Rumi mengangguk. Dia mencoba mempercayai ucapan Reta.Tak berapa lama, Ninda tiba. Dia langsung menyapa Zidan dan Rumi sambil menjabat tangan keduanya.“Saya Ninda,” ujar Ninda memperkenalkan dirinya. Dia tersenyum manis pada Zidan dan Rumi.“Ah, ini adiknya Doni ya,” balas Rumi.“Oh, Kak Doni udah sampai di sini?” Ninda terkaget. Dia kira kakaknya akan ke rumahnya besok pagi. “Aku kira datengnya bakal besok.”“Iya, udah sejam lalu sampai di sini,” terang Reta. “Sekarang lagi di dapur. Mulai nyicil beresin pipa cucian yang katamu ngadat.”“Iya, tadi ngadat waktu aku pulang bentar, Reta. Ya udah deh. Aku ke dapur duluan,” tutur Ninda. Dia kembali tersenyum pada Rumi dan Zidan. “Tante, Om, aku duluan ya? Mau bantu Kak Doni. Ini silakan dinikmati aja. Nggak usah sungkan di rumahku. Anggap aja rumahnya Reta. Kan kami udah kayak sodara sendiri.”“Iya, Nak Ninda. Makasih ya,” ucap Rumi lega.Ninda berlalu dari ruang tamu. Meninggalkan Reta bersama calon mertuanya itu.“Oh, ternyata beneran
Pagi sekali Dirga menggunakan sepeda kayuhnya pergi ke rumah Ninda. Dia akhirnya memilih menggunakan sepeda kayuhnya agar tidak mudah terdeteksi oleh Reta saat sedang mengintai.Di sana, dia mengintip dari seberang rumah. Pandangannya terus memperhatikan rumah milik Reta dari kejauhan dengan menggunakan teropong jarak jauh.“Jam segini kok belum ada yang keluar sih? Pemalas sekali,” decak Dirga mulai mengomel. Entah mengapa, dia jadi ingin mengomel terus. Padahal, tidak ada sesuatu yang seharusnya bisa membuat dia kesal.Dirga menatap jam tangannya. Sudah pukul setengah 6 pagi.Terdengar suara orang dari depan rumah. Dirga bersembunyi di belakang pohon akasia yang biasanya dijadikan sebagai pohon pelindung di tepian jalan.Dari sana, dia meneropong lagi. Tampak Doni bersama dengan Reta. Keduanya mengobrol dan bertukar tawa.Dirga mendengkus kesal. “Dia itu ya bisa-bisanya ketawa seperti itu dengan pria lain. apa dia nggak ngerasa bersalah sama aku? Harusnya dia itu kan tetap di rumah
Reta dan Doni sama-sama terkaget saat mendengar suara teriakan dari depan rumah. Reta familiar dengan sura itu.“Kak Doni, tolong dong lihatin siapa yang teriak? Kayaknya jatuh gitu,” pinta Reta cemas. Entah mengapa dia sudah bisa menebak bahwa yang ada di depan rumah adalah Dirga.“O-oke. Kamu tunggu di sini ya?” Doni berlari keluar rumah.Doni celingukan ke sisi kiri dan kanan jalan. Dia mendelik kaget saat melihat Dirga yang berada di dalam selokan dan ada seekor anjing yang menggonggong ke arah Dirga.“Argh! Tolong! Tolong! Ada anjing gila!” teriak Dirga kesakitan dan membutuhkan pertolongan.Doni berusaha menahan tawanya. Dia masuk ke dalam rumah dan mengambil selang air yang dibawa Reta.Dengan cekatan, Doni menyemprot anjing itu dengan air dari selang. Alhasil, anjing itu kedinginan dan kabur meninggalkan Dirga.Reta ikut mengintip dari dalam rumah. Dia menghentikan kursi rodanya dan syok melihat Dirga berada di dalam selokan.“Duh, sakit banget itu,” celetuk Reta meringis. Dia
“Kak Doni, udah ah. Jangan berantem,” pinta Reta menengahi. “Mending bantu Mas Dirga bersihin kaki. Biar baunya nggak ke mana-mana.”“Ah, iya. Kukira yang bau memang si Dirga,” kekeh Doni mengejek Dirga.Dirga benar-benar marah. Namun, kondisinya memang sangat memalukan sekarang. Dia tak bisa seenaknya karena ponselnya rusak. Sialnya satu-satunya yang bisa menolongnya saat ini hanyalah Doni.Doni melangkah ke kamar mandi. Dia mengambil air seember untuk mengguyur tubuh Dirga yang kotor. Lantas, dia membantu mengobati luka Dirga.“Lhoh, kok ada calon suami Reta ke sini?” celetuk Ninda. Dia menguap dan menggaruk-garuk rambutnya yang berantakan karena baru bangun tidur.Pandangan Ninda memicing menatap heran Dirga yang banyak luka dan tampak kotor. “Ugh, bau banget suamimu, Ret. Ganteng-ganteng jorok ya?” lanjut Ninda sambil menutup hidungnya.“Tadi Mas Dirga jatuh di selokan depan rumah, Nin. Tahu kan selokan depan kayak gimana,” terang Reta padat dan jelas.“Owalah, naas banget,” ucap
Dirga menggelengkan kepala. “No, no,” tolak secepat kilat.Dia memang tidak suka Reta. Namun, dia tak ada niatan untuk mencelakai Reta. Benci dengan seseorang dan mencelakai seseorang adalah dua hal yang berbeda. Jika dicampuradukkan justru akan membawa petaka bagi Dirga. Ditambah lagi, Reta sudah lumpuh di usia muda.“Why? Lu kan nggak suka dia,” ucap Jason keheranan.“Orang tuaku bakal ngebunuh aku,” balas Dirga. Dia sengaja membawa kedua orang tuanya karena tahu Jason tak suka dengan Rumi dan Zidan.“Ya udah sih. Terserah aja,” ucap Jason menyerah. Tepat seperti yang diperkirakan oleh Dirga.Percakapan terhenti. Dirga memilih tak berucap apapun. Dia hanya butuh kasur dan ingin beristirahat. Hanya itu.Sementara itu, Reta masih cemas memikirkan Dirga. Dia memegangi ponselnya dan ada nomor Rumi di bagian layarnya.Reta tentu saja ingin menghubungi Rumi. Namun, Dirga tadi melarangnya berulang kali untuk melakukan itu.“Ret, aku mau keluar sama Kak Doni,” ucap Ninda seraya masuk ke dal
“Jason?” Rumi terkaget mendengar nama itu disebut.Reta menerangkan hal yang terjadi pada Dirga hari ini di rumah. Dia menjelaskan semuanya dengan singkat dan padat.“Mas Dirga bilang kalau dia bakal barengan sama temennya, Jason,” terang Reta. “Mama ada perlu sama Mas Dirga? Tadi teleponnya pakai nomorku. Aku bisa telepon balik. Masih ada di panggilan keluar nomornya.”“Oh, kamu kirim aja ke mama ya, Reta,” pinta Rumi. “Biar Mama aja yang urusin Dirga. Kamu cukup istirahat aja. Besok pagi Mama ke tempatmu.”“Eh? Mau ngapain, Ma?” tanya Reta bingung.“Waktunya fiting gaun pengantin. Sekalian Mama mau ajak kamu ke rumah sakit langganan Mama. Biar nanti dokter di sana check seluruh kesehatan kamu dan rekomendasiin rumah sakit di Singapura yang oke,” jelas Rumi pada calon menantunya itu. “Selesai kamu nikah sama Dirga, kita langsung ke Singapura ya? Atau, kalau kamu mau, nikah di Singapura juga nggak apa-apa, Reta. Biar sekalian aja.”“Duh, Ma, apa nggak habis banyak biaya?” Reta langsun
“Ma, parah banget Mama ini,” oceh Dirga saat sudah tiba di rumah.Dia tak jadi menginap di apartemen milik Jason. Segera selesai spa dan membersihkan dirinya, dia langsung pulang ke rumah.Rumi yang sedang bersantai sambil menikmati teh dan buku bacaan di teras rumah menatap datar Dirga. Dia bisa melihat anaknya berjalan terpincang-pincang dan agak mirip orang yang baru selesai sunatan.“Kamu habis jatuh beneran?” ucap Rumi.“Iyalah, Ma. Lihat nih. Ini baju kotorku,” Dirga duduk di sisi Rumi. Dia berdesis nyeri dan menyentuh punggungnya. “Ini, Ma. Bukti otentik kalau aku tadi tuh jatuh di selokan depan rumah Reta.”Dirga menyodorkan paper bag berisi pakaian kotornya. Dia kini sudah bersih dan mengenakan pakaian pinjaman dari Dirga.“Eh, kamu tuh udah kelayapan seharian, pulang-pulang malah kasih Mama baju kotor. Nggak sopan ya? Minta dikutut jadi air selokan ya?” balas Rumi mengomel.“Ma, kok aku salah lagi sih,” Dirga menatap heran Rumi. Apapun yang dia lakukan sekarang jadi serba sa
Dirga harus menunggu semalaman baru bisa bertemu dengan Reta. Itupun dengan kondisi kaki yang masih tertatih-tatih. “Apa kamu mau pakai kursi roda saja?” tanya Reta di ruang berdandan. Dia memandang kasihan Dirga yang tak kesulitan berjalan. “Foto prewedding dengan menggunakan kursi roda sepertinya menyenangkan.” “Kamu pikir aku sama lumpuhnya denganmu,” balas Dirga jutek. Reta terkaget mendengar luapan emosi Dirga yang mendadak itu. Dia tak menyangka pria itu akan bereaksi sejahat itu padanya. “Kamu kira aku mau jadi lumpuh?!” gertak Reta balik. Pandangannya menatap tajam dan memerah kecewa pada Dirga. Dia tahu jika mulut Dirga sangat tajam. Namun, dia tak berharap jika pria itu akan menyinggung kelumpuhannya dengan cara seburuk ini. Reta langsung menggerakkan kursi rodanya menuju ke arah Dirga. Dia menabrak pria itu hingga jatuh terjengkang. “Argh!” teriak Dirga. Dia mengeluh kesakitan. “Kau—“ Reta hanya melirik sekilas. Pandangannya langsung melengos dan kursi rodanya tetap