Tinggalin komennya dong kak. Biar othor semangat baca komen kalian.
POV Raden Angga WijayaSetelah berpisah dengan Maya, aku segera ke ruanganku untuk mengambil kunci mobil yang masih tertinggal di atas meja. Aku melewati Rosmala yang masih saja berdiri dengan angkuh di samping meja resepsionis. "Hei mau kemana kamu, Angga?!" Tanya Rosmala saat melihat aku hendak pergi meninggalkan kantor.Ku angkat tas kresek bungkusan dari Maya tadi dan menunjukkannya kepada Rosmala, "Mau pulang ke rumah, nganterin makan siang papa." Rosmala tersenyum penuh arti. Tidak biasa-biasanya dia memberikan seulas senyuman padaku. Apa dia salah minum obat tadi?"Salam buat Mas Hadi, ya! Suruh dia makan yang banyak agar cepat sehat dan pulih seperti sedia kala."Tak ku hiraukan ocehan wanita yang sudah merebut hasil kerja keras Papa Hadi dan Mama Rasti. Aku harus segera menemui Maya di taman kota untuk mencari tahu apa hal penting yang ingin disampaikannya. Jangan sampai dia menunggu kedatanganku terlalu lama."Loh, bukannya itu Maya?" Gumamku saat melihat Maya sedang bers
POV Raden Angga Wijaya. Mobil sedanku langsung meluncur menuju ke kantor penyidik kepolisian setempat. "Ham!!" Aku berteriak seraya melambaikan tangan kepada Ilham yang terlihat kebingungan mencari keberadaanku. Ilham adalah teman masa putih abu-abuku yang sekarang bekerja sebagai penyidik di kantor kepolisian ini. Aku memang sudah mengabarinya lewat telepon saat dalam perjalanan tadi. Jadi tak perlu menunggu lama dia sudah bersiap menemui aku. "Tolong bantu aku untuk mengecek makanan ini, Ham!!" Aku menyerahkan kresek putih berisi makanan yang sudah terkontaminasi racun. "Tadi aku sudah memberikan sedikit tester pada kucing liar. Dan hasilnya… kucing liar itu langsung roboh sebelum hitungan ketiga." Aku mengucapkan kalimat terakhir dengan getir karena teringat lagi dengan makhluk lucu dan imut yang harus menjadi korban sebagai kelinci percobaanku. Perasaan bersalah kembali melanda. Ilham langsung menerima tas kresek itu dengan hati-hati. "Oke, Bro! Nanti gue kabarin hasilnya." A
POV Raden Angga Wijaya. Setelah mendapat persetujuan dari Papa Hadi, aku langsung bergerak cepat dengan menghubungi dokter kenalanku dan memintanya untuk bekerja sama dalam memuluskan rencana ini. "Pa!!! Papaaaaa!!" Aku berteriak panik saat papa mulai menjajal kemampuan aktingnya dengan berpura-pura pingsan di hadapanku. Semua pegawai di rumah ini mulai dari pembantu rumah tangga, tukang kebun, satpam, dan supir keluarga ikut berdatangan mengerubungi gazebo tempat papa berpura-pura pingsan. "Tuan!!" "Tuannn!" Mereka semua panik. Akupun juga harus ikut terlihat panik. "Halo, Dokter!!! Tolong ke rumah kami segera. Papa collapse dan tak sadarkan diri." Aku menghubungi Gusti, sahabatku yang berprofesi sebagai dokter spesialis penyakit dalam di salah satu rumah sakit swasta di kota ini. Para pegawai laki-laki di rumah ini bergotong royong mengangkat Papa Hadi ke kamarnya. Tak selang lama Dokter Gusti, kenalanku sudah sampai ke rumah dan segera memeriksa kondisi Papa Hadi di dalam ka
POV Raden Angga Wijaya "Prof, tolong bantu analisa DNA dari sampel rambut serta air liur ini," Aku menyerahkan sebuah plastik bening transparan yang diberi label huruf A. Plastik bening itu berisi sehelai rambut yang kuduga milik Maya, juga botol air mineral bekas Maya minum. Aku tidak yakin apakah itu rambut milik Maya atau bukan, karena rambut itu hanya menempel di jilbab Maya bukan aku dapat mencabutnya sendiri dari kulit kepala Maya. Jadi aku menambahkan sampel lain berupa air liur Maya yang menempel di bekas botol air mineral. Jika sehelai rambut itu bukan milik Maya, setidaknya masih ada sampel air liur yang lebih akurat. "Apakah benar pemilik kedua sampel tadi ada hubungan darah dengan pemilik potongan kuku ini?" Aku lalu menyerahkan plastik bening lainnya yang juga sudah diberi label huruf B. Plastik yang ini berisi potongan kuku milik Papa Hadi. Entah bagaimana awalnya, tapi firasatku mengatakan bahwa Maya ini adalah Maya kami yang telah lama hilang. Tatapan mata wanita i
POV Raden Angga Wijaya."Gus, Gusti, tolong datang ke rumah kami segera, Papa Hadi mengalami kejang serius." Saking paniknya aku sampai memanggil Gusti hanya dengan namanya saja tanpa membawa gelar title yang sudah diraihnya dengan susah payah.Untung Gusti mempunyai klinik pribadi yang letaknya tak jauh dari kediaman Papa Hadi. Jadi tak butuh waktu lama untuk dia sampai kemari.Pa… please dong bangun! Jangan buat Angga khawatir kaya gini. "Ka-kami langsung pamit pulang saja ya, Angga. Masih ada acara perkumpulan ibu-ibu sosialita yang harus saya hadiri.""A-aku juga, ya. Ma-masih ada acara makan malam dengan beberapa supplier penting." Doni membeo alasan ibunya.Mereka berdua mencuci tangan dan tak ingin disalahkan atas masalah ini. Padahal tadi sebelum aku meninggalkan ruangan Papa Hadi, beliau baik-baik saja. Apa yang sudah dilakukan oleh duo ibu dan anak ini?Saat ini keduanya hanya ingin segera pergi jauh dari rumah ini agar nantinya tidak dimintai pertanggung jawaban atas membu
"Tolong bantu saya, Maya! Hanya kamu yang bisa menolong kami saat ini." Begitu bunyi permohonan Pak Angga saat kami bertemu di taman kota saat itu.Ia memintaku untuk tetap mengirimkan katering makan siang seperti biasanya agar memancing wanita jahat bernama Rosmala itu untuk mendapatkan beberapa bukti kejahatannya."Saya tidak yakin bisa berhasil, tapi saya akan berusaha semampu saya untuk membantu Pak Angga." Aku menyanggupi permintaan Pak Angga dengan dalih hati nurani. Aku tidak bisa membiarkan kedzaliman wanita itu menghabisi nyawa orang tua dari orang sebaik Pak Angga.Sebenarnya beban juga buatku menerima permintaan aneh dari Pak Angga. Bagaimana tidak jadi beban? Beliau memintaku untuk ikut andil dalam permainan mereka untuk mencari bukti kejahatan wanita bernama Rosmala.Aku takut salah-salah malah aku yang jadi korban berikutnya. Bukankah ini kasus perebutan kekuasaan keluarga kaya? Kenapa aku juga harus ikut terlibat di dalamnya?Apalagi aku melihat dengan mata kepalaku sen
Huft, menegangkan sekali rasanya!"Terima kasih banyak ya, Bu Maya. Tanpa bantuan Bu Maya, rencana ini tidak akan pernah berhasil." Pak Angga mengucapkan terima kasih karena misinya untuk mendapatkan bukti kejahatan wanita tua itu sudah berhasil.Aku tersenyum bangga. Sedikit bantuan dariku mampu membuat nyawa berharga seseorang terselamatkan."Sama-sama, Pak Angga." Malu juga rasanya menerima ucapan terima kasih dari Pak Angga. Bantuan gak seberapa tapi ucapan terima kasihnya berulang-ulang tak ada habisnya."Oiya, Pak Angga… tolong ikut saya ke parkiran sebentar, yuk." Aku teringat di jok motor masih ada satu set menu pesanan yang sama. Aku sudah mengantisipasi hal ini dari awal. Jika wanita tua itu meracuni makanan pesanan Pak Angga, setidaknya aku masih punya satu set menu yang tidak terkontaminasi sama sekali."Kebetulan saya juga mau ke parkiran buat ambil mobil. Biasa… sudah jamnya pulang ke rumah buat nemenin papa makan siang." Jawab Pak Angga yang langsung menerima ajakanku.
"Pokoknya malam ini juga kamu harus segera pergi dari rumah ini!" Ada apa ini? Kenapa Mas Indra mengusirku untuk segera pergi dari rumah yang sudah menaungiku selama delapan tahun kebelakang. Rumah BTN ini memang atas nama Mas Indra, karena ia yang menyanggupi untuk mencicil uang kredit bulanannya. Tapi apakah ia melupakan dari mana uang DP nya berasal? "Mas, Mas gak bisa begitu! Rumah ini milik kita bersama. Apa Mas lupa kalau aku juga punya andil di dalamnya?" Tentu saja aku punya hak di rumah ini! Sebelum kami menikah, aku bekerja di sebuah counter hape bersama dengan Sita. Setiap gajian aku selalu menyisihkan uang gaji dan menyimpannya dalam bentuk perhiasan. Setelah menikah, kami berdua memutuskan untuk hidup mandiri dan membeli sebuah rumah BTN bersubsidi dari pemerintahan. Saat itu, kondisi keuangan Mas Indra masih pas-pasan. Maklumlah… karyawan dengan modal ijazah SMA seperti Mas Indra harus cukup bersyukur bisa mendapatkan status sebagai karyawan biasa. Baru-baru ini
POV Indra Laksmana."Apa-apaan? Kamu yang apa-apaan? Memangnya kamu itu siapa disini? Tuan putri? Harusnya kamu itu sadar diri, kamu itu disini menumpang. Bantuin ibu, kek, ini malah enak-enakan rebahan, main hape, tertawa cekikikan."Segala kekesalan ku luapkan semuanya pada Mona. Dia hanya menunduk dan mulai mengeluarkan jurus air matanya. "Maafin, Mona… tadi Mona kelelahan, jadi rebahan sebentar.""Lelah ngapain, Kamu? Lelah mainan hape?" Ku lontarkan sindiran tajam. Menurut pengakuan ibu, Mona tidak pernah menyentuh pekerjaan rumah sama sekali. Jadi lelah apanya? Mona sedikit gelagapan. Ia langsung menyembunyikan hp nya ke bawah bantal dan mulai mengalihkan perhatianku."Hm, Mas Indra jangan marah-marah lagi, ya! Ngomong-ngomong tumben Mas Indra masuk ke kamar Mona, apa Mas Indra sudah gak marah dan menginginkan Mona?" rayu Mona.Kalau dipikir-pikir, iya juga sih… semenjak kita menikah, kita langsung pisah kamar karena aku merasa jijik dengan Mona yang hanya memanfaatkanku saja.
POV Indra Laksmana.Hari ini, tumpukan masalah mulai menggunung di pundakku. Kesel, capek, lelah, dan kecewa bercampur aduk jadi satu.Rasanya, kejadian tadi siang di kantor terus saja membayangi pikiranku."Pak Indra, disuruh menghadap ke Pak Angga! Beliau saat ini berada di ruangan manager marketing." Sekretaris pribadi Angga memberitahukan pesan dari atasannya lewat sambungan line telepon kantor."Baik!!" Jawabku dengan semangat empat lima. Memang selama ini posisi manager marketing yang dulunya diduduki oleh Pak Doni kosong semenjak pemilik kursi sebelumnya digelandang oleh polisi karena terlibat menyembunyikan kasus pembunuhan berencana serta kasus penggelapan uang kantor.Entah apa kasusnya, yang jelas posisi Pak Doni sekarang menjadi kosong dan aku mengincar jabatan itu. Aku menginginkan naik ke puncak yang lebih tinggi. Dan saat ini, aku lah kandidat terkuat yang bisa menaiki tangga kesuksesan itu.Bahagia bukan main rasanya. Aku yakin Pak Angga pasti ingin berdiskusi dengank
POV Author.Bagas dan Soni lolos tes interview dan langsung diterima bekerja di perusahaan saat itu juga. Mulai besok, mereka resmi menyandang status sebagai karyawan di perusahaan Maya. Tak main-main, Maya langsung memberikan posisi jabatan yang tinggi untuk keduanya."Mbak, eh… B-bu Maya, apa ini tidak berlebihan?" Bagas merasa gugup sekaligus heran saat Maya menyebutkan posisi jabatan yang akan dirinya emban nanti.Wanita cantik yang telah bersemayam di hati Bagas sejak ia masih berstatus sebagai istri orang itu menggeleng lemah, "Gak kok, Gas. Mbak serius. Mbak tahu kamu pasti mampu melewati challenge ini.""Ta-tapi, Mbak…""Tolong terima dan lakukan yang terbaik! Izinkan putri Om ini untuk mengangkat derajat keluarga kalian. Ini adalah bentuk balas budiku karena kalian selama ini sangat baik kepada anak dan cucu-cucu Om." Sela Hadi dengan tegas memotong ucapan Bagas. Mendapati perkataan menyanjung dari papanya Maya, Bagas hanya bisa pasrah dan menerima kesempatan emas yang Hadi
POV Author. Sesuai dengan instruksi dari Maya, pagi ini Bagas dan Soni berangkat bersama untuk tes interview di perusahaan orang tua Maya dengan berboncengan mengendarai sepeda motor. Begitu tiba di lokasi, Bagas langsung mengirimkan pesan singkat kepada Maya, mengabarkan jika mereka sudah sampai di perusahaan. Alih-alih dipersilahkan masuk, Bagas dan Soni malah diinterogasi oleh satpam yang bertugas di gerbang depan. "Hee, bukannya kalian ini tetangga sebelah rumah abangku, ya?" Irfan yang kebetulan sedang bertugas menjaga gerbang depan langsung sksd, sok kenal sok dekat. Ha he ha he, kami berdua ini punya nama! Begitu gerutu Soni dalam hati. "Hee, bener, kan kalian memang tetangga abangku? Bang Indra namanya." Ulang Irfan saat tak mendapatkan respon dari Bagas dan Soni. Bukannya mereka berdua tak mau merespon, tapi mereka berdua memang tak terlalu mengenali Irfan. Mereka berdua baru sadar setelah Irfan menyebutkan nama Indra, sebagai abangnya. "Iya, bener, Mas. Rumah kami m
"Waalaikumsalam," aku dan Mbak Titin langsung kedepan untuk melihat si tamu. Ternyata oh ternyata, suara itu bukan suara yang berasal dari tamu. Suara itu merupakan suara Bagas, adik Mbak Titin, ia baru saja pulang bekerja. "Eh, ada tamu." Ucap Bagas malu-malu sambil menyalamiku. "Sudah lama, Mbak?" tanyanya kemudian. "Lumayan, Gas, dari siang tadi." Gak terasa ternyata waktu sudah menunjukkan sore, tanda sebentar lagi burung-burung pulang ke peraduannya. Begitupun dengan manusia, mereka mulai pulang ke rumah setelah lelah bekerja seharian di luar. Bagas tersenyum dan salah tingkah sendiri. Aduh, kenapa ini si Bagas kok malah jadi salah tingkah begini? "Baru pulang kerja, Gas?" Tanyaku untuk mengurai kecanggungan yang ada. Dia hanya mengangguk dan tersenyum malu-malu lagi. Ih, kenapa sih ni bocah? Ayolah, Gas. Baru berapa lama gak ketemu kok kamu udah lain banget. Dimana Bagas yang dulu tegas, pemberani, dan penuh wibawa? Kenapa berubah jadi Bagas yang kalem dan malu-malu begini
"Eh, ada bu boss datang!!" Sapa Mbak Titin ramah saat aku bertandang ke rumahnya. Ia terlihat sangat antusias dengan kedatanganku yang tiba-tiba dan tanpa kabar sebelumnya. Entah kenapa rasanya aku kangen sekali dengan lingkungan tempat tinggal lamaku ini. Aku langsung memeluk wanita yang dulu seringkali membantuku kala aku sedang dilanda kesusahan. "Apa kabarnya, Mbak?" Wanita itu mengangguk dan tersenyum bahagia seraya berkata, "Kabar kami baik, May." Ia lalu menoleh ke arah pintu rumahnya, "Lika… ada Keyla sama Keyra, nih." Teriak Mbak Titin memanggil anak gadisnya yang seumuran dengan si kembar. Tak butuh waktu lama, Lika, anaknya Mbak Titin langsung berlari keluar dengan senyum mengembang. "Keyla, Keyra… main bareng, yuk!!" Seru Lika kegirangan karena sudah beberapa bulan ini mereka tak berjumpa. Semenjak diboyong ke rumah Papa Hadi, si kembar praktis ikut pindah sekolah yang lebih dekat dengan kediaman Papa Hadi. Oleh sebab itu pertemanan mereka sempat terputus karena jarak
POV Maya Rosita. "M-mas Indra," gumamku tak percaya saat kedua netraku terbuka seutuhnya. Ternyata, mantan suamiku lah yang telah menahan tangan Irfan untuk tidak melukaiku. Irfan langsung mengibaskan tangannya dengan kuat karena kesal dihadang oleh sang kakak. Tepatnya karena ia tidak berhasil membalas tamparanku tadi. "Awas kamu!! Dasar perempuan miskin!" Maki Irfan sebelum pergi meninggalkan kami di lobby. Ehh, songongnya minta ampun itu anak. Sebenarnya ada dendam kesumat apa sih antara dia sama aku? Kenapa sepertinya ia sangat membenciku dan ingin sekali melihatku hancur? Irfan, Irfan, tunggu saja sampai kamu tau identitas asliku. Aku yakin saat hari itu tiba, kamu akan kejang-kejang karena saking terkejutnya. Sekarang, hanya ada aku dan Irfan di lobby utama perusahaan, semua orang sedang beristirahat. Tiba-tiba suasana menjadi amat canggung. "M-makasih, Mas," ucapku berterima kasih sebab pertolongan Mas Indra datang tepat waktu. Andai saja Mas Indra telat satu detik, mung
POV Maya Rosita.Hari ini adalah hari pertama Papa Hadi kembali ke kantor setelah puluhan tahun menjabat sebagai dewan direksi secara fiktif, nyatanya selama ini perusahaan dikuasai dan dimanipulasi oleh Tante Rosmala dan anaknya.Tak banyak yang tahu akan keberadaan Papa Hadi di perusahaan. Hanya orang dekat dan beberapa karyawan yang sudah mengabdi sejak jaman Kakek Harun menjabat.Kini setelah Rosmala dan anaknya berhasil disingkirkan, Papa Hadi akan menunjukkan siapa pemilik tampuk kepemimpinan yang sebenarnya."Hari ini kamu juga harus ikut ke kantor ya, May! Papa mau ajarin kamu sedikit demi sedikit agar nanti saat papa pensiun, kamu sudah bisa mandiri di perusahaan." Ajak Papa Hadi saat sarapan berlangsung. Aku kaget bukan main. Jujur, aku belum siap sama sekali. Aku yang terbiasa menjadi ibu rumah tangga, tiba-tiba harus naik ke puncak bisnis. Oh tidak! Semua itu bagaikan mimpi."Ta-tapi, Pa…" "Gak ada tapi-tapian. Papa ini sudah mulai menua dan sakit-sakitan. Cepat atau lam
POV Dony."Lepasin saya, Pak! Saya gak salah apa-apa." Aku masih tidak tahu kenapa orang-orang ini menangkapku dan menggelandang ku ke kantor polisi di siang hari bolong. Malu rasanya dijadikan tontonan oleh banyak karyawan yang baru saja selesai menghabiskan waktu jam istirahatnya. Cukup kemarin Olla mempermalukanku di pesta pernikahan Mona, kenapa hari ini masih ada kejadian memalukan lainnya?Oh, mengapa aku harus menderita malu secara bertubi-tubi seperti ini? Dimana letak wibawaku sebagai orang penting di perusahaan."Lepasin!! Kalau kalian gak lepasin juga, saya akan menuntut kalian semua." Aku mengancam dan berusaha melepaskan diri dari barisan pria berseragam yang sudah berhasil memasang borgol tangan plastik yang terbuat dari cable ties di kedua pergelangan tanganku.Sekuat apapun usahaku, semua nampak sia-sia belaka. Bahkan jika aku berhasil melepaskan diri dari ikatan borgol plastik cable ties tersebut, belum tentu aku bisa melewati pagar betis yang mengawal dengan ketat.