POV Raden Angga Wijaya. Mobil sedanku langsung meluncur menuju ke kantor penyidik kepolisian setempat. "Ham!!" Aku berteriak seraya melambaikan tangan kepada Ilham yang terlihat kebingungan mencari keberadaanku. Ilham adalah teman masa putih abu-abuku yang sekarang bekerja sebagai penyidik di kantor kepolisian ini. Aku memang sudah mengabarinya lewat telepon saat dalam perjalanan tadi. Jadi tak perlu menunggu lama dia sudah bersiap menemui aku. "Tolong bantu aku untuk mengecek makanan ini, Ham!!" Aku menyerahkan kresek putih berisi makanan yang sudah terkontaminasi racun. "Tadi aku sudah memberikan sedikit tester pada kucing liar. Dan hasilnya… kucing liar itu langsung roboh sebelum hitungan ketiga." Aku mengucapkan kalimat terakhir dengan getir karena teringat lagi dengan makhluk lucu dan imut yang harus menjadi korban sebagai kelinci percobaanku. Perasaan bersalah kembali melanda. Ilham langsung menerima tas kresek itu dengan hati-hati. "Oke, Bro! Nanti gue kabarin hasilnya." A
POV Raden Angga Wijaya. Setelah mendapat persetujuan dari Papa Hadi, aku langsung bergerak cepat dengan menghubungi dokter kenalanku dan memintanya untuk bekerja sama dalam memuluskan rencana ini. "Pa!!! Papaaaaa!!" Aku berteriak panik saat papa mulai menjajal kemampuan aktingnya dengan berpura-pura pingsan di hadapanku. Semua pegawai di rumah ini mulai dari pembantu rumah tangga, tukang kebun, satpam, dan supir keluarga ikut berdatangan mengerubungi gazebo tempat papa berpura-pura pingsan. "Tuan!!" "Tuannn!" Mereka semua panik. Akupun juga harus ikut terlihat panik. "Halo, Dokter!!! Tolong ke rumah kami segera. Papa collapse dan tak sadarkan diri." Aku menghubungi Gusti, sahabatku yang berprofesi sebagai dokter spesialis penyakit dalam di salah satu rumah sakit swasta di kota ini. Para pegawai laki-laki di rumah ini bergotong royong mengangkat Papa Hadi ke kamarnya. Tak selang lama Dokter Gusti, kenalanku sudah sampai ke rumah dan segera memeriksa kondisi Papa Hadi di dalam ka
POV Raden Angga Wijaya "Prof, tolong bantu analisa DNA dari sampel rambut serta air liur ini," Aku menyerahkan sebuah plastik bening transparan yang diberi label huruf A. Plastik bening itu berisi sehelai rambut yang kuduga milik Maya, juga botol air mineral bekas Maya minum. Aku tidak yakin apakah itu rambut milik Maya atau bukan, karena rambut itu hanya menempel di jilbab Maya bukan aku dapat mencabutnya sendiri dari kulit kepala Maya. Jadi aku menambahkan sampel lain berupa air liur Maya yang menempel di bekas botol air mineral. Jika sehelai rambut itu bukan milik Maya, setidaknya masih ada sampel air liur yang lebih akurat. "Apakah benar pemilik kedua sampel tadi ada hubungan darah dengan pemilik potongan kuku ini?" Aku lalu menyerahkan plastik bening lainnya yang juga sudah diberi label huruf B. Plastik yang ini berisi potongan kuku milik Papa Hadi. Entah bagaimana awalnya, tapi firasatku mengatakan bahwa Maya ini adalah Maya kami yang telah lama hilang. Tatapan mata wanita i
POV Raden Angga Wijaya."Gus, Gusti, tolong datang ke rumah kami segera, Papa Hadi mengalami kejang serius." Saking paniknya aku sampai memanggil Gusti hanya dengan namanya saja tanpa membawa gelar title yang sudah diraihnya dengan susah payah.Untung Gusti mempunyai klinik pribadi yang letaknya tak jauh dari kediaman Papa Hadi. Jadi tak butuh waktu lama untuk dia sampai kemari.Pa… please dong bangun! Jangan buat Angga khawatir kaya gini. "Ka-kami langsung pamit pulang saja ya, Angga. Masih ada acara perkumpulan ibu-ibu sosialita yang harus saya hadiri.""A-aku juga, ya. Ma-masih ada acara makan malam dengan beberapa supplier penting." Doni membeo alasan ibunya.Mereka berdua mencuci tangan dan tak ingin disalahkan atas masalah ini. Padahal tadi sebelum aku meninggalkan ruangan Papa Hadi, beliau baik-baik saja. Apa yang sudah dilakukan oleh duo ibu dan anak ini?Saat ini keduanya hanya ingin segera pergi jauh dari rumah ini agar nantinya tidak dimintai pertanggung jawaban atas membu
"Tolong bantu saya, Maya! Hanya kamu yang bisa menolong kami saat ini." Begitu bunyi permohonan Pak Angga saat kami bertemu di taman kota saat itu.Ia memintaku untuk tetap mengirimkan katering makan siang seperti biasanya agar memancing wanita jahat bernama Rosmala itu untuk mendapatkan beberapa bukti kejahatannya."Saya tidak yakin bisa berhasil, tapi saya akan berusaha semampu saya untuk membantu Pak Angga." Aku menyanggupi permintaan Pak Angga dengan dalih hati nurani. Aku tidak bisa membiarkan kedzaliman wanita itu menghabisi nyawa orang tua dari orang sebaik Pak Angga.Sebenarnya beban juga buatku menerima permintaan aneh dari Pak Angga. Bagaimana tidak jadi beban? Beliau memintaku untuk ikut andil dalam permainan mereka untuk mencari bukti kejahatan wanita bernama Rosmala.Aku takut salah-salah malah aku yang jadi korban berikutnya. Bukankah ini kasus perebutan kekuasaan keluarga kaya? Kenapa aku juga harus ikut terlibat di dalamnya?Apalagi aku melihat dengan mata kepalaku sen
Huft, menegangkan sekali rasanya!"Terima kasih banyak ya, Bu Maya. Tanpa bantuan Bu Maya, rencana ini tidak akan pernah berhasil." Pak Angga mengucapkan terima kasih karena misinya untuk mendapatkan bukti kejahatan wanita tua itu sudah berhasil.Aku tersenyum bangga. Sedikit bantuan dariku mampu membuat nyawa berharga seseorang terselamatkan."Sama-sama, Pak Angga." Malu juga rasanya menerima ucapan terima kasih dari Pak Angga. Bantuan gak seberapa tapi ucapan terima kasihnya berulang-ulang tak ada habisnya."Oiya, Pak Angga… tolong ikut saya ke parkiran sebentar, yuk." Aku teringat di jok motor masih ada satu set menu pesanan yang sama. Aku sudah mengantisipasi hal ini dari awal. Jika wanita tua itu meracuni makanan pesanan Pak Angga, setidaknya aku masih punya satu set menu yang tidak terkontaminasi sama sekali."Kebetulan saya juga mau ke parkiran buat ambil mobil. Biasa… sudah jamnya pulang ke rumah buat nemenin papa makan siang." Jawab Pak Angga yang langsung menerima ajakanku.
"Pokoknya malam ini juga kamu harus segera pergi dari rumah ini!" Ada apa ini? Kenapa Mas Indra mengusirku untuk segera pergi dari rumah yang sudah menaungiku selama delapan tahun kebelakang. Rumah BTN ini memang atas nama Mas Indra, karena ia yang menyanggupi untuk mencicil uang kredit bulanannya. Tapi apakah ia melupakan dari mana uang DP nya berasal? "Mas, Mas gak bisa begitu! Rumah ini milik kita bersama. Apa Mas lupa kalau aku juga punya andil di dalamnya?" Tentu saja aku punya hak di rumah ini! Sebelum kami menikah, aku bekerja di sebuah counter hape bersama dengan Sita. Setiap gajian aku selalu menyisihkan uang gaji dan menyimpannya dalam bentuk perhiasan. Setelah menikah, kami berdua memutuskan untuk hidup mandiri dan membeli sebuah rumah BTN bersubsidi dari pemerintahan. Saat itu, kondisi keuangan Mas Indra masih pas-pasan. Maklumlah… karyawan dengan modal ijazah SMA seperti Mas Indra harus cukup bersyukur bisa mendapatkan status sebagai karyawan biasa. Baru-baru ini
"Mas Indra, istighfar, Mas!!" Pekik Bagas saat melihat ayahnya si kembar mulai berlari keluar masuk rumah sembari melemparkan barang-barang kami. Tangannya yang tadi terkepal kuat sudah mulai melonggar dan berusaha untuk membantu memunguti barang-barang yang berserakan di lantai.Seolah-olah telinganya tersumbat, Mas Indra menulikan pendengarannya dan tak menghiraukan seruan Bagas. Ia malah semakin kesetanan dan membuang semua baju, buku pelajaran, tas, hingga sepatu anak-anak ke pelataran teras.Anak-anak hanya bisa menjerit dan menangis menyaksikan barang-barang mereka dibuang keluar rumah oleh ayahnya."Ayah, jangan buang seragam sekolah kami!!""Ayah, jangan usir kami!!"Aku hanya bisa duduk bersimpuh menyaksikan bagaimana mantan suamiku itu menggila dan memaksa kami meninggalkan rumah ini.Bagas langsung berlari dan memeluk untuk menenangkan kedua putriku yang masih berteriak histeris. Padahal mereka berdua sangat membutuhkan aku saat ini. Tapi aku… aku bahkan tidak bisa menopang