Malam semakin larut.Ibu masuk ke dalam kamarku dan Tania. “Ini Ibu buatkan, Teh.”“Darimana Ibu tahu kalau aku belum tidur?” kataku bergegas duduk.Ibu tidak menjawab. “Minum sajalah.” Dia tersenyum dan memberiku secangkir teh.Aku menunduk lalu bersandar di bahu Ibu. Terasa begitu nyaman dan hangat. Aku lupa kapan terakhir bersandar di bahu ibuku seperti ini. Pasti sudah lama sekali.“Ibu tahu saat ini kamu merasa bahwa hidup ini berat. Kamu terluka, tapi Ibu percaya jika putri kebanggaan Ibu adalah wanita yang tegar, Ibu yakin kamu bisa melewati ini semua dengan jalan keluar yang terbaik. Malam ini, rasa sakit itu akan berkurang seperempat, besok akan berkurang separuhnya, dan lusa sudah tidak akan terasa sakit lagi. Percaya saja dengan itu. Karena beberapa hari lagi kamu akan bersyukur karena sudah melangkah sejauh ini. Tidak ada kata nasib buruk dari tuhan. Semua ada hikmahnya dan sebagai manusia biasa, kita hanya bertugas untuk mencari hikmah dari semua kejadian lalu akhirnya b
Begitu kakiku melangkah ke dapur, Aku langsung disambut Aisyah dengan panci saus pasta yang sudah kubuat sebelumnya. Aku begitu sibuk hari ini. Banyak pesanan pasta yang masuk. Untung saja Aisyah punya waktu membantu.“Setelah ini, kamu sudah bisa memikirkan untuk mencari asisten,” bisik Aisyah.“Iya, aku tahu,” jawabku tetap bekerja dengan cekatan.Ini adalah hari ke tiga, kami membuka pesanan pasta. Dari kemarin, pesanan terus bertambah dan puncaknya hari ini. Ada pesanan untuk acara arisan di siang dan acara reuni komunitas gitar di malam hari.“Siapa sangka kamu begitu terkenal soal masak di sekolah kita dulu. Gila! Kakak kelas, adik kelas bahkan guru SMA kita dulu langsung bergerak untuk memesan pasta buatanmu,” puji Aisyah bangga.“Aku juga tidak menyangka,” jawabku merasa senang.“Tapi iya, sih. Kalau kamu tidak terkenal, tidak mungkin sepupuku si Haikal bisa sangat-sangat mengidolakanmu sejak dulu.”Mendengar itu aku tersanjung.“Aduhai, Mama Tania. Meriah sekali!” Ibuku masuk
Jumat malam. Cahaya dari lampu kendaraan misterius itu masih bergerak lambat. Berhubung belum dekat, aku menggenggam obeng dengan sangat erat. Tanganku berlatih sekedarnya jika harus ada pertarungan kecil. Biar tak lama, aku pernah mengikuti pelatihan karate di sekolah. Sedikit banyaknya manfaat latihan dari seni bela diri itu, aku bisa menendang lawanku dengan baik.Kendaraan itu sudah dekat. “Bandrek, Dek?” Sebuah pertanyaan diberikan kepadaku.Kulepaskan nafas lega. “Tidak,” jawabku singkat. Itu hanyalah bapak tua penjual bandrek dengan gerobak dagangannya. Pantas saja jalannya lambat. Motor yang ia pakai tidak kalah tua dengan usianya. Seketika sadar, aku lalu memanggil, “Pak!” Aku bergerak mendekati, setengah berlari. Gerobak bandrek itu berhenti mendadak. Bapak itu terkejut mendapatiku sudah menyusul dan kini berada tepat di depannya. Keterkejutannya seperti sedang melihat hantu. Matanya tertuju pada obeng yang kupegang erat. Tidak bermaksud menakuti, aku lantas mengantongi ob
(Dari sudut pandang Reno)Sejak tadi malam aku resah. Handphone milikku tertinggal di mobil Anggi saat ia mengantarku pulang dari kantor kemarin. Mobilku sedang dalam proses perbaikan di bengkel. Besok pagi akan diantar mekanik ke rumah. Bagaimana jika Jane melakukan panggilan. Aku tidak ingin ia salah paham. Pagi ini, aku sudah berada di kantor dan sudah mulai tidak sabar menunggu kehadiran Anggi. Aku ingin segera meminta hp ku. Aku Reno Ardian. Suami dari Jane dan Ayah dari Tania. Bagiku, mereka berdua adalah napasku. Aku yakin sekali jika Jane tahu bahwa aku sangat mencintainya melebihi dari apapun di dunia ini. Bahkan, aku mencintainya melebihi perkiraannya tentang perasaanku kepadanya. Aku bisa gila jika ia berencana untuk berpisah denganku. Apa saja akan kulakukan agar hubungan rumit ini bisa berakhir dengan baik dan bahagia. Sebagai catatan, aku tidak ingin melepas satupun dari mereka. Jane. Aku mengenalnya saat ia pertama kali menginjakkan kaki di sek
“Aku cantik, tidak. Mas?”“Cantik,” jawabku sekenanya. Hatiku tidak tenang. Bagaimana jika di acara itu nantinya ada yang menanyakan tentang keberadaan istriku, Jane. Aku masih saja gelisah, meski sebelumnya Mama sudah meyakinkan bahwa acara itu adalah perhelatan orang-orang penting di dunia bisnis. Tidak ada yang perduli dengan privasi masing-masing pengunjung acara.“Reno!” Itu Mama. Ia sedang memegang cangkir mahal dengan minuman merah di dalamnya. Ia melambaikan tangannya ke arah kami agar segera datang menghampirinya. Di sana, ada beberapa pria berjas yang menunggu. Aku lantas merapikan dasiku saat berjalan pelan ke arah mereka dan Anggi menggantungkan tangannya di tangan kiriku. Oke baiklah, Ini semua demi bisnis.“Kenapa lama sekali?” Mama tersenyum penuh wibawa memandangi tangan Anggi.“Kami sudah di sini sejak tadi, Bu. Tapi Mas Reno menemaniku berbicara di depan wartawan berita ekonomi sebelum masuk ke ruangan ini,” jelas Anggi tersenyum tak kalah wibawa.“Pria yang baik,” u
Jangan panggil aku Reno, jika aku tidak bisa membawa istriku pulang ke rumah dalam waktu dekat.Pagi ini aku bangun lebih cepat dari biasanya. Aku ijin tidak masuk ke kantor. Handphone sengaja kumatikan dan kutinggalkan di rumah. Aku ingin mengurus sesuatu yang harus sesuai dengan rencanaku. Aku ingin mengeluarkan bakat aktingku yang terpendam. Kali ini aku menuju sebuah rumah peran di tengah kota. Tempat dimana sahabat lamaku kini bekerja. Saat sampai di sana, aku sangat antusias masuk dan mencari sosok sahabatku tersebut.“Bram?” Aku menegur seseorang di depan teras bangunan.“Reno!” Dia langsung mengenaliku dan menjabat tanganku erat. Kami bercanda gurau sebelum akhirnya masuk ke dalam ruang kerja miliknya, lalu aku mulai membicarakan hal serius tentang masalahku serta alasan mengapa aku mencarinya.“Aku ingin dibuatkan set rumah sakit dalam keadaan koma, Bro! Aku bayar berapapun untuk itu. Aku hanya ingin istriku percaya bahwa aku sedang dalam keadaan sakit yang serius.”“Wah. Aku
Mati saja, Mas.Senja terlihat manis di ujung jendela rumah sakit ini. Aku sendiri menikmati rasa rindu dan rasa senang untuk kehadirannya. Pukul berapa ini? Kenapa Jane belum kunjung datang? Tapi biarlah, yang terpenting adalah dia berkata bahwa dia akan datang hari ini.“Mas Reno!” Gadis itu datang ke dalam ruangan.“Ke-Kenapa kamu di sini?” tanyaku kebingungan. Suaraku sampai tercekat karena terkejut melihatnya sudah berada di dalam ruangan dengan disusul mamaku.“Kami yang seharusnya bertanya, kenapa Jane yang berada di luar kota lebih dahulu tahu berita keadaanmu dibandingkan kami!” Mama memotong.Gadis itu adalah Anggi, dan saat ini ia sedang menangis, aku panik, meski begitu, aku masih sempat memperhatikan wajahnya yang terlihat cantik saat menghapus air mata.“Aku tidak apa-apa. Bisakah kalian pulang saja untuk saat ini?” jelasku mulai merasa kewalahan, memikirkan apa yang akan terjadi jika Jane datang.“Kenapa harus pulang? Mama masih geram dikirimi fotomu dalam keadaan berd
(Dari sudut pandang Haikal)Namaku Haikal. Semua orang yang pernah dekat denganku mengatakan bahwa selain tampan, aku juga sangat loyal dan perhatian. Itulah mengapa setiap wanita yang dekat denganku selalu merasa aku perlakukan secara spesial. Padahal, tidak ada yang spesial. Semua sama. Wanita manapun memanglah harus diperlakukan dengan sebaik mungkin. Sebelum akhirnya aku bertemu dengan Jane. Kakak kelas saat aku duduk di bangku SMU.Awalnya aku memang ingin selalu memperhatikannya, mengapresiasi setiap prestasinya hingga secara diam-diam menjadi penggemar rahasianya. Tapi, ternyata kebiasaanku memuji-muji namanya, membuat tidak nyaman teman les pianoku sekaligus tetanggaku, Anggi. Putri tunggal dari keluarga kaya raya dari kalangan pengusaha international. Anggi kerap sekali kesepian ditinggal orang tuanya untuk urusan bisnis keluar negeri.Aku masih ingat sekali saat terakhir Anggi pergi meninggalkanku dan tidak ingin lagi dekat denganku adalah saat Jane menikah dengan Reno. Saat
Malam hari, sambil menyandang ransel besar yang penuh terisi buku-buku hukum. Jane berjalan cepat menuju mobil meninggalkan rumah ibunya yang sudah sepi karena semua penghuni sudah tertidur pulas. Belum sampai ke mobil, sebuah mobil masuk ke dalam pekarangan rumah Ibu Jane. Itu adalah mobil milik Haikal. Jane tertegun menurunkan tas ranselnya karena terlalu berat jika terus-terusan dipikul. Haikal keluar dari mobil dengan senyuman, lalu mendekati Jane.“Kamu mau ke mana, Jane?”“Ke rumah teman, dia berprofesi sebagai pengacara. Jadi, aku mau tanya banyak hal ke padanya.”“Tengah malam begini?”Jane terdiam. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Sebab, mulanya ia ingin ke rumah Haikal untuk memastikan secara langsung tentang sejauh mana kasus ayahnya kini bergulir. Haikal lantas mengangkat tas ransel milik Jane, lalu menggiringnya masuk ke dalam rumah.“Ibu sudah tidur?”“Iya, sudah. Oh, iya. Mau aku buatkan teh atau kopi?” tanya Jane.“Kopi saja, Jane.”“Baiklah kalau begitu. Sebentar ya
Jane menutup buku yang sedari tadi ia baca. Ia mempelajari pasal-pasal kuhp yang diarahkan Haikal untuk ia pelajari. Masalah hutang ayahnya sudah lunas secara tuntas kepada pihak-pihak rentenir dengan menggunakan sebagian uang claim asuransi perusahaan. Dimana salah satu rentenir tersebut adalah Sania yakni Ibu mertuanya sendiri.Jane telah berbicara secara serius dengan ayahnya tentang konsekuensi strategi yang akan mereka tempuh setelah ini. Ayah Jane menyatakan ia siap untuk semuanya asal ia bisa kembali menyandang nama asli, lalu bisa bertatap muka dan berbicara langsung dengan Istri dan anaknya. Mendengar itu Jane terharu meski awalnya ia ragu. Sedangkan masalah ganti rugi yang pasti juga akan menjadi masalah sudah diantisipasi oleh Haikal.Sejak awal, Ayah Jane memberikan sejumlah saham dan uang kepada Haikal untuk dikembangkan demi hari ini. Hari dimana Ayahnya Jane akan mengakui kesalahannya di mata hukum atas pemalsuan kematian serta membayar ganti rugi atas uang asuransi ya
lBerminggu-minggu sudah terlewati menjadi istri yang memiliki madu. Jane tidak merasa semakin bahagia dan tidak pula merasa rumah tangganya semakin sakinah. Reno tidak bisa membagi waktu secara adil dan Anggi terlalu possesif kepada Reno.“Pokoknya, Jane tidak boleh hamil sebelum aku berhasil hamil dan melahirkan anak!” tegas Anggi di depan Jane dan Reno di sebuah kantin kampus, tempat Jane kuliah. Reno mengunjungi Jane untuk memberikan paket makanan untuk Tania. Tidak lama kemudian, tanpa diundang, Anggi hadir dan langsung bergabung di meja yang sama dengan mereka. Pada awalnya, Anggi hanya diam, tetapi melihat Jane dan Reno mulai bercanda gurau. Anggi menjadi cemburu dan membahas hal yang tidak nyambung dengan maksud pertemuan itu.“Waduh, tapi bagaimana ya? Aku sepertinya sedang hamil anak kedua.” Jane menjawab usil.“Kalau begitu gugurkan!” tegas Anggi.“Kamu sudah gila yaa, Nggi. Kamu tidak berhak mengatur hidup Jane,” bentak Reno.“Terima kasih untuk paketnya, Mas. Aku masuk
BAB 34Sup IGA Asin Untuk AnggiLama Reno termenung selepas ia mendirikan shalat shubuh hari ini. Ia sengaja mengunci kamar dari dalam agar Anggi tidak tidur dengannya malam tadi. Namun, di balik rasa kecewa terhadap perbuatan Anggi kepada putri yang amat ia sayangi, Reno juga kasihan dengan Anggi.Ia tahu bahwa Anggi tidak berniat untuk melukai Tania. Ia hanya mempermudah cara menjaga Tania dengan cara yang amat salah. Sejak kecil Anggi dibesarkan dengan gelimang harta dan kemewahan. Termasuk, dengan penjaga, pelayan dan pembantu di dalam hidupnya. Pastilah sulit untuk menerima tanggung jawab menjadi Ibu sambung dan harus menyisihkan waktu untuk bertugas menjaga anak tirinya.Meski begitu, ia belum tampak lunak terhadap Anggi karena rasa bersalah yang besar kepada Jane. Ia malu karena takut pada akhirnya ucapan Jane benar yakni tidak mungkin ada yang bisa menggantikan posisinya menjadi Ibu Tania.Reno bingung dan belum bisa berpikir jernih untuk hal yang harus diperbuat setelah ini.
BAB 33“Aku bisa jelaskan, Mas!” Kini Anggi mulai menangis dengan raut muka ketakutan.“Sebaiknya kamu diam!” ujar Reno membantu Jane membuka rantai.“Dasar wanita tidak berperasaan! Jangan mentang-mentang Tania bukan anakmu, kamu bisa berbuat seperti ini!” bentak Sania.Jane hanya menangis dan segera menggendong putri kesayangannya. Tidak lama kemudian, ia mengemasi barang-barangnya dengan tetap menggendong Tania. Reno bertanya ia sedang melakukan apa? Jane menjawab bahwa ia akan pulang ke rumah Ibunya.Jane dengan tegas menyatakan bahwa ia tidak terima dengan perbuatan Anggi kepada anaknya dan tidak pernah lagi bisa percaya kepada Anggi untuk menjaga anaknya. Reno berusaha menenangkan dan berkata ia bisa menegur Anggi, tetapi Jane tidak boleh pergi. Reno menjamin bahwa semua akan baik-baik saja. Jane kemudian berteriak.“Cukup, Mas! Cukup!” geram Jane.“Jane….” Reno panik.“Aku tidak mau lagi tinggal di sini!” ujar Jane sangat yakin.“Tapi….” Reno masih berusaha menahan Jane.“Tapi,
“Sayang!”“Biasa saja memanggilku, Mas. Aku merinding mendengarnya!” keluh Jane.“Kapan kamu pindah ke rumah baru kita?”“Kamu mau aku satu atap dengan kalian, Mas? Kamu sudah gila ya?”“Tidak. Aku hanya memikirkan kebaikanmu. Aku sudah berbicara pada Mama tentang impianmu untuk pendidikan. Mama siap membantumu mewujudkan impianmu sebab kini sudah ada Anggi yang akan membantu mengurusku.”Di dalam benak Jane ia menyesalkan sifat suaminya yang sedikit-sedikit harus lapor Ibunya seolah tidak punya pendirian. Tapi sejenak Jane berpikir tentang tawaran yang diberikan oleh Reno. Melanjutkan pendidikan memang merupakan hal yang ia inginkan ditambah lagi keadaan baru ini sedikit membuatnya merasa rumit dan aneh. Mungkin, ia bisa mencoba dunia baru untuk sejenak lepas dari sebuah kenyataan yang ia anggap beban.“Maksud kamu, aku bisa kuliah lagi, Mas?”“Iya. Tentu saja!”“Lalu, bagaimana dengan Tania?”“Biar Anggi yang mengurusnya.”“Kamu percaya dengan Anggi?”“Tentu saja aku percaya. Dia ak
Hari itu adalah hari rabu saat Reno dan Anggi menggelar pernikahan mereka. Ibu Jane sengaja dibiarkan tidak mengikuti acara sakral tersebut. Tania yang merupakan putri tunggal dari Reno dan Jane ikut serta dalam prosesi acara. Anggi tampak sangat menyayangi Tania dengan terus memangkunya saat acara akad belum dimulai. Setelah panitia mengatakan bahwa prosesi ijab kabul akan segera berlangsung, barulah Sania memberikan gadis kecil itu kepada Jane.Beragam rasa kini bercampur aduk di sanubari Jane, ia tidak tahu mengapa merasa sangat sedih di acara itu. Apalagi saat bapak penghulu membuat guyonan lucu tentang beruntungnya Reno bisa memiliki dua istri yang akur. Semua tertawa terbahak-bahak, seakan tidak ada yang peduli dengan hati Jane. Tidak ada yang bisa sedikit bersimpati kepadanya. Jelas-jelas hanya dia saja yang tidak menganggap lucu guyonan tersebut. Jika bukan karena janji mereka, maka tidak akan Jane sudi berada di tengah-tengah mereka.Sampai salah seorang sahabat Reno di penga
BAB 30 Jarum jam terdengar berdetak jelas sekali, kali ini hati Jane benar-benar berdebar kencang melebihi detak jarum jam tersebut. Ia sudah tidak sabar mendengarkan rahasia besar tentang Ayah kandungnya. Segala gerak-gerik Anggi dan Reno ia perhatikan secara detail. Ini adalah tentang kebenaran dan keluarga. Yang benar harus terungkap. Anggi menyiapkan televisi di depan Jane dan mulai memutar video tersebut sembari menjelaskan isi dari video. Anggi menatap Reno yang sedikit gugup menyaksikan semua ini.“Dengar, Mbak. Setelah ini, kamu punya janji yang harus ditepati sesuai dengan surat perjanjian yang telah kamu tanda tangani di atas materai.”“Bolehkah langsung saja! tidak usah lagi berbasa-basi! Kita sudah membahas itu sebelumnya!”“Baiklah, Mbak. Aku hanya mengingatkan!”Anggi mulai memutar video tersebut, itu adalah video rekaman cctv milik kampus. Terlihat dua orang mengangkat sesuatu yang mirip jasad yang terbungkus oleh kantong jasad berwarna orang
BAB 29ANGLE FOTODua hari setelah hari lamaran Anggi“Selamat pagi, Mbak Jane!”“Anggi?” Jane terkejut melihat Anggi di suatu tempat perbelanjaan.“Iya, saya mbak.”Hati Jane berdebar, mendengar Anggi menyebutkan kata Mbak paska acara lamaran sebelumnya. “Kenapa kamu bisa ada di sini? Kamu mengikuti saya?” tanya Jane heran. Kenapa bisa sangat kebetulan Anggi ada di sana.“Kalau dibilang kebetulan sih, tidak, tapi jika dibilang mengikuti juga tidak, Mbak. Mas Reno yang bilang Mbak Jane sedang ada di swalayan ini untuk membeli belanja bulanan sendirian,” jawab Anggi santai.“Lalu untuk apa kamu mendatangi saya?”“Saya ingin membantu Mbak Jane belanja. Bukankah nantinya kita harus kompak?” jawab Anggi dengan senyuman sinis.“Tidak perlu! Saya tidak butuh bantuan kamu!” jawab Jane.“Jangan terlalu keras dengan hubungan ini, Mbak. Sudah saatnya Mbak Jane menyerah dengan ego dan mencoba legowo dengan takdir.”“Kamu ini bukan Tuhan, Nggi. Kamu tidak berhak bicara tentang takdir.”“Semakin M