lBerminggu-minggu sudah terlewati menjadi istri yang memiliki madu. Jane tidak merasa semakin bahagia dan tidak pula merasa rumah tangganya semakin sakinah. Reno tidak bisa membagi waktu secara adil dan Anggi terlalu possesif kepada Reno.“Pokoknya, Jane tidak boleh hamil sebelum aku berhasil hamil dan melahirkan anak!” tegas Anggi di depan Jane dan Reno di sebuah kantin kampus, tempat Jane kuliah. Reno mengunjungi Jane untuk memberikan paket makanan untuk Tania. Tidak lama kemudian, tanpa diundang, Anggi hadir dan langsung bergabung di meja yang sama dengan mereka. Pada awalnya, Anggi hanya diam, tetapi melihat Jane dan Reno mulai bercanda gurau. Anggi menjadi cemburu dan membahas hal yang tidak nyambung dengan maksud pertemuan itu.“Waduh, tapi bagaimana ya? Aku sepertinya sedang hamil anak kedua.” Jane menjawab usil.“Kalau begitu gugurkan!” tegas Anggi.“Kamu sudah gila yaa, Nggi. Kamu tidak berhak mengatur hidup Jane,” bentak Reno.“Terima kasih untuk paketnya, Mas. Aku masuk
Jane menutup buku yang sedari tadi ia baca. Ia mempelajari pasal-pasal kuhp yang diarahkan Haikal untuk ia pelajari. Masalah hutang ayahnya sudah lunas secara tuntas kepada pihak-pihak rentenir dengan menggunakan sebagian uang claim asuransi perusahaan. Dimana salah satu rentenir tersebut adalah Sania yakni Ibu mertuanya sendiri.Jane telah berbicara secara serius dengan ayahnya tentang konsekuensi strategi yang akan mereka tempuh setelah ini. Ayah Jane menyatakan ia siap untuk semuanya asal ia bisa kembali menyandang nama asli, lalu bisa bertatap muka dan berbicara langsung dengan Istri dan anaknya. Mendengar itu Jane terharu meski awalnya ia ragu. Sedangkan masalah ganti rugi yang pasti juga akan menjadi masalah sudah diantisipasi oleh Haikal.Sejak awal, Ayah Jane memberikan sejumlah saham dan uang kepada Haikal untuk dikembangkan demi hari ini. Hari dimana Ayahnya Jane akan mengakui kesalahannya di mata hukum atas pemalsuan kematian serta membayar ganti rugi atas uang asuransi ya
Malam hari, sambil menyandang ransel besar yang penuh terisi buku-buku hukum. Jane berjalan cepat menuju mobil meninggalkan rumah ibunya yang sudah sepi karena semua penghuni sudah tertidur pulas. Belum sampai ke mobil, sebuah mobil masuk ke dalam pekarangan rumah Ibu Jane. Itu adalah mobil milik Haikal. Jane tertegun menurunkan tas ranselnya karena terlalu berat jika terus-terusan dipikul. Haikal keluar dari mobil dengan senyuman, lalu mendekati Jane.“Kamu mau ke mana, Jane?”“Ke rumah teman, dia berprofesi sebagai pengacara. Jadi, aku mau tanya banyak hal ke padanya.”“Tengah malam begini?”Jane terdiam. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Sebab, mulanya ia ingin ke rumah Haikal untuk memastikan secara langsung tentang sejauh mana kasus ayahnya kini bergulir. Haikal lantas mengangkat tas ransel milik Jane, lalu menggiringnya masuk ke dalam rumah.“Ibu sudah tidur?”“Iya, sudah. Oh, iya. Mau aku buatkan teh atau kopi?” tanya Jane.“Kopi saja, Jane.”“Baiklah kalau begitu. Sebentar ya
Namaku adalah Jane. Aku merupakan seorang istri dari kepala divisi pemasaran di perusahaan kosmetik terkenal di kota ini. Umur pernikahanku dengan Mas Reno masih tiga tahun. Belum lama dan masih tergolong pengantin muda.Meski begitu, hubunganku dengannya sudah sangat lama. Lima belas tahun kami berpacaran hingga akhirnya mantap untuk memutuskan menikah.Sebenarnya orang tuaku tidak setuju, sebab aku belum menyelesaikan kuliahku di jurusan bahasa inggris. Aku berbakat di pendidikan, tetapi pikirku, aku lebih berbakat dalam hal menaklukan cinta.Hari ini bakat itu kuragukan. Hatiku rasanya ingin meledak saat wajah perempuan tidak asing mendatangiku dan saat ini duduk manis di depanku. Dia memperkenalkan dirinya dengan nama Anggi."Begini, Mbak, saya ke sini atas inisiatif saya sendiri. Bukan dari suruhan Mas Reno" akunya tanpa basa-basi.Hatiku mulai tidak karuan, wajahnya sangat familier di halaman facebook Reno. Hampir di setiap postingan Reno ada komentar darinya. Dia juga sering me
Keesokan harinya, Reno bergerak di rumah kami seperti biasa. Bangun, mandi, sarapan, lalu ijin berangkat bekerja. seperti tidak ada kejadian apa-apa.Apakah sikapnya begitu karena ia merasa kejadian kemarin memang bukanlah hal yang penting untuk dibahas lagi atau memang karena takut aku murka.Entahlah, yang jelas aku sedang tidak nyaman melihat wajahnya. mudah-mudahan tidak berlanjut lama, sebab sejujurnya aku juga ingin segera melupakan tentang kedatangan perempuan yang tidak diundang itu.Aku bergegas mengurus bayiku. Namanya Tania, belum genap dua tahun. setelah menyuapkannya bubur beras merah, aku lantas menjemur dan memandikannya hingga selesai. Tania kemudian kembali mengantuk. aku mengayunnya hingga tertidur. Hatiku bahagia melihat wajahnya yang cantik, putih dan bersih seperti putri salju. Penyemangat hidupku.Belum lama Tania tertidur, suara handphone berdering dari kamar. Itu bukan handphone milikku. Itu adalah handphone milik Reno. Astaga, Reno mungkin belum sadar kalau ha
Empat hari sudah aku menghilang dari rumah. Reno mencari ke rumah orang tuaku di Bandung, Ia tidak begitu saja percaya pada Ibu yang mengatakan bahwa aku tidak berkunjung ke rumahnya. Namun, aku tidak bodoh, tentu saja aku tidak tinggal di rumah Ibu. Aku berdiam di rumah peninggalan milik Almarhum Ayah di puncak.Ibuku memilih tidak ikut campur dalam masalah rumah tangga kami. Ibu hanya memberiku semangat dan membantu menjaga Tania di saat berkunjung. Yang aku tahu, aku merasa malu kepada Ibu. Andai aku mendengarkan orang tuaku untuk tidak menikah secepat itu. Mungkin, saat ini aku tidak bergantung pada Mas Reno dalam hal penghasilan.“Sudah dua kali suamimu datang ke rumah. Ia terlihat sangat menghawatirkanmu, Jane,” ujar Ibu sembari menyuapi Tania makan.“Aku benar-benar sedang ingin sendiri, Bu.”“Apa tidak sebaiknya kamu mengaktifkan handphone milikmu, Nak. Setidaknya, beri kabar kalau kamu sedang baik-baik saja bersama Tania.”“Iya bu, nanti aku aktifkan,” jawabku malas.“Jika ta
Cahaya lilin yang kekuningan menimpa wajah Reno. siapapun pasti setuju dengan julukan tampan untuk Reno. sekali lagi, kami tidak berdebat tentang apapun untuk kejadian kemarin, dimana ia menampar Anggi. Aku juga malas mengulas dan membahas sebab akibat kejadian itu. saat ini, yang menjadi peganganku adalah Reno tidak akan melangkah ke jenjang impian Anggi tanpa persetujuanku. untuk itu, aku masih bisa mempercayainya. Jika dipikirkan, pernikahan ternyata bukanlah akhir cerita bahagia untuk sebuah hubungan seperti yang sering menjadi alur drama romantis di televisi. Awal pernikahan pasti masih terasa sangat manis di tahun pertama, tahun di mana negara api belum menyerang. Jika, saat masih gadis aku bisa tidur kapan pun aku mau, ingin makan, belanja, traveling dan apapun itu tanpa mempertimbangkan pengeluaran. kini, semua menjadi hal berbeda. Baik, sebenarnya aku sama sekali tidak keberatan karena anak adalah sumber kebahagiaan yang tidak mungkin aku dapatkan saat masih berstatus ga
Mas Reno memandangi Tania, putri kecil kami yang sedang membentuk sesuatu dengan balok-balok miliknya. Belakangan ini kegiatan Mas Reno sudah banyak berubah. Ia dan putriku lebih banyak menghabiskan waktu berdua saja di jam pulang kantor. Melihat itu, tentu saja aku senang.Meski banyak orang berkata jika suami tiba-tiba berubah bersikap sangat baik atau meluangkan waktu yang banyak dengan istri dan anaknya maka sejatinya ia telah melakukan kesalahan di luar dan sedang berusaha menutupinya. Aku tidak perduli.Fokusku saat ini adalah mendalami makna bertahan sebab aku hanya butuh diriku sendiri dan Tuhan untuk memahaminya. bukan omongan orang lain."Mas, ini undangan apa?" tanyaku memegang undangan di atas meja kerja suami yang sedang kurapikan."Oh, Itu." Mas Reno lantas mendekat dan meraih undangan yang baru saja berada di tanganku."Hanya undangan ulang tahun perusahaan.""Aku mau ikut, Mas.""Acara seperti ini pasti membosankan,Jane.""Tapi. aku mau ikut!""Kalau kamu ikut, Bagaima
Malam hari, sambil menyandang ransel besar yang penuh terisi buku-buku hukum. Jane berjalan cepat menuju mobil meninggalkan rumah ibunya yang sudah sepi karena semua penghuni sudah tertidur pulas. Belum sampai ke mobil, sebuah mobil masuk ke dalam pekarangan rumah Ibu Jane. Itu adalah mobil milik Haikal. Jane tertegun menurunkan tas ranselnya karena terlalu berat jika terus-terusan dipikul. Haikal keluar dari mobil dengan senyuman, lalu mendekati Jane.“Kamu mau ke mana, Jane?”“Ke rumah teman, dia berprofesi sebagai pengacara. Jadi, aku mau tanya banyak hal ke padanya.”“Tengah malam begini?”Jane terdiam. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Sebab, mulanya ia ingin ke rumah Haikal untuk memastikan secara langsung tentang sejauh mana kasus ayahnya kini bergulir. Haikal lantas mengangkat tas ransel milik Jane, lalu menggiringnya masuk ke dalam rumah.“Ibu sudah tidur?”“Iya, sudah. Oh, iya. Mau aku buatkan teh atau kopi?” tanya Jane.“Kopi saja, Jane.”“Baiklah kalau begitu. Sebentar ya
Jane menutup buku yang sedari tadi ia baca. Ia mempelajari pasal-pasal kuhp yang diarahkan Haikal untuk ia pelajari. Masalah hutang ayahnya sudah lunas secara tuntas kepada pihak-pihak rentenir dengan menggunakan sebagian uang claim asuransi perusahaan. Dimana salah satu rentenir tersebut adalah Sania yakni Ibu mertuanya sendiri.Jane telah berbicara secara serius dengan ayahnya tentang konsekuensi strategi yang akan mereka tempuh setelah ini. Ayah Jane menyatakan ia siap untuk semuanya asal ia bisa kembali menyandang nama asli, lalu bisa bertatap muka dan berbicara langsung dengan Istri dan anaknya. Mendengar itu Jane terharu meski awalnya ia ragu. Sedangkan masalah ganti rugi yang pasti juga akan menjadi masalah sudah diantisipasi oleh Haikal.Sejak awal, Ayah Jane memberikan sejumlah saham dan uang kepada Haikal untuk dikembangkan demi hari ini. Hari dimana Ayahnya Jane akan mengakui kesalahannya di mata hukum atas pemalsuan kematian serta membayar ganti rugi atas uang asuransi ya
lBerminggu-minggu sudah terlewati menjadi istri yang memiliki madu. Jane tidak merasa semakin bahagia dan tidak pula merasa rumah tangganya semakin sakinah. Reno tidak bisa membagi waktu secara adil dan Anggi terlalu possesif kepada Reno.“Pokoknya, Jane tidak boleh hamil sebelum aku berhasil hamil dan melahirkan anak!” tegas Anggi di depan Jane dan Reno di sebuah kantin kampus, tempat Jane kuliah. Reno mengunjungi Jane untuk memberikan paket makanan untuk Tania. Tidak lama kemudian, tanpa diundang, Anggi hadir dan langsung bergabung di meja yang sama dengan mereka. Pada awalnya, Anggi hanya diam, tetapi melihat Jane dan Reno mulai bercanda gurau. Anggi menjadi cemburu dan membahas hal yang tidak nyambung dengan maksud pertemuan itu.“Waduh, tapi bagaimana ya? Aku sepertinya sedang hamil anak kedua.” Jane menjawab usil.“Kalau begitu gugurkan!” tegas Anggi.“Kamu sudah gila yaa, Nggi. Kamu tidak berhak mengatur hidup Jane,” bentak Reno.“Terima kasih untuk paketnya, Mas. Aku masuk
BAB 34Sup IGA Asin Untuk AnggiLama Reno termenung selepas ia mendirikan shalat shubuh hari ini. Ia sengaja mengunci kamar dari dalam agar Anggi tidak tidur dengannya malam tadi. Namun, di balik rasa kecewa terhadap perbuatan Anggi kepada putri yang amat ia sayangi, Reno juga kasihan dengan Anggi.Ia tahu bahwa Anggi tidak berniat untuk melukai Tania. Ia hanya mempermudah cara menjaga Tania dengan cara yang amat salah. Sejak kecil Anggi dibesarkan dengan gelimang harta dan kemewahan. Termasuk, dengan penjaga, pelayan dan pembantu di dalam hidupnya. Pastilah sulit untuk menerima tanggung jawab menjadi Ibu sambung dan harus menyisihkan waktu untuk bertugas menjaga anak tirinya.Meski begitu, ia belum tampak lunak terhadap Anggi karena rasa bersalah yang besar kepada Jane. Ia malu karena takut pada akhirnya ucapan Jane benar yakni tidak mungkin ada yang bisa menggantikan posisinya menjadi Ibu Tania.Reno bingung dan belum bisa berpikir jernih untuk hal yang harus diperbuat setelah ini.
BAB 33“Aku bisa jelaskan, Mas!” Kini Anggi mulai menangis dengan raut muka ketakutan.“Sebaiknya kamu diam!” ujar Reno membantu Jane membuka rantai.“Dasar wanita tidak berperasaan! Jangan mentang-mentang Tania bukan anakmu, kamu bisa berbuat seperti ini!” bentak Sania.Jane hanya menangis dan segera menggendong putri kesayangannya. Tidak lama kemudian, ia mengemasi barang-barangnya dengan tetap menggendong Tania. Reno bertanya ia sedang melakukan apa? Jane menjawab bahwa ia akan pulang ke rumah Ibunya.Jane dengan tegas menyatakan bahwa ia tidak terima dengan perbuatan Anggi kepada anaknya dan tidak pernah lagi bisa percaya kepada Anggi untuk menjaga anaknya. Reno berusaha menenangkan dan berkata ia bisa menegur Anggi, tetapi Jane tidak boleh pergi. Reno menjamin bahwa semua akan baik-baik saja. Jane kemudian berteriak.“Cukup, Mas! Cukup!” geram Jane.“Jane….” Reno panik.“Aku tidak mau lagi tinggal di sini!” ujar Jane sangat yakin.“Tapi….” Reno masih berusaha menahan Jane.“Tapi,
“Sayang!”“Biasa saja memanggilku, Mas. Aku merinding mendengarnya!” keluh Jane.“Kapan kamu pindah ke rumah baru kita?”“Kamu mau aku satu atap dengan kalian, Mas? Kamu sudah gila ya?”“Tidak. Aku hanya memikirkan kebaikanmu. Aku sudah berbicara pada Mama tentang impianmu untuk pendidikan. Mama siap membantumu mewujudkan impianmu sebab kini sudah ada Anggi yang akan membantu mengurusku.”Di dalam benak Jane ia menyesalkan sifat suaminya yang sedikit-sedikit harus lapor Ibunya seolah tidak punya pendirian. Tapi sejenak Jane berpikir tentang tawaran yang diberikan oleh Reno. Melanjutkan pendidikan memang merupakan hal yang ia inginkan ditambah lagi keadaan baru ini sedikit membuatnya merasa rumit dan aneh. Mungkin, ia bisa mencoba dunia baru untuk sejenak lepas dari sebuah kenyataan yang ia anggap beban.“Maksud kamu, aku bisa kuliah lagi, Mas?”“Iya. Tentu saja!”“Lalu, bagaimana dengan Tania?”“Biar Anggi yang mengurusnya.”“Kamu percaya dengan Anggi?”“Tentu saja aku percaya. Dia ak
Hari itu adalah hari rabu saat Reno dan Anggi menggelar pernikahan mereka. Ibu Jane sengaja dibiarkan tidak mengikuti acara sakral tersebut. Tania yang merupakan putri tunggal dari Reno dan Jane ikut serta dalam prosesi acara. Anggi tampak sangat menyayangi Tania dengan terus memangkunya saat acara akad belum dimulai. Setelah panitia mengatakan bahwa prosesi ijab kabul akan segera berlangsung, barulah Sania memberikan gadis kecil itu kepada Jane.Beragam rasa kini bercampur aduk di sanubari Jane, ia tidak tahu mengapa merasa sangat sedih di acara itu. Apalagi saat bapak penghulu membuat guyonan lucu tentang beruntungnya Reno bisa memiliki dua istri yang akur. Semua tertawa terbahak-bahak, seakan tidak ada yang peduli dengan hati Jane. Tidak ada yang bisa sedikit bersimpati kepadanya. Jelas-jelas hanya dia saja yang tidak menganggap lucu guyonan tersebut. Jika bukan karena janji mereka, maka tidak akan Jane sudi berada di tengah-tengah mereka.Sampai salah seorang sahabat Reno di penga
BAB 30 Jarum jam terdengar berdetak jelas sekali, kali ini hati Jane benar-benar berdebar kencang melebihi detak jarum jam tersebut. Ia sudah tidak sabar mendengarkan rahasia besar tentang Ayah kandungnya. Segala gerak-gerik Anggi dan Reno ia perhatikan secara detail. Ini adalah tentang kebenaran dan keluarga. Yang benar harus terungkap. Anggi menyiapkan televisi di depan Jane dan mulai memutar video tersebut sembari menjelaskan isi dari video. Anggi menatap Reno yang sedikit gugup menyaksikan semua ini.“Dengar, Mbak. Setelah ini, kamu punya janji yang harus ditepati sesuai dengan surat perjanjian yang telah kamu tanda tangani di atas materai.”“Bolehkah langsung saja! tidak usah lagi berbasa-basi! Kita sudah membahas itu sebelumnya!”“Baiklah, Mbak. Aku hanya mengingatkan!”Anggi mulai memutar video tersebut, itu adalah video rekaman cctv milik kampus. Terlihat dua orang mengangkat sesuatu yang mirip jasad yang terbungkus oleh kantong jasad berwarna orang
BAB 29ANGLE FOTODua hari setelah hari lamaran Anggi“Selamat pagi, Mbak Jane!”“Anggi?” Jane terkejut melihat Anggi di suatu tempat perbelanjaan.“Iya, saya mbak.”Hati Jane berdebar, mendengar Anggi menyebutkan kata Mbak paska acara lamaran sebelumnya. “Kenapa kamu bisa ada di sini? Kamu mengikuti saya?” tanya Jane heran. Kenapa bisa sangat kebetulan Anggi ada di sana.“Kalau dibilang kebetulan sih, tidak, tapi jika dibilang mengikuti juga tidak, Mbak. Mas Reno yang bilang Mbak Jane sedang ada di swalayan ini untuk membeli belanja bulanan sendirian,” jawab Anggi santai.“Lalu untuk apa kamu mendatangi saya?”“Saya ingin membantu Mbak Jane belanja. Bukankah nantinya kita harus kompak?” jawab Anggi dengan senyuman sinis.“Tidak perlu! Saya tidak butuh bantuan kamu!” jawab Jane.“Jangan terlalu keras dengan hubungan ini, Mbak. Sudah saatnya Mbak Jane menyerah dengan ego dan mencoba legowo dengan takdir.”“Kamu ini bukan Tuhan, Nggi. Kamu tidak berhak bicara tentang takdir.”“Semakin M