JANGAN LUPA BERIKAN DUKUNGAN PADA PENULIS. INGIN TAHU KARYA PENULIS YANG LAINNYA? FOLLOW IG @bonanzalalala HAPPY READING ALL :D
Hujan deras turun sesuai prediksi Rumi. Sayangnya, hujan turun tepat saat sesi pemotretan berlangsung.Semua orang berlari terburu-buru meninggalkan lokasi pemotretan. Seolah-olah akan ada batu besar yang jatuh menimpa tubuh mereka padahal yang terjatuh dari langit hanyalah tetesan air bening semata.Dirga pun nyaris berlari meninggalkan Reta. Ya, Reta masih berada di kursi panjang dan sialnya kursi rodanya ditaruh jauh dari lokasi pemotretan.Pandangan Reta menatap pilu ke arah orang-orang yang berlari meninggalkan tempat pemotretan. Dia rindu kakinya yang bisa berjalan dan berlari secepat yang dia inginkan.Kini dia tertinggal sendirian. Bahkan, tidak ada yang ingat bahwa dia masih sendirian di tempat yang terkena rintikan hujan deras itu.“Hei, jangan melamun,” tegur sebuah suara.Reta mendongakkan wajahnya. Dia melihat wajah Dirga di antara tetesan air hujan.Pria itu bergerak melepaskan jas dari tubuhnya. Dia menutupkan jas itu di kepala dan tubuh Reta lantas dia berusaha menggen
"Kamu ngapain di sini?" hardik Dirga. Dia menatap kesal ke arah Reta yang ada di dalam kamarnya."Ka-kata Mama ini kamar buatku," jawab Reta terbata. Dia sama sekali tak tahu jika kamar itu akan digunakan oleh Dirga."Ini kamarku tahu!" ujar Dirga ngegas. Pria itu mendekati Reta. "Sana pergi!""Nggak maulah!" tolak Reta. "Aku duluan kok yang di sini. Kalau ada yang harus pergi, ya kamu yang pergi!"Reta tetap ingin bertahan di tempat duduknya. Dia tak mau memindahkan barangnya ke kamar lain. Apalagi, kakinya tak bisa digerakkan."Kamar lain udah penuh," ucap Dirga. "Kamu aja yang pindah. Kamu punya temen perempuan, kan?""Ninda tidur sama Mamamu. Aku nggak mungkin tidur barengan sama mereka. Nggak kebagian kasur," terang Reta. "Kamu kan cowok. Sehat lagi. Mending kamu aja yang tiduran di ruang tamu atau ruang tengah vila ini. Nggak bakal ada yang mau pegang-pegang kamu."Dirga mendengkus sebal. Ucapan Reta memang benar. Dia laki-laki dan memang lebih aman tidur di mana saja. Namun, Di
“Ya Allah, Dirga!” pekik Rumi.Dalam hati Rumi senang melihat Dirga ada ketertarikan pada Reta. Namun, dia tetap memasang ekspresi galak agar Dirga semakin menuruti keinginannya.Dirga buru-buru turun dari atas tubuh Reta. Langkahnya bergerak cepat turun dari ranjang. Namun, karena dia tergesa-gesa, kaki kirinya terjerembab oleh selimut dan dia jatuh berguling di lantai.Reta sendiri memilih menarik selimut untuk menutupi tubuhnya. Wajahnya menunduk malu. Dia bisa merasakan hawa panas yang merambati seluruh tubuhnya akibat rasa malu yang teramat sangat.Rumi menyuruh pembantu menaruh makanan di meja dan keluar. Setelah itu, dia mendekati Dirga dan membantunya bangun dari posisi terjatuhnya.Tangan Rumi menepuk pelan lengan Dirga. “Kamu ini belum sah lho. Udah main sosor Reta aja. Sabar, Ga,” ucap Rumi menasihati Dirga.“Ma, ini nggak seperti yang Mama pikirkan kok,” balas Dirga. “Beneran! Sumpah!”“Udah, udah. Mama tahu kok kalau memang udah saatnya kamu itu punya istri,” ujar Rumi. D
“Kamu itu memang sumber masalah dalam hidupku,” decak Dirga sambil mendorong kursi roda Reta.Mereka sudah tiba di kebun sayur dan buah dengan metode tanam pertanian modern. Tempat ini sangatlah bersih dan jauh dari kata becek. Karena itulah, banyak orang yang suka mampir untuk berwisata keliling area kebun yang memiliki luasan belasan hektar sambil memilih sayur dan buah untuk dibawa pulang sebagai oleh-oleh.Reta menoleh ke belakang dan mendongak ke arah Dirga. Pandangannya memicing tajam ke arah pria yang akan menjadi suaminya itu.“Sudah kubilang padamu kalau bukan aku yang pengen pergi ke tempat wisata ini,” balas Reta. Dia mendengkus sebal. “Kalau kamu nggak suka, seharusnya kamu tolak aja.”“Kamu pikir mamaku bakal biarin aku kabur gitu aja?” timpal Dirga. “Harusnya kamu dong yang nolak keinginan mamaku dari awal.”“Mana bisa,” ucap Reta.Dia kembali menghadap ke depan. Rasan
Ponsel Reta bergetar. Dia membuka resleting sling bag-nya yang berwarna putih itu dan mengangkatnya. Ada telepon masuk dari Ninda.“Ret, gimana? Nggak ada apa-apa kan sama Dirga?” tanya Ninda mengecek. Nada bicaranya terdengar cemas.“Iya, Nin. Aku baik-baik aja kok. Tumben ih kamu cemas,” ucap Reta. Dia tak menyangka bahwa sahabatnya akan secemas itu padanya. Padahal, biasanya Ninda sangat santai.“Aku tadi diceritain sama Tante Rumi soal hubunganmu sama Dirga. Katanya tadi pagi Dirga mau gituin kamu ya?” tutur Ninda setengah berbisik dan sudah tentu sangat serius. “Gila sih. Kok gitu dia. Kan kalian belum nikah. Gimana sih?”Reta mengulum senyuman simpul. Dia membiarkan Ninda mengomel hinga tuntas.“Tadi pagi itu cuma salah paham,” ujar Reta. “Mas Dirga nggak ada maksud kayak gitu kok.”“Beneran nggak ada?” tanya Ninda sekali lagi. “Ret, kalau emang kamu ngerasa ada yang aneh sama Dirga, hati-hati ya? Aku dikasih tahu Kak Doni buat terus ngawasin kamu karena ternyata masa lalu Dirga
“Eh? Kenapa pipimu ada cap lima jari kayak ijazah sekolah, Ga?” celetuk Rumi saat bertemu dengan anak laki-lakinya di parkiran.Dirga mendengkus sebal. Tangannya masih mengusap-usap pipinya yang memanas gara-gara ditampar oleh Reta saat jatuh tepat di pangkuan Reta. Sebuah kesalahan besar karena tangan Dirga malah bergerak memegang dada kiri Reta untuk mendapatkan pijakan. Alhasil, cap lima jari melekat di pipinya.“Nggak tahu ah. Aku mau cabut dulu,” balas Dirga. Dia tak mungkin membuka aibnya dengan menceritakan ulang kejadian memalukan itu.Dirga melangkah duluan menuju mobilnya. Dia masuk ke dalam mobil dan langsung mengendarainya meninggalkan lokasi.Rumi menatap ke arah Reta. Dia yakin pasti terjadi sesuatu antara Reta dan Dirga. “Reta, kamu nggak apa-apa, kan?” tanya Rumi. “Dirga nggak bikin kamu kesal, kan?”Sebelumnya Reta agak takut pada Rumi. Bagaimanapun, Dirga adalah anak sulung Rumi dan status Reta masih bertunangan dengan Dirga. Dia belum resmi menjadi istri Dirga.“Maa
Hari pernikahan yang dinanti telah tiba. Reta sudah mengenakan gaun pernikahan dengan model simpel sesuai dengan pilihannya.Wajah gadis itu tampak sangat cantik usai didandani oleh seorang make up artist ternama. Semua orang terkagum akan kecantikannya.“Wah, aku harus banyak ambil foto sama kamu, Ret,” Ninda tampak agresif dan mulai mengambil foto-foto bersama dengan Reta. “Kak Doni pasti seneng banget deh lihat foto-fotomu.”Reta mengulas senyuman simpul. Dia meladeni keinginan Ninda untuk foto bersama.“Kak Doni kan bukan suamiku, Ninda. Kamu harus bisa jaga kakakmu. Biar dia nggak dapet cap buruk,” tutur Reta. Dia sangat menghargai Doni sebagai seorang kakak. Dia tak mau orang lain berkata buruk tentang pria itu.“Santai aja. Kalaupun kamu cerai, Kak Doni kayaknya mau ajak nikahin kamu,” canda Ninda. Derai tawanya terdengar renyah. “Nanti malem kabarin aku ya? Kalau misal Dirga lakuin hal buruk ke kamu, kamu langsung sembunyi ke kamar mandi dan telepon aku. Janji ya?”Ninda menga
“Ga, mau ke mana?” tegur Zidan saat acara makan siang untuk merayakan pernikahan Dirga dan Reta selesai digelar.Langkah Dirga terhenti sebentar. Dia menoleh ke arah papanya yang sedang mengobrol bersama dengan adik-adik Dirga.“Ke kantor. Ada rapat dan sore nanti aku harus ke Jepang,” jawab Dirga. Dia menunjukkan koper biru tua yang ada di tangannya itu.“Ini hari pertama pernikahanmu, Ga. Di rumah dulu saja,” suruh Zidan. “Kamu nggak menghargai Reta sebagai istrimu.”“Aku sudah menuruti keinginan Papa dan Mama buat menikah. Sekarang terserah aku dong mau ngapain. Yang penting aku udah nikah, kan?” timpal Dirga. Dia mengingatkan kembali perjanjiannya dengan Zidan dulu. “Udah ya, Pa. Aku ada kerjaan menumpuk dan belum aku urusi gara-gara sibuk menyiapkan pernikahan ini.”“Reta bagaimana?” tanya Zidan. Dia mencoba bersabar menghadapi anak sulungnya yang memang terlampau bandel sejak kecil itu.“Reta kan harus pengobatan. Mendingan langsung bawa ke Singapura aja,” tutur Dirga. “Aku suda