Dari sepulang menjemput anak-anak, aku tidak hentinya senyum-senyum sendiri kala aku mengingat pujian dari anak-anakku tentang penampilan aku yang baru."Sekarang, mau Mami bacakan dongeng apa?" tanyaku pada Al dan El yang sudah berbaring di kasur mereka masing-masing. Karena masih terlalu kecil, aku dan Mas Anggara sengaja membuat desain kamar anak dengan dua sisi berbeda antara anak laki-laki dan perempuan. Tentu saja pemilihan warna dan pemilihan karakter, mereka sendiri yang tentukan. Kami hanya sebatas mengabulkan apa yang mereka inginkan."Yang kemarin, Mi.""Iya, yang kemarin aja."Hah .... Aku bahagia sekali jika pemilihan cerita keduanya sama, membuat aku jadi tidak banyak bicara untuk mendamaikan keduanya yang pastinya ingin pilihan mereka yang dituruti.Setelah mereka tidur, aku matikan lampu utama dan tak lupa sebelum keluar aku kecup kening mereka. Waktu cepat sekali berlalu, kedua anakku sudah besar saat aku melihat kasur berukuran yang sudah mereka tempati hampir 2 tah
Ya, komunikasi adalah kunci diatas segalanya. Tanpa berkomunikasi, hal sepele saja bisa menjadi masalah besar jika hanya menduga-duga dengan pemikiran yang tidak jernih karena kecurigaan sudah menguasai pikiran.Aku sudah dalam usia dewasa, begitu juga dengan pernikahanku yang bukan lagi setahun atau dua tahun, terlalu lelah jika aku harus bergelut sendiri dengan pemikiranku hanya karena ingin mendapatkan attention dari suamiku tanpa aku bicarakan secara langsung.Aku adalah manusia biasa, begitu juga dengan Mas Anggara. Aku ingin dimengerti, tentu aku juga harus mengerti dia.Terkadang karena sudah biasa mendapatkan perhatian dan segala hal yang aku miliki tanpa aku minta, sehingga membuat aku malah ketergantungan seperti itu dan begitu seterusnya."Mas, kita telat 10 menit jemput Al dan El," ucapku saat mobil memasuki sekolahan anak kami.Karena tadi terhenti sebentar di jalan, membuat kami sedikit terlambat menjemput anak-anak. Aku terlalu senang sampai sedikit terhanyut. Namun set
Pada akhirnya aku tidak bisa menemukan solusi yang baik untuk permasalahan yang aku alami, yang bergelut dengan pemikiranku sendiri. Aku tidak boleh egois untuk anak-anakku."Mas, menurut kamu apa aku masih cantik? Umur aku tahun ini 35 tahun. Aku sudah pernah melahirkan dua bayi, dan sekarang aku sedang hamil lagi. Terkadang aku banyak malasnya untuk merawat diriku sendiri. Aku merasa gagal untuk menyenangkan kamu. Diluar sana banyak wanita cantik dan masih muda."Mas Anggara yang sedari tadi berdiri untuk mengajak aku ke dalam, lalu mendekati dan berlutut di hadapanku."Kenapa bisa kamu mempertanyakan hal tidak penting itu? Hal yang tidak layak kamu pertanyakan padaku.""Entahlah, aku merasa sedang tidak percaya diri saja.""Kamu cantik, tetap cantik dan tidak berubah sejak pertama kita bertemu. Umur hanyalah angka, kamu bertambah dewasa dan keibuan tetapi dimataku kamu tetaplah seorang gadis yang harus selalu aku lindungi. Yang cantik dan yang muda pasti ada banyak diluaran sana, t
Jelas aku tidak percaya dengan alasan yang diberikan Mas Anggara padaku, terkesan mengada-ada dan terlalu memaksakan. Tidak mungkin juga jika itu benar hadiah untukku, apalagi disimpan di dalam saku jas? Karena aku yakin lipstik mahal seperti itu tidak mungkin disimpan di dalam saku begitu saja.Rasanya lebih masuk akal dengan apa yang aku bayangkan dan cerita dari Evelyn, jika itu memang milik dia yang dititipkan pada Mas Anggara. Dan itulah yang membuat aku penasaran di mana mereka bertemu sampai bisa seperti itu."Kamu perlu bukti?""Sudahlah, Mas. Aku hanya tidak menyangka saja. Padahal seluruh kepercayaan aku sama kamu masih utuh."Tanpa banyak bicara lagi, Mas Anggara mengambil ponselnya yang ada di atas meja. Entah apa yang akan dia lakukan sebagai pembuktian untukku."Lihat? Lipstik ini aku pesan khusus dengan nama kamu. Ini desainnya. Sengaja aku simpan di dalam saku jas, karena aku ingin memberikan kejutan tanpa terlihat sama kamu kalau aku sedang membawa sesuatu. Jadinya le
"Ya, benar, Tiana. Itulah kenapa seorang istri dan ibu harus berpendidikan tinggi. Selain berpendidikan tinggi, asal-usulnya harus jelas, keturunan keluarga yang jelas juga. Agar tidak diremehkan oleh orang lain. Tentu bakal menjadi privillage buat anak-anaknya nanti.""Evelyn, sebaiknya kamu segera pulang. Sekarang!""Baiklah. Aku pulang karena nurut sama Kak Gara. Al, El, Miss mau pulang duluan, ya. Sampai ketemu besok di sekolah.""Iya, Miss.""Oke, Miss."Aku mengernyit, 'Bisa-bisanya anak-anakku diajarkan untuk memanggil dia dengan sebutan Miss. Dia bahkan bukan guru yang mengajar anak-anak.'"Al, El, lain kali kalau Bu Evelyn mau mengantarkan kalian pulang, jangan mau, ya. Itu bisa merepotkan. Kalau Mami atau Papi telat jemput kalian, kalian bisa minta tolong Miss Jenny untuk telepon ke Mami atau Papi. Oke?"Jika Evelyn tidak mau mendengarkan aku untuk berhenti mendekati anak-anak, berarti sudah seharusnya aku mengajarkan anak-anakku untuk menjauh darinya dengan alasan tidak bol
"Aku bisa menjemputnya sendiri.""Dengan meninggalkan bayimu? Atau mengajaknya bermacet-macetan di jalan?""Aku yang sudah menjadi ibu, aku yang lebih tau apa yang harus aku lakukan.""Dengan keegoisan kamu itu?"Aku? Egois?Bukankah yang aku lakukan sudah benar?"Coba singkirkan ego kamu itu, apa salahnya menerima bantuan dari orang lain meskipun katanya kamu tidak memerlukan itu. Kamu akan sulit hidup tenang jika pikiranmu dipenuhi dengan berbagai bayangan negatif saja. Aku manusia biasa, memang pernah salah tetapi aku bisa berubah. Dan aku tidak mungkin berbuat jahat sama anak kamu.""Mudah bagi pelaku untuk berbicara begitu, tetapi tidak dengan korban yang mengalami trauma bahkan sampai sekarang. Susah payah aku belajar menjadi ibu yang berpikiran sehat dan mengenyampingkan rasa takutku karena apa yang kamu lakukan. Jadi tolong menjauhlah."Selama bertahun-tahun mungkin aku telah bersikap baik-baik saja. Menjalani hidup sebagai seorang istri dan ibu bagi anak-anak. Namun jika aku
"Mami jahat! Mami nyakitin aku!"Untuk sepersekian waktu aku mematung melihat tangis anak pertamaku yang mengatakan jika aku jahat dan telah menyakitinya."Mana yang sakit, Al?" tanya Evelyn langsung memberi perhatian pada Al, sedangkan aku malah diam.Dari dalam lubuk hatiku yang terdalam, aku sama sekali tidak berniat untuk menyakiti anakku sendiri. Apalagi aku tidak pernah berlaku kasar pada mereka sebelumnya. Jangankan untuk kasar secara fisik, secara lisan pun aku tidak pernah melakukannya. Didikan tegas malah datang dari Mas Anggara.Sehingga saat ini aku benar-benar merasa lemas atas tindakan yang aku lakukan dengan tidak berniat untuk menyakiti Al."Tangan aku sakit, Miss.""Anak-anak itu tidak untuk disakiti, Tiana. Kamu bisa bicara lembut dan memberikan pengertian. Sebesar apapun rasa benci kamu itu, seharusnya tidak kamu lampiaskan pada anak-anak."Tanpa menghiraukan perkataan Evelyn, aku langsung mendekati Al dan berlutut di depannya. "Mami tidak bermaksud untuk menyakiti
"Bagaimana?""Kita harus mencari pengasuh ..., untuk baby Za.""Kita kan sudah sepakat buat membesarkan baby Za sama seperti saat membesarkan Al dan El. Dulu kita berdua bisa mengurus si kembar sama-sama. Masa sekarang harus cari pengasuh untuk baby Za.""Masalahnya kan bukan saat kita bisa mengasuh si kembar dan bayi ketiga kita sekarang ini. Beda keadaannya. Al belum siap kasih sayang orang tuanya terbagi lagi. Kita harus memberikan pengertian untuk menjelaskan secara perlahan, agar rasa tolerannya tumbuh lalu dia bisa menyayangi baby Za sama seperti El."Sesulit ini kah menjadi orang tua?Setelah sakit hati karena dianggap tidak bisa berlaku adil oleh anakku sendiri, sekarang aku harus mengalah atas apa yang sudah aku inginkan dulu agar bisa merawat tumbuh kembang anakku sedari mereka masih bayi.Sesulit ini kah untuk meyakinkan anak-anak bahwa aku menyayangi mereka tanpa ada yang dibedakan. Prioritasku sekarang memang baby Za karena dia masih bayi, baru satu minggu dia terlahir di