Munaroh pulang dari toko. Tampak mertuanya sedang asyik di depan televisi, tak memperdulikan kehadirannya. Ia bergegas masuk lalu membuka nasi dan donat serta minuman enak yang dibelinya tadi.
“Nyak, makan!” tawar Munaroh hanya membuat mertuanya melirik tak menyahut.
Dengan lahap Munaroh menikmati kwetiauw goreng itu hingga tandas lalu menyruput minumannya. Selesai itu ia mencomot donat dan hanya tersisa satu saat Ali datang lalu menyomotnya juga. Romlah hanya bisa menelan saliva. Sebenarnya pingin sekali mencomot makanan enak itu andai sedang tidak perang dingin dengan mantunya.
“Kamu beli apa, Yang?” tanya Ali melirik sterofom bekas makanan.
“Kwetiaw goreng.”
“Beli satu doang?” Alii memastikan dan dijawab dengan anggukan kepala.
“Kok, satu doang?” protes Ali. “Buat aku mana?”
“Enyak aja ga dibeliin,” protes Romlah yang masih kesal
Sebulan terlewati sudah. Rumah Ali yang dulu seperti kandang ayam kini megah bak istana dibanding dengan rumah-rumah di sekelilingnya.Rona bahagia tampak di wajah Romlah dan Ali. Belum lagi Munaroh sudah mengisi rumah itu dengan tempat tidur, sofa, meja makan, lemari pakaian yang serba baru.“Wah, rumah Enyak jadi bagus ya!” seru Romlah saat memasuki rumah. “Enyak mau lihat kamar Enyak dululah.” Romlah bergegas ke kamar dan tak keluar lagi.“Asyik, kita punya kamar sendiri ya, Yang?” seloroh Ali. “Udah ada pintunya, jadi kita bisa mesra-mesraan tiap waktu,” godanya membuat wajah Munaroh merona merah.Pasutri itu masuk kamar. Alii langsung nyalain kipas dan rebahan di springbed empuk. Sedang Munaroh, merapikan baju-baju ke dalam lemari.*************Dua hari kemudian tagihan matrial dan tukang dari Imran datang ke toko Munaroh. Paman Munaroh yang juga seorang rentenir itu m
Sudah dua bulan umur pernikahan Ali dan Munaroh. Selama itu pula sang istri tak pernah dikasih uang belanja oleh suami tercinta. Maka tak salah jika Munaroh meminta uang belanja kepada suaminya.“Bang, bagi uang belanja dong buat sebulan!” pinta Munaroh sembari menadahkan tangan.“Kok minta sih?” jawab Ali sewot. “Kan biasanya pakai duit kamu.”“Tapi selama kita nikah, Abang belum pernah lho nafkahin aku,” protes Munaroh.“Kan duit Abang habis buat bayar cicilan matrial,” kilah Ali langsung berangkat kerja.Munaroh menghela napas panjang. Kesal dengan kelakuan suaminya yang tak mau rugi. Daripada bete di rumah, bergegas ia pergi ke toko.Hari ini toko cukup rame. Sepulang dari toko, ia mampir ke mall untuk mengisi perut dan ngopi-ngopi santai sebelum pulang ke rumah. Ia tak mau tidur dalam perut keroncongan. Tiap hari makan sayur asem sama sambel, jelas membuat bosan.
Makin hari, Romlah dibuat kesal oleh mantunya. Harapannya hidup enak dengan punya menantu kaya yang mudah diplorotin ternaya berbalik tiga ratus delapan puluh derajat dengan kenyaataan hidup. Mantunya yang dulunya royal waktu pacaran, ternyata pelitnya tak ketulungan.“Gue kesel tuh sama mantu gue, Munaroh,” curhat Romlah membuka obrolan gosip.“Kenapa lagi dengan Munaroh, Nyak?” tanya Siti si pemilik warung.“Masa kemarin cuma masak nasi sama sambel terasi doang,” gerutu Romlah membuat Siti dan beberapa ibu yang rame bergosip di warung melongo.“Masa sih?” tanya si ibu berdaster yang sudah berulang kali dijahit.“Bener ngapain gue bohong?” Romlah membela diri.“Mungkin Ali ga ngasih uang belanja kali,” timpal si ibu kurus.“Dikasih kok, banyak lagi,” sahut Romlah pede. “Gaji Ali kan semua dikasih ke istrinya.” Romlah mu
Romlah yang sedari awal sudah gembar gembor punya mantu yang kaya dan royal merasa tersaingi saat melihat gelang indah melingkar di tangan Maemunah, sang rival. Sedari dulu memang dua orang ini selalu bersaing, tak mau kalah satu sama lain. Plus keduanya suka pamer agar jadi pusat perhatian.Karena tak bisa membujuk sang mantu untuk membelikannya, mau tak mau Romlah harus membobol celengan untuk membeli gelang yang lebih bagus dan gramnya lebih gede daripada tetangganya itu.Gelang sudah melingkar manis di tangan. Tinggal tancap aksi bertemu tetangga sekaligus pamer agar Maemunah tahu jika ia selalu unggul darinya.“Mpok Siti, gula pasir seperempat dong!” pesannya saat ibu-ibu sedang berkumpul termasuk Maemunah.“Ini, Nyak.” Siti menyodorkan gula yang dibungkus kantong plastik transparan.“Berapa?”“Empat ribu.”Dengan sengaja Romlah menarik mengangkat dompetnya agak tinggi
Romlah terus uring-uringan setiap menatap mantunya. Perhiasan yang bergelayut manja di badan Munaroh benar-benar membuatnya panas tak karuan. Belum lagi Ali yang tak mampu membelikan perhiasan sebanyak yang dipunya istrinya.“Loe gimana sih, Al? Punya istri kaya tapi ga bisa ikut nikmatin duitnya?” hardik Romlah menyalahkan anaknya.“Pan, Enyak tahu sendiri kalau Munaroh itu ternyata pelit,” kilah Ali.“Makanya kamu harus pinter-pinter nyuri hati istri loe!” saran Romlah. “Kalau perlu curi aja tuh duitnya.”“Astagfirulloh Nyak!” pekik Ali sambil mengurut dada. “Istigfar, Nyak!” lanjutnya. “Nyuri itu dosa.”“Tahu Enyak,” sahut Romlah sewot. “Tapi hati ini panas Al, lihat perhiasan Munaroh yang gede-gede entu,” curhat Romlah dengan nada berapi-api.”“Mintain gih, tiga atau empat gelang Munaroh yang gede-ge
Romlah berkali-kali menghitung uang kontrakan dan jatah bulanan yang diberi oleh Ali. Jumlahnya tetap sama, tak berkurang dan tak berkembang biak.“Yaelah, jumlahnya cuam lima juta lima ratus ribu,” umpatnya kesal. “Gimana mau beli emas segede punya Munaroh.”Ibu Ali memujit-mijit keningnya. Mencoba mencari solusi agar cepat dapet duit banyak. Makin dicari, solusi itu malah bikin kepalanya nyut-nyutan tak karuan. Belum lagi mulut rasanya pingin ngunyah meski perut masih kenyang.“Ngopi enak kali ya!”Romlah ke luar kamar dan menuju dapur. Rumah tampak sepi hanya tinggal ia seorang. Ali pergi kerja sedang Munaroh pergi ke toko. Ibu Ali itu menggeledah setiap laci dan lemari makan untuk mencari kopi dan cemilan. Hasilnya nihil, tak ada stok.“Miskin banget sih rumah ini?” gerutunya kesal. “Kopi atau kue aja kagak punya. Romlah cemberut.&l
Ali sedang asyik merapikan sepatu-sepatu yang baru saja diambil dari gudang. Namun kedatangan leader yang langsung marah-marah tak jelas membuatnya terhenyak.“Kamu tuh gimana sih, Al!” bentak Pak Karno, sang leader. “Ditelpon ga diangkat, dikirim pesan ga dibalas.”“Memang Bapak telpon saya?” tanya Ali tanpa dosa.“Iya!” bentaknya kasar. “Ngapain saya kesini marah-marah kalau bukan karena hal itu?”“Ga ada dering hape Pak,” sahut Ali masih membela diri.“Coba cek dulu hapemu!”Ali merogoh kantong seragannya. Tampak ponsel yang sudah pecah layarnya dan diikat dengan karet. Ali menyalakan ponsel kesayangan. Tampak beberapa panggilan tak terjawab dari Pak Karno dan juga pesan yang baru saja masuk.“Baru masuk Pak, pesannya,” ucapnya santai.Pak Karno menepuk jidatnya. Geleng-geleng kepala, kesal dengan bawahannya tapi pingi
Selepas magrib, rumah Romlah disambangi oleh anak kedua dan mantunya. Tampak perut Atun sudah besar. Berjalanpun terasa berat dan melelahkan.“Wah, sudah gede aja perut loe, Tun?” seloroh Romlah.“Sudah berapa bulan, emangnya Mpok?” tanya Ali.“Bulan depan lahiran, Al,” sahut Atun membenarkan posisi duduknya.Munaroh keluar dengan membawa empat gelas minuman hangat dan sepiring gorengan.“Anak yang kedua ya, Mpok?” Munaroh ikut obrolan.“Iya,” sahut Atun ramah. “Nabila sebentar sudah kelas lima SD, jadi kangen suara bayi lagi.”“Munaroh kapan?”Tiba-tiba Karyo ikut mengakrabkan diri.“Aye sih dikasihnya sama Allah,” sahut Munaroh dengan tersenyum.“Dia mah sibuk ngurusin toko, jadi we ga hamil-hamil,” tukas Romlah dengan wajah judes.“Kurangi atuh ke tokonya!” nasihat Karyo. “L
Munaroh memakai jasa pembantu untuk pekerjaan rumah tangga. Ia hanya ingin fokus merawat Billar saja. Hal itu justru memicu kemarahan Romlah. Ia menganggap mantunya itu males dan buang-buang duit saja. Ia mulai cari celah untuk menjatuhkan Munaroh. Sebelum magrib sang pembantu pulang.“Enak banget ya, kerjaannya cuma tiduran dan mainan handpone,” usik Romlah saat mantunya sedang tiduran dengan sang cucu.“Kan semua sudah dikerjain sama Bibi, Nyak,” jawab Munaroh yang kemudian meletakkan hapenya di bantal.“Loe itu malas banget jadi orang!” Romlah mulai meninggi karena ucapannya berani dijawab. “Jadi bnii tuh jangan Cuma tiduran, main hape tapi harus masak, beres-beres rumah.”“Aku kan punya bayi, Nyak,” sanggah Munaroh lagi membuat mata mertuanya melotot.“Bayi jangan dijadikan alasan buat malas-malasan!” sentak Romlah. “Dulu Enyak kalau punya bayi, juga mas
“Ali, Ali!” teriak Romlah di sela isak tangisnya menggegerkan rumah Munaroh yang mulai sepi. Hanya ada Rojali dan beberapa kerabat yang masih membereskan sisa aqiqah.“Ali, Ali!” Romlah terus berteriak saat anaknya belum jua menampakkan batang hidungnya. Suaranya mulai parau karena habis menangis meraung-raung.“Ada apa, Nyak?” Tanya Ali yang tergopoh-gopoh menghampirinya yang disusul oleh Rojali dan Munaroh.“Rumah Enyak, Al,” sahut Romlah dengan isak tangis.“Kenapa dengan rumah Enyak?” Ali mulai panik yang kemudian menatap Atun dan Karyo bergantian.“Rumah Enyak, Al,” kalimat Romlah tertahan. Kalah dengan tangisannya yang kencang.Tiba-tiba Romlah merasakan tubuhnya terasa lemas. Berita duka ini membuat kakinya tak mampu menopang tubuhnya yang mulai kurus semenjak ditinggal Ali. Ali menuntun tubuh ibunya duduk di kursi. Seorang kerabat Munaroh memb
Sepeninggalan Rohaye dan Malih, Romlah memanggil Atun dan Karyo. Setali dua uang dengan mantunya yang pertama, mantu kedua inipun tak bisa diandalkan untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Karyo bukan tak mau menyenangkan mertuanya, tapi hasil jualan cilok hanya cukup untuk makan dan sekolah anak-anaknya saja.“Tempe lagi, tempe lagi,” gerutu Romlah saat Atun hanya menyajikan tumis kangkung dengan tempe goreng di atas meja makan.“Ikan kek, daging kek,” imbuh Romlah melirik menantunya yang taku-takut menatapnya.“Rezekinya ini, Nyak,” sahut Atun bijak.“Masa tiap hari ini doang makannya!” umpat Romlah. “Bisa-bisa stroke lagi gue makan makanan tak bergizi seperti ini.” Tunjuknya pada menu yang dimasak Atun.“Ya, udah, Enyak mau makan apa?” tanya Karyo akhirnya.“Nasi padang,” sahut Romlah.“Aku ayam goreng, Pak!” pinta kedua anakn
Karena lelah hati dengan ucapan Romlah yang setiap hari menyindirnya, Ali malah kepikiran ucapan Dadang. Dia ingat kembali kata-kata sahabatnya itu.‘Apa iya ya, aku sudah dzolim sama Munaroh selama ini?’‘Apa Munaroh marah karena aku tak pernah memberi nafkah meski dia punya uang banyak?’‘Apa aku pertahanin Munaroh demi kebahagiaan anakku kelak?’‘Tapi kalau aku milih Munaroh, Enyak pasti marah dan aku jadi anak durhaka?’Perang batin Ali dimulai. Ingin rasanya kembali memperbaiki hubungan dengan sang istri. Namun ia takut jika sang ibu marah. Tapi jika terus hidup seperti ini, diapun tak mau. Dia laki-laki normal, ingin dicinta dan diperhatikan oleh seorang wanita.“Udah gajian belum, Al?” Tiba-tiba suara Romlah membangunan anaknya dari lamunan.“Udah, Nyak,” sahut Ali yang langsung mengeluarkan uang dari dompetnya.“Kok cuma segini?&
Rencana perceraiannya dengan Munaroh membuat beban pikiran Ali. Ga tahu harus berbuat apa karena Munaroh sudah menutup pintu damainya dengan Romlah.“Kenapa loe, Al?" tanya Dadang saat sahabatnya itu mampir ke warungnya.“Gue lagi pusing nih, Dang?” keluh Ali. “Gue disuruh cerai sama Enyak.”“Apa?” pekik Dadang. “Enyak loe suruh loe cerai?”“Iya.” Ali mengangguk lemah. “Padahal Munaroh lagi hamil.”“Emang apa masalahnya?” Dadang mencoba tenang.“Enyak marah gara-gara Munarih gam au pinjemin uang buat modal usaha Mpok Rohaye.” Zuki membuka cerita.“Emang berapa?” Dadang penasaran.“Lima puluh juta.”“Jelaslah ga mau,” sahut Dadang santai. “Uang segithu banyak, belum tentu usaha kakak loe berhasil.”“Iya juga sih.” Ali setuju. “Munaroh j
Menjelang sore toko tampak rame. Banyak pemilik warung yang berbelanja di toko grosir milik Munaroh. Selain harganya miring, Munaroh termasuk ramah kepada pelanggannya. Tak ada satupun langganan yang ia sepelekan meski cuma belanja dalam porsi kecil.Namun di tengah kesibukannya di belakang meja kasir, mendadak perut Munaroh terasa mual-mual. Ali, yang kebetulan baru datang segera menghampiri istrinya dengan wajah cemas.“Kamu sakit, Yang?” tanyanya yang memapah tubuh Munaroh yang hampir saja jatuh karena hilang keseimbangan.“Ga tahu ini, Bang, perutnya mual-mual, pingin muntah,” sahut Munaroh dengan keringat dingin.“Kamu sakit, Yang, wajahmu pucat.” Ali makin khawatir. “Kita periksa, yuk!”“Iya, Bang.” Munaroh menurut. Ia memang tipikal wanita yang ga mau sakit berlama-lama.Beberapa menit setelah diperiksa, pasutri itu duduk di depan dokter.“Sakit apa,
“Bang, besok kan Enyak kontrol dan terapi,” ucap Munaroh di depan meja hias.“Iya,” sahut Ali datar. “Aku besok juga ambil off kok biar bisa ngantein Enyak.”“Besok, biaya rumah sakitnya pakai uang Enyak sendiri ya!” ucapan Munaroh membuat mata suaminya terbeliak.“Kok githu?”“Ya kan setahun ini semua pakai uang Munaroh dari makan, listrik, terapi Enyak dan biaya operasi,” beber Munaroh. “Dan semua itu banyak keluar uang.”“Tapi kalau nanti Enyak suruh bayar sendiri takutnya Enyak marah dan tekanan darahnya tinggi, masuk ke rumah sakit, bagaimana?” Ali mengurai ketakutannya.“Ya, kalau gini terus ya berat di aku dong, Bang!” keluh Munaroh. Palagi semua gaji dan uang kontrakan diminta Enyak.”“Kok kamu itung-itungan sih sama, Enyak!” hardik Ali kesal. “Durhaka tahu.”“Ada
Uang makin menipis, sedang hubungannya dengan Munaroh makin memanas membuat kepala Romlah cenat cenut tak karuan. Belum lagi dirasa badan sedang tak bersahabat.“Urut enak kali ya?” ucapnya sambil memijit-mijit kakinya yang kesemutan. “Duh, mules lagi.”Panggilan alam membuat Romlah bangkit ke kamar mandi. Dengan santai ia masuk ke dalam yang tak ia sadari jika lantai kamar mandi licin. Tak ayal ia langsung terpelet.“Auww!” pekiknya keras membuat Ali dan Munaroh tergopoh-gopoh menghampirinya.“Enyak!” teriak histeris Ali yang langsung membantu Romlah bangkit.“Sakit Al!” teriak Romlah saat kakinya tak bisa digerakkan.“Bang, langsung bawa ke rumah sakit saja!” titah Munaroh yang diiyakan suaminya.Romlah tampak kesakitan sepanjang jalan ke rumah sakit. Di tengah perjalanan Ali menghubungi kedua saudaranya jika Romlah jatuh di kamar mandi dan dilarik
“Enak saja loe minta uang kontrakan!” bentak Romlah yang sudah di depan mata menantunya sambil berkacak pinggang.“Kontrakan ini dibangun di tanah gue ya, kenapa loe yang mau duitnya?” tunjuknya ke muka sang menantu. “Matre banget sih jadi bini.”“Kalau gaji Bang Ali semua Enyak minta, uang kontrakan Enyak minta, lalu Bang Ali nafkahin Munaroh pakai apa?” jawab Munaroh nambah bikin kesel mertuanya.“Kan loe banyak duit, pakai aja duit loe sendiri!” sanggah Romlah. “Kalau sudah rumah tangga itu, uang istri ya uang suami.” Romlah mencari pembenaran atas ucapanya.“Ga kebalik, uang suami itu uang istri,” tukas Munaroh ketus.“Uang anak laki ya uang emaknya karena surge ada di telapak kaki ibu,” sahut Romlah masih tak mau kalah.“Denger tuh Bang, kata Enyak.” Munaroh menatap suaminya sebagai pelampiasan kesal. &ld