“Aku tidak akan melakukan apa pun padamu. Kita hanya ingin bersenang-senang. Apa kamu menyukainya?” bisik Oliver dengan nada menggoda.DEG!“B-bersenang-senang?” tanya Sonya dengan bibir bergetar.“Ya, memangnya mau apa lagi? Kita akan bersenang-senang dan menikmati pagi yang dingin ini. Sudah lama aku tidak merasakan kehangatanmu, Sonya!” bisik Oliver dengan nada penuh arti. Laki-laki itu bahkan terlihat sangat menginginkan sesuatu yang lebih pada Sonya.Sonya menggeleng dengan tatapan nanar. Ia takut kalau Oliver akan melakukan hal yang tidak pernah ia lakukan seumur hidupnya.Oliver tampak tersenyum bahagia melihat kepanikan di wajah Sonya. Laki-laki itu bahkan terus berjalan menuju ke kamarnya. Dengan tatapan penuh kemenangang, laki-laki itu membawa Sonya ke dalam kamarnya dan meletakkan tubuh Sonya di ranjang yang berukuran king size.“Oliver, apa yang akan kamu lakukan? Aku harap, kamu tidak akan menyakitiku lagi.” Sonya memohon kepada Oliver untuk tidak menyakitinya lagi. Ia be
“Sekarang jawab, kamu semalam ke mana dan apa yang kamu lakukan? Jelaskan padaku dan aku berjanji tidak akan bertanya macam-macam lagi padamu!” Sonya mengulangi pertanyaannya dengan tatapan tajam. Wanita itu bahkan berbicara dengan nada penuh penekanan.“Sonya, kenapa kamu harus berbicara seperti itu padaku? Apa kamu tidak percaya dengan apa yang sudah aku katakan padamu? Aku bahkan sudah menyerahkan hatiku padamu dan aku sudah tidak memiliki hubungan apa-apa dengan Yura.” Oliver berbicara dengan tatapan lekat. Laki-laki itu tahu kalau Sonya tengah merasa kecewa kepadanya.“Oliver, tolong katakan yang sebenarnya dan jangan membuatku seperti orang bodoh. Aku bukan perempuan yang bisa kamu perlakukan sesuka hatimu. Aku juga bukan badut yang bisa kamu jadikan lelucon. Aku mohon, berkatalah jujur padaku!” Sonya kembali menangis dan meminta Oliver untuk jujur kepadanya. Hatinya terasa sakit ketika ia mendapati kenyataan yang tidak pernah ia sangka.“Kejujuran seperti apa yang ingin kamu d
Sonya menggeleng dan mundur ke belakang. Wanita itu seakan menjaga jarak dan melarang laki-laki itu mendekat.“Pergilah, aku tidak akan memaksamu untuk tetap bersamaku. Aku juga tidak akan memintamu untuk memperjuangkan aku karena aku tahu, aku bukan siapa-siapa untukmu.” Sonya berbicara dengan tatapan sendu. Ia berusaha menahan perih di dalam hatinya.“Kamu bicara apa? Aku tidak akan pernah meninggalkanmu karena kamu ibu dari anak-anakku. Tolong jangan menyiksaku seperti ini, Sonya!” ucap Oliver dengan nada penuh permohonan. Laki-laki itu merasa marah melihat Sonya yang memintanya pergi dari hidupnya.“Sonya, asal kamu tahu, aku tidak akan pernah pergi meninggalkanmu. Apa pun keadaan dan kondisi kita, aku akan tetap bersamamu. Tolong jangan menghukumku seperti ini!” Oliver kembali memohon dengan tatapan penuh harap. Ia tidak ingin menyakiti hati anak-anaknya.Sonya masih terdiam dengan air mata yang menetes di wajahnya. Meki ia tahu, Yura sudah lebih dulu ada di dalam hidup Oliver, t
“Oliver, tolong jangan katakan apa pun. Aku tidak ingin anak-anak mendengar kekonyolanmu!” Seru Sonya dengan mata melotot.“Ya, baiklah aku tidak akan mengatakan apa pun, tapi bisakah kamu membungkam bibirku?” bisik Oliver dengan tatapan penuh arti. Ia seakan tengah menggoda Sonya yang tampak kesal di hadapannya.“Oliver, jangan macam-macam padaku!” Sonya kembali mengancam Oliver yang tengah memanfaatkan dirinya. Ia merasa kesal karena laki-laki itu selalu punya cara untuk membuatnya tak berdaya.“Sonya, aku akan berteriak dan memberitahu anak-anak kalau kamu ada di kamarku,” kekeh Oliver dengan senyum manis di wajahnya. Ia ingin membuat Sonya merasa terpojok dan mau menuruti permintaannya.“Oliver!” seru Sonya sambil menggeram kesal dan mengepalkan tangannya. Laki-laki itu membuat darah Sonya mendidih.“Lakukan sekarang, atau aku akan membangunkan anak-anak. Aku ingin memberitahu mereka kalau kita akan segera memberikan adik. Aku yakin, anak-anak kita pasti akan senang mendengar beri
“Bagaimana rasanya?” tanya Oliver dengan tatapan gugup.Mereka tampak terdiam untuk sesaat dan melempar pandang satu sama lain. Hal itu membuat Oliver semakin gugup.“Bagaimana? Apa rasanya terlalu buruk?” Oliver mengulangi pertanyaannya dengan tatapan pasrah. Ia bahkan tidak yakin kalau anak-anaknya menyukai hasil masakannya.Sonya yang ada di sana tampak tegang. Ia takut kalau anak-anaknya akan berbicara hal yang cukup menyakitkan untuk ayahnya.Setelah terdiam cukup lama, akhirnya mereka menjawab pertanyaan Oliver. Ada senyum yang tercetak jelas di wajah anak-anaknya.“Ayah, nasi goreng buatanmu sangat enak dan lezat, mungkin kapan-kapan kami ingin Ayah membuatkannya lagi untuk kami,” jawab Biya dengan senyum di wajahnya.“B-benarkah? Kalian tidak sedang berbohong kan?” kekeh Oliver dengan netra mengembun. Ia tidak menyangka kalau anak-anaknya akan menyukai hasil masakannya.“Tentu, nasi goreng buatan Ayah enak sekali dan kami sangat menyukainya.” Bian dan Vier mendukung jawaban Bi
“Bibi, kenapa Bibi sepertinya tidak suka kalau aku datang ke sini?” tanya Zack dengan tatapan lekat. Ia merasa heran dengan gerak-gerik yang ditunjukkan oleh wanita itu.DEG!Bibi Weni sempat terdiam dengan wajah pias. Ia sengaja menundukkan wajahnya untuk menyembunyikan kegugupan yang tersirat di balik tatapannya. Wanita itu segera bergegas meninggalkan ruang tamu dan menuju ke dapur. Dengan perasaan campur aduk, Bibi Weni membuatkan keponakannya secangkir kopi.Setelah selesai, wanita itu bergegas menuju ke ruang tamu dan menemui Zack yang masih duduk termenung di sana.“Zack, apa tidak sebaiknya kamu segera kembali ke rumah? Kasihan ibumu kalau harus ditinggal sendirian.” Bibi Weni berbicara dengan tatapan lekat. Wanita itu seakan ingin mengusir keponakannya secara halus.“Bibi, aku baru saja sampai di rumahmu, lalu kenapa Bibi berbicara seperti itu? Apa Bibi tidak suka dengan kedatanganku ke sini?” Zack tampak kecewa dengan ucapan bibinya. Ia merasa wanita itu tidak suka dengan k
“Zack, andai kalian tahu semuanya, apa kalian akan memaafkan aku?” lirih Bibi Weni dengan nada yang begitu lirih.Wanita itu segera menghapus air matanya ketika ponselnya berrdering. Ia tampak gugup dan segera berlari ke kamarnya.“Halo!” ucap Bibi Weni dengan nada ramah.“Halo, Bibi kenapa Anda belum datang? Tuan Rafael sangat marah karena Anda belum sampai di kantor. Apa Anda baik-baik saja?” tanya sekretaris Rafael. Wanita itu bertanya dengan nada penuh kekhawatiran.“M-maaf, tadi kepalaku sedikit pusing. Namun, sekarang sudah baik-baik saja. Aku akan segera ke sana!” Bibi Weni terpaksa berbohong, ia tidak mau berkata jujur kalau keponakannya baru saja berkunjung ke rumahnya.“Baiklah, semoga keadaan Bibi baik-baik saja. Tuan Rafael sangat marah karena kopi yang dibuatkan oleh pegawai lain ternyata rasanya tidak sama dengan kopi buatan Bibi. Sepertinya Tuan Rafael sedang ada masalah sehingga sangat mudah untuk marah-marah.” Wanita itu menceritakan kondisi kantor tuannya. Ia bahkan
Bibi Weni tampak terdiam dengan wajah tertunduk. Ia benar-benar tidak menyangka kalau tuannya tega berbicara seperti itu kepadanya.“Bi, aku ingin beristirahat sejenak. Tolong jangan ada yang masuk ke ruanganku!” ucap Rafael sambil memejamkan matanya. Ia segera menyandarkan tubuhnya di sofa dan berusaha melupakan Sonya untuk sejenak. Semenjak wanita itu meninggalkan dirinya, hidup Rafael tidak baik-baik saja. Laki-laki itu benar-benar merindukan mantan tunangannya.“Baik, Tuan,” jawab Bibi Weni dengan nada patuh. Wanita itu segera bangkit dan meninggalkan ruangan Rafael. Ia terus memikirkan nasib Oliver. Bagaimana kalau Rafael benar ingin membunuhnya? Apa dia akan diam saja? Tidak, tentunya ia harus melakukan sesuatu untuk melindunginya dan apa yang bisa ia lakukan untuk melindungi Oliver? Dirinya saja tidak mengenal laki-laki itu, apa perlu dia mendatangi pengacara itu dan memberitahukan semuanya? Memikirkan hal itu membuat kepala Bibi Weni berdenyut hebat.Dengan langkah gontai, wan