POV Indra Laksmana. Lagi pula, aku takut jika aku menolak menikahi Mona, gadis itu akan merembet kemana-mana. Dia akan mengadu dan meminta pembelaan ibuku. Bagaimanapun, Mona pandai mengambil hati keluargaku. Ia sering kali membawakan banyak buah tangan untuk bapak dan ibuku. Ia juga pandai menyanjung kedua orang tuaku yang gila pujian. Tidak seperti Maya yang kaku dan terkesan menghindari orang tuaku. "Bener ya, Mas, kita nikah secepatnya." Berkali-kali Mona mengulangi pertanyaan yang sama seolah memastikan jawaban ku tak akan berubah lagi. Aku sampai bosan sendiri mendengarnya. "Iya, iya!" Lama-lama kesel juga dicecar pertanyaan yang sama terus menerus. Dengan gaya manja Mona bergelayut pada lenganku. "Ayo sekarang kita ke mall! Udah gak sabar pengen milih cincin pernikahan," rengeknya. Aku pun menuruti keinginan Mona untuk pergi ke mall dan memilih bakal cincin pernikahan kami nanti. "Aku mau yang ini ya, Sayang!" Bertingkah seperti anak kecil, Mona menunjuk sebuah cincin
POV Raden Angga Wijaya. Dengan penuh semangat empat lima, aku melintasi jalanan ibu kota yang licin dan basah oleh guyuran gerimis. Berkali-kali wipers kunyalakan untuk mengusap tetes demi tetes rintikan hujan yang membuat buram kaca mobil depan. Terkadang sesekali tangan kiri ku menyentuh lembut sebuah pigura berukuran 4R yang didalamnya terdapat sebuah foto lawas dari keluarga yang sangat harmonis. Terlihat jelas dari senyum yang terkembang dari wajah-wajah mereka yang berada di dalam foto tersebut. Maya, akhirnya aku menemukanmu setelah tiga puluh tahun berlalu. Gumamku riang sambil mengelus lembut bingkai foto tersebut. Sesampainya di depan rumah Maya, keadaan sangat sepi sekali. Tidak ada satupun lampu penerangan yang menyala, gerbang depan dikunci dengan gembok besar, juga terlihat beberapa sampah berserakan di teras rumah. Rumah ini seperti tidak memiliki aktivitas kehidupan sama sekali. Apa mungkin Maya dan kedua anaknya sudah tertidur? Atau jangan-jangan mereka sedang pe
POV Bagas, Tugas kuliah yang menumpuk membuatku terjaga hingga larut malam. Sebenarnya aku sudah sangat lelah dan mengantuk setelah seharian bekerja dan dilanjut dengan kuliah malam. Ditambah lagi cuaca syahdu dengan alunan rintik gerimis malam ini semakin membuatku ingin cepat-cepat ke peraduan. Tapi kejadian demi kejadian saat Mbak Maya diusir dari rumah selalu membayangi ingatanku. Alhasil, aku gagal memfokuskan diri dalam mengerjakan tugas kuliah seabrek-abrek. Bagaimana aku tidak geram, laki-laki yang seharusnya menjadi ayah dan suami yang baik, malah tega mengusir anak dan istrinya dari rumah. Hatiku sakit melihat wanita yang sudah satu tahun kebelakang ini berhasil mencuri hatiku, disia-siakan oleh suami yang seharusnya melindunginya. "Sadar, eling, Bagas!! Maya itu masih sah jadi istri orang." Komentar Mbak Titin di telepon saat aku meminta izin agar memperbolehkan Maya dan kedua anaknya tidur di rumah. Kalau bukan kami yang menampung, siapa lagi? "Bagas tahu, Mbak. Bag
"Assalamualaikum." Perasaan aku baru pindah dua hari di kontrakan ini. Tapi kenapa sudah ada tamu yang datang kemari, malam-malam lagi. Tapi siapakah gerangan yang datang bertamu? Apa Bagas? Tapi… suaranya bukan suara Bagas. Apakah tetangga baru di lingkungan ini? "Waalaikumsalam." Aku segera menyahut dan beranjak untuk membukakan pintu kepada tamu misterius ini. Set, Betapa kagetnya aku begitu pintu terbuka, sesosok laki-laki yang belum sempat kulihat wajahnya langsung menerjang dan memelukku dengan erat. Ia bahkan memelukku dengan perasaan penuh haru. Astaghfirullah, siapa laki-laki ini? Kenapa dia begitu lancang memeluk wanita yang bukan muhrimnya. Aku bahkan tak bisa melihat wajahnya sama sekali karena ia membenamkan wajahnya pada ceruk leherku. Sekuat apapun aku mendorongnya agar menjauh, tenagaku masih kalah jauh darinya. Ia malah semakin mengeratkan pelukannya seolah-olah tidak ingin berpisah denganku. Belum hilang rasa penasaranku tentang siapa laki-laki ini, tiba-tiba
Kali ini aku langsung menangis tergugu setelah melihat foto usang sebuah keluarga dalam figura yang Pak Angga sodorkan. Walaupun terlihat jauh lebih muda dan cantik, tapi wanita yang ada di dalam foto itu bisa kupastikan bahwa ia adalah benar ibuku. Aku tumbuh besar berdua dengan beliau yang notabene kehilangan seluruh ingatannya. "Kalian tau dari mana awalnya aku yakin kalau kamu adalah Maya, adikku yang hilang?" Aku dan Bagas saling berpandangan. Kami sama-sama terdiam tak menjawab pertanyaan Pak Angga. Pak Angga langsung menunjuk foto gadis kecil yang imut dan lucu dengan rambut poni yang menutupi dahinya. "Kalian lihat baik-baik! Bukankah gadis kecil ini sangat mirip dengan mereka?" Kali ini telunjuk Pak Angga mengarah kepada si kembar yang ikut bergabung setelah terbangun karena keributan tadi. Aku dan Bagas lalu menelisik kemiripan antara foto gadis kecil itu dengan si kembar. Astaga! Ketiganya benar-benar mirip seperti anak kembar tiga. "Ba-bagaimana i-ini bisa terjadi?"
Aku tidak percaya dengan apa yang kulihat. "I-ini, kan?" "Ada apa, May?" Tanya Mas Angga penuh cemas. Mungkin ia merasa kaget dengan perubahan ekspresiku yang secara tiba-tiba. "I-ini, M-mas," Tatapan mata Mas Angga mengikuti petunjuk jariku yang menunjuk pada foto diriku saat masih kecil. Ia tetap terdiam tak tahu apa maksudku. "Tunggu sebentar!" Aku lalu membongkar tas dan koper serta karung yang belum sempat ku rapikan isinya. Mencoba mencari suatu barang yang sedari tadi mengganggu pikiranku. Bagas juga terlihat bingung dengan sikapku, "Ada apa, Mbak Maya?" Aku tetap fokus mencari dan tak menanggapi kedua pria yang memenuhi ruang kamar kontrakanku yang sempit. "Nah ini dia ketemu juga." Aku langsung mengangkat tinggi-tinggi kalung berlian dengan bandul bertuliskan nama 'Maya'. Kalung ini adalah satu-satunya barang yang melekat di tubuhku selain baju saat warga desa pesisir pantai barat menemukanku. Sengaja kusimpan karena hanya ada satu buah kalung. Tak mungkin aku mema
"Waah, Bu, lihat rumahnya besar sekali." Pekik Keyla kegirangan saat mobil sedan milik Mas Angga mulai memasuki gerbang tinggi dengan bangunan rumah khas milik orang kaya yang di dominasi oleh cat berwarna putih tulang. "Satu, dua, tiga," Keyla bersemangat sekali menghitung jumlah bangunan secara vertikal. "Semuanya ada tiga lantai, Bu." Ia sangat mengagumi kemegahan rumah mewah bergaya klasik eropa dengan jendela perancis di setiap sisi temboknya. Mas Angga tersenyum mendengar celotehan Keyla. "Gimana, kalian suka? Kalian boleh tinggal disini selamanya. Ini adalah rumah kakek dan ibu kalian." Ucapan Mas Angga sontak membuat mata keyla berbinar bahagia. Tentu saja gadis kecil itu kegirangan dan menganggukan kepalanya sebagai tanda setuju. Lain halnya dengan Keyla, Keyra hanya diam saja membuang pandangan keluar jendela, enggan untuk berkomentar tentang rumah mewah di hadapannya. Ia memilih fokus menatap hamparan rumput gajah di halaman rumah Papa Hadi yang sangat luas dan nyaman.
"M-maya!!" Pekik Papa Hadi saat melihat kedua anakku. Ia terlihat sangat histeris dan ketakutan. Begitupun juga dengan si kembar. Mendapat respon penolakan seperti itu membuat si kembar mundur beberapa langkah ke belakang. "M-maafin, Papa, Nak! P-papa bersalah belum bisa nemuin kamu dan mama. Hik hik hik." Lama-lama kegelisahan Papa Hadi berubah menjadi tangisan. Kedua telapak tangannya menutupi seluruh wajahnya dan membiarkan tangisannya pecah. Entah apa yang ada di pikirannya saat ini. Apa beliau masih merasakan kehilangan yang mendalam atas hilangnya aku dan mama tiga puluh tahun yang lalu? "Pa!! Papa!! Ini Angga, Pa. Papa kenapa?" Pekik Mas Angga yang ikutan panik melihat Papa Hadi histeris dan ketakutan. Ia berusaha mengguncangkan tubuh Papa Hadi untuk mengembalikan kesadarannya. Aku hanya berdiri mematung melihat pemandangan itu. "Ang-angga, apa Papa sudah mati?" Mas Angga terlihat kebingungan dengan pertanyaan Papa Hadi. Apa jangan-jangan Papa Hadi sedang berhalusinasi,