Sejauh yang Regina ingat, pernikahan ke dua orang tuanya memang sedikit berbeda. Regina tidak pernah melihat ayahnya berbisik mesra di telinga ibunya seperti yang biasa di lakukan pasangan lain, Galahan Erlang juga sangat jarang berada di rumah. Lelaki itu seolah memiliki dunianya sendiri, dunia di mana tidak ada ia dan Raina di dalamnya.
Regina ingat ketika Alisha pertama kali di bawa masuk ke mansion Galahan Erlang, anak kecil berambut ikal itu berada di dalam gendongan Galahan. Sesuatu yang membuat Regina benar-benar merasa iri, terlebih lagi Galahan benar-benar melakukan persiapan besar-besaran untuk menyambut Alisha.
“Ibuk, Alisha mau perkedel dagingnya.” Alisha berbisik malu-malu.
“Sebentar, ibuk ambilkan.”
“Ada makanan lain yang kamu mau Al? bapak bisa minta koki untuk menyiapkannya untuk kamu.”
Alisha menggeleng, “Ibuk, abis makan mau main di sana boleh?”
Alisha jelas merasa kikuk denga
“Karma bisa datang kapan saja Juna, kamu yakin sanggup menanggung karma yang harus di tanggung Alisha karena kelakuan ibunya?” Arjuna mengulum senyum, lelaki itu menyimpan ponselnya terlebih dahulu sebelum menanggapi Raina yang sejak tadi tidak bisa berhenti mengutuk Aliya dan juga Alisha dengan mengatas namakan karma. “Saya sama sekali tidak mengerti dengan apa yang anda bicarakan.” Arjuna menyesap cangkir tehnya pelan, “Tapi kalau memang anda sekhawatir itu, saya akan bilang kalau saya sama sekali enggak keberatan.” Arjuna terkekeh, senang sekali melihat ekspresi kaku lawan bicaranya. “Saya siap menanggung apapun itu, selama Alisha menjadi milik saya.” tegas lelaki itu lagi, “Jadi anda tidak perlu khawatir.” “Saya tahu kamu lelaki yang seperti apa Juna, kamu tidak akan pernah bisa bertahan dengan satu perempuan.” Raina berucap dengan hati-hati, “Mungkin kamu perlu mencoba perempuan lain, dengan begitu kamu bisa mempertimbangkan keputusan kam
Alisha melangkah pelan, sebisa mungkin berhati-hati ketika menggeledah ruang kerja Galahan yang cukup rapih. Entah sudah berapa lama ia berkeliling, tapi belum juga ia temukan hal-hal yang sanggup membuktikan kejahatan seorang Galahan Erlang. “Hanya ada laporan biasa.” Desah perempuan itu sembari mengistirahatkan diri di kursi kerja ayahnya, fokus Alisha sedikit teralihkan ketika menyadari potret wajah siapa yang ada di dalam bingkai kecil di dekat tumpukan map hitam. Itu adalah potret Aliya yang sedang tersenyum lebar sembari menatap kamera, wajahnya kuyu. Perempuan itu jelas kelelahan, tapi senyumnya secerah mentari. Alisha melihat ibunya memeluk seorang bayi yang di lingkupi selimut merah muda yang lembut, di sampingnya Galahan tersenyum tidak kalah lebar sembari mengusap wajah sang bayi penuh sayang. “Apa-apaan..” bisiknya dengan bibir bergetar, “Kenapa Kalian enggak pernah sebahagia ini sebelumnya.” Alisha berusaha menyadarkan diri, ia tidak bole
Alisha kembali mengelilingi ruang kerja Galahan Erlang setelah cukup mampu mengendalikan diri, perempuan itu menyimpan kembali foto-foto yang ia temukan ke dalam laci sebelum beralih memeriksa rak buku. “Ayolah, dimana bapak menyembunyikan bukti kejahatannya. Berkas sepenting itu, pasti enggak akan di taruh di sembarang tempat.” Gumam Alisha sembari terus menyusuri rak buku dengan tangannya. Alisha tiba-tiba menghentikan langkah, ada sesuatu yang aneh dengan rak buku yang baru saja di sentuhnya. Perempuan itu mencoba mengamati lebih detail dan menemukan salah satu buku di rak tersebut bukan buku sungguhan melainkan sebuah replika. “Setiap rahasia pasti di simpan di sudut tergelap.” Gumam perempuan itu sembari menarik kotak kayu yang berbentuk seperti buku tersebut. “Aku menemukanya buk..” bisik Alisha lirih ketika rak buku di bagian atas bergeser kekiri dan menunjukan sudut rahasia yang tidak akan mudah di temukan oleh orang lain. Tangan Alisha terulu
“Saya permisi nona.” Alisha mengangguk, membiarkan pelayan yang baru saja selesai merapikan rambutnya pergi. setelahnya, Alisha kembali termenung. Pikirannya penuh dengan Galahan dan kumpulan foto dengan tulisan manis di baliknya. “Fokus Alisha, jangan biarkan hal kecil seperti itu menghancurkan tekad kamu. Kematian ibuk harus di balaskan.” Bisiknya kepada diri sendiri. ‘Kriet’ Alisha kembali membuka mata begitu pintu kamarnya kembali terbuka, ah lebih tepatnya pintu kamar Arjuna. Lelaki itu masih belum mengizinkan Alisha kembali ke paviliun kanan, semenjak insiden yang nyaris membahayakan nyawanya waktu itu. “Kamu berkasil menemukan sesuatu?” Arjuna duduk sembari melipat salah satu kakinya di sofa, “Katakan Alisha, apa kamu menemukan sesuatu?” Alisha mengangguk, “Ada brangkas teresembunyi di balik rak buku.” “Kamu berhasil membukanya?” Alisha menggeleng, “Saya.. melihat kehadiran Galahan dari monitor cctv di ruan
Alisha mengerjap, Arjuna tiba-tiba saja mengecupi wajahnya dengan cepat.“Tuan, geli!” Alisha berusaha menahan wajah lelaki itu meski percuma, alih-alih menyingkir Arjuna justru memutar tubuhnya sehingga Alisha telentang di atas sofa, “Astaga tuan, saya bisa jatuh!”Arjuna terkekeh, ternyata ia merindukan kecerewetan Alisha setelah seharian ini mengabaikan perempuan tersebut.“Kita akan menghancurkan keluarga Erlang, Al. Keluarga itu akan membayar dosa-dosa mereka selama ini.” ucap Arjuna sungguh-sungguh.Alisha yang mendengar itu sedikit merasa terharu, perempuan itu tidak tanpa sadar mengulurkan tangan dan mulai menelusuri wajah Arjuna. Alisha merasa kagum menyadari betapa tegas rahang lelaki tersebut, belum lagi hidungnya yang mancung, mata yang besar dan tajam, terakhir Alisha berlama-lama membelai bibir Arjuna yang tipis kehitaman, lelaki itu pasti pecandu rokok.“Ternyata tuan Arjuna tampan juga.&rdqu
“Kode Aksesnya..” Arjuna berusaha mengingat sebaris angka yang di beritahukan AlishaPerempuan itu bilang Galahan menggunakan tanggal dan tahun pernikahannya dengan Aliya sebagai kode akses untuk memasuki ruang kerjanya. Alisha sendiri saat itu tidak sengaja melihat Galahan menekan angka tersebut ketika di undang memasuki ruang kerja ayahnya untuk pertama kali.‘klik’Arjuna menyeringai karena pintu jati tersebut benar-benar terbuka, “Nah, sekarang mari kita lihat, di mana replika buku yang di maksud Alisha.” Arjuna mengusap ke dua tanggannya dengan tidak sabaran, sejauh ini rencananya berjalan dengan lancar. Titik kamera keamanan yang di beritahukan oleh Alisha benar-benar tepat sasaran, perempuan itu bahkan ingat jadwal patroli para penjaga sehingga Arjuna bisa dengan mudah menghindari mereka.“Ah, jadi ini foto yang di lihat Alisha.” Arjuna mengambil bingkai kecil di dekat tumpukan berkas, “Yah, har
Alisha termenung di dalam kamarnya, perempuan itu mengerjap sebelum memukul dadanya yang sesak. Ia jelas terkejut dengan sikap Arjuna barusan, lelaki itu benar-benar terasa dingin dan tiba-tiba saja terasa jauh, tidak dapat di sentuh.“Tuan Arjuna mungkin lelah.” Alisha mencoba menyemangati diri, meski sejujurnya ia juga tidak mengerti kenapa harus merasa sekecewa ini, “Atau mungkin misinya tidak berjalan sesuai rencana, tuan Arjuna pasti kesal karena itu butuh waktu untuk sendiri.”Alisha menarik napas, sebisa mungkin menahan perasaan sedihnya dan berusaha memaklumi sikap Arjuna.“Nona..”Alisha menoleh, seorang pelayan datang sembari mendorong troli makanan.“Sebastian bilang, anda boleh makan setangkup roti mentega dulu sebelum beristirahat.”Alisha menggelengkan kepala, “Saya enggak lapar.”“Anda harus makan, Sebastian bilang anda tidak menghabiskan menu makan malam
“Syukurlah karena lukanya tidak serius, kamu hanya perlu mengganti perbannya sekali besok pagi.”Arjuna menarik tangannya dari Ruben dengan kasar.“Tapi sebaiknya, untuk sementara kamu jangan terlalu sering menggerakan tangan kamu dulu Jun. Seenggaknya sampai besok pagi.”“Hmm.”Ruben menghela napas, “Oke, kalau begitu selamat beristirahat.”Ruben membereskan barang-barangnya dengan cepat, begitu juga Alisha yang menenteng sampah medis yang di gunakan Ruben untuk mengobati Arjuna.“Selamat beristirahat tuan.” Perempuan itu sedikit membungkukan badan, mencontoh kebiasan Sebastian jika hendak undur diri dari hadapan Arjuna.“Mau kemana kamu?”Alisha spontan melirik ujung pakaiannya yang di tarik Arjuna. “Saya mau kembali ke kamar tamu tuan.”“Siapa yang nyuruh kamu pergi?”Semua orang di dalam kamar mengerutkan kening.