Malam hari, sambil menyandang ransel besar yang penuh terisi buku-buku hukum. Jane berjalan cepat menuju mobil meninggalkan rumah ibunya yang sudah sepi karena semua penghuni sudah tertidur pulas. Belum sampai ke mobil, sebuah mobil masuk ke dalam pekarangan rumah Ibu Jane. Itu adalah mobil milik Haikal. Jane tertegun menurunkan tas ranselnya karena terlalu berat jika terus-terusan dipikul. Haikal keluar dari mobil dengan senyuman, lalu mendekati Jane.“Kamu mau ke mana, Jane?”“Ke rumah teman, dia berprofesi sebagai pengacara. Jadi, aku mau tanya banyak hal ke padanya.”“Tengah malam begini?”Jane terdiam. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Sebab, mulanya ia ingin ke rumah Haikal untuk memastikan secara langsung tentang sejauh mana kasus ayahnya kini bergulir. Haikal lantas mengangkat tas ransel milik Jane, lalu menggiringnya masuk ke dalam rumah.“Ibu sudah tidur?”“Iya, sudah. Oh, iya. Mau aku buatkan teh atau kopi?” tanya Jane.“Kopi saja, Jane.”“Baiklah kalau begitu. Sebentar ya
Namaku adalah Jane. Aku merupakan seorang istri dari kepala divisi pemasaran di perusahaan kosmetik terkenal di kota ini. Umur pernikahanku dengan Mas Reno masih tiga tahun. Belum lama dan masih tergolong pengantin muda.Meski begitu, hubunganku dengannya sudah sangat lama. Lima belas tahun kami berpacaran hingga akhirnya mantap untuk memutuskan menikah.Sebenarnya orang tuaku tidak setuju, sebab aku belum menyelesaikan kuliahku di jurusan bahasa inggris. Aku berbakat di pendidikan, tetapi pikirku, aku lebih berbakat dalam hal menaklukan cinta.Hari ini bakat itu kuragukan. Hatiku rasanya ingin meledak saat wajah perempuan tidak asing mendatangiku dan saat ini duduk manis di depanku. Dia memperkenalkan dirinya dengan nama Anggi."Begini, Mbak, saya ke sini atas inisiatif saya sendiri. Bukan dari suruhan Mas Reno" akunya tanpa basa-basi.Hatiku mulai tidak karuan, wajahnya sangat familier di halaman facebook Reno. Hampir di setiap postingan Reno ada komentar darinya. Dia juga sering me
Keesokan harinya, Reno bergerak di rumah kami seperti biasa. Bangun, mandi, sarapan, lalu ijin berangkat bekerja. seperti tidak ada kejadian apa-apa.Apakah sikapnya begitu karena ia merasa kejadian kemarin memang bukanlah hal yang penting untuk dibahas lagi atau memang karena takut aku murka.Entahlah, yang jelas aku sedang tidak nyaman melihat wajahnya. mudah-mudahan tidak berlanjut lama, sebab sejujurnya aku juga ingin segera melupakan tentang kedatangan perempuan yang tidak diundang itu.Aku bergegas mengurus bayiku. Namanya Tania, belum genap dua tahun. setelah menyuapkannya bubur beras merah, aku lantas menjemur dan memandikannya hingga selesai. Tania kemudian kembali mengantuk. aku mengayunnya hingga tertidur. Hatiku bahagia melihat wajahnya yang cantik, putih dan bersih seperti putri salju. Penyemangat hidupku.Belum lama Tania tertidur, suara handphone berdering dari kamar. Itu bukan handphone milikku. Itu adalah handphone milik Reno. Astaga, Reno mungkin belum sadar kalau ha
Empat hari sudah aku menghilang dari rumah. Reno mencari ke rumah orang tuaku di Bandung, Ia tidak begitu saja percaya pada Ibu yang mengatakan bahwa aku tidak berkunjung ke rumahnya. Namun, aku tidak bodoh, tentu saja aku tidak tinggal di rumah Ibu. Aku berdiam di rumah peninggalan milik Almarhum Ayah di puncak.Ibuku memilih tidak ikut campur dalam masalah rumah tangga kami. Ibu hanya memberiku semangat dan membantu menjaga Tania di saat berkunjung. Yang aku tahu, aku merasa malu kepada Ibu. Andai aku mendengarkan orang tuaku untuk tidak menikah secepat itu. Mungkin, saat ini aku tidak bergantung pada Mas Reno dalam hal penghasilan.“Sudah dua kali suamimu datang ke rumah. Ia terlihat sangat menghawatirkanmu, Jane,” ujar Ibu sembari menyuapi Tania makan.“Aku benar-benar sedang ingin sendiri, Bu.”“Apa tidak sebaiknya kamu mengaktifkan handphone milikmu, Nak. Setidaknya, beri kabar kalau kamu sedang baik-baik saja bersama Tania.”“Iya bu, nanti aku aktifkan,” jawabku malas.“Jika ta
Cahaya lilin yang kekuningan menimpa wajah Reno. siapapun pasti setuju dengan julukan tampan untuk Reno. sekali lagi, kami tidak berdebat tentang apapun untuk kejadian kemarin, dimana ia menampar Anggi. Aku juga malas mengulas dan membahas sebab akibat kejadian itu. saat ini, yang menjadi peganganku adalah Reno tidak akan melangkah ke jenjang impian Anggi tanpa persetujuanku. untuk itu, aku masih bisa mempercayainya. Jika dipikirkan, pernikahan ternyata bukanlah akhir cerita bahagia untuk sebuah hubungan seperti yang sering menjadi alur drama romantis di televisi. Awal pernikahan pasti masih terasa sangat manis di tahun pertama, tahun di mana negara api belum menyerang. Jika, saat masih gadis aku bisa tidur kapan pun aku mau, ingin makan, belanja, traveling dan apapun itu tanpa mempertimbangkan pengeluaran. kini, semua menjadi hal berbeda. Baik, sebenarnya aku sama sekali tidak keberatan karena anak adalah sumber kebahagiaan yang tidak mungkin aku dapatkan saat masih berstatus ga
Mas Reno memandangi Tania, putri kecil kami yang sedang membentuk sesuatu dengan balok-balok miliknya. Belakangan ini kegiatan Mas Reno sudah banyak berubah. Ia dan putriku lebih banyak menghabiskan waktu berdua saja di jam pulang kantor. Melihat itu, tentu saja aku senang.Meski banyak orang berkata jika suami tiba-tiba berubah bersikap sangat baik atau meluangkan waktu yang banyak dengan istri dan anaknya maka sejatinya ia telah melakukan kesalahan di luar dan sedang berusaha menutupinya. Aku tidak perduli.Fokusku saat ini adalah mendalami makna bertahan sebab aku hanya butuh diriku sendiri dan Tuhan untuk memahaminya. bukan omongan orang lain."Mas, ini undangan apa?" tanyaku memegang undangan di atas meja kerja suami yang sedang kurapikan."Oh, Itu." Mas Reno lantas mendekat dan meraih undangan yang baru saja berada di tanganku."Hanya undangan ulang tahun perusahaan.""Aku mau ikut, Mas.""Acara seperti ini pasti membosankan,Jane.""Tapi. aku mau ikut!""Kalau kamu ikut, Bagaima
Tidak ada alasan untuk meninggalkan dapur di jam sepagi ini. Reno akan segera bangun dalam keadaan lapar dan aku harus mempersiapkan sarapan serta teh hangat untuknya.Tawaran dari Pak Burhan tadi malam masih bergentayangan di dalam kepalaku. Sudah lama rasanya, aku ingin menebus rasa bersalah kepada kedua orang tua yang sejak aku duduk di bangku sekolah dasar selalu bangga atas prestasiku. Aku ingin sekolah lagi. Aku ingin mengukir prestasi lagi.Masih terngiang saat Ayah bertanya kepadaku menjelang lulus SMA, “Kamu nanti mau kuliah jurusan apa?”“Ayah maunya aku ambil jurusan apa?”“Jurusan apa saja boleh asal kamu bisa mengikutinya dengan baik dan fokus.”“Kayaknya aku ambil jurusan tata boga saja, ya, kan, Yah?”“Boleh,” jawabnya saat itu.Ibu datang menimpali, “Kuliah itu pegangannya buku, pena, kamus dan sejenisnya, bukan sendok dan panci!”“Loh, Ibu ini kok sepele. Orang-orang pada bayar mahal ke luar negeri asal bisa belajar menjadi chef profesional. Bayangkan saja, sekali mem
Selembar kertas bertuliskan menu tergeletak di atas meja. Aku belum memesan apapun selain secangkir kopi pahit agar selaras dengan rasa yang ada di dalam hati. Meja yang berada di belakangku adalah meja yang diduduki Reno dan Anggi. Penyamaranku sepertinya berhasil sebab mereka sama sekali tidak memperhatikan ke arah meja ini. Seorang pelayan mengantarkan minuman yang dipesan Reno dan Anggi. Mereka berbincang tentang Tania, Anakku. Pembicaraan mereka berganti topik dan mulai membuatku gugup. Pikiranku berterbangan entah ke mana-mana. Hatiku berdebar. “Sudah kamu pastikan ke dokter?” “Belum. Tapi sepertinya aku memang sedang hamil,” ujar Anggi. Langit diluar cerah, tetapi petir seolah menyambar atap restoran. Kaki-kakiku lemas, pikiranku panik. “Kamu yakin?” tanya Reno. Gelasku terjatuh. “Kenapa itu? Jatuh,” Anggi berdiri dari kursi.Aku menunduk, menggeleng tidak menjawab dan bergegas jongkok membereskan cangkirku. Reno mulai mendekati. Air mataku mengalir dari balik kaca mata