"Mungkin kamu bisa membodohi Rendi dengan mudah, karena Rendi begitulah adanya, mudah dibodohi karena dia sendiri sangat patuh pada Ibunya. Tapi nggak sama aku, Tiana. Dari awal aku ketemu kamu di restoran saat kamu makan siang berdua itu, dari sana aku sudah tau kalau ada sesuatu diantara kalian."Aku masih menutup mata, masih tidak percaya kalau Mbak Dyan tahu kecuali hanya sebatas menebak-nebak saja agar aku merasa takut dan terancam."Daripada mengurusiku, lebih baik Mbak Dyan bersiap dan urusi urusan Mbak Dyan sendiri. Tunggu Yoga menghubungi Mbak. Tebus semua kesalahan yang pernah Mbak lakukan.""Lalu kenapa kamu mengurusi urusanku? Jangan merasa suci, Tiana! Kamu itu sama kotornya, sama liciknya denganku. Aku saja kamu bilang selingkuh, tapi kenapa kamu tidak?""Aku hanya sebatas membantu Yoga. Yoga lebih berhak atas pengasuhan Ryo karena dia ayah kandungnya. Dan Mas Rendi juga berhak tau kalau Ryo bukan anaknya, dan yang terpenting Mas Rendi dan Ibu harus tau kebenarannya jika
"Kembali atau tidaknya aku pada Mas Rendi, itu sudah bukan urusan Bapak lagi. Mohon jangan seperti ini, ini kantor, Pak."Sekuat tenaga aku mencoba untuk melepaskan diri dari pelukan Pak Anggara yang begitu eratnya memelukku. Aku sampai kewalahan untuk menahan air mataku agar tidak menetes saat kejadian ini, sebab sesakit itu lah yang aku rasakan saat harus benar-benar pisah dengan Pak Anggara.Puzzle kenangan yang sudah kita lewati berdua seolah silih berganti nampak pada ingatanku. Dalam masa-masa terpurukku karena kehidupan rumah tanggaku, Pak Anggara datang bak seseorang yang begitu sempurna memenuhi segala ekspektasiku yang tidak mungkin pernah terjadi, ternyata bisa terjadi dengan mudahnya.Banyak kebahagiaan yang dia berikan dalam hidupku walau kita baru berhubungan sebentar. Bukan hal yang semu, tetapi nyata adanya. Bukan sekedar janji tetapi ia memberikan buktinya. Namun ternyata pria seperti itu bukan untukku. Tuhan tidak mengizinkan. Tuhan tidak memberikan izinnya dengan m
"Maaf sebelumnya, aku tidak bermaksud untuk mencampuri urusan kamu, tapi tanpa kita kehendaki problem hidup kita saling berkaitan. Setelah urusanku dengan Dyan sudah mulai terbuka, bagaimana dengan rumah tangga kamu dengan Rendi? Sebab aku yakin Dyan tidak akan tinggal diam saja. Apalagi setelah rahasianya terbongkar, mungkin dia sedang mencari cara untuk meyakinkan Rendi supaya tetap menerimanya atau untuk tidak percaya dengan ucapanmu.""Aku sudah memutuskan untuk pisah dengan Mas Rendi.""Kamu yakin?""Aku rasa ini keputusan yang terbaik. Tapi ini tidak ada hubungan dengan Mas Rendi yang tidak bisa memberikan aku keturunan, karena aku sudah membuktikan dengan tetap bertahan dari awal nikah sampai sekarang. Bisa dikatakan aku ingin menjaga kewarasan saja. Menjaga perasaanku yang sering tersakiti omongan Ibu yang bikin sakit hati. Intinya aku mau menjalani hidupku dengan lembaran baru. Menciptakan kebahagiaan sendiri tanpa bergantung pada orang lain meskipun aku tidak punya siapa-sia
"Jadi Mas selama ini tau kondisi Mas sendiri tapi hanya diam saja?!" tanyaku dengan perasaan tidak habis pikir."Lalu Mas harus bagaimana? Mas juga tetap ingin menikah seperti yang diinginkan oleh kedua orang tua Mas. Mas ini anak satu-satunya, satu-satunya penerus di keluarga. Tidak mungkin Mas mengecewakan Ibu dan Ayah yang sudah sekarat waktu," ucapnya terdengar seperti sedang membela diri sendiri."Tidak ingin mengecewakan tapi Mas membuat orang-orang terutama Ibu Mas sendiri berpikir bahwa istri Mas lah yang bermasalah. Itu jahat namanya. Karena kenyataannya Mas yang tidak bisa memberikan keturunan.""Memang apa yang salah dengan itu? Wajar jika semua orang menganggap istri lah yang mandul karena banyak kasusnya begitu. Yang terpenting Mas tanggung jawab sebagai kepala keluarga. Tidak pernah berkata atau bahkan bersikap kasar."Untuk hal satu itu aku akui memang benar. Karena itu juga satu-satunya alasan aku bertahan dengan Mas Rendi. Karena semua kebaikannya. Tutur kata yang lem
Mbak Dyan mencengkram tanganku dengan keras untuk mencegah aku pergi dengan membawa Ryo."Lepasin, Mbak. Jangan membuat keributan, ini rumah sakit. Ayo, Ryo. Ikut sama Mama Tia." Aku segera membawa Ryo untuk segera keluar, tetapi Mbak Dyan tidak membiarkan hal itu begitu saja. Ia menyusulku diikuti oleh Mas Rendi pula."Dyan! Sudah biarkan Ryo bersama Tiana.""Tapi itu anak kandung kita berdua!""Kamu mau sampai kapan seperti ini? Aku sudah tau kalau Ryo itu anak Yoga. Jika kamu masih tetap ingin Ryo denganmu, minta maaflah pada Yoga. Mungkin saja dia masih bisa memaafkan kamu dan kamu bisa kembali padanya," ucap Mas Rendi yang jelas menyiratkan jika dia akan melepaskan Mbak Dyan dengan mudahnya."Apa, Ren?""Sebaiknya kita berpisah saja.""Enggak, enggak! Aku gak mau jadi janda ketiga kalinya. Jangan begitu, Rendi! Aku tetap istri kamu," ujar Mbak Dyan dengan histeris karena tak ingin Mas Rendi membiarkan dirinya kembali pada Yoga."Terima saja, anggap apa yang terjadi sekarang padam
"Siapa itu, Mama Tia?" tanya Ryo yang membuat aku tersadar dari lamunan yang sedang memikirkan siapa orang yang mengetuk pintu rumahku."Sebentar Mama Tia liat dulu, ya. Ryo lanjutin nonton aja."Aku beranjak dan berjalan untuk membukakan pintu depan. Dan disaat pintu aku buka, aku tidak melihat siapa-siapa di depan rumahku. Itu membuat aku khawatir dan tentu aku merasa sedikit ngeri. Tanpa berpikir panjang aku langsung masuk ke dalam dan mengunci pintunya kembali. Perasaan takut akan hal mistis memang terlintas dalam benakku, tetapi aku jauh lebih takut jika itu adalah orang yang berniat tidak baik.Yang selalu aku yakini jika hantu tidak bisa mencelakai manusia kecuali keteledoran manusianya sendiri kerena rasa takut, tetapi manusia bisa melakukan hal yang lebih jahat bahkan lebih dari bisikan setan sekalipun. Apalagi jika itu didasari dendam dan rasa sakit hati.Dan dua orang yang paling aku waspadai sekarang ini adalah Mbak Dyan, juga Evelyn. Tentang Mbak Dyan jelas dia sudah men
Aku hanya menggelengkan kepala karena Mbak Dyan pandai bersandiwara. Dia bersikap seolah tidak terjadi apa-apa dan tentu dia tidak akan merasa bersalah."Udahlah, Mbak. Gak usah pura-pura karena aku sudah tau. Seniat itu Mbak mengikuti aku dan Ryo, lalu meneror kami berdua semalam. Tidak ada Ibu kandung yang setega Mbak.""Apa sih maksud kamu? Ngikutin siapa? Semalam aku pergi ke rumahmu, tapi kamu tidak membukakan pintu. Ya, aku memang teriak di depan rumah kamu. Tapi setelah itu aku diusir security. Memang sengaja saja kamu tidak membukakan pintu untukku, kan? Makanya sekarang biar Ryo ikut denganku lagi."Aku terdiam seribu bahasa, entah harus berkata apa."Mbak semalam ke rumahku? Yang mana?"Lalu Mbak Dyan menatap ke arahku. "Yang mana? Memang kamu punya berapa rumah? Mas Rendi belikan rumah lagi untukmu? Tidak adil!"Aku terus menatap Mbak Dyan, berharap jika aku melihat dia sedang melakukan kebohongan seperti yang biasa aku lihat jika dia tengah berbohong. Namun ternyata nihil.
"Apa aku harus menjawab pertanyaan itu? Kamu begitu ingin tau kapan aku dan Kak Gara menikah? Kamu tidak berencana untuk menggagalkan pernikahan aku, kan?"Entah mengapa, Evelyn bisa berpikiran seperti itu padaku. Seolah aku wanita gila yang bisa saja melakukan itu. Padahal aku bukan orang yang bisa tega merusak kebahagiaan orang lain dengan sengaja. Bahkan aku mundur meskipun aku dengan Pak Anggara ternyata suka sama suka."Tidak dijawab pun tidak masalah.""Yang pasti pernikahan itu akan berlangsung minggu ini. Aku permisi."Setelah mengatakan itu, Evelyn langsung pergi berlalu. Kita benar-benar sudah menjadi asing padahal awal bertemu dia langsung akrab denganku. Ya, lagi-lagi aku tidak bisa menyalahkan dia sepenuhnya. Yang dia lakukan mungkin sudah menjadi yang terbaik.***"Tidak ada sesuatu yang ingin kamu katakan pada Ibu?" tanya Mas Rendi setelah aku sampai di rumah tetapi belum mau masuk ke dalam kamar untuk melihat keadaan Ibu."Tidak ada. Malah aku ingin bicara sama kamu,"