“Vier, kenapa kamu tidak mau makan? Apa makanannya tidak enak?” Sonya bertanya kepada putranya. Wanita itu menatap lekat wajah Vier yang tampak murung dan memilih membiarkan isi piringnya tetap utuh.“Aku tidak lapar!” jawab Vier dengan nada singkat. Ia bahkan tidak peduli dengan menu makanan yang berjajar di hadapannya. Baginya, keberadaan Oliver di sisinya melebihi apa pun di dunia ini.“Vier, kamu harus makan. Kalau kamu tidak makan, kamu bisa sakit!” Rafael membantu membujuk Vier. Laki-laki itu dengan sabar meminta Vier untuk menyantap makanan yang ada di piringnya.“Aku tidak lapar, Uncle. Aku hanya ingin bertemu ayah dan makan malam bersamanya.” Vier berbicara dengan wajah tertunduk. Ia tahu kalau Sonya tidak akan mengizinkan dirinya pergi menemui Oliver.“Vier, apa kamu lupa kalau untuk saat ini kita akan tinggal di rumah ini? Bunda hanya ingin memberikan yang terbaik untuk kalian dan percayalah dengan kata-kata Bunda!” ucap Sonya dengan tatapan lekat.“Bunda, kenapa kita harus
Biya dan Bian masih bungkam, mereka bahkan terlihat sangat ketakutan melihat ekspresi yang ditunjukkan oleh ibunya.“Katakan, apa yang terjadi dengan Vier!” ucap Sonya sambil mendekat ke arah kedua anaknya.“K-kami tidak tahu Vier pergi ke mana. Ketika kami masuk, kamar ini sudah kosong,” jawab Bian dengan wajah tertunduk.“A-apa? Vier pergi ke mana?” Sonya tampak panik. Wanita itu segera keluar dari kamar dan bergegas mencari keberadaan Xavier. Ia takut kalau putranya masih marah dan nekad melakukan hal-hal yang membahayakan.Sonya tampak berlari ke segala penjuru ruangan untuk mencari putranya. Ia bahkan terlihat sangat cemas dan mengkhawatirkan keadaan putranya.“Vier, kamu di mana?” seru Sonya dengan netra berkaca-kaca. Hal ini tentu membuat Rafael merasa terkejut. Laki-laki itu segera bergegas menghampiri Sonya.“Sonya, ada apa kamu berteriak-teriak? Apa kamu belum mengantuk?” tanya Rafael dengan penuh perhatian.“Rafael, Vier tidak ada di kamar dan aku takut kalau dia pergi dar
“Bibi, apa aku bisa bertemu dengan ayah?” tanya Vier dengan tatapan polosnya. Ada kerinduan yang begitu besar tergambar jelas di balik netranya.“Vier, tentu saja Bibi akan mengizinkanmu bertemu dengan Tuan Oliver. Sekarang, masuklah dan lekas ganti pakaianmu. Bibi takut kamu akan sakit,” ucap sang pelayan itu dengan penuh kelembutan. Ia segera membawa Vier masuk ke dalam dan menyiapkan baju ganti untuk anak itu.Setelah Vier membersihkan diri, pelayan itu bergegas membuatkan segelas susu hangat untuk putra tuannya. Ia tahu kalau anak itu tengah kedinginan setelah guyuran air hujan membasahi tubuhnya.“Vier, sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa kamu malam-malam pulang sendirian? Di mana bunda dan kedua saudaramu? Apa mereka tidak mencemaskan kepergianmu?” pelayan itu tampak penasaran dengan sikap Vier. Tidak biasanya anak itu pergi sendirian tanpa Sonya dan kedua saudara kembarnya.“Mereka sedang bersama bunda,” jawab Vier dengan nada singkat. Ia segera menghabiskan segelas susu buatan
“Oliver kamu mau ke mana? Siapa Vier?” tanya Alia dengan tatapan menyelidik. Wanita itu bahkan menuntut jawaban dari putranya.DEG!“Bu, minumlah obatnya. Hari sudah larut dan Ibu harus segera beristirahat!” Oliver membujuk ibunya untuk meminum obat. Laki-laki itu tersenyum lembut sambil membuka botol obat yang ada di meja.“Oliver, jangan mengalihkan pembicaraan. Siapa Vier dan kenapa kamu harus pergi malam-malam begini? Apa dia sangat penting untukmu? Atau ada sesuatu yang kamu sembunyikan dariku?” Alia tampak tidak mengabaikan ucapan putranya. Ia bahkan terus bertanya mengenai sosok Vier yang tadi disebut melalui telepon.Oliver mengembuskan napas kasar dan mendekati Alia. Laki-laki itu tersenyum dan meminta wanita itu untuk tidak memikirkan hal yang tidak-tidak.“Bu, minumlah obatnya. Setelah itu, aku akan menjelaskan siapa Vier.” Laki-laki itu berusaha meyakinkan Alia. Ia tidak ingin wanita itu terus menerus memikirkan Vier.Alia menggeleng dan tetap memaksa putranya untuk menjaw
“Vier, mana ibu dan saudara kembarmu? Apa mereka ada di dalam kamar?” tanya Oliver dengan nada penuh semangat. Laki-laki itu bahkan sudah tidak sabar ingin bertanya banyak hal kepada Sonya.Oliver segera berlari ke dalam dan membuka pintu kamar Oliver. Namun, laki-laki itu tampak terkejut ketika tidak menemukan sosok yang dicarinya di sana.“Vier, mana bunda dan kedua saudaramu? Kenapa mereka tidak ada di sini?” tanya Oliver dengan tatapan lekat. Laki-laki itu bahkan sudah tidak sabar mendengar jawaban dari putranya.“Mereka tidak ada dan aku datang ke sini sendirian,” jawab Vier dengan nada lirih. Ia takut kalau Oliver akan marah kepadanya dan mengembalikan dirinya ke tempat Sonya.“Sendirian? Kamu datang ke sini sendirian tanpa bunda dan kedua saudaramu?” tanya Oliver dengan wajah terkejut. Laki-laki itu bahkan tidak menyangka kalau Vier berani datang ke apartemennya sendirian.Vier mengangguk dan meneteskan air mata. Anak itu tampak ketakutan dan enggan membuka suara. Hal itu membu
“Vier, apa yang sedang kamu pikirkan?” tanya Oliver dengan penuh kelembutan. Laki-laki itu sengaja berjongkok di hadapan putranya yang masih tertunduk dalam di hadapan Oliver.Vier menggeleng dan berjalan meninggalkan Oliver. Anak itu berusaha menyembunyikan perasaannya di hadapan ayahnya.Oliver hanya menghela napas dan mendekat ke arah Vier yang sudah lebih dulu naik ke atas ranjang. Ia tahu kalau putranya sedang tidak baik-baik saja dan kini menyimpan sesuatu di dalam hatinya.“Vier, apa yang kamu pikirkan? Apa kamu sedang mencemaskan sesuatu?” tanya Oliver dengan tatapan penuh arti. Laki-laki itu merengkuh tubuh Vier yang tengah berbaring membelakangi dirinya.Vier masih terdiam dengan napas naik turun. Anak itu sepertinya tengah menahan tangis di hadapan Oliver untuk menyembunyikan perasaannya. Ia tidak mau ayahnya tahu kalau Vier tengah merindukan ibu dan kedua saudara kembarnya.“Vier, apa kamu merindukan bunda? Kalau benar, besok kita jemput bunda, ya!” ucap Oliver dengan nada
“A-apa maksudmu?” tanya Sonya dengan bibir bergetar. Ia tidak paham dengan arah pembicaraan Rafael.“Maksudku, bisa saja Vier pergi ke rumah ayah kandungnya. Apa kamu setuju dengan pendapatku?” ucap Rafael dengan nada serius.DEG!Sonya terdiam dengan wajah pias. Apa mungkin Vier berani pergi ke apartemen Oliver? Sedangkan jarak rumah Rafael cukup jauh dari apartemen laki-laki itu. Lalu, di mana Vier sekarang? Wanita itu masih terdiam dengan jantung yang berdetak semakin kencang.“Sonya, apa kamu tahu di mana rumah laki-laki itu? Kita bisa mencarinya ke sana dan bertanya mengenai keberadaan Vier. Anak itu mungkin ingin menemui ayahnya dan nekad pergi dari sini.” Rafael berbicara dengan tatapan lekat. Laki-laki itu beranggapan Vier ingin menemui ayah kandungnya.“T-tapi Vier tidak mungkin berani ke sana. Jarak dari sini ke apartemen laki-laki itu cukup jauh. Aku tidak yakin kalau dia pergi ke sana.” Sonya berbicara dengan tubuh bergetar. Wanita itu membayangkan kemurkaan Oliver karena
“Daddy Oliver, jangan tinggalkan kami lagi. Kami sangat mencintaimu!” ucap Rafael dengan nada penuh permohonan.DEG!“Oliver? Apa laki-laki itu bernama Oliver?” lirih Rafael sambil mengepalkan tangannya kuat-kuat.Rafael segera bangkit dan duduk di tepi ranjang. Laki-laki itu bergegas merapikan selimut Bian dan Biya. Pikirannya seketika berkelana mencoba mencari-cari sosok bernama Oliver. Apa istimewanya laki-laki itu sehingga membuat Sonya tergila-gila? Apa dia sosok yang sangat berpengaruh atau bahkan sebaliknya? Dengan langkah bergetar, Rafael mendekat ke koper milik Bian. Laki-laki itu mencoba mencari petunjuk di sana sebelum Sonya masuk ke kamar.Dengan gerakan cepat, ia membongkar koper milik Bian dan Biya. Laki-laki itu tengah mencari jawaban atas pertanyaan yang terus berkecamuk di dalam hatinya. Siapa Oliver? Kenapa laki-laki itu selalu saja mendapatkan tempat yang begitu istimewa di dalam hati Sonya? Apa laki-laki itu adalah pria istimewa? Tidak, Sonya pasti salah. Dirinya a