Diluar kediaman Sanjaya, jumlah korban semakin banyak. Bahkan tetua Ruldof yang memimpin 200 orang lebih pasukan merah klan Sanjaya, dibuat keteteran oleh pasukan kematiannya the Shadow. Pasukan merah klan Sanjaya adalah petarung super elit yang dimiliki oleh keluarga Sanjaya dan biasanya mereka tidak pernah diturunkan, kecuali untuk menghadapi keadaan darurat. Pasukan ini memiliki kemampuan diatas rata-rata petarung pasukan biru yang masih berada di level master, karena sebagian besar pasukan merah ini sudah menginjak level grandmaster setengah langkah.Inilah salah satu alasan, kenapa keluarga Sanjaya sangat ditakuti oleh keluarga lainnya, karena mereka memiliki banyak petarung handal didalam klan.Tapi sekarang, mereka menghadapi ujian bernama pasukan kematian the Shadow. Mereka mungkin hanya petarung master biasa, tapi dengan adanya blue saphire membuat pasukan ini benar-benar berubah menjadi sangat menakutkan dan mematikan. "Paman Rudolf, kita tidak akan bisa masuk ke dalam unt
Ditempat lainnya, bahkan ada satu orang anggota markas anjing yang sudah kehilangan satu tangannya, namun masih bertempur seperti tidak terjadi apa-apa. Kata apa yang lebih tepat menggambarkan mereka, jika bukan kata 'gila'?.Temannya yang ditanya seperti itu hanya bisa tertawa getir dan geleng-geleng kepala, "Mereka adalah pasukan yang dilatih langsung oleh ketua klan. Kurasa orang seperti mereka tidak memerlukan serum saraf seperti milik musuh, karena mereka pada dasarnya memang sudah tidak waras.""Benar katamu, saudaraku. Beruntung kita berada dipihak yang sama dengan mereka." Ucap rekan mereka yang lain dengan lidah kelu."Kalian... sampai kapan kalian hanya menyaksikan mereka bertarung. Angkat senjata kalian, hari ini kita harus membunuh seluruh musuh. Demi tuan muda dan demi klan Sanjaya." Salah seorang pasukan biru lainnya mengingatkan dengan penuh semangat."Baiklah, ayo kita serang. Tidak kata berhenti sebelum nafas kita terputus. Seraanngg."....Didalam aula.Begitu 80 per
Berhasil menekan lawannya, membuat Huo kembali pada sifat aslinya. Ia terang-terangan menghina Hilda sekarang, karena telah membuat ia menderita sebelumnya."Cuih, teruslah sombong iblis terkutuk. Aku akan menghancurkan raga sejatimu itu dan membuatmu lenyap untuk selamanya." Maki Hilda kesal.Dalam hati, ia mulai khawatir dan kesulitan untuk menghadapi Huo. Bukan kecepatan Huo yang ditakuti oleh Hilda saat ini, melainkan kekuatan api yang mengelilingi seluruh tubuhnya. Tubuh Huo sudah sepenuhnya berubah bentuk menjadi sosok iblis yang seluruh tubuhnya terbakar dengan api biru yang menyala-nyala. Jadi, selama pertarungan, Hilda harus melapisi pukulannya dengan energi pelindung setiap menyerang Huo, jika tidak ingin kulitnya langsung melepuh terbakar. Hal itu menyebabkan serangan Hilda menjadi tidak maksimal.Lain halnya dengan Huo, ia tidak perlu memikirkan apapun dan bisa menyerang atau bertahan sebebas hatinya.Huo bukannya tidak menyadari kecemasan mendasar Hilda, justru karena ia
Gumara hanya menatap Huo sekilas tanpa mempedulikannya sama sekali. Gumara tahu hal ini cepat atau lambat pasti akan terjadi dan memang itu yang diinginkannya.Ikatan Huo dan Awan hanya tersisa segaris tipis dan hanya masalah waktu ikatan itu terputus sepenuhnya. Tidak lama lagi, Huo akan menghilang untuk selamanya, tanpa ia perlu repot-repot membuang energi untuk menyingkirkan Huo. Dengan begitu, ambisi Gumara untuk menguasai tubuh Awan sepenuhnya akan jadi jauh lebih mudah.Gumara tidak mempedulikan reaksi sekarat Huo, ia berjalan melewatinya dan bermaksud langsung menyingkirkan dua dewa perang the Shadow.Tampak aura kematian mengelilingi seluruh tubuh Gumara, setiap langkah kakinya meninggalkan bekas hitam. Father dan Hilda merasa keringat dingin mengalir deras di punggung mereka, ketika melihat Gumara semakin mendekati mereka.Tubuh mereka serasa remuk redam dan hanya tersisa sedikit kekuatan untuk bertahan. Jelas itu tidak akan cukup menghadapi Awan yang sudah membuka 85 persen
"Mohon maafkan kami madam! Kami tidak dapat mengalahkannya." Ujar Hilda berlutut dibelakang madam Gao dengan espresi dipenuhi penyesalan."Ya, kami tidak menyangka jika orang itu akan mampun berkembang sampai seperti ini." Tambah Father mengikuti apa yang dilakukan oleh Hilda.Madam Gao, bagaimana pun masih terlihat begitu tenang. Madam Gao berkata, "Tidak buruk, kalian cukup berhasil memaksanya membuka sebagian besar kekuatannya. Meski tidak bisa membuka sepenuhnya. Tapi, itu sudah lebih baik. Paling tidak, kalian sudah meringankan sedikit pekerjaannku." Puji madam Gao santai."Tapi... kami tidak berhasil mengalahkannya dan justru kalah darinya, madam." Ujar Hilda merasa sangat malu.Beberapa detik yang lalu, ia dan Father bahkan mungkin sudah tewas jika madam Gao tidak ikut campur dan menyelamatkan nyawa mereka."Tidak masalah. Apa aku mengatakan bahwa kalian dapat mengalahkannya?" Madam Gao balik bertanya dan membuat Hilda serta Father terlihat kebingungan.Memang, madam Gao tida
"Calista, kamu benar-benar lupa dengan Awan? Tidakkah kamu mengingatnya sedikitpun? Lalu, kenapa kamu menangis ketika melihatnya barusan?" Cecar Rini penasaran.Rini tidak mengerti dengan perubahan sikap sahabatnya yang terkesan begitu tiba-tiba, ia menduga jika perubahan sikap Calista karena menduga mereka sedang ada masalah. Tapi, melihat Calista yang tiba-tiba menangis terisak seperti orang sedang kehilangan setelah melihat Awan di layar televisi, Rini memiliki asumsi lain dan ia takut untuk menyimpulkannya dan ingin memastikannya terlebih dahulu."Tidak, aku juga tidak tahu kenapa bisa begini, Rin! Aku.. aku merasa begitu dekat dengan pemuda itu, tapi- tapi aku tidak bisa mengingatnya sama sekali, sekeras apapun aku mencobanya, aku benar-benar tidak kenal dengannya. Seolah ia tidak pernah ada dalam ingatanku, namun entah mengapa, aku.. aku merasakan kesan yang begitu dalam padanya." Jelas Caista terisak.Melihat betapa tersiksanya Calista dengan beban itu, Rini merasa tidak enak h
Seharusnya ia tidak perlu terlalu memikirkannya. Bagaimana pun, jejak Awan sudah tersapu dari ingatannya. Namun, perasaannya memainkan peran yang berbeda. Ia seperti begitu merindukan Awan tanpa alasan yang jelas dan mencemaskannya disaat bersamaan. Perasaan seperti itu begitu menyiksanya, bahkan otaknya yang cerdas pun tidak memiliki solusi untuk menenangkan dirinya saat ini.Rini akhirnya terpaksa harus mengantar Calista pulang hari itu, mengingat kondisinya yang tidak memungkinkan untuk lanjut mengajar.Rini tidak lama berada dirumah Calista, begitu Calista meminum obat penenang dan tertidur, Rini bergegas kembali ke kantornya.Bagi Rini, memecahkan misteri yang menimpa Calista seakan menjadi tanggung jawab moril bagi dirinya sebagai seorang sahabat.Tentu saja, tempat yang pertama ia tuju adalah ruang IT kampus. Kebetulan ia memiliki teman yang bekerja disana, Rini berpikir untuk memulai mencari jawaban dari rekaman CCTV kampus.Saat Rini datang ke ruang IT, ada beberapa pria berp
Sekarang, begitu Bram menyinggung hal ini, mau tidak mau rasa penasaran Rini jadi terpancing."Ah, sudahlah. Lupakan saja kalau aku pernah mengucapkan hal ini. Ngomong-ngomong, ada apa kamu mencariku?" Bram coba mengalihkan topik. Ia khawatir salah bicara dan berakibat pada keselamatannya. Ia tahu betapa krusialnya masalah itu, sampai-sampai ia akan tetap bersikukuh tidak tahu apa yang terjadi didalam kantin tersebut, meski pistol di arahkan dan siap diletuskan ke kepalanya. Alasan yang sama, semua CCTV didepan maupun didalam kantin sengaja dibikin rusak pagi hari sebelumnya dan ia sama sekali tidak mengetahui siapa pelakunya, sampai beberapa orang secara bergantian datang ke ruangannya dan mencecarnya dengan pertanyaan yang sama.Rini menarik napas dalam, ia terpaksa menahan rasa penasarannya dulu untuk sementara. Rini bertanya dengan nada penuh harap, "Aku bisa melihat rekaman kamera di gedung B antara jam 10 siang kemarin?"Bram terdiam dan tampak berpikir sejenak, lalu terdengar