"Hari apa ini?" tanyaku pada Rani yang tengah memperban kedua mataku. Mataku tidak sakit ataupun luka, aku bisa melihat seperti manusia normal lainnya. Aku tak tahu kenapa dia memerintahkan seseorang untuk menutup kedua mataku. Yang aku tahu, jika mataku di balut dengan kain kasa putih seperti ini, dia pasti akan datang.
"Hari ini...,"
Teng...teng...teng...
Suara Rani terhenti kala jam besar itu berbunyi.
Cklek
Terdengar pintu terbuka. Apa dia datang? Ya, pasti Iblis itu datang. Aku tidak bisa melihat, tapi indra pendengaranku masih bisa ku andalkan. Derap langkah kaki mengalun kecil di atas lantai marmer. "Rani?" ucapku pelan sambil menggesekan tanganku yang terikat, namun tak ada jawaban. Dimana dia? Apa dia sudah pergi?
Aku merasakan hawa dingin. Dimana Rani? badanku sedikit gemetar. Ini bukan kali pertama, tapi aku tetap merasa takut.Ku rasakan sentuhan di rambutku. "Jangan sentuh aku!" Aku segera menggeser tubuhku di atas ranjang. Tidak ada jawaban darinya, aku hanya mendengar dia berdecih kecil."Kau hanya wanita hina, atas dasar apa kau sok suci kepadaku?" Kalimat hinaan keluar dari mulutnya. Sakit? Ku rasa aku telah mati rasa akan hinaan yang sering dia lontarkan kepadaku. Hinaan ini tak seberapa jika di bandingkan dengan kejadian 3 tahun lalu.
Dia...,"Aku membenci wanita sepertimu."
Dia membenciku, tapi dia membiarkan aku hidup seatap. Apa dia kira aku tidak membencinya? Aku bahkan ingin membunuhnya. "Seharusnya kau membunuhku seperti kau mem...,"
"Bunuh? Tentu saja aku ingin. Tapi itu terlalu mudah. Aku harus membuatmu menderita terlebih dahulu," ucapnya sambil tertawa remeh.
Dadaku terasa sesak, ingin sekali menangis sambil berteriak. Tiga tahun lamanya aku terpenjara hidup bersama Iblis ini. Bisakah aku terbebas? Aku ingin sekali pergi dari tempat terkutuk ini.
Apa? Dia duduk di sampingku?
"Bibirmu cukup menggoda? Bagaimana jika aku menikmatinya." Perkataannya membuatku murka dan sentuhan itu membuatku jijik. Dengan cepat ku gigit jarinya yang menyentuh bibirku.
"Aww...hisss, wanita sialan! dasar Lacur."
PLAKKK
Tamparan keras mendarat di pipiku. Seperti kesemutan dan terasa panas. Sekuat tenaga ku tahan air mataku. Aku tak ingin terlihat lemah. Setidaknya tidak di depannya. "Kenapa kau lakukan ini? Apa salahku?" Ucap sedikit berteriak.
"Cih, kau pantas mendapatkan ini," ucapnya sambil mencengkram kuat daguku.
Tap... tap... tap..., langkah kaki terdengar menjauh.
BRAKKK! Bantingan keras pintu membuatku terpranjat.
Argghhhh... mengapa aku?
***
Aku tak tahu kapan aku tertidur, dan aku tak tahu pukul berapa sekarang. Tapi ada yang lain. Apa? Apa ini? Terasa berat di atas perutku. Jangan- jangan? Segera ku tarik kasar tubuhku. Terdengar suara erangan kecil seorang pria. Suara ini? Apa yang terjadi? Apa aku..., tidak!"Ap... apa yang kau lakukan?" Tanyaku sedikit gemetar.
Bukan sebuah jawaban yang ku dapat, tapi suatu sentuhan yang aku rasakan di bagian kepala. Kupalingkan kepalaku, sedikit menarik kebelakang. Namun dengan cepat ia menarik dan menahan kepalaku sambil berdecih. "Cih, diam!"Tentu saja aku tak menurutinya, aku berusaha memberontak. Tapi kedua tangannya mencengkram kedua pipiku. Hembusan napas terasa menyentuh pipiku. Aku berusaha tenang. Aku takut sesuatu hal buruk terjadi padaku.
"Heh," suaranya yang terkesan mengejek, itulah yang ku tangkap. Kurasakan ia mulai melepas perban yang membalut kedua mataku. Ada apa? Kenapa dia? Rasa panik dan penasaran terus bersemayan di pikiranku. Pasalnya aku tak pernah bertatap muka dengannya semenjak tiga tahun lalu.
Apa sesuatu hal buruk akan terjadi? Apa dia akan membunuhku? Hah kenapa nyaliku terasa menciut? Bukankah ini yang ku inginkan.Balutan perban itu sudah terlepas dari kedua mataku, ku kerjapkan berlahan kedua mataku. Terlihat jelas wajah tampan, hidung mancung, rahang yang terlihat kokoh serta bibir merah di hadapanku. Segera ku palingkan wajahku. Ia hanya menyunggingkan bibirnya.
"Sudah lama bukan kau tak melihat wajahku? Bagaimana rasanya melihat wajah lelaki yang kau benci? Pasti kau ingin membunuhku, atau... kau tergoda dengan wajahku."
Mendengar ucapannya, rasanyanya aku ingin tertawa. Aku hanya menyunggingkan bibirku sambil menatap sinis wajahnya. Tentu aku hanya menatap sekilas, menatap wajahnya hanya menimbulkan sakit dan amarah.
"Menurutlah! Mungkin aku akan berbaik hati." Katanya.
"Aku tidak butuh belas kasihmu." Balasku tegas.
"Terserah! Tetap saja aku yang berkuasa terhadapmu."
Setelah berkata begitu, dia beranjak dari ranjang dan pergi meninggalkanku.Tak berapa lama setelah Iblis itu pergi, Rani datang memasuki kamar. Seperti biasa dia akan melepaskan ikatan di tanganku, menungguiku untuk mandi lalu menyiapkan sarapan untukku.Selesai mandi aku segera berganti pakaian. Dress panjang yang hampir menyentuh mata kaki. Seperti itulah pakaian yang selalu Rani siapkan untukku.Rantai panjang mulai melingkar di kaki kiriku. Begitulah kondisiku saat pagi hingga sore hari. Di perlakukan seperti binatang, ah tidak! Binatang bahkan mendapatkan perlakuan lebih baik dari kondisiku sekarang. Setidaknya binatang di kebun binatang sana bisa menghirup udara bebas dan merasakan sinar mentari pagi. Tidak seperti diriku terkurung di ruang yang bahkan tak ada cela untuk sinar matahari masuk kedalam ruangan."Nona segeralah untuk menghabiskan sarapan Anda."Ku lirik sekilas wajah Rani. Aku sungguh bosan dengan kalimat itu. Ingin rasanya ku lempar makanan di depanku ini. Bukan karena tidak bersyukur tapi rasanya muak harus makan pemberian dari iblis. Aku bahkan tidak tahu makanan ini makanan halal atau tidak. "Ck!""Nona?" Suara Rani kembali mengalihkan pandanganku."Tentu aku akan memakannya, j
"Sia... pa kau?" Aku memainkan jari lentikku, menunggu jawaban yang tak kunjung ada. Perasaan cemas semakin berkecamuk. Aku berusaha melonggarkan dekapannya, aku ingin melarikan diri. Tapi yang kudapat, dia mencengkram keras pergelangan tanganku. Diamnya membuatku takut."Aku tahu kau Xiloe. Lepaskan aku!" Ucapku sedikit membentak. Lagi-lagi tak ada jawaban. Ruangan ini begitu gelap, aku tak bisa melihat apapun. Hembusan napas yang kian terasa. Tuhan siapa dia. Kutarik sekuat tenaga tanganku, lalu aku berusaha mendorongnya. Tapi sia-sia."Kau pikir, kau mampu lolos dariku?" Pertanyaan sekaligus penekanan. Sungguh nada bicaranya membuat nyaliku menciut. Ia berbisik tepat di kuping kanan ku."Ka...u," Aku ingin melontarkan kata- kata, tapi kurasa ini bukan waktu yang tepat. Bisa- bisa nyawa dan keperawananku yang jadi taruhannya. Tentu saja aku tak ingin lelaki busuk ini menyentuhku. Ah, apa aku berpikir terlalu jauh? Tapi tak salah jika aku berprasagka seperti itu.
Aku memberanikan diri membalikan tubuh kebelakang. Pandanganku tepat beradu dengan pandangannya.Brugg***"Argghh... hsss, kepalaku pusing sekali. Dimana aku?" Ku pijat plipis keningku. Ku edarkan pandangan menyapu ruangan yang tak asing bagiku. Kamar ini lagi? "Hah, mungkin memang takdirku hidup dan mati disini." Gumamku tak bertenaga."Kau ingin sekali mati?" Suara laki- laki yang tanpa kusadari tengah duduk di sofa memandangiku. Dia adalah laki- laki semalam. Dia pasti kaki tangan Xiloe. Dimana Lelaki Iblis itu? Untuk apa aku menayakannya."Siapa kau?" Tanyaku to the point.Bukannya menjawab lelaki itu malah berdiri dan keluar kamar. Hih, dasar aneh. Tak berapa lama setelah lelaki itu pergi Rani datang. Seperti biasa menyiapkan sarapan dan air untuk mandi."Selamat pagi Nona Seira," sapanya dengan senyum manisnya."Pagi Rani," jawabku sedikit malas."Aku lapar Rani. Bisakah aku makan terlebih dahulu?" Ku tatap wajah gadis remaja
Crengkk...Rantai di lempar tepat di bawah kakiku. Mata di balik topeng itu tengah menatapku dengan tajam. Lagi- lagi suasan terasa menakutkan."Pakai!" Perintahnya dengan nada datar. Aku tak langsung memakaikan rantai tersebut di kakiku. Mataku masih fokus menatap lelaki yang hanya berjarak tiga meter di depan ku."Tunggu apa lagi?" Suaranya mengalihkan pandanganku ke lantai."Apa kau ingin aku membantumu?" Ucapnya sambil berjalan mendekat ke arah ku."Ti... dak perlu." Segera ku ambil rantai, dan ku pasangkan di kaki ku. Lelaki itu semakin dekat denganku. Dia membungkuk dan mengunci gembok di kakiku. Di tariknya rantai panjang itu ke arah kaki ranjang.Usai merantaiku, lelaki itu berjalan memutariku. Apa lagi ini?"Bagaimana rasanya?" Tanyanya sambil berjalan memblakangiku menuju ranjang.Aku hanya diam tak mengeluarkan sedikitpun. Memangnya siapa dia? Pikirku yang sedikit penasaran."Apa kau mencari Tuan mu Xiloe?" Ku toleh lelak
Lelaki yang tidak kutahui siapa dia, menggendongku dan membawaku di atas ranjang. Dia menarik kedua tanganku lalu mengikatnya. Sementara itu terdengar suara langkah kaki yang menjauh.BRAKKK!Suara pintu terdengar begitu kerasnya.Kurasaka sentuhan di kakiku, jangan-jangan? "Stop!" Pintaku pada lelaki itu. Entah dia Xiloe atau siapapun itu.Ucapanku bagai angin lalu, ia tak menggubris perkataanku."Lututmu jelek sekali, pantas kau malu." Ucapnya dengan enteng."Aku tak perduli akan pendapatmu." Jawabku acuh."Mulai sekarang kau akan perduli. Harus!"Apa maksudnya bicara seperti itu? Dasar konyol. Jika terus hidup disini, aku akan menjadi gila seperti mereka."Kuberi tahu agar lebih jelas, kau tak berhak atas diriku."PLAKKTamparan begitu keras mendarat di pipiku.Jamarinya mencengkram kuat pipiku."Akan ku pastikan kau bertekuk lutut kepadaku." Ucapnya sambil menjambak rambutku."Aww... hisss...," jambakanny
Usai merapikan diri, Rani membawaku keluar kamar."Rani," panggilku menaruh curiga padanya."Nona, tenanglah! Tuan ingin mengajak anda makan bersama," katanya sambil menutup pintu kamar kembali."Bersama?" Aku memperlihatkan wajah tak suka kala mendengar hal itu. Aku tak mau makan bersama orang gila itu. "Aku tidak mau. Aku tidak akan makan malam hari ini.""Nona, Tuan memintanya.""Tidak!" Jawabku kekeh. Aku membuka pintu dan kembali ke kamar. Tidur dengan perut lapar lebih baik dari pada harus makan bersamanya.Kutarik selimut hingga menutupi wajahku."Nona," panggil Rani kembali."Tidak ya tidak." Bantahku, tak mau makan bersama."Kumohon Nona, kasihani saya. Jika nona tid...,""Aku perduli padamu Rani, tapi apa kau tak kasihan padaku?" Ucapku memotong perkataan Rani. Aku tahu, tapi... arghhh. Aku benar- benar membenci situasi ini."Ada apa ini?" Suara seorang lelaki terdengar mengerika. Lagi- lagi Rani adalah kelemah
Aku mengekor di belakangnya menuruni anak tangga. Kata- katanya tadi, tidak bisa ku abaikan begitu saja. Untuk sekarang lebih baik mengikuti kemauannya.Begitu aku mendekat ke meja makan. Xiloe langsung manatap tajam diriku."Huh, dasar Lacur." Ejek Xiloe dengan wajah sinis.Aku hanya diam tak menggubris hinaannya. Sudah cukup sakit di punggungku. Aku tak mau menimbulkan masalah lagi. Setidaknya, tidak untuk hari ini. Itu artinya aku akan kembali berulah?!Ku tarik salah satu kursi yang berjajar mengelilingi meja makan yang lumayan besar ini. Aku memilih duduk bersebrangan dengan mereka berdua. Tapi ada hubungan apa dengan mereka berdua? Keluarga? Teman atau rekan kerja? Itu tidak penting, yang lebih penting sekarang adalah mengindari tatapan mereka berdua.Lelaki itu mulai mangambil nasi dan beberapa lauk yang tersaji. Sementara Xiloe masih melototiku dengan tajam. Aku berusaha biasa saja dengan suasana mengerikan ini. Tiba- tiba suara lelaki itu memec
"Siapa?"Aku berdiri di depan pintu menanti jawaban."Nona, ini saya Rani."Huh..., aku bernapas lega mendengarnya."Masuklah Rani!"Cklek"Nona, saya bawakan salep untuk luka, Non Seira.""Luka mu sendiri, apa sudah di obati?" Tanyaku padanya."Sudah nona.""Nanti, kalau Iblis itu tahu bagaimana? Lebih baik kau kembali ke kamar mu.""Tapi, Tuan sendiri yang menyuruh saya untuk mengobati luka nona, jadi mana mungkin Tuan marah.""Tuan yang mana?" Tanyaku sambil menyipitkan mata."Ah, itu... itu saya dilarang untuk mengatakan pada nona," jawab Rani sambil menunduk.Kuhembuskan napas dengan kasar. Segera aku berjalan menuju ranjang. Tidur tengkurap sambil menuggu Rani selesai mengoleskan salep."Nona, saya minta ma...,""Segeralah! Aku sudah mengantuk Rani." Titahku, memotong ucapan Rani.Rani segera menyelesaikan tugasnya, lalu pamit undur diri meninggalkanku. Aku kembali sendiri di kamar ini
"Kemana kita pergi?" Tanyaku pada Orys.Orys hanya menoleh tanpa bersuara. Suasana kembali hening, kuputuskan untuk bertanya kembali. "Kapan Rani, maksudku Siena akan bangun?"Lagi-lagi dia mengacuhkan pertanyaanku. "Apakah... apakah kelu... keluargaku per... nah menyakiti kalian?" Citttttt... mobil pun berhenti mendadak. "Kenapa kau semakin berani? Diamlah! jika kalian ingin selamat," Orys pun kembali melajukan mobilnya. Akupun hanya bisa diam sesuai perintahnya. *** Cukup lama perjalanan yang kami tempuh, mungkin sudah hampir 4 jam. Kulirik wajah Orys, tiada rasa lelah sedikitpun. Entah kemana arah tujuannya? Saat ini aku hanya berusaha percaya kepadanya. Laju mobil terasa semakin pelan, kurasakan jalanan bukan lagi aspal seperti tadi, melainkan batuan- batuan kecil. Terasa sangat sepi dan sunyi, suara jangkrik terdengar begitu jelas. Sedikit menakutkan, sangat gelap. "Cih, kau takut?" Tanyanya sam
Spesial updateTapi...,Kupandang wajah Orys sekilas, wajahnya terlihat tenang dengan sebatang rokok yang ia hisap. Entah sejak kapan di merokok? Aroma khas bakaran tembakau mulai mengganggu pernapasanku.Waktu terus berjalan, dan aku belum punya pilhan. Hingga suara Orys memecah keheningan."Kau tak ada pilihan selain menikah denganku, jika kau ingin selamat. Aku pastikan, setengah jam lagi Xiloe akan turun." Mendengar nama Xiloe gini tubuhku bergidik ngeri."Mengapa kau menawarkan ini? Apa tujuanmu?" Tanyaku balik, berusaha mencari sesuatu."Waktumu tinggal 5 menit," sambil melihat jam tangan yang melingkar ditangannya. Dia tak ingin memberitahuku.Kubuang napas dengan kasar berulang kali, Sudah jelas aku tak bisa melawan Xiloe maupun Orys saat ini. Lelaki di depanku penuh dengan tipu muslihat, namun jika aku mengikuti permainannya mungkin aku...,"Ba... baik," ucapku terbata sambil menatap wajahnya.Kulihat Orys hanya m
Suara ketukan pintu menyadarkanku dari alam bawah sadar. Rani? Seketika aku teringat tentang gadis remaja itu. Entah mengapa perkataan Orys sangat mengganggu pikiranku.Belum sempat aku bagun, suara pintu itu sudah terbuka lebih dulu. Sosok wanita dewasa berseragam hitam dengan paduan renda putih datang membawa senampan makanan. Aku belum pernah melihatnya. Kuperkiran dia berumur 28 tahu. Dimana Rani?"Kenapa bukan Rani yang mengantarkan makanan? Dan siapa Anda?"Tidak ada jawaban darinya, ia sibuk menata makanan di meja."Silahkan Nona Seira habiskan makanan ini?"Ajakan yang terasa seperti perintah, seolah mengisyaratkan jika aku harus memakan makan itu tak perduli apapun. Tiada senyum ataupun apa, wajahnya datar sedikit formal."Aku tidak ingin makan jika bukan Rani yang memberikannya padaku," geretakku apa adanya."Tidak akan ada yang berubah meskipun bukan Rani yang mengantar makanan ini. Anda tetap harus memakannya! Bukankah melarikan
Dia adalah Mr. Dave, jadi Orys adalahMr. Dave? mengapa bisa dia? Tiga hari sebelum tragedi itu terjadi dia menghilang, apakah mungkin dia? Tidak! Tidak mungkin dia tega kepadaku dan keluargaku. Selama ini dia sangat baik terhadapku maupun orang tuaku, mana mungkin dia...,"Jangan terkejut!" Ucap Xiloe. "Kedepannya masih banyak kejutan untukmu.""Kalian, siapa sebenarnya kalian? Dan kau...," ucapku sembari menatap tajam Orys. "Apa tujuanmu? Tidakkah kau yang mengajariku untuk menjadi orang yang tak salah langkah? Aghhh... ku kira kau seorang malaikat, tapi ternyata kau adalah monster penuh tipu muslihat.""Aku senang kau tahu siapa diriku sekarang. Sekarang aku tak harus memakai topeng tiap kali harus bertemu denganmu.""Tidak! Bukankah kau malu karena kelopak matamu terluka? Ahh... ha... ha, itu memang pantas untuk lelaki sepertimu.""Diam! Jika kau tahu jika orang tua mu lah yang...," potong Xiloe."Cukup!" Sanggah Orys y
Seketika itu, kupaksa tubuhku untuk bangkit. Tak kurasa rasa sakit saat jarum infusku terlepas. Dengan cepat aku menindih dan mencekik leher Lelaki Iblis ini.Kukuatkan tanganku untuk mencekiknya, namun ia malah mentertawaiku."Ugh... ugh... kau mulai berani melawanku.Apa kau sadar? posisi tubuhmu sekarang ini bisa saja membuatku tergoda. Jika di bawah sa... na bangkit, ugh... ugh... kau sendiri yang akan menanggung akibatnya."Pekataannya benar- benar membuatku murka dan jijik. Aku ingin dia mati, tapi tanganku semakin melemah. Jahitan di lenganku kembali terbuka, sementara bekas infusku terus mengeluarkan darah."Shit!"Tubuhku terkulai lemas, kini posisi kami terbalik. Ia menindih tubuhku dan mengunci kedua tanganku. Sekilas dia melirik pergelangan tanganku."Sayang, jangan terlalu kasar! Kau bisa semakin terluka.""Apa yang kau lakukan? Kenapa kau menolongku? Seharusnya kau biarkan aku mati.""Bagaima aku membalas d
Selesai mandi aku segera memakan makanan yang di siapkan Rani. Hampir sama tapi sedikit berbeda. Tak lagi memperdulikan rasa aku pun kembali menikmati makan di atas meja ini. Belakangan ini napsu makanku sedikit meningkat. Dulunya aku akan berpikir sedikit keras saat jam makan. Apakah aku harus memakannya atau tidak? Tapi, pilihan selalu mengharuskan aku untuk memakan makanan dari mereka."Oh, ya. Rani, apakah mereka berada di rumah?""Mereka? Apakah maksud Nona Seira, Tuan Orys dan Tuan Xiloe?" Tanya Rani."Ya, mereka.""Tadi saya lihat, Tuan Orys sedang bermain catur seorang diri. Kalau Tuan Xiloe, saya tidak melihat. Lingkup gerak saya terbatas di rumah ini, jadi saya tidak bisa memberitahu menyeluruh.""Tidak apa Rani, aku juga tak perduli tentang mereka," aku pun tersenyum kepada Rani."Tapi apa kau tahu kenapa lelaki yang bernama Orys selalu memakai topeng? Apa dia tidak waras atau semacamnya mungkin?" Tanyaku menyelidik penasaran.
POV XiloeSelama satu minggu ini, aku akan libur. Aku jarang sekali berada di rumah. Kerja dan kerja, mencari uang sebanyak- banyaknya untuk membangun kembali bisnis ayahku yang telah lama bangkrut. Aku tak gila harta, tapi aku harus memiliki banyak uang dan kekuasaan. Itulah Ambisiku.Seperti biasa aku akan memasak makananku sendiri dan Wanita Lacur itu. Tidakkah aku terlihat lebih baik, aku mau memasakan makanan untuk seorang tawanan seperti dia. "Cih,"Bukannya aku tak mampu memperkerjakan seorang koki, hanya saja aku tak mau. Jika aku mau 100 koki pun bisa kupekerjakan di rumah ini. Hanya saja aku tak menyukai masakan orang asing, tapi jika berada di luar aku akan memakan apa yang ada. Tentunya harus dengan pilihannku.Begitu pula dengan kondisi rumah yang terlalu ramai, aku tak menyukainya. Bagiku rumah adalah tempat untuk mencari ketenangan.Ada 7 Bodyguard yang menjaga rumah ini, beserta 2 satpam dan 1 tukang kebun di rumah ini. Itupun mer
"Siapa?"Aku berdiri di depan pintu menanti jawaban."Nona, ini saya Rani."Huh..., aku bernapas lega mendengarnya."Masuklah Rani!"Cklek"Nona, saya bawakan salep untuk luka, Non Seira.""Luka mu sendiri, apa sudah di obati?" Tanyaku padanya."Sudah nona.""Nanti, kalau Iblis itu tahu bagaimana? Lebih baik kau kembali ke kamar mu.""Tapi, Tuan sendiri yang menyuruh saya untuk mengobati luka nona, jadi mana mungkin Tuan marah.""Tuan yang mana?" Tanyaku sambil menyipitkan mata."Ah, itu... itu saya dilarang untuk mengatakan pada nona," jawab Rani sambil menunduk.Kuhembuskan napas dengan kasar. Segera aku berjalan menuju ranjang. Tidur tengkurap sambil menuggu Rani selesai mengoleskan salep."Nona, saya minta ma...,""Segeralah! Aku sudah mengantuk Rani." Titahku, memotong ucapan Rani.Rani segera menyelesaikan tugasnya, lalu pamit undur diri meninggalkanku. Aku kembali sendiri di kamar ini
Aku mengekor di belakangnya menuruni anak tangga. Kata- katanya tadi, tidak bisa ku abaikan begitu saja. Untuk sekarang lebih baik mengikuti kemauannya.Begitu aku mendekat ke meja makan. Xiloe langsung manatap tajam diriku."Huh, dasar Lacur." Ejek Xiloe dengan wajah sinis.Aku hanya diam tak menggubris hinaannya. Sudah cukup sakit di punggungku. Aku tak mau menimbulkan masalah lagi. Setidaknya, tidak untuk hari ini. Itu artinya aku akan kembali berulah?!Ku tarik salah satu kursi yang berjajar mengelilingi meja makan yang lumayan besar ini. Aku memilih duduk bersebrangan dengan mereka berdua. Tapi ada hubungan apa dengan mereka berdua? Keluarga? Teman atau rekan kerja? Itu tidak penting, yang lebih penting sekarang adalah mengindari tatapan mereka berdua.Lelaki itu mulai mangambil nasi dan beberapa lauk yang tersaji. Sementara Xiloe masih melototiku dengan tajam. Aku berusaha biasa saja dengan suasana mengerikan ini. Tiba- tiba suara lelaki itu memec