Aku seolah tertampar dengan ucapan Pak Anggara yang meminta aku untuk lebih belajar mengekpresikan apa yang aku rasakan tidak hanya lewat sikapku yang berbeda, melainkan dengan ungkapan jelas tentang perasaanku.Sejenak aku berpikir, ternyata aku memang tidak pandai akan hal itu. Bahkan dari sebelum aku menikah dengan Mas Rendi.Menjadi anak rantau yang jauh dari keluarga, membuat aku harus merasa baik-baik saja apalagi jika ditanya oleh Ayah dan Ibu. Semata-mata agar mereka tidak merasa khawatir dengan keadaanku saat sedang jauh dari mereka.Hal itu rasanya pasti dialami oleh semua orang, tidak hanya aku saja. Namun disaat aku bertemu dengan orang yang mengerti, barulah aku tersadar jika sikap seperti itu tidak bisa terus-terusan aku lakukan. Aku harus berubah atau aku harus menurunkan ekspektasiku terhadap orang yang aku maksudkan agar dia bisa peka."Mengerti, kan?""Iya. Tapi mendengar cerita dari Evelyn dan Pak Hans, rasanya kamu memang lebih cocok dengan Evelyn. Kalian memiliki b
Namun tiba-tiba saja terdengar suara dari arah luar, tentu itu dari dalam ruangan Pak Anggara."Gara! Kak Gara!"Ya, itu adalah suara Evelyn yang memanggil Pak Anggara. Aku pikir dia sudah pulang, tetapi ternyata dia kembali dan mengganggu apa yang sedang aku dan Pak Anggara lakukan berdua. Gangguan itu jelas saja membuat suasana hatiku kembali memburuk setelah mulai luluh dan percaya dengan apa yang dikatakan oleh Pak Anggara.Lantas aku segera bangun dan mencoba untuk melepaskan ikatan pada tanganku yang memang tidak terlalu kencang, karena ia takut menyakitiku, katanya."Mau ke mana?" tanya Pak Anggara menahanku meraih baju-baju kami yang sudah kami tanggalkan dari tubuh kami berdua."Apa kamu tidak dengar? Evelyn memanggilmu. Temui dia, mungkin memang ada hal penting.""Untuk apa? Tidak ada yang penting kalau tentang dia. Biarkan saja.""Aku sudah tidak ingin melanjutkannya. Aku sudah tidak mood lagi. Lebih baik kita keluar," ucapku yang segera mengenakan kembali pakaianku dengan
"Mbak Dyan kok diam saja?" tanyaku sambil tersenyum. "Ayo masuk, Mbak. Suamiku sudah mengajak kita untuk pulang sama-sama. Atau Mbak mau jalan kaki?"Sengaja sekali aku tidak menyebut nama Mas Rendi, melainkan aku panggil dengan kata 'suamiku'. Ternyata senang rasanya menjadi orang yang tidak terlalu baik pada orang yang memang tidak baik padaku."Mah, ayo naik," ucap Ryo sambil menarik tangan Ibunya. "Aku duluan deh, ya."Baru saja tanganku hendak membuka pintu depan, Ryo merengek pada Mbak Dyan."Mah, aku mau duduk di depan sama Papa."Apakah aku akan mengalah? Oh, tentu saja tidak."Ryo, kalau di depan biar Mama Tia saja, ya."Biasanya aku atau bahkan Ryo sendiri selalu memanggilku dengan sebutan Tante, tetapi kali ini aku sengaja menyebut diriku dengan panggilan Mama.eski padahal aku selalu tahu jika Mbak Dyan selalu mengajarkan Ryo agar dia seolah bersikap pada orang lain denganku.Aku langsung masuk ke dalam mobil, tepatnya di samping Mas Rendi. Terlihat wajah kesal Mbak Dyan s
"Jadi kamu ingin rumah yang mana, Tiana?" tanya Pak Anggara setelah tiga jam lebih kami melihat tiga tipe rumah berbeda di sebuah kompleks perumahan yang tidak jauh lokasinya dari kantor."Setiap rumah, apa potongannya sama, Pak?" tanyaku balik.Sebelumnya aku dan Pak Anggara sudah berkompromi masalah hal ini untuk berpura-pura berakting kalau Pak Anggara memang selalu seperti itu pada beberapa karyawan yang akan diberikan bantuan dana saat membeli rumah.Hal ini memang tentu saja akan menimbulkan kecurigaan, hanya saja Mas Rendi sama sekali tidak mempermasalahkan, ia juga tidak banyak bicara apalagi disaat aku bilang jika Pak Anggara akan memberikan bantuan sepuluh sampai dua puluh persen dari harga rumah tersebut.Itu memang sudah aku pikirkan, utamanya agar Mas Rendi tidak akan curiga sebab nantinya Mbak Dyan pasti akan mempengaruhi dia perihal kedekatanku dengan Pak Anggara yang mungkin terasa berlebihan.Jika masalah uang disaat Mas Rendi memang akan banyak mengeluarkan budget en
Tiba-tiba saja raut wajah Mbak Dyan berubah, kegugupan pun tidak bisa ia tutupi begitu saja. Dia sudah berani memercikan api di hubunganku dengan Mas Rendi, sekarang baru saja aku membeli bensinnya, ia sudah mulai panik sendiri, padahal belum aku tuangkan agar api itu bisa begitu besar. Cukup untuk melahapnya.Itulah jika ucapan tidak sesuai dengan perbuatan. Saat kali pertama bertemu denganku, dengan kesombongannya Mbak Dyan bisa menikah dengan pria yang jauh lebih baik secara finansial dari Mas Rendi. Sampai-sampai ia mengumbar sendiri dengan membandingkan kehidupan rumah tangganya, seolah tengah mengejekku yang mendapatkan Mas Rendi, ditambah Ibu Mertuaku yang tidak pernah sehari pun libur untuk mencampuri urusan rumah tangga kami. Dan lihatlah sekarang, bak menjilat ludahnya sendiri. Dia menginginkan kembali ke kehidupan Mas Rendi yang sudah jauh lebih baik. Aku pun paham, mengapa Mbak Dyan tidak meminta Mas Rendi untuk menceraikan aku terlebih dahulu, karena dia sudah memenangka
"Gak, ah. Rumah baru, semuanya perabotan di dalamnya juga harus baru. Toh bakal pakai uang hasil kerja aku, kok. Aku sama Mas Rendi udah sepakat, rumah dibeli pakai uang Mas Rendi, kalau isinya baru aku nyicil beli dari gajian tiap bulan. Barang-barang aku dari rumah lama yang sekarang ada di rumah Ibu, kalau memang dibutuhkan pakai aja, Mbak. Biar gak boros beli-beli barang baru. Kasian Mas Rendi baru beli rumah, masa harus beli ini itu juga. Sebisa mungkin jangan jadi istri yang menambah beban suami. Iya kan, Mas?" Aku langsung bersandar dipundak Mas Rendi, seperti sedang bermanja-manja. Sengaja membiarkan Mbak Dyan melihatnya dari belakang.Sebelum berpisah nanti, akan aku pastikan Mbak Dyan tidak akan mendapatkan apa yang dia inginkan dari gaji Mas Rendi yang sudah besar. Biarkan ia sibuk melunasi rumah juga untuk kebutuhan sehari-hari dan biaya untuk Ibu. Sehingga tidak ada uang lebih untuk Mbak Dyan berfoya-foya.Tak lama kemudian, kami pun sampai di sebuah restoran mewah. Temp
Jelas aku tidak mengerti penjelasan apa yang diinginkan oleh Evelyn. Padahal semuanya sudah dibahas dimeja tadi soal mengapa aku dan Pak Anggara bisa makan bersama dengan Suamiku pula. Aku menceritakan tentang aku yang akan membeli rumah. Dan sekarang penjelasan apa lagi yang harus aku katakan padanya?"Wanita yang bernama Dyan itu.""Mbak Dyan? Kenapa dengan Mbak Dyan?" Aku semakin bingung saja."I didn't hear it wrong, right? Dyan itu calon istri suami kamu? Terus kamu?""Oh itu?" Aku tersenyum sambil membasuh tanganku. "Istri kedua. Itu saja? Kenapa kamu merasa aneh?""Iya, I know. Tapi, kenapa bisa kamu keliatan akur kaya gitu? Malah makan siang sama-sama, terus sebelumnya liat rumah yang mau di beli juga sama-sama. That's just weird.""Apanya yang aneh? Apa istri pertama dan istri kedua gak boleh jalan bareng? Gak boleh pergi sama-sama? Atau harusnya bermusuhan kaya gitu?""No, no, no. Aku hanya merasa di mata kamu itu tidak ada cinta, jadi rasa cemburu itu tidak ada. Makanya kam
Belum saja aku mendapatkan jawaban dari Pak Anggara, Evelyn sudah keluar mengenakan dress berwarna maroon. Dress panjang dengan area dada terbuka menampakkan kulit putih dan lehernya yang jenjang.Cantik!Satu kata saat aku melihat Evelyn keluar dari kamar ganti. Ya, dia memang cantik mengenakan dress itu. Sudah pasti dia akan menjadi pusat perhatian di hari ulang tahunnya sendiri.Seketika saja hati mungilku ini merasa tidak percaya diri. Insecure, bisa dibilang seperti itu. Evelyn masih berusia 26 tahun, terpaut beda 3 tahun denganku. Dia dari keluarga yang terpandang, anak seorang pengusaha, selain itu dia juga berpendidikan tinggi.Dengan itu saja aku yakin semua pria tidak ada alasan untuk tidak menyukai sosoknya. Namun kenapa tidak dengan Pak Anggara? Mengapa dia lebih menginginkanku? Yang saat dengannya nanti, aku sudah menyandang status sebagai seorang janda. Tentu hal itu mengganggu pikiranku, yang sama sekali tidak akan aku mendapatkan jawabannya."Bagaimana?" tanya Evelyn s
Semua orang tanpa terkecuali pasti memiliki sebuah luka. Luka yang tidak kasat mata, hanya sang pemilik luka lah yang bisa merasakannya.Sembuh atau tidaknya tidak bisa dipastikan secara nyata, sebab tergantung sang pemilik luka itulah akan berbicara berdasarkan fakta atau malah menyembunyikannya agar terlihat baik-baik saja.Meski pada akhirnya luka yang tidak terlihat itu bisa sembuh, tapi memorinya akan selalu tertanam dalam ingatan. Semakin mencoba untuk dilupakan, maka akan semakin tenggelam dalam kesakitan.Hanya diri sendirilah yang mampu menyembuhkan dan memastikan luka itu tidak bersarang lama dalam hidupnya.Masa lalu akan tetap menjadi masa lalu, sejauh apapun mengejarnya tak akan bisa kembali apalagi hanya untuk menyesali apa yang sudah terjadi dimasa sekarang.Luka dimasa lalu yang dibiarkan, biasanya akan menjalar menjadi sebuah dendam. Sebuah titik balik yang berniat untuk melupakan, malah meluap menjadi emosi yang harus terbalaskan.Ketidakadilan adalah hal yang pasti
POV Anggara"Kania ...." Setelah istriku mengatakan semua isi hatinya di depan makam Kania, kini giliranku yang harus aku utarakan juga apa yang ada dalam hatiku ini."Sudah lama rasanya sejak hari di mana kita terakhir bertemu dalam keadaan hubungan kita yang tidak baik-baik saja. Itu adalah hal yang paling aku sesalkan. Aku kira aku tau semua tentangmu, tentang cerita senang dan sedihmu. Ternyata aku tidak sedalam itu mengetahui hidupmu. Entah apa lagi yang harus aku sesalkan karena semua itu tidak akan membuat waktu berputar kembali sehingga kamu mungkin masih hidup dan bersamaku sekarang."Pertama kalinya, aku mengutarakan apa yang ada di dalam hatiku, penyesalan yang aku rasakan terhadap kematian Kania yang tidak aku sadari apa yang terjadi pada Kania sebelumnya."Selama ini aku sama sekali tidak melupakanmu. Aku melanjutkan hidup karena aku selalu mengingatmu. Aku bawa dendam kematianmu dengan menghancurkan hidup orang yang menjadi alasan kamu mengakhiri hidupmu."Sekejap aku me
"Hay, Kania. Perkenalkan aku Tiana, aku adalah istri Mas Anggara, cinta pertama kamu. Senang bisa tau cerita kamu dari suamiku sendiri. Semoga kamu bisa beristirahat tenang di sana. Sungguh, kamu jatuh cinta pada pria yang tepat. Aku merasa keberuntungan yang harusnya kamu miliki, kini menjadi milikku. Aku berharap kamu bahagia atas kebahagiaan aku dan Mas Anggara saat ini. Sekarang kami sudah mempunyai tiga anak, dua anak kembar dan bungsu yang masih bayi. Nanti jika mereka sudah besar, akan aku ceritakan bagaimana ayahnya mencintai kamu begitu hebat dan tulus. Terimakasih sudah menyemangati Mas Anggara disaat ia merasa ada dititik terendah dalam hidupnya, sehingga dia bisa sehebat sekarang ini. Aku akan mencintai Mas Anggara dan menjaga anak-anak kami selamanya."Aku mengutarakan isi hatiku disaat kami sudah menaburkan bunga dan berdoa untuk Kania. Tidak ada lagi rasanya cemburu, sedih atau bahkan sakit hati. Aku sudah benar-benar ikhlas dengan kenyataan dari cerita Mas Anggara.Tid
Bulan madu setelah memiliki anak, tadinya aku berpikir itu hanya buang-buang waktu dan bentuk keegoisan orang tua yang tega meninggalkan anak-anak hanya demi kesenangan berdua, padahal bulan madu berdua itu bisa digantikan dengan liburan bersama keluarga, sehingga anak-anak bisa ikut merasakan bahagia yang sama seperti orang tuanya. Namun ada hal yang aku sadari setelah aku merasakannya sendiri. Setelah menjadi seorang istri, prioritasku berpindah pada suami. Aku belajar memasak masakan yang disukai suami, mengingat makanan apa yang tidak ia sukai, menjaga bentuk badan agar suami tetap cinta, menjaga dan membersihkan rumah agar tetap bersih sehingga ketika suami pulang kerja dia bisa nyaman beristirahat, memastikan pakaian suami bersih ketika akan dipakai bekerja, memastikan dia makan sehat meskipun diluar rumah. Sampai kepentinganku sendiri tergeser dari prioritas yang tadinya selalu utama. Lalu, lahirlah sang buah hati. Bertambah pula yang harus diprioritaskan selain diri sendi
Pagi indah aku benar-benar menyarap suamiku sendiri. Bercinta dipagi hari ternyata lebih fresh, mungkin energi kita masih utuh karena belum melakukan aktivitas apa-apa. Ini adalah honeymoon kedua yang berhasil. Selain aku mendapatkan kenikmatanku kembali, aku mendapatkan ketenangan setelah berhati-hati menyimpan rasa kecewa karena sulit untuk menerima realita. Di villa itu, aku dan Mas Anggara seperti mengadakan pesta bercinta saja. Rasanya malu melihat kelakuan diri sendiri, seperti orang yang kehausan dan lama tidak mendapatkan air. Mungkin itu yang akan dikatakan oleh rahimku jika dia bisa berbicara. Mempunyai suami tapi aku malah kekeringan. Sering cemburuan, mudah marah, mudah tersinggung, ternyata sentuhan suami lah obatnya. Kesabaran suami yang menjadi vitamin tambahan. Untunglah dia tidak berpikiran untuk membayar jasa wanita diluar sana, yang bahkan pasti ada saja yang menjajakan diri dengan suka rela alias gratis. Aku malu sekali jika mengingat semua yang telah terjad
Bagaimana ada istri seperti aku sekarang ini. Rasanya aku tidak pandai bersyukur sekali, semua yang aku inginkan sudah aku dapatkan di pernikahan kedua ini, tetapi aku tidak memperhatikan suamiku sendiri. Padahal dialah sumber yang membuat aku bisa mendapatkan apa yang selama ini menjadi keinginanku.Mas Anggara tidak pernah menuntut apa-apa, selalu memberikan yang terbaik untukku dan tentu juga untuk anak-anak. Namun aku tidak memperhatikan kebutuhan biologisnya. Padahal itu bukan hal yang besar dan mahal untuk aku berikan karena pastinya aku juga akan merasakan kenikmatannya.Aku baru tersadar kenapa beberapa kali Mas Anggara menyarankan agar kami mencari pengasuh bayi, karena dia juga butuh perhatian dariku, dia butuh aku untuk mengurusnya. Aku saja yang kurang peka dan tidak pernah bertanya."Maafkan aku, Mas. Aku akan lebih memperhatikanmu disamping kesibukanku mengurus anak-anak. Dan sepertinya aku akan menerima tawaran untuk mencari pengasuh bayi saja. Aku tidak akan egois dan
"Tidak," jawabku sambil menggelengkan kepala. "Sepertinya ada satu hal yang baru aku sadari sekarang, Mas.""Apa itu?""Setelah memiliki anak, fokusku hanya pada mereka saja. Kamu tidak aku perhatikan bahkan aku mengabaikan diriku sendiri. Baru aku sadari ternyata kamu malah semakin tampan meskipun sudah mempunyai tiga anak, usia kamu beberapa tahun lagi akan memasuki kepala empat. Kamu masih sangat sehat, bugar, berkharisma seperti aktor-aktor Hollywood yang semakin matang usia malah semakin menarik mata."Mas Anggara tersenyum tipis. "Kamu memujiku terlalu berlebihan, Sayang. Tidak seperti itu. Biasa saja seperti lelaki pada umumnya."Aku menggelengkan kepala dengan tegas. "Beda! Kamu sangat berbeda. Aku tidak memuji kamu secara berlebihan tapi memang faktanya begitu. Aku hanya membicarakan apa adanya yang aku lihat.""Kalau memang begitu, kenapa kamu tampak sedih sekarang? Bukannya memiliki suami yang tampan itu akan membuat kamu bangga?""Yang ada aku malah insecure, Mas. Kalau ki
Senja perlahan bergantian dengan langit yang menggelap. Tidak ada lagi pemandangan yang bisa aku lihat dari atas sini kecuali perlahan digantikan dengan lampu-lampu kota yang satu persatu mulai dinyalakan. Aku hanya bisa menunggu karena waktu yang akan menjawab bagaimana selanjutnya. Apa yang bisa aku lakukan jika dia mengatakan sebuah janji selain aku menunggu dan merasakan sendiri bagaimana dia membuktikan itu semua. Sehingga tidak ada jawaban lain selain aku tetap bertahan untuk melihat janji yang dia ucapkan, bisa dia buktikan.Aku mencintai suamiku terlepas dari apapun masa lalunya, rahasianya juga alasan awal bagaimana dia mendekatiku hingga akhirnya sungguh menikahiku.Aku harus melapangkan dada, meluaskan rasa sabarku, melihat ke masa depan dan merasakan apa yang masa sekarang terjadi. Bukankah selama ini rumah tangga kami baik-baik saja?Itulah yang sudah seharusnya aku lakukan. Tidak ada manusia yang tanpa pernah melakukan sebuah kesalahan dimasa lalu. Semua manusia adalah
Mas Anggara selalu bisa memberikanku jawaban yang masuk diakal. Tidak mengada-ada seperti mencari pembenaran untuk dirinya, tetapi memang seolah faktanya seperti apa yang dia katakan."Coba bilang padaku, apa yang harus aku lakukan sekarang?"Aku menggelengkan kepala."Papa saja menyadari jika hubungan kita tidak baik-baik saja makanya dia menyuruh kita untuk menghabiskan waktu berdua tanpa anak-anak. Jangan sampai sepulang kita dari sini, kamu tetap menjaga jarak dariku. Kita ini suami istri.""Aku tau. Aku juga tidak mau seperti ini, Mas. Tidak ada seorang pun yang mau rumah tangganya diuji, kalau bisa itu juga. Tapi cerita kamu itu membuat hatiku sakit, kecewa. Jadi banyak sekali hal yang aku pikirkan dengan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi yang aku hubungkan dengan cerita kamu. Aku sudah punya trauma di pernikahanku dulu, dan aku masih tidak percaya kita begini jadinya. Apa ini karma untukku?"Tiba-tiba saja langsung terpikirkan hal itu dalam benakku. Memang sama sekali tidak