Suasana di ruangan itu terasa berat, namun seiring dengan kata-kata Nisa, beban itu perlahan menguap. Setelah beberapa saat, mereka pun pamit, meninggalkan penjara dan orang-orang yang pernah mencelakakannya.*Dalam perjalanan pulang, Nisa meminta Bram untuk berhenti sebentar di bendungan yang tak jauh dari sana. Bendungan itu memiliki tempat khusus di hatinya. Dulu, sewaktu kecil, ia sering bermain di sini bersama teman-temannya, menikmati masa-masa yang penuh kebebasan dan tawa. Kini, setelah semua yang ia lewati, tempat ini memberinya ketenangan.Mereka duduk di tepi bendungan, melihat air yang berkilauan di bawah sinar matahari sore. Suara gemericik air yang mengalir membawa damai, seolah membersihkan sisa-sisa ketegangan yang tadi masih menggantung."Aku senang semuanya udah selesai," kata Nisa sambil menatap pemandangan di depannya.Bram tersenyum, melingkarkan lengannya di bahu Nisa. "Sekarang kita bisa fokus ke masa depan, tanpa ada beban."Nisa mengangguk, merasakan kedamaia
Bab 1. Membeli SuamiBab 1. Membeli Suami"Saya terima nikah dan kawinnya Nisa Andriyana binti Harun dengan mas kawin seperangkat alat sholat dibayar tunai.""Bagaimana para saksi? Sah?""Sah!""Alhamdulillah," ucap penghulu lantas melanjutkan sesi ijab kabul tersebut dengan doa mempelai secara bersama-sama.Setelah selesai, kedua mempelai saling bertukar cincin dan menandatangani buku nikah. Sejak saat itulah Nisa dan Bram telah resmi menjadi suami istri yang sah secara agama maupun hukum.***"Nis, kapan kamu punya anak? Sudah enam bulan loh kamu menikah tapi kok belum ada tanda-tanda hamil juga," desak Eyang Harun —nenek Nisa yang terkenal julid dan suka sekali mengatur hidup orang.Nisa hanya diam, ia menikmati sarapan dengan tenang beserta keluarga besarnya."Iya, sudah enam bulan loh. Atau jangan-jangan kamu mandul?" Sari—sepupu Nisa ikut menimpali."Sari!" Ratih—ibu Nisa menggertak Sari, tidak suka dengan apa yang ia katakan pada anaknya."Loh, kenapa Budhe? Ada yang salah sama
Bab 2. Pembelaan"Darimana kamu dapat foto-foto ini Mel?" tanya Eyang Harun dengan mata menyorot tajam. Ditangannya ada selembar foto yang menunjukkan gambar dimana Bram menghitung uang tersebut dengan serius di depan Nisa.Melani menoleh ke arah Eyang Harun, ia tersenyum sinis lalu kembali menatap Nisa."Dia kira gerak-geriknya tidak diawasi apa," ujar Melani dengan penuh percaya diri. "Jika aku mau, aku bisa membayar mata-mata berapa pun harganya untuk mengawasi dia.""Berarti kamu memang sengaja menyebar mata-mata untuk mengawasi Nisa ya?" Bram melontarkan pertanyaan, membuat Melani mengalihkan pandangan."Iya, memangnya kenapa? Kamu keberatan?!" Melani berkacak pinggang, wajahnya yang terlihat sadis semakin terlihat mengerikan.Bram tersenyum miring, ia menggelengkan kepala lalu mengalihkan pandangan ke sisi lain."Benar-benar tak percaya," ucapnya. "Orang yang harusnya berperan sebagai pelindung justru andil bagian dalam terpuruknya hidup seseorang. Ckckck ... aku sungguh tak men
Bab 3. Fokus pada Tujuan"Gila! Berani sekali dia mengataiku miskin dan pengangguran," umpat Bram sambil berkacak pinggang.Pria yang memakai kemeja biru itu menoleh pada Nisa yang duduk di tepi ranjang. Ia berbalik lalu menghampirinya dengan emosi."Heran deh, kenapa sih kamu betah punya eyang seperti dia? Hobi sekali julidin orang," lanjutnya lagi. "Aku kalo jadi dirimu, jangankan nunggu sampai usia tujuh puluh tahun, usia lima puluh tahun pun sudah kuracun dia pakai rondap."Nisa mendongak, ia yang semula hanya tertunduk pasrah kini menatap wajah Bram yang lumayan tampan itu dengan keheranan."Tapi beneran kan, kamu memang miskin dan pengangguran. Lalu kenapa harus tersinggung dengan ucapannya?""Ya ... ya, maksudku jangan terlalu blak-blakan dong," ucap Bram sejenak gugup. Ia menggeleng kepala lalu menyugar rambutnya dengan frustrasi."Miskin-miskin begini aku ya punya harga diri." Bram membela dirinya sendiri.Nisa menghela napas, ia kembali tertunduk dan sengaja memainkan jari j
Bab 4. Ditertawakan KeluargaMelihat bagaimana Nisa diremehkan berulang kali oleh keluarganya sendiri mendadak tekat Bram semakin bulat. Bram yang semula hanya pengangguran dan memilih leha-leha di rumah serta memanfaatkan uang kerja Nisa kini berencana ingin membantu Nisa dengan mencari pekerjaan.Pada awalnya Nisa ragu, namun tidak pantas bagi dirinya untuk menghancurkan keinginan sang suami untuk bekerja. Seperti pasutri pada umumnya, Nisa hanya bisa mendoakan dan menyemangati pria itu untuk pergi bekerja."Hati-hati di jalan ya Mas, cari kerja apa aja nggak pa-pa yang penting halal," ucap Nisa diambang pintu kamar."Ya kalo bisa yang gajinya lumayan Nis," jawab Bram seraya menenteng map dan berkas-berkas lamaran."Mau kerja apa, ijasahmu aja cuma sampai SMP Mas." Nisa memperingatkan membuat Bram terdiam lalu menatap berkasnya sejenak."Eh, iya ya." Bram menyeringai, ia kembali merapikan kerah baju putihnya yang bersih dan kinclong."Yang penting kerjanya halal Mas, kamu nggak ngan
Bab 5. Menerima Kemarahan PapaAlex adalah kaki tangan Bram selama berada di dunia luar. Ya selama ini ia memilih hidup lontang-lantung di jalanan bukan karena tanpa sebab.Satrio Wiryoningrat—papanya yang tinggal di Kalimantan menjadi mafia perkebunan cengkeh di sana. Bram sendiri memilih pergi ke pulau Jawa lantaran kesal pada sang papa yang terus mendesaknya untuk menggantikan posisinya di perusahaan sekaligus memintanya untuk mencari pendamping.Bramantyo, pria bertubuh tinggi dan memiliki berat badan ideal tersebut memiliki azas bebas tak mau dikekang, memilih pergi meninggalkan tanah kelahirannya dan mengejar kebebasannya."Baik Tuan, saya akan pesankan Anda tiket penerbangan hari ini." Alex menjawab dengan sigap siaga.Bram mengangguk, ia menatap keadaan sekitar dengan penuh waspada. "Aku tunggu di hotel. Jangan lama-lama karena ini darurat.""Baik Tuan."Setelah Alex menyatakan kesanggupannya untuk menyediakan tiket pagi ini, Bram lantas mematikan panggilan telepon. Ia menata
Bab 6. Mengancam Papa"Tidak-tidak, ini tidak seperti yang Papa pikirkan," sanggah Bram saat ia bisa mengartikan bagaimana cara papanya menatap."Semuanya terjadi begitu saja jadi kumohon Papa tidak berpikir yang macam-macam soal pernikahanku," tegas Bram dengan pandangan serius."Kenapa? Kau salah meniduri anak orang?" tanya Satrio mencuramkan alis."Bukan, bukan begitu Pa." Bram menggeleng, ia lalu memegangi pelipisnya lalu memijitnya pelan."Lalu apa? Kau ... One Night Stand dengan perempuan nakal?""Duh, bukan.""Lalu apa?""Aku ... aku dibeli dua puluh lima juta sama wanita itu," ujar Bram bingung untuk menjelaskan."Apa? Dibeli?" Satrio terkaget-kaget, "kamu dibeli? Kamu ... kamu jual diri?""Bukan, maksudku ... wanita itu meminta pertolonganku untuk menikahinya dan dia membayar jasaku sebanyak dua puluh lima juta."Satrio mengerutkan kening, mencerna penjelasan Bram yang terdengar grasak-grusuk."Jadi dia hamil dan membelimu untuk pertanggungjawaban, begitu? Bram, mana harga di
Bab 7. Tak Sesuai Harapan"Enak aja nyuri," tandas Bram mendadak kesal. Pria berkemeja putih itu lantas turun dari motor lalu berkacak pinggang."Walau aku miskin, aku tidak mungkin mencuri motor," tambahnya lagi dengan mencuramkan alis.Eyang Harun terdiam, ia mengamati motor yang dibawa suami Nisa tersebut. Dari pengamatannya, mana mungkin Bram yang mereka kenal pengangguran bisa memiliki motor mahal lagi mewah seperti itu.Ratih—ibunda Nisa yang terkenal lebih banyak pendiam kini maju ke depan. Ia menatap anggota keluarganya sekilas lalu kembali memandang Bram."Nak, dari mana kau dapatkan motor itu? Di mata kami, motor yang kau bawa itu bernilai ratusan juta." Ratih tampak cemas, ia takut jika apa yang diomongkan ibu kandungnya adalah benar."Jadi Ibu juga mengira aku mencuri, begitu?" Bram menyipitkan mata, mendadak kesal dengan wanita yang sudah melahirkan istrinya tersebut."Bukan, bukan begitu. Tapi ....""Aku mendapat pekerjaan Bu, aku melamar jadi ojol. Karena aku nggak puny
Suasana di ruangan itu terasa berat, namun seiring dengan kata-kata Nisa, beban itu perlahan menguap. Setelah beberapa saat, mereka pun pamit, meninggalkan penjara dan orang-orang yang pernah mencelakakannya.*Dalam perjalanan pulang, Nisa meminta Bram untuk berhenti sebentar di bendungan yang tak jauh dari sana. Bendungan itu memiliki tempat khusus di hatinya. Dulu, sewaktu kecil, ia sering bermain di sini bersama teman-temannya, menikmati masa-masa yang penuh kebebasan dan tawa. Kini, setelah semua yang ia lewati, tempat ini memberinya ketenangan.Mereka duduk di tepi bendungan, melihat air yang berkilauan di bawah sinar matahari sore. Suara gemericik air yang mengalir membawa damai, seolah membersihkan sisa-sisa ketegangan yang tadi masih menggantung."Aku senang semuanya udah selesai," kata Nisa sambil menatap pemandangan di depannya.Bram tersenyum, melingkarkan lengannya di bahu Nisa. "Sekarang kita bisa fokus ke masa depan, tanpa ada beban."Nisa mengangguk, merasakan kedamaia
Setelah seminggu berada di Kalimantan, Nisa dan Bram bersiap kembali ke Jawa. Mereka baru saja melewati minggu pertama sebagai pengantin baru, penuh kebahagiaan dan keintiman. Namun, di balik senyum Nisa, ada perasaan tak sabar yang menggelayut di hatinya.Ia merindukan rumah, lebih tepatnya, merindukan bertemu dengan orang tuanya, ayah dan ibunya yang sudah menanti kepulangannya. Baginya, tidak ada tempat yang lebih nyaman selain berada di dekat mereka, terutama setelah semua yang terjadi pada dirinya. Namun, perasaan lain yang tak kalah kuat adalah keinginan Nisa untuk segera bertemu dengan mereka—musuh-musuh dalam keluarganya. Eyang Harun, Ranti, Sari, dan yang paling dia ingat dengan tajam, Tante Melani.Mereka semua kini berada di penjara, setelah kasus besar yang menimpa keluarga mereka terbongkar. Nisa tak pernah membayangkan dirinya akan menghadapi mereka dalam situasi seperti ini.Dulu, ia selalu menjadi objek ejekan, terutama dari Melani yang tak henti-hentinya menghina Nis
Malu rasanya saat harus keluar dari kamar dalam keadaan tidak baik-baik saja. Ya, sudah bangun kesiangan, keduanya justru membuat satu keluarga harus menunda makan pagi demi menunggu mereka keluar.Nisa menahan rasa sungkan, ia keluar setelah berhasil melepaskan diri dari Bram lewat jendela kamar. Tentu saja adegan itu direkam bersama-sama seluruh keluarga mengingat kamar pengantin terlihat jelas dari ruang makan."Kau ... baik-baik saja, Nis?" tanya Harun saat melihat Nisa keluar dari jendela dengan mengendap-endap. "Ada apa dengan pintunya? Kenapa tidak lewat pintu saja?"Nisa menoleh ke arah ruang makan, wajahnya langsung memerah padam mengingat mata seluruh keluarga tertuju ke arahnya."Ehm, anu Pak, pintunya—""Sebaiknya kau segera membersihkan diri di kamar tamu. Di sana ada kamar mandi di dalam," potong Satrio tak kalah merasa malu. Ya, sudah jelas jika Nisa berbuat demikian karena ulah anaknya."Mari kita makan terlebih dahulu, biarkan mereka mengurusi kebutuhan mereka sendiri
"Sah!" seru beberapa orang laki-laki di tempat itu dengan lantang. Seruan mereka menandakan bahwa hubungan yang saat ini terjalin sudah sah di mata hukum maupun agama.Kendati mereka sudah pernah ijab kabul, perasaan berdebar masih saja terasa di dalam dada. Saling berpandangan, Bram melempar senyum ke arah Nisa lalu mengikuti arahan sang penghulu untuk bertukar cincin bersama-sama.Setelah menyematkan cincin emas dua puluh empat karat seberat tiga gram di jari manis masing-masing, keduanya lantas berdoa untuk kesejahteraan bersama."Malam ini kau takkan bisa lolos lagi," bisik Bram setelah mereka berdoa dan berpindah tempat ke kursi pelaminan.Nisa hanya diam, pura-pura tak mendengar dengan wajah bersemu merah. Alih-alih menanggapi bisikan Bram yang terdengar mengerikan, ia sengaja mengabaikan dan justru tersenyum pada para tamu yang menyapa dirinya di depan kursi pelaminan."Selamat untuk kalian berdua ya. Semoga hubungan kalian sakinah mawadah warahmah hingga kakek-nenek," ucap seo
"Maaf, Ayah terlalu terharu." Harun melepas pelukan putrinya lalu menyeka airmata yang jatuh di pipi. Ia mencoba tersenyum lalu menyapa Bram dan juga Alex yang berdiri tak jauh dari sisi putrinya."Hai, jumpa lagi dengan kamu," sapa Harun seraya mendekat ke arah Bram lalu menepuk bahunya. Pria paruh baya itu tersenyum tipis, "tak disangka kita jumpa lagi di tempat ini.""Iya Pak," angguk Bram sedikit enggan untuk berbasa-basi.Suasana sore menjelang malam itu terasa begitu syahdu. Warung gorengan yang ia buka pun lebih ramai daripada biasanya."Bu, saya beli gorengannya dong Bu. Udah habis nih di nampan," protes salah satu pelanggan pada Ratih yang sibuk menyongsong kebahagiaan di dalam keluarganya."Oh, iya, Pak. Tunggu sebentar ya," ucap Ratih menyadari perbuatannya. Wanita itu tersenyum lalu menatap Harun, Nisa, Bram, dan juga Alex secara bergantian."Kalian lanjut ngobrol di teras rumah ya, Ibu mau bikin gorengan dulu buat pelanggan." Ratih berpamitan, ia tersenyum tipis lalu mene
Nisa tak menjawab, meski hatinya cukup berdesir saat Bram mengatakan demikian, ia tidak akan goyah dengan keputusan awal."Oh, ya, Pah, aku akan balik ke pulau Jawa untuk menuntaskan misi yang sudah Nisa beri. Misal nanti sudah complete dan tercapai, Papa bersedia ya menghadiri ijab kabul kami," ucap Bram mengalihkan pandangan ke arah Satrio yang masih sibuk dengan menu makan siangnya."Ijab kabul?" ulang Satrio mengerutkan kening. "Bukankah kalian ini sudah sah nikah?"Bram tersenyum, ia menoleh sekilas ke arah Nisa lalu kembali melabuhkan pandangan ke arah papanya."Nisa minta ijab kabul-nya diulang Pa. Katanya kalo aku berhasil menemukan ayahnya maka ia bersedia menjalankan tugasnya sebagai seorang istri," cerita Bram dengan riang membuat Nisa mendadak salah tingkah. "Tolong Pa, iyakan saja. Papa tahu 'kan rasanya jadi pria dewasa yang merindukan lautan asmara sekian lamanya."Satrio manggut-manggut, ia menunduk lagi sambil menikmati makanannya. "Lakukan saja, aku akan mendukungmu
"Kamu nggak bisa kembali segampang itu Mas," tandas Ratih dengan tatapan serius. "Aku ini bukan permen yang bila kamu ingin, kamu bisa memakaiku kembali kapanpun kamu mau."Harun terdiam, ia mengusap wajahnya dengan satu tangan. Ada perasaan menyesal yang kini terlihat di wajahnya."Meski aku belum mengajukan gugatan tapi ... kau pergi selama lima tahun Mas," ucap Ratih. "Selama itu kamu sama sekali tidak mengabarkan kami dan juga tidak memberi nafkah. Menurutmu, apa pantas kamu kembali dengan mudah?!"Harun masih diam, ia mencerna semua ucapan Ratih dengan seksama. Kali ini ia merasa malu karena sudah menelantarkan keluarganya sedemikian jauh."Aku minta maaf Rat," ucap Harun lirih sambil tertunduk. "Awalnya aku hanya ingin menghindari utang berikut bunganya tapi ... sepertinya kekhilafanku sudah telanjur jauh."Ratih mengalihkan pandangan ke sisi lain, tak ada ucapan yang ia katakan. Keduanya diam beberapa saat seolah-olah mencari jalan keluar atas apa yang sudah mereka bahas kali i
Sementara itu Ratih yang sendirian di rumah tetap berusaha untuk menjalankan bisnis gorengan yang selama ini sudah ia rintis. Walau tidak ada Nisa, ia yakin bahwa ia mampu menjalankan warungnya dengan lancar tanpa ada gangguan dari siapa pun.Karena Ratih dan Nisa cukup ramah di lingkungan itu, sudah pasti mereka sangat dikenal warga sekitar. Tak hanya itu, kepribadian yang baik mengantarkan mereka hidup rukun dan juga saling tolong menolong satu sama lain.Sore itu, seperti biasa Ratih menggoreng beberapa jenis makanan di wajan besar yang sudah dipenuhi dengan minyak goreng panas. Satu per satu adonan pisang ia masukkan, beberapa orang yang jajan pun mulai merapat di warung kecil tersebut."Bu, beli gorengan dong." Seorang pria datang dengan memakai masker dan topi hitam. Ia juga memakai jaket kulit berwarna serupa."Iya Pak, gorengan apa?" tanya Ratih sambil menatap pria itu. Sayangnya ia tertunduk dan tertutup topi sehingga Ratih sendiri tidak begitu memperhatikannya."Pisang sama
"Dasar bocah tengik!" Satrio menghardik sambil menoyor kepala Bram sedikit lebih keras. Pria itu datang tiba-tiba, membuat Bram mengaduh kesakitan lalu melepaskan tubuh Nisa hingga terhuyung mundur."Tak seharusnya kamu melakukan hal ini di ruang makan," tukasnya lagi sambil berjalan menuju ke salah satu kursi di ruang makan. "Tahan dirimu untuk beberapa jam lagi. Dasar anak muda!"Bram mengusap kepalanya sementara itu Nisa hanya tertunduk dengan wajah merona merah."Ayo duduk, mau tunggu siapa lagi, hah?!" Satrio menginstruksi, meminta keduanya agar berkumpul di meja makan.Bram dan Nisa lantas menghampiri Satrio dan duduk di sampingnya. Beberapa pelayan mendatangi mereka dan mulai melayani apa saja yang menjadi kebutuhan mereka."Jadi ... apa rencana kalian setelah ini?" tanya Satrio seraya memotong steak daging sapi kualitas premium di piringnya."Pulang—""Liburan—"Nisa dan Bram saling pandang, mereka mengucapkan kata-kata hampir bersamaan. Hal itu membuat Satrio mendongak lalu m