Halo sayang, yuk selalu dukung author dengan memberikan vote gem dan komentar baik pada cerita ini. terima kasih ❤️❤️
“Ini bukan apa-apa. Bukankah aku sudah mengantarmu pulang tadi? Lalu mengapa kau bisa ada di sini? Apa sesuatu terjadi?” tanya Ryuse. Sunny terdiam sejenak. Dia hendak mengatakan niatnya, namun melihat kondisi Ryuse yang kacau, Sunny mengurungkan keinginannya. “Aku—“ “Masuk saja dulu. Kau tidak peka kak Ryu. Sudah tengah malam malah membiarkan seorang gadis di luar. Tssk ... pria yang buruk,” gerutu Gordon. Dia berjalan mendahului sunny dan membuka gerbang. Ryuse menatap tajam punggung Gordon. Bibirnya berkedut menahan kekesalan akibat perkataan Gordon. “Aku akan menghabisimu nanti,” ancam Ryuse. Marvin meringis ketika menyentuh pipinya yang luka. Dia menepuk pundak Sunny dan berkata, “Kita bertemu lagi. Ayo, masuklah ...” Sunny menoleh sesaat ke arah Ryuse, berusaha melihat ekspresi pria itu sekali lagi, dan berakhir mengikuti Marvin dengan pandangan terkunci pada koper hitam yang dibawa Marvin. Mereka berada di salah satu ruangan besar di rumah itu, ruang tamu yang tampak sepe
Ryuse menepuk wajahnya dengan frustasi. “Pergilah! Jika tidak, akan kuhajar kalian sampai mampus.” Marvin tersenyum gugup, sadar bahwa dirinya dan Gordon berada dalam situasi sulit sekarang. “Kakak, kami hanya bercanda.” kemudian melirik Gordon, memberikan isyarat visual bahwa ini semua gara-gara mulut besar Gordon. “Satu,” hitung Ryuse dingin. Gordon dan Marvin saling pandang. “Dua,” imbuh Ryuse lagi. “Kakak, jangan masukkan ke dalam hati. Aku cuma menggoda saja. Sebab selama ini kakak tidak terlihat seperti itu,” tutur Gordon. “Tig—” “Baik! Kami akan pergi,” pungkas Marvin putus asa. Dia menarik Gordon untuk ikut dengannya. Mereka berdua hilang di sayap kanan rumah. “Kau terlalu keras terhadap mereka,” ujar Sunny tiba-tiba. Ryuse melirik Sunny. “Mereka berdua adalah duo yang paling menyebalkan. Aku tidak tahan lagi! Menjadikan aku sebagai objek candaan, itu hal yang paling kubenci. Ah, kau jangan pernah berpikir untuk membela mereka. Aku tidak suka itu. Cukup pikirkan saja
Ya ampun! Dia tidak bisa menatap Ryuse lagi dengan tatapan penuh tekad itu setelah perasaannya ketahuan. Rona merah sialan! Sunny mengutuki dirinya yang ceroboh, membiarkan perasaannya diketahui secara nyata. Sekarang, mungkin Ryuse akan menganggapnya gadis yang tidak tahu malu. “Ini karena ac-nya terlalu dingin,” celetuk Sunny gugup. “Kau sedang dalam proses menipu diri sendiri.” “Aku tidak.” “Ya, kau akan,” tukas Ryuse. “Lantas, apa untungnya bagimu? Apa kau akan memikirkan aku juga?” celetuk Sunny. Ryuse terlonjak. Dia tidak menduga Sunny akan melontarkan pertanyaan seperti itu. Seperti biasa, Ryuse akan bersikap seolah tidak terjadi apa-apa. “Jadi di mana rumah bibimu?” “Jangan mengalihkan pembicaraan.” “Pembicaraan yang mana?” tukas Ryuse datar. Sunny mendesah frustasi. “Lupakan,” ujarnya. “Aku tidak terlalu ingat di mana rumah mereka. Waktu itu aku masih sangat kecil ketika papa membawaku mengunjungi mereka. Yang kuingat—jalan untuk sampai ke rumah mereka harus m
“Camila?” Ryuse terperanjat melihat kehadiran Camila. “Apa yang kau lakukan di sini?” Camila melirik sekilas ke arah Sunny, membuang muka dan menatap Ryuse dengan tatapan marah. Dia tidak pernah membayangkan akan mendapatkan pemandangan yang memuakkan di hari yang baik ini. Sebelumnya Camila sedang menikmati bunga wisteria di taman itu. Dia tidak sengaja melihat Ryuse dan Sunny yang bergandengan. Hatinya terbakar cemburu, Camila gelap mata dan memulai pertengkaran yang tidak perlu. “Jadi, dia pacarmu? Sangat tidak cocok ... Bisa-bisanya kakak bersamanya, sementara denganku—kak Ryu tidak pernah melihatku sebagai wanita.” “Camila ... ” ujar Ryuse frustasi. “Tolong jangan mengatakan hal itu lagi. Aku sudah menegaskan padamu berkali-kali bahwa kau seperti adik bagiku. Kumohon—jangan salah paham denganku. Sekarang kembali lah ... ” “Aku tidak mau!” tukas Camila, melipat tangan sambil melirik Sunny dengan tatapan cemooh. Sunny menjadi tidak nyaman dengan pandangan Camila yang menelisi
Begitu Ryuse melontarkan kata-kata itu, reaksi yang ditunjukkan Toby tidaklah menyenangkan. Wajahnya yang suram tampak semakin keras ketika mengernyit kesal pada Ryuse. “Tapi aku berani bertaruh, hidupmu saat ini dalam bahaya jika kau tidak menghabisi aku, ‘kan?” seringai Ryuse. “Apa kali ini Camila yang mengadu?” Toby tidak bereaksi apa pun, dia berdiam diri menatap tajam Ryuse. “Kurasa begitu ....” imbuh Ryuse. Dia meregangkan otot leher dan tangannya. “Padahal aku tidak ingin berkelahi hari ini, tapi apa boleh buat. Marvin, pastikan mereka tahu siapa serigala di sini.” Gordon mendekati Ryuse dan berbisik, “Kakak, mereka ada banyak. Sementara kita kalah jumlah. Apa sebaiknya kita meminta ‘anak-anak’ datang ke sini?” Ryuse menyahut tanpa mengalihkan pandangannya dari Toby. “Cukup sepuluh orang saja yang datang. Jangan biarkan kantor kosong.” Tiba-tiba Toby mengacungkan ibu jari terbalik dan seketika para pengikutnya berhamburan ke arah Ryuse. Mereka seperti kawanan hyena yang me
“Ryu! Hei, bangunlah!” pekik Sunny panik. Gordon menoleh dengan panik. “Kak Ryu! Kau tidak boleh mati! Kau harus bertahan!” Gordon semakin mempercepat mobilnya. Dia menyetir bak orang kesetanan dan pada akhirnya, mereka tiba di rumah sakit. Gordon menghentikan mobil di depan IGD, menggendong tubuh Ryuse, dan kemudian berhamburan masuk ke dalam dengan gaya khas seorang gengster. “Kami butuh dokter! Cepat! Seseorang sedang sekarat, kalian harus menolongnya!” Gordon berteriak di tengah ruangan itu, menarik perhatian orang-orang, dan membuat orang banyak berspekulasi bahwa Gordon menakutkan. “Ah, segera taruh dia di sini.” Seorang perawat mendorong ranjang ke arah Gordon, yang diikuti oleh dokter laki-laki dan satu perawat wanita lainnya. “Segera bawa ke ruang tindakan. Dia hampir kehabisan darah,” perintah sang dokter. Ketika sang dokter hendak masuk ke ruang tindakan, Gordon menarik kerah dokter tersebut, kemudian berbicara dengan nada ancaman. “Dia oran
“Untungnya, kami melakukan segala upaya demi kehidupannya dan dia berhasil melewati masa kritis,” ungkap sang dokter. “Jadi, kuharap kalian dapat mengerti bahwa dia butuh istirahat dengan nyaman tanpa keributan yang tidak berarti seperti ini. ” “Syukurlah ...,” Sunny mendesah lega. Gordon menatap tajam dokter itu, tidak berbicara, dia hanya diam memberikan tatapan intimidasi seolah menunjukkan bahwa dirinya tidak menyukai sikap dokter itu. Dokter itu menyadari ancaman Gordon, tetapi dia tidak ingin terlihat takut oleh status gengster mereka. Sang dokter mendekati Gordon dengan sebuah senyum kecil di wajahnya. Dia menepuk-nepuk pundak kiri Gordon dan pada akhirnya dia beranjak dari tempat itu, meninggalkan mereka dalam keheningan yang mencengkam. “Sunny, temani mama ke toilet sebentar. Mama tidak tahu di mana tempatnya,” Jane tiba-tiba menarik lengan Sunny, menggiringnya menjauh dari para pengikut Ryuse. Secara reflek Sunny melingkarkan lengannya pada ibunya, dan membawanya ke toi
“Kau sudah bangun?” tanya Sunny dengan ekspresi bahagia. “Syukurlah, akan kupanggilkan dokter. Tunggu sebentar ... ” Sunny memutar langkah, hendak berlari menuju pintu. Namun Ryuse bertanya lagi. “Sansan, apa yang kau lakukan di sini?” Sunny berbalik, menatap Ryuse yang berusaha bangkit dari ranjang. “Ah, pelan-pelan. Awas lukamu terbuka lagi. Kau tidak boleh banyak bergerak.” Sunny membantu Ryuse untuk duduk. Dia memutar kenop ranjang untuk menaikkan posisi ranjang agar Ryuse dapat duduk dengan nyaman. Ryuse menengadahkan kepalanya dan mencengkram tangan Sunny dengan erat.“Kau belum menjawab aku.” Sunny mendesah kesal. “Pertanyaanmu tidak memiliki jawaban. Kau sudah lihat sendiri kondisi tubuhmu yang sekarat, tapi kau malah bertanya mengapa aku di sini. Tentu saja aku mencemaskanmu. Aku senang kau terlihat lebih baik sekarang. Akan kupanggilkan dokternya. Jadi tetaplah di ranjang ini. Jangan banyak bergerak, oke?” Sunny menaikkan selimut sampai ke perut Ryuse, memastikannya t
Sunny menatap Ryuse dengan mata terbelalak ketika tangan lelaki itu mendekapnya erat. Raut wajah Sunny menggambarkan kebingungan dan ketidakpercayaan. Detak jantungnya berdegup kencang dan Sunny bersumpah bahwa napasnya seolah berhenti—memikirkan apakah yang terjadi benar-benar nyata. “Ryu, apa yang kau lakukan?” Sunny berusaha menyusun kata-kata, namun suaranya terdengar seperti bisikan lembut. “Tetaplah seperti ini sebentar,” sahut Ryuse berbisik. Tangan Ryuse mengusap lembut punggung Sunny. Ryuse tidak tahu mengapa dia harus melakukan hal konyol dan tidak tahu malu seperti ini. Tindakannya yang tiba-tiba ini bukan menunjukkan dirinya yang sebenarnya. Perbuatan romansa dan hubungan intim antara lelaki dan wanita, Ryuse tidak peduli dengan semua itu sebelumnya. Namun kehadiran Sunny merubah segalanya. Ryuse pun tidak menyadari perasaan itu. Dia hanya tahu itu adalah perasaan empatinya terhadap kisah Sunny. “Jangan salah paham,” imbuh Ryuse. “Aku melakukan ini sebagai ucapan perp
“Namun, itu hanyalah sebuah benda,” ujar Ryuse. “Aku masih bisa membelinya. Melihatmu yang bertanggung jawab, aku akan membiarkanmu.” “Maafkan aku, Paman. Aku tidak akan mengulanginya lagi.” Ryuse memijat keningnya dan mendengus. “Jangan panggil aku paman. Aku tidak setua itu. Panggil saja aku sesukamu asal jangan sebutan yang tua.” Rury mengangguk dan tersenyum ceria. “Baik, Kakak keren.” “Kakak keren?” Ryuse menaikkan satu alis. “Tentu saja. Aku melihatmu bertarung waktu itu dan itu sangat keren,” ungkap Rury gembira. Ryuse tersenyum tipis dan menimpali dengan wajah tenang, “Itu tidak buruk. Aku suka.” Sementara Marvin tersenyum puas melihat sikap Ryuse terhadap Rury. Dia menang taruhan. Makan malam sepuasnya di Cozy resto akan menjadi hal yang paling menyenangkan untuk Marvin. Setidaknya dia terbebas dari makan roti lapis setiap harinya. Pekerjaannya yang sering menghabiskan waktu di malam hari, membuat Marvin sering mengabaikan makan malam. “Hei, aku menang. Jangan lupakan
Ketika Rury pertama kali memasuki rumah mewah milik Ryuse, matanya terbuka lebar. Dia terdiam sejenak di pintu masuk, menelan ludah dengan pemandangan yang begitu mewah di hadapannya. Langit-langit tinggi, lukisan-lukisan mahal, perabotan klasik, dan hiasan-hiasan yang tersebar di seluruh ruangan. Rury bisa merasakan jawaban di ujung lidahnya, bibirnya bergerak tanpa suara saat dia mencoba untuk menggambarkan betapa takjubnya dia pada kekayaan dan keindahan rumah Ryuse. "Wow, ini... ini luar biasa," gumamnya gemetar. Rumah ini jauh lebih baik dari rumah mereka, jauh lebih nyaman. Tidak ada nyamuk yang akan mengganggu tidur mereka, atau angin laut yang merebak masuk melalui lubang dari jendela mereka. Tatapan Rury berkeliling dengan takjub, membenamkan diri dalam keelokan dan berharap dalam hatinya bahwa dia ingin mempunyai rumah sebesar ini. Itu adalah Rury di hari pertama. Namun yang terjadi sekarang di hadapannya bukanlah hal baik. Setelah tiga hari terlewati dengan bersenang-b
Ryuse terkekeh dan memberikan tatapan pengertian. “Sansan, setiap hal yang kuberikan padamu adalah tulus. Kau jangan berpikir yang aneh-aneh,” ujar Ryuse dengan santai tanpa menyadari bahwa Sunny mungkin saja menyukainya. Sunny bergumam dalam hati saat menatap Ryuse, “Aku hanya takut berharap terlalu banyak dan aku takut melakukan kesalahan dalam membaca perasaan ini.” Dalam momen itu, dokter tiba-tiba datang dan membuat Sunny melompat dari kasur dengan tergesa-gesa. Dokter tersebut, dengan sorot penuh perhatian menilik wadah infus yang hampir habis dan berbicara dengan senyum lebar. “Selamat pagi, pak Ryuse. Bagaimana perasaanmu hari ini?” “Halo dokter. Rasanya lebih baik dari kemarin.” Dokter melakukan beberapa pemeriksaan dan melihat catatan medis, kemudian dia mengangguk puas. “Hasil pemeriksaan menunjukkan peningkatan yang baik. Saya pikir anda sudah cukup pulih untuk pulang ke rumah. Tapi tetaplah menjaga kesehatan dan lakukan kontrol rutin di rum
Sunny merasa malu dengan kecerobohannya sendiri yang dengan tidak sengaja mengungkapkan bahwa dia menyukai seseorang. Matanya yang bercahaya dan senyumnya yang manis kini terasa begitu berat, dihiasi oleh rasa gugup dan keraguan. Dia berlari ke kamar mandi, berdiri lama menatap wajahnya di depan cermin. Tangan Sunny menyentuh pipinya yang telah memerah, seketika dia menjadi malu dan Sunny membasuh wajahnya untuk menghilangkan rona itu dari wajahnya. Ryuse merasakan ada sesuatu tidak biasa yang terjadi pada Sunny dan pertanyaan-pertanyaan pun mulai mendominasi pikirannya. “Mengapa dia terlihat begitu tergesa? Apa aku salah bicara?” pikirnya sambil mencoba mencari jawaban. Hatinya berdebar, tak bisa menolak rasa ingin tahu yang muncul begitu saja. Tanpa dia sadari, Ryuse pun mulai penasaran dengan pria yang dikagumi oleh Sunny. Pikirannya mencoba membayangkan siapa sosok pria yang dapat membuat Sunny begitu terpana dan membuatnya ingin tahu lebih banyak tentang siapa pria itu, apa y
Luigi Kasto, seorang pimpinan dari Red Dragon, sebuah organisasi kriminal yang menyelundupkan senjata dan mengoperasikan rumah perjudian. Dia lelaki yang paling ditakuti di seluruh Rosentown. Tindakannya selalu lebih sulit dipahami, liar, dan keji. Tak seorang pun berani menentangnya. Namun, pria yang di hadapannya itu tidak pernah menunjukkan rasa takut padanya. Pria yang dulu pernah dia 'pelihara' dan dia besarkan untuk menjadi sama dengannya. Ya, pria itu selalu membangkang terhadap perkataan Luigi. Satu-satunya orang yang berani melawan Luigi, Ryuse Adam. Ryuse bukan tidak ingin membalas kebaikan Luigi terhadapnya, apa pun akan dia lakukan—tapi tidak untuk Camila. Hanya Camila. Ryuse tidak pernah memiliki perasaan romantis terhadap Camila. Dia selalu memandang Camila seperti saudara perempuan. Ryuse pernah mencoba memaksa dirinya untuk mencintai Camila, namun dia tidak berhasil melakukan itu. Demi membalas jasa Luigi, Ryuse berkali-kali mencoba membuat dirinya jatuh cinta pa
Ryuse menatap Sunny dengan senyum simpul. Tatapannya begitu dalam, seolah dia baru menyadari betapa gadis yang di hadapannya itu terlihat begitu cantik. Tudingan Sunny barusan membuat Ryuse merasa terhibur untuk terus menggodanya. Dia ingin melihat lagi wajah kesal Sunny, suaranya yang memberengut, dan tatapan tajam Sunny padanya. Lantas Ryuse menyahut dengan satu kata yang membuat Sunny bingung. “Mungkin,” sahut Ryuse, tersenyum manis. Sunny merona lagi. “Ah, aku—” Sunny menjadi gugup dengan jawaban Ryuse. Sunny merasa Ryuse sedikit berubah. Selama ini dia selalu bersikap seolah tidak menginginkan hal yang manis selain kehidupan perkelahian. 'Bagaimana ini? Mengapa aku harus gugup olehnya. Padahal jawabannya bisa mengandung makna lain,' gerutu Sunny dalam hati. Sunny kesal, sebab jawaban yang dia katakan selalu berakhir dengan godaan Ryuse. “Kau bercanda lagi. Berhentilah bermain-main denganku. Aku tidak suka,” ujar Sunny pada akhirnya dengan wajah menantang. Dia berharap it
Sunny membelalakkan matanya, tidak percaya dengan yang dia dengar barusan. “Kau bercanda dan juga sinting!” “Aku masih waras,” sambar Ryuse dengan ekspresi usil. Dia merasa terhibur dengan kegugupan yang diperlihatkan oleh Sunny dan dia ingin menggodanya lagi. Ryuse tahu bahwa dia telah mengatakan hal yang tidak masuk akal. Pikiran itu hanya terlintas sekilas di benaknya. Ketika dia melihat bibir Sunny yang merungut kesal, Ryuse penasaran dengan bagaimana rasanya jika dia mencumbu bibir tipis itu lagi. Sesungguhnya kenangan dari ciuman pertama mereka di penginapan waktu itu masih meninggalkan perasaan yang tak menentu di dalam hati Ryuse. Apakah rasanya akan sama? Apakah jantungnya akan berdebar asing lagi seperti waktu itu? Atau bahkan mungkin dia terlalu mendambakan ciuman itu sampai-sampai rasanya sangat menyiksa. 'Apa yang kulakukan?' Ryuse bergumam dalam pikirannya. “Kau mengambil kesempatan. Hah! Seharusnya aku tahu itu. Kau hanya berusaha untuk membuat
“Kau sudah bangun?” tanya Sunny dengan ekspresi bahagia. “Syukurlah, akan kupanggilkan dokter. Tunggu sebentar ... ” Sunny memutar langkah, hendak berlari menuju pintu. Namun Ryuse bertanya lagi. “Sansan, apa yang kau lakukan di sini?” Sunny berbalik, menatap Ryuse yang berusaha bangkit dari ranjang. “Ah, pelan-pelan. Awas lukamu terbuka lagi. Kau tidak boleh banyak bergerak.” Sunny membantu Ryuse untuk duduk. Dia memutar kenop ranjang untuk menaikkan posisi ranjang agar Ryuse dapat duduk dengan nyaman. Ryuse menengadahkan kepalanya dan mencengkram tangan Sunny dengan erat.“Kau belum menjawab aku.” Sunny mendesah kesal. “Pertanyaanmu tidak memiliki jawaban. Kau sudah lihat sendiri kondisi tubuhmu yang sekarat, tapi kau malah bertanya mengapa aku di sini. Tentu saja aku mencemaskanmu. Aku senang kau terlihat lebih baik sekarang. Akan kupanggilkan dokternya. Jadi tetaplah di ranjang ini. Jangan banyak bergerak, oke?” Sunny menaikkan selimut sampai ke perut Ryuse, memastikannya t