"Ya, benar, Tiana. Itulah kenapa seorang istri dan ibu harus berpendidikan tinggi. Selain berpendidikan tinggi, asal-usulnya harus jelas, keturunan keluarga yang jelas juga. Agar tidak diremehkan oleh orang lain. Tentu bakal menjadi privillage buat anak-anaknya nanti.""Evelyn, sebaiknya kamu segera pulang. Sekarang!""Baiklah. Aku pulang karena nurut sama Kak Gara. Al, El, Miss mau pulang duluan, ya. Sampai ketemu besok di sekolah.""Iya, Miss.""Oke, Miss."Aku mengernyit, 'Bisa-bisanya anak-anakku diajarkan untuk memanggil dia dengan sebutan Miss. Dia bahkan bukan guru yang mengajar anak-anak.'"Al, El, lain kali kalau Bu Evelyn mau mengantarkan kalian pulang, jangan mau, ya. Itu bisa merepotkan. Kalau Mami atau Papi telat jemput kalian, kalian bisa minta tolong Miss Jenny untuk telepon ke Mami atau Papi. Oke?"Jika Evelyn tidak mau mendengarkan aku untuk berhenti mendekati anak-anak, berarti sudah seharusnya aku mengajarkan anak-anakku untuk menjauh darinya dengan alasan tidak bol
"Aku bisa menjemputnya sendiri.""Dengan meninggalkan bayimu? Atau mengajaknya bermacet-macetan di jalan?""Aku yang sudah menjadi ibu, aku yang lebih tau apa yang harus aku lakukan.""Dengan keegoisan kamu itu?"Aku? Egois?Bukankah yang aku lakukan sudah benar?"Coba singkirkan ego kamu itu, apa salahnya menerima bantuan dari orang lain meskipun katanya kamu tidak memerlukan itu. Kamu akan sulit hidup tenang jika pikiranmu dipenuhi dengan berbagai bayangan negatif saja. Aku manusia biasa, memang pernah salah tetapi aku bisa berubah. Dan aku tidak mungkin berbuat jahat sama anak kamu.""Mudah bagi pelaku untuk berbicara begitu, tetapi tidak dengan korban yang mengalami trauma bahkan sampai sekarang. Susah payah aku belajar menjadi ibu yang berpikiran sehat dan mengenyampingkan rasa takutku karena apa yang kamu lakukan. Jadi tolong menjauhlah."Selama bertahun-tahun mungkin aku telah bersikap baik-baik saja. Menjalani hidup sebagai seorang istri dan ibu bagi anak-anak. Namun jika aku
"Mami jahat! Mami nyakitin aku!"Untuk sepersekian waktu aku mematung melihat tangis anak pertamaku yang mengatakan jika aku jahat dan telah menyakitinya."Mana yang sakit, Al?" tanya Evelyn langsung memberi perhatian pada Al, sedangkan aku malah diam.Dari dalam lubuk hatiku yang terdalam, aku sama sekali tidak berniat untuk menyakiti anakku sendiri. Apalagi aku tidak pernah berlaku kasar pada mereka sebelumnya. Jangankan untuk kasar secara fisik, secara lisan pun aku tidak pernah melakukannya. Didikan tegas malah datang dari Mas Anggara.Sehingga saat ini aku benar-benar merasa lemas atas tindakan yang aku lakukan dengan tidak berniat untuk menyakiti Al."Tangan aku sakit, Miss.""Anak-anak itu tidak untuk disakiti, Tiana. Kamu bisa bicara lembut dan memberikan pengertian. Sebesar apapun rasa benci kamu itu, seharusnya tidak kamu lampiaskan pada anak-anak."Tanpa menghiraukan perkataan Evelyn, aku langsung mendekati Al dan berlutut di depannya. "Mami tidak bermaksud untuk menyakiti
"Bagaimana?""Kita harus mencari pengasuh ..., untuk baby Za.""Kita kan sudah sepakat buat membesarkan baby Za sama seperti saat membesarkan Al dan El. Dulu kita berdua bisa mengurus si kembar sama-sama. Masa sekarang harus cari pengasuh untuk baby Za.""Masalahnya kan bukan saat kita bisa mengasuh si kembar dan bayi ketiga kita sekarang ini. Beda keadaannya. Al belum siap kasih sayang orang tuanya terbagi lagi. Kita harus memberikan pengertian untuk menjelaskan secara perlahan, agar rasa tolerannya tumbuh lalu dia bisa menyayangi baby Za sama seperti El."Sesulit ini kah menjadi orang tua?Setelah sakit hati karena dianggap tidak bisa berlaku adil oleh anakku sendiri, sekarang aku harus mengalah atas apa yang sudah aku inginkan dulu agar bisa merawat tumbuh kembang anakku sedari mereka masih bayi.Sesulit ini kah untuk meyakinkan anak-anak bahwa aku menyayangi mereka tanpa ada yang dibedakan. Prioritasku sekarang memang baby Za karena dia masih bayi, baru satu minggu dia terlahir di
"Aku sedang tidak ingin berdebat denganmu, Evelyn. Aku sibuk dengan keluargaku.""Kamu boleh merasa tenang karena sudah resmi berstatus istri. Tapi ingatlah, masih banyak wanita yang menginginkan di posisi kamu untuk menjadi istri seorang CEO. Jadi, berpakaian lah selayaknya kamu menjadi istri yang pantas bersanding dengan CEO. Penampilan kamu sebagai istri, cerminan suksesnya seorang laki-laki sebagai suami. Dengan penampilan kamu yang sekarang, tidak hanya kamu yang dibicarakan, tetapi Kak Gara juga. Kasihan jika Kak Gara dianggap tidak bisa membahagiakan istinya sedangkan yang terjadi kamu tidak peduli dengan penampilan sendiri."Aku mengepalkan tanganku menahan emosi setelah mendengar ocehan Evelyn yang tampak meremehkanku. Aku bukan orang yang anti akan kritikan, tetapi tidak jika itu dilakukan di depan umum. Sama saja dengan aku sedang dipermalukan dihadapan banyak orang."Menikahlah, agar kamu bisa tau rasanya menjadi seorang istri dan ibu dari tiga anak. Dan jangan lupa untuk
"Awal pernikahan aku dengan Mas Anggara, aku masih sering komunikasi lewat video call sama Ryo. Empat tahun ini udah gak pernah lagi. Aku juga gak coba hubungin mereka karena sibuk sama si kembar. Ditambah sekarang aku punya anak ketiga.""Ah begitu. Apa kabar ya mereka sekarang? Ryo juga pasti sudah besar. Apa mungkin Yoga sudah menikah lagi, ya?""Bisa jadi, Mbak."Meski padahal aku tahu saat dulu Yoga berkata tidak akan pernah menikah lagi agar bisa fokus pada Ryo. Namun aku tidak ingin berterus-terang dengan apa yang aku ketahui, karena bisa saja Yoga berubah pikiran dan memutuskan untuk menikah lagi. Apalagi sudah lama aku tidak komunikasi dengan dia."Tidak enak hidup dalam penyesalan, Tiana. Setiap malam aku hanya overthinking akan masa depanku yang sama sekali tidak aku bayangkan akan seperti apa. Benar-benar suram bahkan mungkin gelap. Aku tidak punya bahu untuk bersandar. Aku tidak punya seseorang untuk bergantung. Kakiku rasanya tidak menapak dengan kuat tiap kali aku berja
Aku ikut merasa terkejut saat Mas Anggara mendapatkan telepon yang dugaanku sepertinya ia mendapatkan kabar buruk dari keluarganya."Siapa yang sakit, Mas?""Keluarga Evelyn kecelakaan, Sayang. Dan orang tuanya meninggal di tempat kejadian. Sekarang sudah dievakuasi ke rumah sakit.""Itu Evelyn yang telepon kamu?" tanyaku penasaran kapan mereka saling menyimpan nomor telepon masing-masing, padahal setahuku Mas Anggara tidak menyimpan kontak Evelyn sebab itu yang selalu dia katakan."Iya. Aku harus ke rumah sakit. Tidak apa-apa?"Jelas apa-apa bagiku, apalagi disaat aku melihat kepanikan tergambar jelas di wajah Mas Anggara. Sampai aku bertanya-tanya kenapa bisa Evelyn menghubungi Mas Anggara. Ya, kenapa harus menghubungi suamiku?"Kenapa harus kamu, Mas? Keluarganya yang lain apa gak bisa datang buat dia? Kamu kan bukan siapa-siapa Evelyn."Bukannya aku melarang suamiku untuk berbuat suatu kebaikan, tetapi kenapa harus menghubungi suamiku? Kenapa harus memberitahu suamiku lebih dahulu
"Aku menolak kamu ada di sini. Tolong pergi selagi aku masih bersikap baik. Kesabaran aku juga ada batasnya.""Sebegitu takutnya aku akan merebut Kak Gara dari kamu, Tiana? Padahal dulu kamu begitu percaya diri. Kenapa kepercayaan diri kamu hilang?""Sulit menjelaskan suatu hal pada orang yang belum mengalaminya. Aku sudah menikah dan mempunyai anak, keturunan Mas Anggara. Jelas pemikiran kita akan berbeda. Dan kamu harus ingat juga, aku pernah gagal dalam berumah tangga karena aku lalai dan terlalu baik membiarkan masa lalu mantan suamiku kembali ke kehidupan kami. Hal itu sudah aku jadikan sebagai pelajaran. Jadi, aku akan menjaga rumah tanggaku, saat ini!""Kamu tau suami kamu berselingkuh dengan masa lalunya, tapi yang kamu lakukan bukan segera membongkarnya, kan? Malah mencari pembelaan diri untuk melakukan hal yang sama dengan alasan agar kamu tidak merasa sakit hati terus-menerus. Memang kamu pikir, perbuatan kamu membalas suami kamu dulu itu akan berakhir begitu saja? Perbuata