"Aku keluar dulu, Mbak," ucap Fitri setelah mendapati Ambar berdiri ditengah pintu yang tertutup. Bundanya Alif itu membuka matanya, kemudian tersenyum pada wanita yang baru beberapa waktu dikenalnya, namun sudah banyak membantu itu."Terima kasih ya, Fit," ucap Ambar tulus, tatapan mereka beradu kemudian keduanya mengulas senyum."Sama-sama, Mbak. jangan segan-segan bercerita padaku, Mbak," balas perempuan itu sambil menepuk pundak Ambar sebagai tanda semua akan baik-baik saja.Setelah Fitri keluar, Ambar melangkah mendekati Alif yang tengah terlelap, ditatapnya bocah empat tahun itu lekat-lekat. Setetes bening itu meluncur membasahi pipinya yang mulus. Namun, setelah itu sebuah senyuman terbit di bibir tipisnya."Kita bisa ya, Kak. Alif dan Bunda pasti bisa melewati semuanya bersama," ucap Ambar yang direspon sebuah senyuman dari bibir mungil Alif. Melihat itu membuat air mata Ambar semakin deras.Di luar ruangan Rahayu masih duduk termenung di tempatnya semula, wanita senja itu nam
"Mbak, aku disuruh Ibu nemeni Mbak Ambar," ucap Fitri setelah masuk ke kamar Ambar. Bundanya Alif itu memang belum mengunci pintu kamarnya, karena dia belum bersiap untuk tidur. Sementara wanita yang diajak bicara itu tak menyahut, Ambar terlihat tengah mencari sesuatu dalam lemarinya."Cari apa sih, Mbak? Serius amat?" tanya Fitri setelah mendekat."Fit, semua surat penting ndak ada di tempatnya," sahut Ambar terlihat panik."Loh? Kok bisa?" tanya Fitri ikut panik. "Coba cari yang betul-betul, Mbak. Barangkali nyelip di bawah," ujarnya.Ambar menatap perempuan yang hobi memasak itu. "Ndak mungkin nyelip, Fit. Apa mungkin tadi pas kita ke salon, Mas Rudi datang?" tanya sekaligus tebakannya."Dia punya kuncinya?" Fitri balik bertanya. Ambar mengangguk sebagai jawaban iya."Memang untuk apa Mas Rudi melakukannya ya, Mbak?""Rekaman video itu, iya ... pasti dia ingin menukar surat-surat penting dengan rekaman videonya," tebak Ambar. "Laporkan saja ke kantor polisi, Mbak," usul Fitri."
Ambar perlahan mendekati lekaki itu, wanita itu membuang rasa takutnya demi sang buah hati. Setelah jarak mereka semakin dekat tiba-tiba Ambar bergerak cepat, wanita kelahiran bulan Januari itu mencakar dan memukul lelaki berbadan kekar yang tengah menyandra Fitri dan putranya. Seolah mengerti, Fitri pun melakukan hal yang sama, perempuan penyuka warna gelap itu berontak, menggigit tangan pelaku dan menendang ke belakang, membuat lelaki itu terpojok. Sementara tangisan Alif semakin terdengar kencang.Mendengar kegaduhan di dalam kamar, Rahayu dan beberapa orang yang datang bersamanya menerobos masuk. Mereka semua mengeroyok lelaki penyusup itu, hingga membuatnya tak berdaya dan akhirnya bisa dibekuk. Entah siapa yang menghubungi polisi, tiba-tiba sudah ada beberapa petugas patroli yang datang ke rumah Ambar. "Silakan ibu ikut kami ke kantor polisi untuk memberikan keterangan," ucap salah satu petugas. Ambar tak menyahut, wanita itu masih terlihat shock tubuhnya bergetar sambil memel
"Aku harap kamu ndak ada sangkut pautnya dengan kasus yang menimpa Ambar," ucap Rahayu tanpa basa-basi."Kasus apa, Bu?" tanya Rudi bingung."Ada seseorang yang ingin mencelakai Ambar, beruntung Allah masih menyelamatkannya, jika saja–""Ambar? Mencelakai? Tolong bicara dengan jelas, Bu. Apa yang terjadi dengannya?" tanya Rudi panik. Melihat hal itu membuat Santi mengangkat wajahnya."Aku benar-benar tidak tahu menahu tentang hal ini, Bu. Percayalah ... lagian buat apa aku melakukannya?""Siapa tahu, Rud. Buktinya semua surat-surat penting milik kalian telah hilang dari tempatnya. Kamu sudah menjadi lelaki yang gagal, jangan tambah keburukan lagi, dengan menjadi lelaki pecundang dan licik!""Bu!" Baru kali ini Rudi berbicara keras pada ibunya, terlihat jelas ada penyesalan dari raut wajahnya. Berbeda dengan Santi, wanita itu menganggat salah satu sudut bibir atasnya."Bu, aku tak seburuk itu. Aku hanya ingin menjalani kehidupan dengan wanita yang kucintai. Jika Ambar bisa menerima ken
Rahayu bangkit sambil meraih gelas minumannya yang isinya tinggal separuh. Tanpa berkata apa wanita senja yang masih terlihat gesit itu melangkah pergi."Ibu mau ke mana?" tanya Ambar dan Fitri bersamaan. Bahkan Ambar sudah berdiri hendak menyusulnya."Sebentar, kalian tunggu di sini saja," sahut Rahayu, membuat keduanya perempuan itu saling pandang, setelah itu Rahayu kembali meneruskan langkahnya. Ambar menatap punggung Rahayu yang semakin menjauh. Namun, dia bergegas menyusul mertuanya tersebut.Tatapan Rahayu fokus pada Santi dan teman lelakinya, kedua manusia itu tanpa sungkan terlihat bermesraan. Santi dengan manja bersandar di bahu lelaki berambut lurus itu, sementara sang lelaki membelai rambutnya dengan mesra. Sebenarnya Rahayu sangat jijik melihat pemandangan seperti itu. Biasanya jika tanpa sengaja dia melihat pasangan bermesraan di tempat umum, dia memilih pergi dari tempat tersebut.Ambar mempercepat langkahnya ketika Rahayu sudah sampai di depan Santi. Wanita itu khawatir
"Lakukan semua dengan cepat dan baik, jangan kamu mempersulit keadaan. Apalagi membuat Ambar tersakiti lagi. Jika sampai hal itu terjadi, maka aku sendiri yang akan membawa bukti mesum kalian ke kantor." "Tenang saja, Bu. Aku pastikan kalau pengacara kami akan berlaku adil," sahut Santi. "Tentang hak asuh Alif nanti juga akan kami pertimbangkan. Tentang harta gono-gini juga. Pokoknya ibu tenang saja. Asalkan semua surat-suratnya ada ya, Bu. Karena yang kudengar semua surat pentingnya hilang? Duh, kalau begitu bagaimana ya, Bu?" imbuhnya dengan senyum jumawa."Yang hilang kan suratnya, masih bisa kok diurus lagi," sahut Rahayu yang membuat Santi terdiam seketika."Rud, kalau kamu masih menginginkan pembagian harta gono-gini, jangan mempersulit ketika aku mengantar Ambar mengurus surat-surat itu lagi." Rudi menelan ludahnya mendengar perkataan ibunya. Ditatapnya mata senja itu, ada keseriusan di sorot matanya yang teduh, tapi tegas itu. Rudi tak kuasa berucap, hanya mengangguk sebagai
Bunyi benturan terdengar jelas, membuat semua yang ada di tempat itu menjerit karena terkejut. Beberapa warga yang kebetulan berada diluar rumah berlari mendekat, sementara Fitri dan Ambar masih terpaku di tempatnya berdiri. Hingga beberapa detik kemudian keduanya menjerit."Ibu!" Ambar berlari menuju tempat Rahayu terkapar penuh darah. Hal yang sama juga dilakukan oleh Fitri. Semua orang sibuk, mencoba memberi pertolongan pada wanita baya tersebut. Sementara beberapa warga yang mengejar pengendara itu kehilangan jejak. Sepertinya semua telah direncanakan.Seorang tetangga sigap membantu, dia segera bergegas mengeluarkan mobilnya, kemudian segera membawa Rahayu ke rumah sakit. Fitri menangis meraung sambil mendekap Alif, ketika mobil yang membawa Rahayu melaju pergi bersama dengan Ambar.Seolah dejavu, Ambar kembali mengantar Rahayu ke ruang UGD, tak henti-hentinya bibir ibu satu anak itu mengucapkan sholawat dan zikir. Ingatannya melayang pada kejadian beberapa tahun yang lalu, di m
"Terserah apa katamu yang jelas sebentar lagi kamu akan menjadi mantan. Mantan." Santi menekan kata-katanya. "Dan aku yang akan menjadi istri sahnya Mas Rudi," imbuhnya."Andai kamu tahu sesayang apa ibu padaku, pasti kamu akan memilih pergi dari pada mendapatkan malu lagi," balas Ambar."Kamu memang tidak tahu malu, padahal sudah jelas kalau Mas Rudi lebih memilih aku, tapi masih saja bertahan di rumah itu."Ambar enggan menanggapi, dia hanya menatap Santi sekilas, kemudian memilih duduk di bangku yang berada di tempat itu.**Sudah tujuh hari pasca operasi kaki, keadaan Rahayu sudah mulai membaik, bahkan kata dokter yang merawatnya, nanti dia sudah bisa pulang. Namun, harus tetap kontrol setiap seminggu sekali untuk memeriksa keadaan lukanya. Rahayu terlihat senang mendengar penuturan dokter muda itu, wanita senja itu memang sudah mengeluh bosan tinggal di rumah sakit. Selama itu pula Rudi tak pernah datang menjenguk ibunya.Alif datang bersama Fitri untuk menjemput Rahayu. Ambar sa