Karena
Sebuah toko tampak mulai berbenah, karena memang sudah mulai larut."iya deh calon manten, seharian semangat banget kerjanya" ledek HendiRifki hanya tertawa kecil."makaya nikah dong Hen, eh lupa jomblo" ledek Rifki"sialan. Liat aja ntar kalo aku nikah kamu bakal kaget" jawab Hendi percaya diri"udahlah aku mau pulang" lanjut HendiIa melangkah, tapi tak langsung memacu motornya. Ia duduk diemperan toko membuka Ponselnya yang sedari tadi didalam tas.Tangannya membuka aplikasi biru, wajahnya seketika muram. Melihat sebuah foto dalam aplikasi."kamu wanita baik, cantik. Tapi, kenapa laki-laki selalu bermain-main dengan perasaanmu" batinnyaHendi terus menatapi gambar Nayra. Gambar yang manis dengan balutan senyum yang sederhana. Tapi senyum itu tak seceria dulu. Baru dua menit foto itu diposting, dia segera meninggalkan jempolnya di foto Nayra. Seperti itu setiap hari, Hendi memastikan keadaan Nayra dari media sosial. Seperti dulu."kenapa sih kamu nggak jujur aja sama Nayra?" "eh k
"kenapa harus bertemu dia dua kali sepagi ini?" gumamku"Hai juga Mei" sapaya ceria"kamu ngapain disini Din?" tanya Mei"kan nyiapin acara pernikahanku, cuma beda satu hari sama kamu, tapi aku duluan hehe" jelasnya terkekehMei senyum kecut melihat tingkah serta penjelasannya."maksudmu peresmian pernikahanmu?" ledek Mei"apapun itu, intinya pernikahanku sama mas Radit" jawabnyaIa terlalu percaya diri bahkan saat tengah mempersiapkan pernikahan dengan kondisi perut yang sudah membesar. Seolah ia malah memamerkannya laksana sebuah kebanggaan."jangan lupa dateng ya Nay" jawabnya sembari berlalu"pasti" jawabkuLangkahnya yang sok anggun membuat Mei terlihat muak, dia terus saja mengusikku bahkan disaat aku sudah tak peduli dengan kehidupannya bersama mas Radit.Dari arah depan mas Radit menyambut sang isteri, tapi sikapnya berubah kikuk saat mendapati aku dan Mei ditempat itu juga. Dia melempar senyum, tapi aku membalas dengan tatapan datar tanpa ekspresi.Aku terus menemani Mei mem
Aku tak begitu peduli dengan mas Radit dan Dini, karena memang aku sudah tak mau terlibat masalah dengan mereka.Rifki menjemputku untuk menemani Mei menuju kantor urusan agama. Tidak, lebih tepatnya kami kesana untuk urusan masing-masing. Rifki kembali ke tokonya setelah aku sudah bersama Mei."ayo Nay" Aku menaiki motornya. Tiap langkah kami, kukumpulkan tekad beserta tujuanku. Membatalkan pernikahan untuk kedua kalinya adalah sesuatu yang membuatku malu. Tapi, itulah seharusnya."kenapa kamu nggak nunggu mas Deni ngasih keputusan lagi Nay, kemarin dia ngomong gitu karena suasana hatinya sedang sedih" ucap Mei"kenapa aku harus menunggu untuk sesuatu yang sudah diputuskan?" tanyaku balik"aku malu Mei, kok terkesannya aku yang ngejar-ngejar mas Deni. Padahal aku mau nikah sama dia juga karena wasiat dari almarhumah Ilma" lanjutku"Ya udah, tapi kamu jangan sedih ya" jawabnyaKami terus melaju pada tempat yang kami tuju. Seorang ibu berseragam coklat menyambut kami, ia begitu sumrin
Sepulang dari desa kaliwangi, aku belum lagi ke rumah bu dhe. Rasanya ada rasa sungkan bertemu mas Deni. Ibu masih di sana, mungkin sampai acara tujuh hari selesai. "Nanti malam kamu kesini ya Nay" ucap ibu pada sambungan telephon."InsyaAlloh bu" Aku menutup telephon, lalu melanjutkan sholat subuh. Masih terlalu pagi, tapi ibu sudah mengingatkan banyak acara untuk hari ini. Dimulai ke kantor urusan agama untuk kembali membatalkan pernikahanku, membantu persiapan pernikahan Mei, belum lagi aku harus ke rumah mas Deni, Itu adalah bagian yang paling berat bagiku.Setelah selesai beres-beres rumah dan menyiapkan sarapan, aku melongok jam bundar didinding. Sudah pukul tujuh. Aku bergegas, langkahku mantap menuju kantor urusan agama. Mungkin petugas disana akan menganggap aku bermain-main dengan pernikahan karena ini kali kedua aku membatalkan pernikahan.Tok tok tok !!!Terdengar Suara ketukan dari arah pintu depan, aku cepat-cepat menuju ruang tamu."mungkin ibu pulang, dia kan belum k