Sky sedang berada di Milan untuk menyaksikan pertandingan tim sepakbola favoritnya ketika mendapat kabar bahwa Gerald Dawson mendapat serangan jantung di mansion mewah keluarganya. Sky langsung terbang pulang ke New York untuk menghadiri pemakanam sahabatnya. Gerald akan dimakamkan di kawasan elit South Hampton tempat keluarganya tinggal. Bagaimanapun Sky juga masih syok dengan kabar mengejutkan tersebut. Dengan kepergian Gerald, tentunya Sky juga merasa sangat kehilangan sosok seorang ayah, sahabat, sekaligus keluarga baginya. Ketika Sky datang Celine dan ibunya masih menangis di samping peti Gerald. Sky menghampiri mereka dan berpelukan sejenak. "Papa tidak sempat bicara apapun pada kami, " tangis Celine ketika masih berada dalam pelukan Sky. Sky menarik gadis itu untuk kembali duduk sembari menggosok lembut punggungnya agar lebih tenang. Sepertinya semua orang juga masih terkejut dengan kabar mendadak ini, karena selama ini Gerald juga masih terlihat cukup
Sky sedang berada di apartemen mewahnya di pusat kota New York saat Celine Dawson sengaja terbang langsung dari pagelaran busan di Itali hanya untuk menyusul pria yang sudah hampir tiga minggu tidak memberinya kabar. "Kupikir kau benar-benar tersesat di tengah hutan hingga tidak menemukan sinyal untuk memberiku kabar." Celine langsung melempar mantel bulunya ke atas sofa dan berjalan cepat menghampiri Sky yang masih belum siap saat tiba-tiba wanita itu sudah menciumnya. "Kenapa denganmu! " dorong Celine begitu mendapati tanggapan dingin dari Sky. "Jangan bilang kau tersesat di ranjang wanita jalang yang sampai membuatmu lupa untuk menyambutku!" "Aku hanya sedang kurang enak badan, " kelit Sky. "Bohong! Kau sama sekali tidak demam." Wanita itu sengaja meraba ke dalam kemeja Sky untuk memastikan, bahkan dengan berani membelai otot hidup di balik resleting celananya yang sedang membengkak. "Bahkan kau mengeras," bangga Celine
Dari pada jadi gila karena penasaran, akhirnya Sky memutuskan untuk mencari Alizia Moris. Tanpa sepengetahuan siapapun Sky terbang sendiri ke Seattle, dia berencana untuk mengambil Alizia Moris dari sekolah asramanya. Kedengarannya memang agak gila tapi jika memang anak itu yang sekarang menjadi kuncinya, maka Sky harus menyembunyikannya dari siapapun terutama dari Vivian. Sebenarnya Sky juga belum memiliki rencana bakal dia apakan anak itu nantinya, karena Sky sendiri juga tidak memiliki pengalaman mengurus anak perempuan. Sky adalah anak tunggal karena sejak kecil terlahir di keluarga kaya raya ia pun tidak pernah hidup susah, sudah biasa serba dilayani dan sama sekali tidak pernah berencana memiliki anak yang menyusahkan seperti dirinya. Dari sekilas sejarah itu saja sudah jelas jika Sky bukan orang yang bakal becus untuk ditunjuk sebagai orang tua. Gerald saja yang cukup gila hingga tega menyerahkan putrinya pada pemuda seperti Sky. Sky sudah sampai di halama
"Jadi ini tempat tinggalmu?" tanya Lizie sambil melihat ke sekeliling apartemen Sky yang memiliki balkon sangat luas. "Semoga kau suka, yang itu kamarmu!" Sky menunjuk kamar yang bersebelahan dengan pintu balkon. Lizie berbalik untuk kembali melihat Sky yang sedang duduk di sofa dan baru melonggarkan kancing kemejanya. "Kenapa aku harus tinggal bersamamu?"tanya Lizie sambil berjalan menghampiri sofa. "Maksudku kenapa kau menjadi waliku?" Sky mendongak pada gadis yang masih berdiri di depannya ketika dia mengendikkan bahu. "Sebenarnya aku juga tidak tahu kenapa Gerald memilihku untuk mengurusmu." "Lalu kenapa kau mau?" Sky berhenti melepas kancing lengan kemejanya untuk menatap Lizie lebih serius karena walaupun sederhana dan singkat tapi ternyata Sky justru bingung untuk menjawab pertanyaan itu. "Duduklah." Sky menepuk sofa di sebelahnya dan Lizie pun ikut duduk di sana dengan patuh. "Ada beberapa hal yang harus kujelas
Kantor Sky masih berada di kawasan jalan utama Fourth Avenue, tidak jauh dari apartemennya, dia cuma memerlukan waktu tidak sampai sepuluh menit untuk sampai di kantor tersebut. Gedung dua puluh lima lantai itu sekarang sudah dia jadikan sebagai aktor utama untuk induk perusahaannya. Sebuah kantor yang megah di kawasan paling elit. Sky jadi semakin sibuk karena selain memegang jabatan CEO untuk perusahaannya sendiri, sekarang dia juga harus menduduki kursi kepala dewan direksi untuk beberapa anak perusahaanya, belum lagi dia harus mengurus seorang remaja. Baru saja Sky sampai dan sekretarisnya langsung memberi tahu jika Celine ingin bertemu. Sky merasa dia juga harus segera membereskan masalahnya dengan Celine jika tidak mau hidupnya semakin repot. Celine menyusul Sky di kantor sebab dari kemarin lusa Sky tidak bisa dihubungi. Celine memang akan selalu rewel jika Sky tidak mengangkat telepon atau membalas pesan. Tiba-tiba Sky juga jadi ingat untuk memberikan pons
Sky sudah tertidur ketika LizieMerangkak naik ke atas ranjangnya dan menggoyang-goyang tubuhnya."Sky, aku tidak bisa tidur."Sky yang terkejut langsung kembali terbangun dan menyalakan lampu di samping ranjang. Sky masih seperti bermimpi ketika melihat Lizie sudah duduk bersimpuh di atas hamparan selimutnya. Gadis itu hanya memakai kaos longgar tanpa celana dan Sky yakin dia juga sedang tidak memakai bra."Kepalaku semakin sakit karena tidak bisa tidur," keluh gadis itu sambil memijit pelipisnya.Sudah dua malam Lizie belum tidur sama sekali dan tadi sepanjang siang dia cuma bisa berguling-guling di atas kasur tanpa dapat memejamkan mata. Sky pulang dari kantor juga langsung kembali sibuk sendiri dengan sisa pekerjaannya yang masih terus menuntutnya seperti mesin sampai dia lupa untuk memastikan anak itu.Sky bangkit untuk mengambil botol kecil di laci meja nakas kemudian memberikan satu kapsul yang tadi juga dia telan."Apa ini?" tan
Ketika Sky selesai mandi dan berganti pakaian dia sudah tidak melihat Lizie berada di pantry. Meja pantry sudah kembali bersih dan rapi. Sepertinya Lizie juga sudah mencuci semua bekas cangkir kopinya dan menyimpan ke lemari. Sky berjalan menyebrangi ruangan yang terasa lengang. Pintu balkon terletak di sisi timur, karena cuma bersekat dinding kaca jadi pagi hari seperti ini cahaya matahari ikut masuk memantul di lantai marmer dan membuatnya hangat untuk diinjak kaki telanjang.Ini baru memasuki awal musim semi tapi sinar matahari sudah cukup terik karena musim tahun depan sepertinya juga akan kembali bergeser tiba lebih awal. Sky menyeringai silau untuk melihat ke luar, pupilnya perlu waktu beberapa saat untuk beradaptasi dengan cahaya yang terlalu melimpah. Setelah mengangkat telapak tanganya untuk meneduhkan matanya Sky baru melihat Lizie yang ternyata sedang berenang. Ada kolam renang berukuran tiga kali delapan meter di balkon apartemennya yang cukup luas. Sky berdiri di
Dengan merendahkan seluruh harga dirinya Celine kembali lebih dulu menghubungi Sky karena lelah menunggu Sky yang tidak juga berinisiatif untuk minta maaf setelah pertengkaran mereka kemarin. Sky dan Celine bukan dua orang yang baru berhubungan untuk satu atau dua tahun, mereka sudah pernah berulang kali bertengkar seperti ini tapi biasnya Sky akan mulai membujuknya setelah beberapa hari. Tapi kali ini ternyata Sky belum juga ada kabarnya. Bahkan ponselnya semakin sulit dihubungi dan beberapa kali malah sengaja dimatikan. Padahal kemarin Celine mendengar Sky sedang berada di klub malam bersama teman wanitanya, artinya Sky juga sedang tidak terlalu sibuk jika hanya untuk mengangkat telepon. Celine kenal beberapa wanita murahan yang sering dibawa Sky ke ranjangnya, bahkan sebagian justru teman dekat Celine sendiri. Karena itu Celine sudah tidak mau lagi percaya dengan teman wanita manapun yang sering mengaku sahabat tapi ternyata juga suka berbagi tubuh dengan kekasihnya.Sky m
"Selamat ulang tahun. " Di musim semi ulang tahun Lizie yang ke sembilan belas. Sky mengangkat Lizie untuk duduk di atas pangkuannya, mereka hanya berdua memandang ke luar dari jendela kaca besar yang menghadap langsung ke sisi pegunungan Alpen. "Aku ingin kita seperti ini dulu," bisik Sky ketika mempererat lengannya di pinggang Lizie dan menghirup puncak kepalanya dengan tarikan napas dalam. "Aku ingin memilikimu untuk diriku sendiri." Sky menyarukkan rahangnya yang terasa kasar dan menggelitik sisi leher gadis mudanya yang hangat dan lembut. "Aku adalah milikmu, kau boleh memilikiku sesuka hatimu." Sentuhan Sky adalah apa yang juga akan selalu Lizie inginkan.
Walaupun tangan kirinya masih di perban tapi Sky bersikeras bisa menyetir sendiri untuk membawa lizie pulang bersamanya. Sky memang keras kepala, padahal Tobias sudah sengaja datang pagi-pagi untuk mengantarkan mereka pulang. Lizie terpaksa masuk ke dalam mobil Sky dan melambai pada Tobias Harlot untuk sekaligus minta maaf. Lizie benar-benar merasa tidak enak karena bagaimanapun selama ini Tobias sudah sangat baik pada mereka. "Tulangku hanya retak bukan cacat!" kata Sky setelah Lizie duduk di sampingnya. "Ya, aku percaya." Lizie pilih setuju saja dibanding harus berdebat karena dia tahu Sky tidak suka diremehkan dan hal itu sudah jadi sifat dasarnya yang sulit dirubah. Sky memang masih bisa mengemudi dengan baik, lengan kirinya j
Tobias Harlot sudah coba menjelaskan dengan tenang tapi nyatanya air mata Lizie tetap merembas hangat dari masing-masing sudut matanya. Lizie meraba kembali perutnya yang sudah kembali rata dengan jemari tangannya yang agak kurus. Rasanya tetap pedih walaupun sudah tidak ada yang terasa perih lagi. "Jadi bayiku tidak selamat? " Tobias hanya berani mengangguk pelan. "Anak-anak akan berada di surga kau tidak perlu cemas." "Aku bahkan tidak sempat melihatnya." "Kau sudah berjuang dengan hebat, Sky pasti juga akan tetap bangga padamu." Lizie mulai menunduk dan terisak pelan.
Sky berjalan kembali ke mobilnya, berusaha mencengkram kemudinya dengan mantap untuk menguatkan langkahnya. Sky tidak boleh menyerah karena Lizie juga sudah berjuang dengan sangat keras. Sky menoleh pada buket bungan matahari di samping tempat duduknya dan kembali menghela napas dalam untuk memenuhi paru-parunya yang sesak. Sky sudah bersumpah pada Gerald untuk menjaga putrinya. Walaupun mungkin sahabatnya itu sudah lebur bersama tanah tapi sumpah Sky akan tetap berlaku untuknya. Sky tidak akan menyerah dia harus tetap hidup demi Lizie dan demi putri mereka yang sudah pergi tanpa sempat menangis. Sky berjalan melalui lorong dingin yang juga sudah dia lalui setiap hari tanpa pernah berubah. Semuanya masih sama, tidak ada perubahan berarti sejak dua bulan berlalu. Sky mengganti bunga matahari di dalam vas kaca dengan yang baru dia bawa,
Sky menoleh kembali tempat tidur di sampingnya yang kosong dan dingin, hampir tiga bulan berlalu tapi rasanya masih sulit dipercaya ia harus menjalani hidup seperti ini. Ini adalah musim dingin paling beku di sepanjang hidupnya . Sky tidak pernah tahan tiap kali mulai memikirkannya, hidup tanpa Lizie dan tanpa bayi mereka. Sky masih tertelungkup di atas tempat tidurnya setelah semalam Tobias menyeretnya pulang dari kekacauan yang dia buat di klub. Tobias sampai harus memukul Sky karena Celine menemukanya mabuk di klub dan berkelahi. Ternyata bukan hanya kesendiriannya yang sulit untuk dijalani, tapi kewarasannya juga semakin sulit untuk dijaga belakangan ini. Sky benar-benar tidak sanggup menjalani hidup seperti ini. Seolah dia hanya berjalan dan bernapas tanpa pernah benar-benar bisa hidup lagi. Sky masih ingat di mana dia menyimpan senjata apinya yang selalu siap sedia untuk mengakhiri segala penderitaan, godaan itu semakin menggoda untuk dituruti dan akan segera menjadikannya pen
Selama Mark bicara dengan Lizie, Sky sudah membuat keributan. Sky mengancam akan menuntut pihak rumah sakit jika mereka tidak segera mengambil tindakan. Tapi pihak rumah sakit juga tidak bisa melakukan pembedahan paksa tanpa persetujuan pasien. Sky tahu Lizie memanggil Mark Walder untuk meminta pertolongannya dan Sky sudah benar-benar kehilangan akal karena sikap keras kepala Lizie. Begitu melihat Mark baru keluar dari kamar Lizie Sky langsung menghampiri pria itu dan memukulnya. Sky memukul cukup keras sampai sudut bibir Mark langsung berdarah. Mark tidak membalas pukulan Sky karena dia tahu pemuda itu sedang sinting. Mungkin dia pun juga akan demikian jika berada di posisi Sky sekarang. "Jangan pernah merasa kau bisa menjadi pahlawan untuk Lizie ku!" ancam Sky sambil menunjuk Mar
Persis seperti yang dikhawatirkan Sky, kondisi Lizie menurun dengan begitu cepat, Lizie tidak akan sanggup menunggu dua minggu lagi. Lizie sudah tidak bisa mengkonsumsi makanan, tidak bisa beristirahat, tenaganya juga habis untuk menahan rasa sakit yang tidak kunjung usai. Nutrisi tubuhnya hanya didapatkan dari selang infus yang tidak akan pernah cukup untuk dirinya sendiri apalagi bayinya. Dua minggu tidak akan membawa perubahan untuk bayi mereka kecuali hanya akan membunuh Lizie pelan-pelan. Sudah tiga hari berlalu dan kondisi Lizie masih juga belum membaik sama sekali, dia masih terus mengalami kontraksi. Lizie tidak akan kuat menanggungnya hingga dua minggu lagi sementara kondisi fisik Lizie juga semakin tidak berdaya. Lizie sudah tidak diijinkan turun dari ranjang, dia harus istirahat total. Sky sudah nyaris gila menghadapi sikap keras kepala Lizie yang tetap bersikukuh untuk
Sky baru kembali dari menemui Tobias Harlot ketika melihat apartemennya yang sunyi. Rasanya agak aneh karena biasanya Lizie akan langsung menyambut di depan pintu tiap kali Sky pulang. "Lizie," panggil Sky masih belum terlalu khawatir karena mengira Lizie hanya sedang tidur lebih awal atau mendengarkan musik dari ponselnya seperti yang sering dia lakukan akhir-akhir ini untuk mengusir rasa mual. "Lizie," Sky kembali memanggil karena tidak melihat Lizie di kamarnya. Sky buru-buru memeriksa di balkon yang ternyata juga tidak ada siapa-siapa. Malam sudah gelap dan mustahil Lizie keluar sendiri tanpa meminta ijin atau memberitahunya. Sky kembali ke kamar dan saat itu dia baru sadar jika lampu kamar mandinya sedang menyala. Sky segera memeriksa dan terkejut melihat Iizie yang sedang bere
Walau masih malas bergerak tapi seperti Lizie mulai terlihat gelisah, tidurnya semakin tidak tenang akhir-akhir ini. "Sky, " gumam Lizie. "Hemm .... " Sky merapatkan lengannya untuk menarik tubuh Lize. "Aku mual." Lizie semakin mendesak dan menenggelamkan wajahnya ke dada Sky. Tubuh Lizie terasa lembut dan hangat, bergelung meringkuk seperti bayi trenggiling kecil yang kedinginan. Rasanya memang sedang tidak nyaman bagi Lizie. "Apa kau mau kubuatkan minuman hangat?" Lizie menggeleng, Lizie juga sudah tidak mau minum susu lagi tiga hari terakhir ini karena susu justru membuatnya semakin mual. Memasuki trimester pertama Lizie mulai mengalami peningkatan hormon yang membuat tubuhnya semakin sensitif dan rewel karena tidak bisa sembarangan menelan makanan. "Kau mau apa akan kubuatkan." "Aku bel