Share

Chapter 2

Author: Sean Abraham
last update Last Updated: 2023-11-27 11:41:33

“Tidak ada siapapun disini, Mecca.” Jari jemari yang terasa sedikit kasar sibuk mengekspos wajah cantik Mecca.

Mecca menutup matanya rapat-rapat. Ia tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi pada dirinya. Tubuhnya di tindih sehingga kesulitan untuk menyelamatkan diri. “Lepaskan aku!” pintanya yang mulai tak berdaya.

Pria tersebut tak mendengarkan ucapan Mecca. Kini, tangan nakalnya mulai bergerilya di tubuh mungil Mecca. “Anak baik harus nurut, Mecca. Aku ini ayahmu, bukan?” bisiknya tepat di telinga Mecca, membuat Mecca bergirik ngeri.

“Kamu bukan ayahku! Sampai kapanpun, aku tidak akan pernah mengakui pria bejat sepertimu sebagai ayahku.” Mecca berusaha mendorong tubuh pria tersebut sekuat tenaga. Merasakan sesuatu yang menonjol tepat di perutnya, membuat Mecca semakin gusar. Namun, semakin Mecca berontak, Franky semakin menggila. Tangannya berhasil menyibakkan rok yang Mecca kenakan sehingga apa yang ia inginkan tereskpos dengan jelas.

“Jangan!”

“Tolong, lepaskan aku!”

“Jangan lakukan itu, aku mohon,”

Bulir bening lolos begitu saja dari pelupuk mata Mecca yang masih tertutup rapat. “Mecca, bangun!” tepukan lembut di pipinya berhasil membuat Mecca segera tersadar dan membuka mata.

“Hilya, aku mimpi buruk lagi.” Mecca beranjak duduk dan memeluk sang sahabat dengan erat. Hilya mengusap punggung Mecca dengan penuh kasih sayang, memberi ketenangan dan juga kekuatan. 

Pikiran Mecca kembali kacau karena mimpi yang mengingatkan pada situasi buruk yang pernah terjadi di hidupnya. Seseorang sempat memberi saran agar Mecca pergi ke psikiater, tapi Mecca tak mengindahkan karena ia merasa bisa mengatasinya sendiri. Akan tetapi, hingga saat ini ia masih terus terbayang-bayang. Badannya tengah duduk menatap komputer, tapi entah jiwanya ada dimana.

Gyan yang baru saja tiba pun mengerutkan keningnya melihat Mecca melamun di pagi hari. Lama ia menatap gadis itu hingga seseorang memanggil namanya. “Baik, Tuan Ivan. Saya akan segera kesana.” Gyan meletakkan tas miliknya di atas meja sementara dirinya pergi menemui Tuan Ivan di ruangannya, meninggalkan rasa penasaran tentang Mecca.

“Papamu baru saja menghubungiku.” Ivan duduk di tepi meja kerjanya dengan tangan yang disilangkan di depan dadanya. “Kenapa kamu memilih pekerjaan ini, alih-alih menjadi pewaris?” sambungnya.

Gyan duduk di sofa seraya mengeluarkan ponsel dari saku celananya. “Tidak ada notifikasi apapun. Kalau beliau menginginkanku, kenapa tidak menghubungiku, Paman?” pria dengan hidung mancung tersebut tersenyum smirk.

Ivan menghela nafasnya melihat sikap Gyan yang begitu angkuh. “Kamu tahu, apa yang kamu lakukan sekarang menyulitkanku, Gyan?” ujar Ivan.

Tak menjawab, Gyan hanya sibuk dengan ponsel di tangannya. Ia terlalu malas untuk membahas sesuatu yang tidak penting baginya di awal hari. “Aku tidak minat berebut kekuasaan dengan saudara tiriku.” Gyan beranjak dari duduknya tanpa mengalihkan pandangannya dari beda pipih yang ia pegang. “Paman tenang saja. Aku akan bekerja dengan baik dan tidak menimbulkan masalah apapun,” sambungnya. Lalu, ia keluar dari ruangan Ivan dan kembali ke meja kerjanya.

“Kau pikir, dengan begini kau terbebas dari semua masalah? Mustahil, anak muda.” Ivan menggelengkan kepalanya seraya menatap punggung Gyan dari sela-sela kaca ruangannya.

Mecca hampir saja melewatkan makan siang jika Gyan tak mengingatkannya. Sempat menolak, tapi Gyan berhasil membuat Mecca setuju untuk makan siang bersamanya. Mereka berdua pun menuju cafe yang jaraknya paling dekat dengan kantor untuk menghemat waktu. Tak disangka, mereka bertemu dengan Hilya di cafe tersebut. Mecca pun mengajak Hilya untuk bergabung dan tentu saja Hilya tak menolak.

“Jadi, kamu fotografer baru di bagian periklanan?” tanya Hilya basa-basi. Gyan hanya menganggukkan kepala, mengiyakan. 

“Tapi, bukankah mereka itu punya….”

Belum sempat Hilya melanjutkan ucapannya, makanan pesanan mereka pun datang. “Cepat makan! Jangan terlalu banyak bicara!” titah Mecca.

Mereka bertiga pun menikmati makan siang dengan diselingi obrolan-obrolan tak tentu arah. Mecca senang memiliki teman yang bisa mengisi kekosongan di hatinya. Ia tak pernah tahu, apa jadinya jika tak memiliki teman seperti Hilya khususnya. Ia juga bahagia mendapat teman baru yang begitu baik dan memerhatikan dirinya.

Jam istirahat sudah hampir berakhir, artinya mereka harus segera kembali ke kantor sebelum terlambat. Akan tetapi, memilih cafe terdekat pun tak membuat mereka bisa kembali tepat waktu. Jalanan yang cukup padat di jam makan siang berhasil menjebak mereka bertiga. Hilya yang awalnya berangkat bersama temannya dengan mengendarai motor pun menyesal telah ikut Mecca dan Gyan dengan mobil.

“Kalian baru kembali? Sudah jam berapa ini?” Ivan yang kebetulan baru saja keluar dari lift basemen pun terkejut melihat karyawannya yang masih berkeliaran. Hilya tak berani menjawab, ia hanya menundukkan kepalanya karena merasa bersalah.

“Maaf, Tuan. Jalanan cukup padat sehingga kami terlambat kembali ke kantor,” ujar Mecca mewakili kedua temannya. Ivan menatap jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Lalu, ia menghela nafas melihat ketiga karyawan yang berdiri tepat di hadapannya. “Kembalilah bekerja! Jangan menyia-nyiakan waktu. Aku harus pergi sekarang,” ujar Ivan sebelum akhirnya ia pergi meninggalkan mereka bertiga. Ucapan terima kasih dari ketiganya pun terdengar cukup nyaring, tapi Ivan hanya bisa menjawab dengan lambaian tangan.

Kepergian Ivan, tak membuat kinerja para karyawan mengendur, begitupun Mecca. Setelah besenda gurau dengan kedua temannya, Mecca bisa melupakan tentang mimpinya dan seperti memiliki kekuatan tambahan untuk bekerja. “Mecca, kau ada acara besok?” tanya Gyan dengan berbisik. Ia takut menganggu teman yang lain karena pertanyaannya pun tak ada hubungannya dengan pekerjaan.

“Tidak, memangnya kenapa?” tanya Mecca balik. Namun, Gyan tak menjawab. Ia justru mengedipkan salah satu matanya ke arah Mecca. Lalu, menghilang begitu saja dari hadapan gadis tersebut.

Tingkah aneh Gyan pun tak terlalu dipikirkan oleh Mecca. Ia menyelesaikan pekerjaannya dan segera pulang, seperti teman-teman yang lain. Meskipun Mecca keluar sedikit terlambat, Hilya dengan setia menunggu sang sahabat di basemen parkir. “Apa kau akan menginap lagi malam ini?” tanya Hilya yang dijawab anggukan kepala oleh Mecca. “Tapi, aku harus pulang sebentar. Kau boleh ikut.” Mecca melemparkan kunci mobilnya agar Hilya mengambil alih kemudi.

Masih sama seperti biasanya, Mecca mendapat tatapan tak suka dari Mariam ketika dirinya tiba di rumahnya bersama Hilya. Namun, Mecca berusaha mengesampingkan hal tersebut. Ia tak ingin berdebat dengan sang ibu di depan Hilya.

“Kemana saja kau, Mecca? Sudah pintar lari dari masalah rupanya,” Mariam berkacak pinggang seraya berjalan mendekati Mecca yang bahkan masih berada di ambang pintu. Mecca mengela nafas, mencoba rileks dan tidak terpancing emosi. “Mecca menginap di tempat Hilya, Bu,” jawabnya.

Mariam tersenyum smirk dan menatap kedua gadis cantik di hadapannya. “Kalau dilihat-lihat, kau sering sekali bersama dia, Mecca. Jangan-jangan, kau selama ini berpacaran dengan dia?” tanya Mariam. Mecca membulatkan mata mendengarnya. Lalu, sebuah tamparan keras mendarat tepat di pipi Mariam.

“IBU!”

Related chapters

  • Friend With Benefit   Chapter 3

    “Kalau dilihat-lihat, kau sering sekali bersama dia, Mecca. Jangan-jangan, kau selama ini berpacaran dengan dia?” tanya Mariam. Mecca membulatkan mata mendengarnya. Lalu, sebuah tamparan keras mendarat tepat di pipi Mariam.“IBU!” seru si kembar yang juga baru saja kembali dan sempat melihat ketegangan di antara Mariam dan Mecca. Tapi, mereka berdua hanya berdiri mematung, tak berani ikut campur.Mariam memegangi pipinya yang terasa kebas akibat kerasnya tamparan dari putri sulungnya. “Sekarang bahkan kau sudah berani melawan,” ujarnya seraya menahan kesakitan.“Itu karena Ibu sudah keterlaluan. Coba saja Ibu bisa sedikit mengontrol ucapan Ibu, hal ini tidak akan terjadi,” kali ini si kembar buka suara dan menyampaikan pendapat sesuai dengan apa yang ia lihat. Cukup sulit berada di tengah ketegangan antara kakak dan ibunya. Mereka tak tahu harus memihak yang mana. Tapi, si kembar bukanlah anak yang ceroboh, ia bisa bersikap netral dan menjadi penengah.Matthew merangkul pundak Mariam,

    Last Updated : 2023-11-27
  • Friend With Benefit   Chapter 4

    Bastian mulai mengabsen tubuh Mecca dengan jari jemarinya, membuat Mecca merasa tak nyaman. Beruntung, Mecca menggunakan celana panjang sehingga tak mudah bagi Bastian untuk membukanya.“Jangan, Bastian!” Mecca menghentikan tangan Bastian yang hendak menyingkap kaos yang ia kenakan. Tapi, sudah terlambat, perutnya yang putih sudah terlihat dengan jelas. “Bastian, aku mohon….”Tak mendengarkan, Bastian menarik kembali kaos tersebut hingga tampak gunung kembar yang tertutup bra berwarna beige. Sementara satu tangan menahan kaos agar tidak tertutup kembali, tangan yang lain hendak menyentuh benda kenyal tersebut. “Sudah aku bilang, jangan lakukan itu, Bastian!” Mecca mendorong tubuh Bastian dengan sekuat tenaga hingga ia berhasil lepas. “Kau sepertinya mabuk, lebih baik kita bertemu lain kali,” sambungnya. “Aku tidak mabuk, Sayang. Aku benar-benar merindukanmu.” Bastian berjalan mendekati Mecca. Namun, gadis tersebut dengan cepat keluar dari apartemen dan berlari sekuat tenaga.Dengan n

    Last Updated : 2023-11-27
  • Friend With Benefit   Chapter 5

    “Bagaimana? Kapan kau akan memberikan uang untuk membayar hutang? Atau kau menerima tawaran menikah dengan Pak Adrian?” Mariam menghadang Mecca yang hendak masuk ke dalam rumah. Tentu saja si kembar bisa mendengar dengan jelas pertanyaan sang ibu kepada kakaknya karena pintu rumah masih terbuka lebar.Mecca memundurkan langkahnya dan berusaha mengumpulkan ketenangan untuk melawan ibunya. “Secepatnya, pasti Mecca akan berikan uangnya, Bu,” jawabnya dengan lembut. “Kapan? Kau bekerja di ruangan ber AC, mengendarai mobil yang nyaman bahkan makan makanan enak setiap hari. Tapi, kenapa kau selalu menunda memberikan uang itu padaku, hah?” Mariam berkacak pinggang seraya menatap tajam ke arah putri sulungnya.Mecca memutar bola matanya, malas jika ibunya membahas tentang semua fasilitas yang ia miliki. “Apa semua yang aku punya pemberian dari Ibu? Bukan! Semua yang aku punya murni kerja kerasku sendiri sampai aku bisa membiayai kuliah adikku,” jawab Mecca dengan sedikit penekanan, membuat M

    Last Updated : 2023-11-27
  • Friend With Benefit   Chapter 6

    “Aku akan memberikan apa yang kau mau jika kau patuh padaku.” Pria hidung belang tersebut menggiring Mecca menuju sebuah private room yang disediakan di bar tersebut. Namun, saat berada di ambang pintu, Mecca menghentikan langkahnya seraya memejamkan mata, apakah keputusannya sudah tepat?Sejenak mematung, Mecca memantapkan hatinya untuk masuk demi mendapatkan uang. Namun, pintu tersebut tiba-tiba tertutup dan tangan Mecca ditarik oleh seseorang dan beralih masuk ke private room lainnya.“Aku akan menggantikan pria itu,”“Gyan?” Mecca mengerutkan keningnya melihat rekan kerjanya yang sudah berdiri di hadapannya tersebut. “Apa yang kamu lakukan disini?” sambungnya.Mecca menghela nafas, lalu duduk di sofa sambil menutupi wajah dengan kedua telapak tangannya. Apa mungkin ia akan melayani temannya sendiri, alih-alih client yang tak dikenal. Bingung sekaligus malu membuat Mecca tak bisa berkata-kata.Gyan yang duduk disamping Mecca pun menarik tangan Mecca. Kedua pasang netra coklat itu p

    Last Updated : 2024-03-01
  • Friend With Benefit   Chapter 7

    “Bayar sekarang juga, atau….”“Atau apa? Katakan berapa hutangnya biar aku yang bayar.” Seorang pria dengan kacamata hitam muncul entah darimana. Bukannya senang, si kembar justru melempar tatapan sinis ke arah pria itu.“Bayar sekarang 150 juta.” Salah satu pria gagah itu menengadahkan tangannya. Si kembar sontak maju dan menyingkirkan sang ibu. Mereka tak mau orang lain ikut campur dalam masalah keluarganya. “Beri waktu kami satu minggu. Kami akan bayar hutang itu sendiri, tanpa bantuan siapapun,” ujar Matteo dengan sedikit penekanan pada kalimat terakhirnya.“Bastian, aku mohon padamu tinggalkan keluarga kami,” ujar Matthew dengan lembut. Namun, pria itu hanya tersenyum smirk sambil melepas kacamata hitamnya.Mariam bingung, ia tak bisa menentukan pilihan antara harus menuruti si kembar atau menerima bantuan dari Bastian. Jika ia menolak bantuan dari Bastian, akankah Mecca mampu memberikan uang kepadanya tepat waktu?“Saya mohon beri waktu satu minggu lagi. Saya janji akan membayar

    Last Updated : 2024-03-03
  • Friend With Benefit   Chapter 8

    “Semudah itu kamu dapat penggantiku?” Suara tersebut berhasil membuat Mecca menghentikan langkahnya. Ia berbalik dan tersenyum smirk melihat sang mantan kekasih bersandar di sebuah pilar dengan tangan bersedekap. “Untuk apa kau kemari?” tanya Mecca yang menyimpan sedikit ketakutan. Ia takut jika Bastian melakukan hal nekat.Bastian tertawa melihat kecemasan di wajah Mecca. Ia berjalan mendekat dan meraih tangan lembut Mecca. Namun, gadis itu berhasil melepaskannya. “Aku bisa membantumu membayar hutang, asalkan….”“Tidak! Apapun yang terjadi aku tidak akan menerima bantuan darimu!” sanggah Mecca sebelum Bastian menyelesaikan kalimatnya. Mulut manis Bastian terus saja mengoceh, mengutarakan tawaran menarik agar Mecca mau kembali ke dalam pelukannya. Akan tetapi, Mecca bukanlah gadis bodoh yang bisa dengan mudah terjerumus dalam lubang yang sama untuk kedua kalinya.Mecca tak menanggapi dan masuk ke apartemen. Beruntung, untuk masuk ke area apartemen tersebut harus menggunakan kartu ak

    Last Updated : 2024-03-17
  • Friend With Benefit   Chapter 9

    “Sayang, aku sudah lama menunggu. Ayo, cepat pulang,” suara berat itu berhasil membuat Bastian melepaskan tangan Mecca dari genggamannya. Mantan kekasih Mecca itu pun mendekati pria dengan setelan formal lengkap itu. “Sayang? Kau bayar berapa wanita jal*ang itu, bisa-bisanya dia takluk padamu?” Tak mendapat jawaban, justru bogeman mentah yang ia dapatkan hingga cairan kental berwarna merah keluar dari hidungnya. “Berani kau, ya?” Bastian melangkah mendekat, tapi dihadang oleh sang mantan. “Silahkan hina aku semaumu, aku tidak akan peduli. Tapi, jangan sampai tangan kotormu itu menyentuh Gyan!” bentaknya.Bastian tersenyum smirk, ia sadar bahwa ia tak akan menang jika adu fisik dengan Gyan dalam posisi mabuk. Pria itu pun memilih untuk menyerah dan pergi meninggalkan mantan bersama kekasih barunya. Mecca mengajak Gyan untuk kembali ke mobil. Lalu, ia sibuk memeriksa tangan dari temannya itu, memastikan apakah ada yang luka atau tidak. Beruntung kejadian tadi tidak menarik perhatian b

    Last Updated : 2024-03-19
  • Friend With Benefit   Chapter 10

    "Mecca!" pekik Gyan. Melihat temannya tergeletak di lantai ia tak tinggal diam. Dengan sigap ia menggendongnya menuju ruang kesehatan yang letaknya satu lantai diatas ruangan kerja mereka. "Bertahan, ya. Aku tahu kamu kuat," ujar Gyan saat berada di dalam lift. Setibanya di ruang kesehatan, Gyan tak bisa menutupi kepanikannya saat dua orang tenaga medis memeriksa kondisi Mecca. Dalam hati, ia ingin sekali mengambil alih semua rasa sakit yang ada pada temannya itu. Ia tak rela wanita dengan semangat yang tinggi itu tiba-tiba menjadi lemah. Setelah memastikan keadaan Mecca, salah satu tenaga medis memberitahu kepada Gyan bahwa tak terjadi sesuatu yang serius pada teman wanitanya. "Hanya perlu memperhatikan pola makan, pola tidur dan jangan terlalu stres." ujarnya pada Gyan. Gyan duduk di bangku kecil yang ada di samping ranjang sembari menatap lekat ke arah wanita cantik yang masih belum membuka matanya itu. Ingin sekali ia mengusap kepala atau bahkan menggenggam tanganny

    Last Updated : 2024-08-01

Latest chapter

  • Friend With Benefit   Chapter 10

    "Mecca!" pekik Gyan. Melihat temannya tergeletak di lantai ia tak tinggal diam. Dengan sigap ia menggendongnya menuju ruang kesehatan yang letaknya satu lantai diatas ruangan kerja mereka. "Bertahan, ya. Aku tahu kamu kuat," ujar Gyan saat berada di dalam lift. Setibanya di ruang kesehatan, Gyan tak bisa menutupi kepanikannya saat dua orang tenaga medis memeriksa kondisi Mecca. Dalam hati, ia ingin sekali mengambil alih semua rasa sakit yang ada pada temannya itu. Ia tak rela wanita dengan semangat yang tinggi itu tiba-tiba menjadi lemah. Setelah memastikan keadaan Mecca, salah satu tenaga medis memberitahu kepada Gyan bahwa tak terjadi sesuatu yang serius pada teman wanitanya. "Hanya perlu memperhatikan pola makan, pola tidur dan jangan terlalu stres." ujarnya pada Gyan. Gyan duduk di bangku kecil yang ada di samping ranjang sembari menatap lekat ke arah wanita cantik yang masih belum membuka matanya itu. Ingin sekali ia mengusap kepala atau bahkan menggenggam tanganny

  • Friend With Benefit   Chapter 9

    “Sayang, aku sudah lama menunggu. Ayo, cepat pulang,” suara berat itu berhasil membuat Bastian melepaskan tangan Mecca dari genggamannya. Mantan kekasih Mecca itu pun mendekati pria dengan setelan formal lengkap itu. “Sayang? Kau bayar berapa wanita jal*ang itu, bisa-bisanya dia takluk padamu?” Tak mendapat jawaban, justru bogeman mentah yang ia dapatkan hingga cairan kental berwarna merah keluar dari hidungnya. “Berani kau, ya?” Bastian melangkah mendekat, tapi dihadang oleh sang mantan. “Silahkan hina aku semaumu, aku tidak akan peduli. Tapi, jangan sampai tangan kotormu itu menyentuh Gyan!” bentaknya.Bastian tersenyum smirk, ia sadar bahwa ia tak akan menang jika adu fisik dengan Gyan dalam posisi mabuk. Pria itu pun memilih untuk menyerah dan pergi meninggalkan mantan bersama kekasih barunya. Mecca mengajak Gyan untuk kembali ke mobil. Lalu, ia sibuk memeriksa tangan dari temannya itu, memastikan apakah ada yang luka atau tidak. Beruntung kejadian tadi tidak menarik perhatian b

  • Friend With Benefit   Chapter 8

    “Semudah itu kamu dapat penggantiku?” Suara tersebut berhasil membuat Mecca menghentikan langkahnya. Ia berbalik dan tersenyum smirk melihat sang mantan kekasih bersandar di sebuah pilar dengan tangan bersedekap. “Untuk apa kau kemari?” tanya Mecca yang menyimpan sedikit ketakutan. Ia takut jika Bastian melakukan hal nekat.Bastian tertawa melihat kecemasan di wajah Mecca. Ia berjalan mendekat dan meraih tangan lembut Mecca. Namun, gadis itu berhasil melepaskannya. “Aku bisa membantumu membayar hutang, asalkan….”“Tidak! Apapun yang terjadi aku tidak akan menerima bantuan darimu!” sanggah Mecca sebelum Bastian menyelesaikan kalimatnya. Mulut manis Bastian terus saja mengoceh, mengutarakan tawaran menarik agar Mecca mau kembali ke dalam pelukannya. Akan tetapi, Mecca bukanlah gadis bodoh yang bisa dengan mudah terjerumus dalam lubang yang sama untuk kedua kalinya.Mecca tak menanggapi dan masuk ke apartemen. Beruntung, untuk masuk ke area apartemen tersebut harus menggunakan kartu ak

  • Friend With Benefit   Chapter 7

    “Bayar sekarang juga, atau….”“Atau apa? Katakan berapa hutangnya biar aku yang bayar.” Seorang pria dengan kacamata hitam muncul entah darimana. Bukannya senang, si kembar justru melempar tatapan sinis ke arah pria itu.“Bayar sekarang 150 juta.” Salah satu pria gagah itu menengadahkan tangannya. Si kembar sontak maju dan menyingkirkan sang ibu. Mereka tak mau orang lain ikut campur dalam masalah keluarganya. “Beri waktu kami satu minggu. Kami akan bayar hutang itu sendiri, tanpa bantuan siapapun,” ujar Matteo dengan sedikit penekanan pada kalimat terakhirnya.“Bastian, aku mohon padamu tinggalkan keluarga kami,” ujar Matthew dengan lembut. Namun, pria itu hanya tersenyum smirk sambil melepas kacamata hitamnya.Mariam bingung, ia tak bisa menentukan pilihan antara harus menuruti si kembar atau menerima bantuan dari Bastian. Jika ia menolak bantuan dari Bastian, akankah Mecca mampu memberikan uang kepadanya tepat waktu?“Saya mohon beri waktu satu minggu lagi. Saya janji akan membayar

  • Friend With Benefit   Chapter 6

    “Aku akan memberikan apa yang kau mau jika kau patuh padaku.” Pria hidung belang tersebut menggiring Mecca menuju sebuah private room yang disediakan di bar tersebut. Namun, saat berada di ambang pintu, Mecca menghentikan langkahnya seraya memejamkan mata, apakah keputusannya sudah tepat?Sejenak mematung, Mecca memantapkan hatinya untuk masuk demi mendapatkan uang. Namun, pintu tersebut tiba-tiba tertutup dan tangan Mecca ditarik oleh seseorang dan beralih masuk ke private room lainnya.“Aku akan menggantikan pria itu,”“Gyan?” Mecca mengerutkan keningnya melihat rekan kerjanya yang sudah berdiri di hadapannya tersebut. “Apa yang kamu lakukan disini?” sambungnya.Mecca menghela nafas, lalu duduk di sofa sambil menutupi wajah dengan kedua telapak tangannya. Apa mungkin ia akan melayani temannya sendiri, alih-alih client yang tak dikenal. Bingung sekaligus malu membuat Mecca tak bisa berkata-kata.Gyan yang duduk disamping Mecca pun menarik tangan Mecca. Kedua pasang netra coklat itu p

  • Friend With Benefit   Chapter 5

    “Bagaimana? Kapan kau akan memberikan uang untuk membayar hutang? Atau kau menerima tawaran menikah dengan Pak Adrian?” Mariam menghadang Mecca yang hendak masuk ke dalam rumah. Tentu saja si kembar bisa mendengar dengan jelas pertanyaan sang ibu kepada kakaknya karena pintu rumah masih terbuka lebar.Mecca memundurkan langkahnya dan berusaha mengumpulkan ketenangan untuk melawan ibunya. “Secepatnya, pasti Mecca akan berikan uangnya, Bu,” jawabnya dengan lembut. “Kapan? Kau bekerja di ruangan ber AC, mengendarai mobil yang nyaman bahkan makan makanan enak setiap hari. Tapi, kenapa kau selalu menunda memberikan uang itu padaku, hah?” Mariam berkacak pinggang seraya menatap tajam ke arah putri sulungnya.Mecca memutar bola matanya, malas jika ibunya membahas tentang semua fasilitas yang ia miliki. “Apa semua yang aku punya pemberian dari Ibu? Bukan! Semua yang aku punya murni kerja kerasku sendiri sampai aku bisa membiayai kuliah adikku,” jawab Mecca dengan sedikit penekanan, membuat M

  • Friend With Benefit   Chapter 4

    Bastian mulai mengabsen tubuh Mecca dengan jari jemarinya, membuat Mecca merasa tak nyaman. Beruntung, Mecca menggunakan celana panjang sehingga tak mudah bagi Bastian untuk membukanya.“Jangan, Bastian!” Mecca menghentikan tangan Bastian yang hendak menyingkap kaos yang ia kenakan. Tapi, sudah terlambat, perutnya yang putih sudah terlihat dengan jelas. “Bastian, aku mohon….”Tak mendengarkan, Bastian menarik kembali kaos tersebut hingga tampak gunung kembar yang tertutup bra berwarna beige. Sementara satu tangan menahan kaos agar tidak tertutup kembali, tangan yang lain hendak menyentuh benda kenyal tersebut. “Sudah aku bilang, jangan lakukan itu, Bastian!” Mecca mendorong tubuh Bastian dengan sekuat tenaga hingga ia berhasil lepas. “Kau sepertinya mabuk, lebih baik kita bertemu lain kali,” sambungnya. “Aku tidak mabuk, Sayang. Aku benar-benar merindukanmu.” Bastian berjalan mendekati Mecca. Namun, gadis tersebut dengan cepat keluar dari apartemen dan berlari sekuat tenaga.Dengan n

  • Friend With Benefit   Chapter 3

    “Kalau dilihat-lihat, kau sering sekali bersama dia, Mecca. Jangan-jangan, kau selama ini berpacaran dengan dia?” tanya Mariam. Mecca membulatkan mata mendengarnya. Lalu, sebuah tamparan keras mendarat tepat di pipi Mariam.“IBU!” seru si kembar yang juga baru saja kembali dan sempat melihat ketegangan di antara Mariam dan Mecca. Tapi, mereka berdua hanya berdiri mematung, tak berani ikut campur.Mariam memegangi pipinya yang terasa kebas akibat kerasnya tamparan dari putri sulungnya. “Sekarang bahkan kau sudah berani melawan,” ujarnya seraya menahan kesakitan.“Itu karena Ibu sudah keterlaluan. Coba saja Ibu bisa sedikit mengontrol ucapan Ibu, hal ini tidak akan terjadi,” kali ini si kembar buka suara dan menyampaikan pendapat sesuai dengan apa yang ia lihat. Cukup sulit berada di tengah ketegangan antara kakak dan ibunya. Mereka tak tahu harus memihak yang mana. Tapi, si kembar bukanlah anak yang ceroboh, ia bisa bersikap netral dan menjadi penengah.Matthew merangkul pundak Mariam,

  • Friend With Benefit   Chapter 2

    “Tidak ada siapapun disini, Mecca.” Jari jemari yang terasa sedikit kasar sibuk mengekspos wajah cantik Mecca.Mecca menutup matanya rapat-rapat. Ia tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi pada dirinya. Tubuhnya di tindih sehingga kesulitan untuk menyelamatkan diri. “Lepaskan aku!” pintanya yang mulai tak berdaya.Pria tersebut tak mendengarkan ucapan Mecca. Kini, tangan nakalnya mulai bergerilya di tubuh mungil Mecca. “Anak baik harus nurut, Mecca. Aku ini ayahmu, bukan?” bisiknya tepat di telinga Mecca, membuat Mecca bergirik ngeri.“Kamu bukan ayahku! Sampai kapanpun, aku tidak akan pernah mengakui pria bejat sepertimu sebagai ayahku.” Mecca berusaha mendorong tubuh pria tersebut sekuat tenaga. Merasakan sesuatu yang menonjol tepat di perutnya, membuat Mecca semakin gusar. Namun, semakin Mecca berontak, Franky semakin menggila. Tangannya berhasil menyibakkan rok yang Mecca kenakan sehingga apa yang ia inginkan tereskpos dengan jelas.“Jangan!”“Tolong, lepaskan aku!”“Jangan la

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status