Oh, good. Suasana makan malam masih saja terasa kaku. Entah, mungkin karena aku tak terbiasa makan bersama mereka. Saat masih tinggal di rumah ini pun, aku lebih banyak menghabiskan waktu di luar, namun tetap harus pulang apa pun yang terjadi.
Ya, itulah Papaku. Papa yang sudah tak kukenal lagi sejak bertahun-tahun yang lalu. Kata Mama, dia membenciku karena wajah dan sikapku mirip Mama. Tapi menurutku, akulah yang lebih membencinya.
Aku benci situasi ini, dimana Erik dan Elena harus duduk di hadapan aku dan juga Kahfi. Sedang Mama mereka, duduk manis di sampingku. Rasanya ingin sekali mengeluarkan makanan yang baru saja masuk ke perut, melihat situasi keluarga kami yang aneh ini.
"Apa kalian tidak berbulan madu, Key?" ucap wanita itu dengan mulut manis, seperti biasanya.
I dont know. Kurasa otaknya sudah bebal. Dia terus berbicara padaku, meski aku tak pernah menjawabnya. Apa dia tidak punya malu? Tak ada gunanya menjilatku. Toh P
Kami kembali melakukan sarapan bersama. Kali ini suasana hatiku cukup membaik. Setidaknya, aku sudah punya cara untuk mengawasi perusahaan Papa, dan juga kisah tadi malam bersama Kahfi tentunya. Uh, manisnya.Yah, walaupun untuk saat ini, aku tak tahu apa yang akan kulakukan nanti sesampainya di sana. Aku cukup pusing memikirkan pekerjaan yang tidak ada sangkut pautnya dengan keahlianku. Berfoto, dan hanya bisa menarik perhatian orang. Tapi setidaknya, aku punya alasan untuk selalu datang ke hotel, tanpa perlu mengendap-endap lagi.Wajah Elena masih tetap sama. Masih saja tegang dan sangat sinis terhadapku. Kalau aku jadi dia, mungkin aku tak akan turun untuk berkumpul seperti ini lagi. Dasar penjilat. Dia hanya ingin terlihat baik di hadapan Papa, hingga menebalkan muka untuk tetap hadir dan berkumpul bersama setelah semua yang terjadi.Secara bergantian aku terus melirik ke arah dia dan Erik. Berusaha membaca mimik wajah mereka tentang keputu
"Lepaskan aku bajingan!" Aku masih berusaha melepaskan diri dari cengkramannya."Berhenti menyiksaku, Key. Aku mohon. Hentikan semua ini. Lepaskan Kahfi, dan kita kelola perusahaan bersama. Kau hanya akan membuat malu Kahfi. Dia tidak tahu apapun tentang itu perusahaan sebesar itu." Suaranya terdengar parau."Oh, ya?" Aku semakin menantang. "Kita lihat saja nanti. Siapa yang akan dengan cepat menarik perhatian Papa. Anak tiri, atau menantu laki-lakinya!""Kau benar-benar berubah, Key. Semakin lama kau semakin keterlaluan. Kau bukan seperti Key-ku yang dulu.""Sorry, Erik. Aku memang tak pernah menjadi milikmu, walau hanya sebentar. Jadi, hentikan semua mimpi konyolmu itu. Aku, ataupun harta Papa, tak akan pernah jatuh ke tanganmu."Dia terdiam. Melonggarkan pegangannya. Aku jadi punya kesempatan untuk melepaskan diri, tanpa ditahan lagi olehnya. Aku bergegas mendorong tubuh tinggi kekar itu menjauh, kemudian membuka pintu yang berada te
"Erik? Apa yang kau lakukan di rumahku?" Aku bergegas menghampiri dia, yang sedang duduk bersantai di kursi teras."Key?" Senyum seringai menghiasi wajahnya."Mau apa, kau?""Mana Kahfi?""Ada urusan apa kau mencari suamiku?""Berhenti menyebutnya sebagai suami, Key. Aku benci itu.""Kalau kau membencinya, maka pergilah. Berhenti mengganggu kehidupan kami.""Aku tak bisa. Aku sudah lelah dengan semua ini." Matanya yang tajam, semakin liar menatapku."Apa maumu, Erik? Kau mengganggu. Katakan cepat, lalu pergi dari sini. Aku tak ingin suamiku melihatmu berkeliaran di sekitarku.""Sudah kubilang, justru aku ingin bertemu dengannya.""Apa yang ingin kau bicarakan?""Kau penasaran?" Dia tertawa, kemudian bangkit dan berjalan mendekatiku. Aku mundur selangkah, agar jarak kami tak terlalu dekat."Aku ingin mengambil milikku kembali. Aku akan memintanya segera mundur dan melep
Suara Erik terdengar berdecih. Raut wajahnya yang tadi penuh percaya diri mendadak berubah. Mungkinkah dia tak menyangka, bahwa Kahfi akan mengucapkan kata-kata seperti itu?"Kau tahu apa maksudku, Kahfi. Key hanya menikahimu untuk sesuatu. Dan kau tahu bahwa dia hanya memanfaatkanmu untuk membuat marah Papanya, dan juga... aku.""Aku tak peduli. Aku senang, karena nyatanya sebagai teman, aku masih bermanfaat dan bisa membuatnya merasa puas. Kenapa kau keberatan?""Kau hanya dimanfaatkan, Fi. Percayalah, aku hanya merasa kasihan padamu. Aku tahu kau laki-laki yang baik. Tapi Key, sama sekali tidak pernah tertarik padamu.""Sialan kau, Erik!" Aku bergegas mengambil langkah, ingin mendaratkan pukulan serupa. Namun langkahku terhenti karena pria berkulit putih yang kini berada di sampingku, menarik tangan untuk menahan langkahku."Terima kasih atas perhatianmu, Erik," sahutnya. "Tapi untuk saat ini, Key sudah menjadi istriku. Hanya aku yan
Kurasa Kahfi pergi terlalu lama. Sifa dan Ibu bahkan sudah pulang dari tadi. Kemana dia? Menghindar dariku? Sampai kapan? Hari sudah hampir malam, dan aku benar-benar gelisah.Oke! Fine. Pergilah. Aku tak ingin membujuknya seperti anak kecil yang sedang merajuk. Aku sama sekali tidak peduli.Aku mengambil tas, lalu memakai sepatu highheels untuk keluar. Memikirkan sesuatu, lalu kembali masuk ke kamar dan mengganti sepatu sialan ini dengan flatshoes yang lebih nyaman."Maaf, Bu. Kurasa kali ini aku tak bisa ikut untuk makan malam," ucapku, sambil terus berjalan menuju pintu.Kemana si brengsek itu? Dia bahkan tak mengangkat panggilanku. Apa dia sedang membalas dendam? Tidak. Itu bukan sifatnya. Aku tahu dia begitu mencintai, dan tak akan mungkin melepaskanku begitu saja.Dasar Erik sialan! Tunggu saja sampai aku bisa menyingkirkanmu dari kehidupan kami selamanya. Dasar pembuat onar!Aku melajukan mobilku dengan b
"Menjemput istriku." Sebuah kecupan mendarat di pipiku."Oh, shit. Are you crazy?" Aku mengusap kasar pipi bekas bibirnya yang masih basah. "Kemana saja kau seharian ini? Apa kau masih menganggap aku istrimu?""Tentu saja. Sudah kubilang, aku bukan orang bodoh yang mau kehilangan gelar sebagai menantu konglomerat."Cisis... aku mendorong bahunya dengan keras. Dia tertawa kecil, lalu menatap wajahku."Maafkan aku, Key. Aku hanya tak tahu bagaimana caranya mengatakan bahwa aku tak ingin kau tinggalkan.""What do you mean? Apa kau sudah gila? Kenapa aku harus melakukannya?""Aku masih kalah jauh dengan Erik. Dia sangat tampan dan juga terlihat gagah. Aku takut kau semakin tertarik dengannya.""Oh, God. Sejak kapan kau selemah ini, Fi?" Aku kembali menghisap canduku. "Dan kau sama sekali belum menjawab pertanyaanku tadi, brengsek!""Aku menemui Papamu.""What?" Aku terbatuk. Kurasa asap ini langsung masuk begitu
"Kau serius ingin bekerja kantoran, Key?" Soraya and the gank tertawa mendengar keputusanku."Dia ingin membabat habis keluarga Erik, rupanya.""Ya, setelah menikah, Key menjadi dewasa dan gila harta.""Apa kau akan segera mengambil posisi Erik, Key?""Kurasa dia hanya akan mengawasi suami tampannya di sana."Tawa mereka meledak, setelah mengataiku secara bergantian. Aku hanya tersenyum, sembari menyesap es Americano pesananku."Kau mulai berhenti merokok, Key?" tanya salah seorang dari mereka. "Aku masih melihatmu menghisapnya saat di pesta Soraya.""Yes. Aku mulai menguranginya," sahutku santai. "Kau takut pabrik Ayahmu tutup, hanya karena aku berhenti?"Kembali suara tawa memenuhi ruangan restoran, tempat kami berkumpul. Area 'No Smoking' yang membuatnya gelisah dari tadi."Kudengar adik tirimu pernah menggugurkan kandungan, Key. Apa kalian tak tahu?""What?" Pe
"Kau melakukannya dengan sengaja, Key?" tuduh Kahfi, sembari mengemudikan kendaraan kami."Apa maksudmu?""Aku tak suka jika kau melakukannya karena hanya ingin membuat Erik cemburu."Oke! Kahfi bukan pria bodoh. Dan dia memahami maksud dan tujuanku menciumnya tadi."Sorry." Aku mengaku salah."Jangan membuatku semakin ragu, Key. Semakin kau menantang Erik, semakin ingin dia mendapatkanmu. Aku tak suka itu.""Aku sudah bilang maaf, bodoh! Kenapa kau masih terus membahasnya?""Kalau begitu jangan lagi menemuinya!" Dia memukul keras klakson mobil, meski tak ada sesuatu yang menghalangi jalannya."Kau membentakku, Fi?" Aku menoleh ke arahnya.Dia terdiam. Bisa kulihat rasa amarah yang kini sedang menguasainya. Ah, benar. Dia seperti tak bisa lagi membendung rasa cemburunya. Dan aku benci terlibat pertengkaran lagi."Aku tak akan datang lagi ke hotel. Kau puas?" Aku mengentakkan kepala
Tak jauh berbeda dengan Erik. Ia sudah mengakui perbuatannya dulu pada Papa. Mengakhiri hubungannya denganku begitu saja, hanya agar tak ada halangan yang membuat Papa membatalkan niat untuk menikahi Mamanya.Ia mengakui, saat itu hidup mereka benar-benar sedang terpuruk. Papanya mengusir mereka dari rumah dan tak mendapatkan apapun karena Tante Winda tetap bersikukuh meminta cerai.Ya, wanita mana yang sanggup hidup seperti itu. Selalu diperlakukan kasar dan juga di khianati. Dan keputusan Papa untuk menikahi dan kembali mengangkat derajat mereka, benar-benar perbuatan yang mulia. Sayangnya, aku baru menyadari hal itu sekarang.Erik mengakui semua penyesalannya. Bahwa ia telah mengorbankan rasa cintanya dan juga telah melukai perasaanku. Hubungan yang kami jalin sejak masa pubertas harus hancur karena takutnya ia akan kemiskinan. Dan itu sangat menyakitiku hatiku saat itu.Penyesalan? Ya. Dia begitu menyesal karena a
Huek... huek...Aku mengeluarkan semua isi perutku. Kegiatan rutin yang selalu menyiksaku setiap pagi. Ouch... ini menyebalkan. Aku kembali ke kamar dan berbaring. Menghirup aroma minyak kayu putih yang tak bisa lepas dari genggamanku."Minumlah." Kahfi membawakan segelas air hangat seperti biasa. Aku bangkit dan meraih pemberiannya."Sampai kapan aku seperti ini, Fi?" rintihku, meneguk air yang dibawanya."Sabarlah. Paling lama hanya tiga bulan. Setelah itu kau akan baik-baik saja," ucapnya lembut sembari memijat keningku."Tiga bulan? Itu terlalu lama, Fi. Ini bahkan baru beberapa minggu saja," rengekku manja, menjatuhkan kepala di bahunya.Dia tertawa kecil."Memangnya apa yang ingin kau lakukan? Kau bisa minta padaku. Nanti aku yang bawakan." Ia merangkul dan mengusap bahuku."Aku ingin jalan-jalan keluar. Tapi setiap aku berdiri, rumah ini terasa seperti berputar. Apa semua
"Apa yang kau lakukan dengan pakaian seperti ini?" geramnya, dengan setengah berbisik."Mengantarkanmu makan siang," sahutku, sembari menepis pegangannya."Pulanglah! Ada banyak pria di sini."" Memangnya kenapa, Fi?" Aku pura-pura tak mengerti."Kau tidak lihat cara mereka memandangmu?""Tentu saja. Aku memang cantik, bukan? Wajar kalau mereka tertarik melihatku.""Aku bilang pulang!" perintahnya lagi."Tidak mau!"Aku menjauh dan duduk di kursi bambu di antara kedua pria yang sedang menunggu giliran untuk dieksekusi."Punya rokok?" tanyaku dengan suara menggoda.Mereka tersenyum. Lalu keduanya bergerak cepat merogoh kantong masing-masing. Aku tersenyum lebar, saat kedua bungkus rokok berbeda merek itu kini berada di hadapanku. Tanganku mulai menyentuh benda itu, sampai sebuah tangan besar menyambar, dan mengambil keduanya."Kami akan tutup. Kalian pulanglah!" ucap Kahfi ket
Aku berjalan gontai keluar dari Rumah Sakit. Pembicaraan dengan dokter Satya bagai suatu hal yang tak masuk di akal bagiku. Apa dia sudah tahu selama ini, jika Elena telah mengalami gangguan. Itukah yang ia dapat dari konsultasi mereka beberapa waktu yang lalu?Kupikir semua baik-baik saja, dan berjalan dengan lancar. Tanpa kutahu, Dokter muda itu telah menangkap gelagat aneh dari dirinya. Ditambah lagi dengan pengakuanku yang tak sengaja didengarnya waktu itu.Oh my God, ini benar-benar gila. Si jalang itu benar-benar gila telah berani merayu suami orang, dan tak ingin melepaskannya begitu saja.Bitchi!Aku terduduk lemas begitu sampai di balik kemudi mobil. Menyandarkan punggung demi merenggangkan urat syarafku yang dari tadi menegang. Teringat apa yang dikatakan Dokter Satya di ruangan tadi."Awalnya memang benar ini soal hutang piutang. Papaku menangguhkan pinjaman karena Elena memohon. Papa tak tega melihatnya,
"Yes, Dokter?" jawabku tanpa berbasa-basi."Bisa kita bertemu?" pintanya dari kejauhan.Oh, shit. Kenapa dia harus memanggilku di saat yang tidak tepat. Membuatku merasa dilema, antara mengantarkan makan siang Kahfi atau mengurus Elena.Aku segera mengganti pakaian dan mengambil tasku. Aku harus tahu bagaimana nasib Elena selanjutnya. Jika Dokter itu tak bisa mengatasi bajingan itu, aku sendiri yang akan datang mengancamnya.Baru saja aku hendak keluar menuju teras depan, saat kulihat Kahfi sudah masuk dan kembali menutup pintu. Sudah hampir jam dua. Dan ini terlalu lambat untuk makan siang.Kedua mata kami saling bertemu. Membuatku rindu dan ingin sekali memeluknya. Lalu bagaimana jika tiba-tiba ia menolak dan mendorongku? Tidakkah hal itu sangat memalukan untuk wanita sepertiku?"Aku keluar sebentar," ucapku memberi tahu. "Hanya sebentar saja.""Bukankah sudah kubilang lakukan sesukamu?" s
"No, Kahfi. Kau tidak bisa bicara seperti itu padaku. Kau sudah berjanji. Kau tidak boleh memperlakukan aku seperti ini."Dia langsung membuang pandangan. Membuat hatiku terasa begitu perih. Tidak. Ini tidak nyata. Kahfi pasti sedang bercanda."Pulanglah! Aku tak ingin kita saling menyakiti lagi," ucapnya tanpa berbalik."Aku tidak mau. Itu rumahku. Kau tidak punya hak mengusirku," ucapku dengan bibir bergetar.Dia kemudian berbalik dan memandangku. Menatapku dengan tatapan kosong."Jangan lagi bohongi dirimu sendiri, Key. Sandiwara ini tak akan pernah berhasil. Kau sudah mendapatkan apa yang kau inginkan. Pulanglah, aku melepasmu.""Tutup mulutmu, sialan! Aku tak mau mendengar kata-kata itu lagi. Kau jahat. Aku membencimu. Kalau kau tak ingin bersamaku lagi, kau saja yang pergi. Aku akan tetap tinggal di rumah itu." Dadaku kembang kempis menahan sesak."Hentikan omong kosongmu, Key. Untuk apa kau
Aku mengangkat pelan tangan ke udara. Bergerak perlahan mendekati kembali untuk mengusap wajahnya."Maaf," ucapku setengah berbisik. Ia mundur selangkah, sebelum tangan ini berhasil menyentuhnya.Aku tertunduk dengan tangis yang tak dapat lagi kutahan. Menjatuhkan kembali tanganku dan mengepalnya dengan kuat. Apa yang telah kulakukan? Bukan hanya hatinya yang kini telah kulukai. Ia berlalu pergi. Meninggalkanku yang kini terduduk lemas menangisi diri..Malam telah larut. Namun mata masih belum dapat terpejam. Aku berbaring di atas karpet, menanti suamiku yang belum juga pulang. Berharap ia mulai tenang, dan melupakan semua kejadian ini. Bahkan aku berharap ini semua bagian dari sebuah mimpi.Kulirik jam analog di dinding kamar. Sudah hampir tengah malam. Apa yang ia lakukan di luaran sana. Mungkin dia sedang berada di kiosnya. Ini sudah terlalu malam. Aku harus menyusul dan mengajaknya pulang.Baru sa
Aku bergegas menghubunginya kembali. Dan sekarang ponselnya benar-benar tidak aktif sama sekali. Ada apa lagi dengannya? Aku bergegas masuk dan menemui Papa di ruang kerjanya. Ia harus menjelaskan semuanya padaku saat ini juga."Apa yang Papa bicarakan dengan Kahfi?" Aku langsung bertanya begitu melihat Papa bersandar di kursi kerjanya. Tempat dimana aku dan dia baru saja berdamai pagi tadi.Kulirik kunci mobil Kahfi terletak begitu saja di atas meja. Apa ini? Perasaanku benar-benar terasa kacau."Papa hanya menuruti apa yang membuatmu bahagia, Key. Tak akan pernah lagi membuatmu kehilangan orang yang kau cintai.""What?""Ada apa? Apa Papa telah membuat kesalahan lagi?"Oh my God!Tentu saja Papa telah membuat kesalahan besar. Ia sangat berterima kasih pada Kahfi karena telah rela mengorbankan kebebasannya untuk menikahiku.Papa juga menceritakan apa yang diucapkan Erik saat mabuk, dan semua perca
Mereka berdua sesenggukan menahan tangis. Kulihat Tante Winda tertunduk dengan isakan yang juga tertahan. Tak perlu lagi aku bertanya, apakah sikapnya tulus atau tidak. Aku tak butuh jawaban. Aku tak harus tahu. Dan aku sama sekali tak peduli."Jangan ikut campur urusan keluargaku, Key!" Erik kembali berbalik dan menantangku."Mereka juga bagian dari keluargaku," balasku, ikut menantang ucapannya. Dia berdecih."Drama apalagi kali ini? Bukankah seharusnya kau senang? Akhirnya kau bisa bebas dari benalu seperti kami.""Seharusnya memang seperti itu. Tapi sudah terlambat. Kalau ingin menyingkir kenapa tak dari dulu saja? Begitu ada masalah, kau langsung melarikan diri. Kau sama sekali tak pernah berubah. Pengecut. Dasar lemah!" sinisku.Matanya menyipit memandangku. Mungkin merasa terhina karena aku benar-benar telah merendahkannya. Ya, sama seperti waktu itu. Mundur teratur dan melarikan diri dari hubungan kami.