"Kenapa? Apa ada yang kamu sembunyikan?" selidik Raffa, menatap halus wajah wanita yang baru tiga hari ini ia nikahi."Gak ada, Mas. Semua sudah terungkap, bukan?" Embun balik bertanya, melihat sesuatu yang berbeda dari tatapan sang suaminya."Benarkah?" tanya Raffa. Pria itu lantas merangkul kepala sang istri hingga mendarat di dadanya. Ia tersenyum bahagia, namun tak ingin sang istri merasakan kecanggungan."Malu, Mas," ucap Embun, menggeser kepalanya dari dada bidang sang suami.'Kuharap hanya perasaanku saja,' batin Raffa."Ada apa, sih, Mas?" selidik Embun, tidak tenang melihat suaminya seperti sedang memikirkan sesuatu."Kita bicarakan di hotel saja, ya," tukas Raffa, mengusap puncak kepala sang istri.Wajahnya tetap terlihat tegang, meski sang suami telah mengatakan demikian. Ia mencoba menerka apa yang ada di pikiran suaminya.*"Maashaa Allah ... bagus banget, Mas, kamarnya. Ini kolam renang?" tanya Embun ketika masuk ke dalam kamar hotel yang mana terdapat kolam renang di ba
PoV AuthorDi bawah taburan bintang, dua insan tengah saling bertatapan manja. Saling menyatukan rasa dan hati yang selalu ingin bersama.Sang pria menyuapkan makanan ke arah bibir wanitanya dengan sangat hati-hati. Senyuman terukir indah di wajahnya, senantiasa berucap di dalam hati bahwa ia menyesali semua yang sempat terbesit di kepalanya.Sang wanita membalas senyuman itu dengan kuluman senyum menggoda malu-malu."Kita habiskan malam ini di sini, mau?" tanya sang pria, seraya menatap sekeliling hamparan taman yang indah dengan hiasan lampu yang remang di beberapa sudutnya."Memangnya gak dingin?" tanya sang wanita, mengedikkan bahu.Pria itu bertepuk tangan dua kali. Dan tak lama muncul tiga orang pria membawa berbagai macam peralatan berkemah. Tanpa diperintah lagi, ketiga pria itu memasang sebuah tenda di tengah taman yang memang diperuntukkan bagi mereka yang menyewa tempat tersebut untuk bermalam di dalam tenda.Pasangan yang tengah berbahagia itu pun meninggalkan meja makan m
"Ha ha ha! Bisa aja, istri Mas ini. Tapi betul juga, sih. Sampai kita lupa mau lari pagi. Padahal, perut juga udah keroncongan, lho, ini. Malah mandi sudah dua kali."Embun menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. "Ya Allah, maaf Mas gak aku urusin sarapannya.""Kita sedang liburan, Sayang, gak usah mikirin urus perut aku. Urusi yang lain saja," kata Raffa, mengedipkan sebelah matanya."Stop!" Embun menahan langkah suaminya yang kian mendekat."Duduk di sana, aku pakai kerudung, sebentar. Jangan mendekat sampai pintu hotel terbuka," sambungnya, seraya meraih hijabnya di atas bantal."Kenapa?" Raffa memicingkan mata."Takutnya, Mas lupa isi perut lagi, karena maunya yang lain terus." Wanita yang telah Raffa nikahi itu lantas berlari ke arah pintu, setelah memakai hijabnya. Tanpa menunggu sang suami, ia membuka pintu kamar hotelnya seraya berlalu ke luar.________________________________________"Mau tidur sekarang?" tawar Raffa, seraya menyeruput Chocolat L'ancienne yang sudah dis
"Hemm ... sepertinya enak. Kita makan sekarang saja," ajak Raffa yang semula belum ingin mengisi perutnya. Namun setelah mendengar menu andalan yang Embun sebutkan, ia tak mampu untuk menahannya."He he ... ayok!" Embun terkekeh, menarik tangan suaminya ke dalam ruang makan.Wanita itu hanya makan beberapa suap nasi, lalu menghabiskan ikan bakar yang tadi diambilnya. Ia merasa sudah kenyang melihat suaminya makan begitu lahap."Sedikit sekali makannya?" Raffa melongok piring sang istri yang sudah kosong duluan."Aku gak laper sebetulnya. Tapi mau cicip ikannya saja," kata Embun dengan semangat menghisap duri-duri besar ikan gurame itu.'Tumben,' batin Raffa. Ia nampak beberapa keanehan yang tidak biasa, namun kali ini hanya berani berkata di dalam hati."Kenapa, Mas? Mau lagi? Aku ambilkan, ya." Embun segera meraih sendok pada piring ikan bakar buatannya, memotong dan menaruhnya ke atas piring Raffa."Makasih ... tapi ini buat kamu saja, Mas sudah kenyang," kata Raffa, hendak mengangk
PoV Author"Hey, kenapa, Sayang?" Raffa menepikan kendaraannya dengan segera, kemudian mengambil tisyu di atas dashboard dan mengelapkan pada tangan dan hijab Embun yang terkena."Hoek!" Embun tak sempat menjawab. Rasa mualnya kembali mendesak di kerongkongannya."Mual banget," keluhnya setelah selesai mengeluarkan mual tanpa sesuatu yang keluar lagi dari perutnya."Duh, kok, bisa begini. Sabar, ya ..." Raffa memijat tengkuk Embun, namun wanita itu menepisnya perlahan. "Dit, ada minyak angin?" tanyanya pada sekretaris yang duduk di jok belakang."Ada nih, Pak." Dita memberikan minyak angin dari tasnya. "Masuk angin mungkin, ya, Mbak." Gadis itu kemudian melongokan wajah ke samping Embun."Mungkin ...""Udah sarapan?" tanya Dita dan hanya diangguki oleh Embun."Kamu sarapannya cuma berapa suap aja, tadi. Masuk angin 'kan jadinya," timpal Raffa, menaruh tangannya ke wajah Embun.Satu tahun menikah dan ini adalah kali pertama Embun muntah di hadapan suaminya. Bahkan sakit meriang pun nya
Pria berjambang itu kembali melanjutkan perjalanan tanpa seorang pun di sampingnya. Sesekali melirik ke jok belakang melakui pantulan cermin di atas. Embun merebahkan tubuhnya dengan kepala yang bertumpu pada pangkuan Dita. Matanya kembali terpejam dan terlihat deru napas beraturan."Mbak Embun sakit apa, Pak?" tanya Dita."Gak sakit, sih. Semalam baik-baik saja. Saya juga gak ngerti, hari ini sepertinya dia lelah sekali." Raffa menjawab pertanyaan sekretarisnya sedikit berbisik.**Lebih dari 14 jam mereka berkendara sebab beberapa kali beristirahat untuk makan dan shalat. Raffa membantu sang istri merebahkan tubuh ke atas kasur hotel yang sudah disediakan dari kantor."Besok pagi kita cek ke dokter dulu, ya. Mas gak akan bisa tenang membiarkan kondisimu seperti ini," bujuk Raffa, berbisik di telinga istrinya yang masih sangat mengantuk."Enggak, Mas." Embun bergumam, kembali memejamkan mata melanjutkan mimpi yang sempat terjeda.Keduanya sama-sama merebah dan terlelap menjelang sub
"Nurul, kenapa kamu lari?" tanyaku tanpa aba-aba sehingga ia terperanjat."Mas, ngapain di sini?" Ia membolakan mata, mundur semakin ke dalam toilet tersebut."Gak perlu menghindar. Mas bukan orang jahat. Ingat, Nurul, kita pernah menjadi teman, bukan? Tenang, ya. Mas tidak akan berbuat hal buruk terhadapmu," bujukku, sebab melihatnya hendak menutup pintu toilet."Jangan ke sini, Mas. Aku-aku, malu!" pekiknya, mengibaskan tangan ke arahku."Mas tidak akan menemuimu di sini. Tapi Mas mohon, temui Mas setelah kamu selesai bekerja. Oke?" Aku masih berusaha membujuknya. Rada penasaran masih belum usai, sejak pertama kali melihatnya ketakutan."Maaf, gak bisa. Selesai bekerja, aku harus segera pulang merawat Bapak.""Bapak ada di kota ini juga?" Aku sedikit terkejut mendengarnya. Mengapa Nurul dan ayahnya ada di kota ini, pikirku."Kami semua di sini, Mas. Di rumah orang tua Bapak yang sudah sangat lama meninggal. Beruntung masih ada rumah itu. Jika tidak ... entahlah seperti apa nasib kam
"Ada apa, Dok?" tanyaku dengan cepat. Dadaku terasa berdebar sangat keras, khawatir sesuatu terjadi pada istriku, mengingat usia kami tidak lagi muda."Santai, Bapak ... maaf, saya cuma mau tanya, apa sebelumnya pernah ber-KB? Soalnya, agak heran, mengapa baru hamil di usia segini.""Oh, kaget saya, Dok. Emm ... gak ada KB-KB, Bu. Kebetulan Allah baru mempercayakannya pada kami," jawabku sedikit menunduk. "Apa ada masalah, Dok?""Oh, begitu. Betul, Pak, Bu. Anak itu titipan. Kita memang tidak bisa memprediksi kapan akan diberi. Hanya saja, belakangan ini banyak pasangan baru yang menunda kehamilan, sehingga mereka kesulitan ketika ingin mendapatkannya. Makanya, saya sedikit aneh ketika Ibu dan Bapak datang dengan riwayat kesehatan yang belum pernah hamil sebelumnya, di usia segini." Dokter Ariel menjelaskan dengan tutur bahasa yang sopan.Benar yang beliau katakan. Di jaman sekarang ini, bahkan ada beberapa pasangan yang memilih tidak memiliki keturunan."Iya, Bu. Saya tidak pernah me
PoV AuthorDengan gagah Raffa keluar dari ruang persidangan. Senyum kepuasan tersirat di wajahnya yang kali ini mengenakan kacamata hitam. Setelan jas warna hitam dengan celana senada, membuatnya terlihat sangat elegan dan misterius.Hasil putusan sidang benar-benar telah memberinya kepuasan. Jeremy mendapatkan hukuman lebih dari delapan belas tahun, karena terjerat pasal berlapis. Kekerasan hingga percobaan pem_bu_nuhan, penggunakan obat-obatan keras dan telah membuka tempat haram berkedok gym."Terima kasih banyak, Pak Endri. Sudah ke sekian kalinya Bapak membantu saya dalam proses hukum yang terpaksa saya ambil. Kalau bukan Bapak yang menjadi pengacara saya, entahlah.""Kembali kasih, Pak. Tapi saya yakin, siapa pun itu, jika Pak Raffa kliennya sudah pasti menang. Bapak tidak bersalah dan terbilang cerdik dalam mengumpulkan bukti. Juga tidak mudah terperangkap oleh lawan," puji Pak Endri pada pria di hadapannya."Ya, berdasarkan pengalaman mungkin ya, Pak." Raffa terkekeh di akhir
PoV RaffaMalam ini, di rumah sakit kembali kami berada. Sore tadi, saat tengah menemani Embun memilih tas, sambil menunggu jam tayang film yang kami tonton, tiba-tiba saja ponselku berdering."Pak, maaf, ini Cyra badannya panas banget." Suara Bi Murni di ujung telepon, sontak saja membuyarkan konsentrasiku. Kutatap Embun yang tengah memandangku penuh khawatir."Ya Allah ... oke, Bi, saya segera pulang." Tanpa memberitahu Embun lebih dulu, kuputuskan untuk membatalkan acara nonton film."Ada apa, Yah?" tanya Embun tak sabar, ketika kumatikan panggilan."Cyra sakit, Sayang. Badannya panas," jelasku."Ya Allah! Ayo, Mas, kita pulang sekarang." Embun menarik jemariku, melupakan hasratnya untuk membeli tas.Kami berjalan cepat keluar dari mal, sore tadi. Melupakan tiket menonton yang sudah terlanjur dibeli, serta meninggalkan mobil yang belum selesai dipoles di bengkel.Sepanjang perjalanan, Embun sangat gelisah. Sesekali ia mengusap ujung netranya dengan tisyu, seperti tengah merasakan p
PoV Author"Saya minta maaf, Pak atas kejadian ini. Anak saya baru belajar nyetir," ucap seorang wanita berusia kisaran 60 tahun. Sementara anaknya yang menabrak adalah seorang gadis muda berpakaian seksi."Ndin, minta maaf!" suruh sang Ibu yang dandanannya tak kalah mentereng.Embun dan Raffa yang sejak tadi diam di depan mobil mereka, tampak risih melihat kedua wanita beda usia yang terlihat kurang senonoh."Ma-maaf, Mas, aku gak sengaja," ucap gadis bertubuh tinggi itu, sedikit terbata-bata."Ya, sudah, gak pa-pa. Lain kali hati-hati," pesan Raffa, sambil berjalan ke arah belakang mobilnya untuk mengecek kerusakan yang terjadi."Nanti kami ganti rugi atas kerusakannya, Pak." Ibu dari wanita itu menyusul dan menawarkan ganti rugi.Ada yang terasa tak enak didengar oleh Embun. Ibu dari gadis itu sudah berumur, tetapi memanggil Bapak pada suaminya. Sementara gadis itu, justeru memanggil suaminya dengan sebutan Mas."Ya ... sepertinya memang harus begitu. Tergores cukup dalam bamper mo
"Bunda gak sakit, Yah." Bibir manis istriku justeru melengkungkan senyuman."Mak-maksudnya?" Aku sedikit heran. Jelas-jelas ia sakit sejak tiga hari lalu, bahkan kini sampai tak sadarkan diri dan terpaksa dilarikan ke rumah sakit. Mengapa raut wajahnya justeru menampakkan kebahagiaan?"Dareen mau punya adik. Seperti yang Ayah mau, tambah anak biar tambah ramai dan tambah rezeki. Baju-baju hamil aku juga akan terpakai lagi," kekeh Embun, sedikit menggodaku.Allah ... benarkah apa yang barusan kudengar? Embun, istriku tengah mengandung untuk yang ke tiga kalinya, di usianya yang sudah tak muda lagi. Aku sangat bahagia, akan tetapi, ada rasa takut yang menggelayut perlahan. Usianya sudah bukan usia yang pantas untuk melahirkan. Apakah Embun-ku masih mampu melahirkan anak kami? Buah cinta kami yang ke sekian."Bunda serius?" tanyaku, untuk memastikan.Embun-ku mengangguk dengan wajah teduh nun manisnya. Layaknya tetesan embun pagi yang senantiasa memberikan kesejukan, senyumannya terus te
Aku terkejut bukan main. Dalam persidangan, Jeremy mengaku telah mengenal Yulia sejak lama. Ia juga mengaku sudah mengenal Evano. Kedua pasangan selingkuh yang kini telah sama-sama meninggal itu, rupanya sudah menyisakan luka di hati Jeremy."Jika saja saat itu kamu hanya melepaskan Yulia tanpa membu_nuhnya, aku tidak akan segi_la ini ingin menghabisimu!""Apa? Yulia? Membu_nuh? Aku tidak membu_nuh siapa pun. Baik Yulia maupun Evano, sama meninggal karena ulah mereka sendiri.""Ya! Yulia ma_ti karena tergi_la ingin bertahan denganmu!""Dia kecelakaan, karena berusaha mengambil alih kendaraan dalam kondisi yang lemah, Jeremy. Kamu tahu apa soal Yulia?" selidikku saat persidangan itu."Aku tau semua tentang dia. Aku tau betapa besar lukanya karena mencintaimu. Aku tau seberapa hancur Yulia saat kau tinggalkan! Kamu terlalu naif, Baji_ngan!""Mengapa aku yang disalahkan? Mereka telah selingkuh sampai Yulia yang kala itu masih sah menjadi istriku hamil oleh selingkuhannya."Kemarin, amara
Pagi yang begitu cerah, menampakkan semburat jingganya di sela jendela kamar kami. Kubuka selimut berwarna ungu, yang mana sudah tak menampakkan keberadaan wanita tercantik yang selalu tidur di sisiku.Pastilah wanita cantik berwajah teduh itu sudah sibuk mengurus rumah, sebelum anak-anak kami terbangun. Padahal, adzan subuh saja belum berkumandang.Hari ini adalah minggu, yang artinya aku tidak pergi ke kantor. Akan kumanfaatkan hari libur ini untuk membantu meringankan tugas istriku. Salah. Semua tugas rumah adalah tugasku, namun Embun memilih berbakti padaku dan mengurusnya sebagai sebuah ungkapan kasihnya."Sayang ..." Kupanggil wanita berambut hitam sepunggung itu, di balik dinding sekat ruang makan dan dapur."Eh, Yah. Sudah bangun?" tanyanya dengan lembut. Tentu saja wanitaku tak ingin suara kami mengganggu tidur yang lainnya."Udah, dong!" Kulingkarkan tangan di perutnya, menyandarkan dagu di bahunya yang sudah menguarkan wangi sabun dan shampo."Bunda sudah mandi?" selidikku
Di kantor polisi, Raffa menyerahkan dua orang pelaku pemu_kulan terhadap dirinya. Keduanya tak menggunakan penutup wajah, sehingga dengan jelas Raffa dan pihak berwajib mengenali pelaku itu.Saat di jalan tadi, beruntung ada petugas keamanan komplek yang sedang berkeliling. Mereka melihat Raffa tengah diserang oleh dua orang pria muda yang membawa sen_jata ta_jam.Raffa dibantu oleh tiga orang petugas keamanan komplek untuk meringkus dua pemuda itu dan membawanya ke kantor polisi."Siapa nama kalian?" tanya Pak Polisi yang menginterograsi pelaku itu."Dindin, Pak," jawab salah satunya, memang tak menyebutkan nama aslinya."Saya Bimo, Pak," kata pemuda lainnya, pun sengaja menyebutkan nama yang digunakan dalam gengnya."Kalian mau mengambil apa dari Bapak Raffa ini?""U--uang, Pak. Apa saja yang bisa diuangkan," kata Dindin setengah terbata."Bohong! Saya yakin, ada orang lain yang mengendalikan kalian. Cepat, katakan!" sentak Raffa tak sabar.Bimo dan Dindin menggeleng dengan cepat. K
PoV Author"Ya Allah, Yah, ini kenapa?" tanya Embun dengan mata berkaca."Gak pa-pa, Sayang. Luka kecil," balas Raffa, menoleh pada sumber suara di mana sang istri sudah berdiri di belakangnya."Sini aku bantu," pinta Embun, merebut plester untuk merekatkan perban."Ayah bisa, kok, Bun. Kamu sudah makan?" tanya Raffa, mendongak ke wajah sang istri yang hanya berjarak beberapa senti saja dari dahinya.Embun menggeleng. Jangankan ingat makan, hati dan perasaannya sudah tak tenang sejak siang."Habis ini kita makan sama-sama. Anak-anak sudah tidur?""Sudah." Embun yang masih dipenuhi akan tanya, masih malas untuk berkata banyak. Namun ia tak dapat menutupi rasa khawatirnya setelah melihat suaminya terluka."Maaf, ya, Ayah pulang telat." Tangan Raffa beralih ke puncak kepala sang istri yang tak tertutup hijab, kemudian mendekat hendak menciumnya.Embun menjauh, tanpa melepaskan tangannya dari dada sang suami. "Jelaskan, ada apa?" pintanya dengan tatapan tak mengenakan bagi Raffa."Oke. Ta
PoV Embun"Siapa Diana, Yah?" tanyaku, segera mengurai pelukan dan menatap sepasang bola matanya dalam. Dada ini terasa bergetar, takut sekali menjadi Mas Raffa di beberapa tahun lalu.Lelakiku meraih ponselnya, lalu membuka chat yang masuk dari kontak bernama Diana itu. Ia tak segera menjawab ucapanku, malah buru-buru membalas chat itu."Siapa?" ulangku, merampas ponsel di tangannya dan menjauhkan dari jangkauannya."Ya ampun, Bunda. Bukan siapa-siapa. Coba dibaca isi chatnya," suruh Mas Raffa, seperti tidak terjadi apa-apa. Ah, ya, mungkin memang hanya ketakutanku saja yang berlebihan.[Bos, besok si Jeje minta diramein lagi gymnya. Sehari lagi saja, buat mancing pengunjung.] Aku membacanya dengan sangat hati-hati. Sekilas memang tidak ada yang aneh. Hanya saja, mengapa nama pengirimnya nama perempuan?"Diana ini teman kamu? Ikut nge-gym juga?" cecarku."Lihat saja profil kontak itu." Mas Raffa bukannya menjawab, malah memintaku memeriksa detail profil kontak bernama Diana ini."Nam